• Pakaian Dalam Kaca Mata Islam PAKAIAN
    Dr. Quraisy Syihab

    Al-Quran paling tidak menggunakan tiga istilah untuk pakaian
    yaitu, libas, tsiyab, dan sarabil. Kata libas ditemukan
    sebanyak sepuluh kali, tsiyab ditemukan sebanyak delapan kali,
    sedangkan sarabil ditemukan sebanyak tiga kali dalam dua ayat.

    Libas pada mulanya berarti penutup --apa pun yang ditutup.
    Fungsi pakaian sebagai penutup amat jelas. Tetapi, perlu
    dicatat bahwa ini tidak harus berarti "menutup aurat", karena
    cincin yang menutup sebagian jari juga disebut libas, dan
    pemakainya ditunjuk dengan menggunakan akar katanya.

    Ketika berbicara tentang laut, Al-Quran surat Al-Nahl (16): 14
    menyatakan bahwa,

    Dan kamu mengeluarkan dan laut itu perhiasan (antara
    lain mutiara) yang kamu pakai.

    Kata libas digunakan oleh Al-Quran untuk menunjukkan pakaian
    lahir maupun batin, sedangkan kata tsiyab digunakan untuk
    menunjukkan pakaian lahir. Kata ini terambil dari kata tsaub
    yang berarti kembali, yakni kembalinya sesuatu pada keadaan
    semula, atau pada keadaan yang seharusnya sesuai dengan ide
    pertamanya.

    Ungkapan yang menyatakan, bahwa "awalnya adalah ide dan
    akhirnya adalah kenyataan", mungkin dapat membantu memahami
    pengertian kebahasaan tersebut. Ungkapan ini berarti kenyataan
    harus dikembalikan kepada ide asal, karena kenyataan adalah
    cerminan dari ide asal.

    Apakah ide dasar tentang pakaian?

    Ar-Raghib Al-Isfahani --seorang pakar bahasa Al-Quran--
    menyatakan bahwa pakaian dinamai tsiyab atau tsaub, karena ide
    dasar adanya bahan-bahan pakaian adalah agar dipakai. Jika
    bahan-bahan tersebut setelah dipintal kemudian menjadi
    pakaian, maka pada hakikatnya ia telah kembali pada ide dasar
    keberadaannya. Hemat penulis, ide dasar juga dapat
    dikembalikan pada apa yang terdapat dalam benak manusia
    pertama tentang dirinya.

    Al-Quran surat Al-'Araf (7): 20 menjelaskan peristiwa ketika
    Adam dan Hawa berada di surga:

    Setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk
    menampakkan pada keduanya apa yang tertutup dari
    mereka, yaitu auratnya, dan setan berkata, "Tuhan kamu
    melarang kamu mendekati pohon ini, supaya kamu berdua
    tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang
    yang kekal (di surga)."

    Selanjutnya dijelaskan dalam ayat 22 bahwa:

    ...setelah mereka merasakan (buah) pohon (terlarang)
    itu tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan
    mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga...

    Terlihat jelas bahwa ide dasar yang terdapat dalam diri
    manusia adalah "tertutupnya aurat", namun karena godaan setan,
    aurat manusia terbuka. Dengan demikian, aurat yang ditutup
    dengan pakaian akan dikembalikan pada ide dasarnya. Wajarlah
    jika pakaian dinamai tsaub/tsiyab yang berarti "sesuatu yang
    mengembalikan aurat kepada ide dasarnya", yaitu tertutup.

    Dan ayat di atas juga tampak bahwa ide "membuka aurat" adalah
    ide setan, dan karenanya "tanda-tanda kehadiran setan adalah
    "keterbukaan aurat". Sebuah riwayat yang dikemukakan oleh
    Al-Biqa'i dalam bukunya Shubhat Waraqah menyatakan bahwa
    ketika Nabi Saw. belum memperoleh keyakinan tentang apa yang
    dialaminya di Gua Hira --apakah dari malaikat atau dari
    setan-- beliau menyampaikan hal tersebut kepada istrinya
    Khadijah. Khadijah berkata, "Jika engkau melihatnya lagi,
    beritahulah aku". Ketika di saat lain Nabi Saw. melihat
    (malaikat) yang dilihatnya di Gua Hira, Khadijah membuka
    pakaiannya sambi1 bertanya, "Sekarang, apakah engkau masih
    melihatnya?" Nabi Saw. menjawab, "Tidak, ... dia pergi."
    Khadijah dengan penuh keyakinan berkata, "Yakinlah yang datang
    bukan setan, ... (karena hanya setan yang senang melihat
    aurat)".

    Dalam hal ini Al-Quran mengingatkan:

    Wahai putra-putra Adam, janganlah sekali-kali kamu
    dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia (telah menipu
    orang tuamu Adam dan Hawa) sehingga ia telah
    mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga. Ia
    menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan
    kepada keduanya aurat mereka berdua (QS Al-A'raf [7]:
    27).

    Kata ketiga yang digunakan Al-Quran untuk menjelaskan perihal
    pakaian adalah sarabil. Kamus-kamus bahasa mengartikan kata
    ini sebagai pakaian, apa pun jenis bahannya. Hanya dua ayat
    yang menggunakan kata tersebut. Satu di antaranya diartikan
    sebagai pakaian yang berfungsi menangkal sengatan panas,
    dingin, dan bahaya dalam peperangan (QS Al-Nahl [16]: 81).
    Satu lagi dalam surat Ibrahim (14): 50 tentang siksa yang akan
    dialami oleh orang-orang berdosa kelak di hari kemudian:
    pakaian mereka dari pelangkin. Dari sini terpahami bahwa
    pakaian ada yang menjadi alat penyiksa. Tentu saja siksaan
    tersebut karena yang bersangkutan tidak menyesuaikan diri
    dengan nilai-nilai yang diamanatkan oleh Allah Swt.

    PAKAIAN DAN FITRAH

    Dari ayat yang menguraikan peristiwa terbukanya aurat Adam,
    dan ayat-ayat sesudahnya, para ulama menyimpulkan bahwa pada
    hakikatnya menutup aurat adalah fitrah manusia jrang
    diaktualkan pada saat ia memiliki kesadaran.

    Seperti dikemukakan ketika menjelaskan arti tsaub, manusia
    pada mulanya tertutup auratnya. Ayat yang menguraikan hal ini
    menggunakan istilah li yubdiya lahuma ma~ wuriya 'anhuma min
    sauatihima (untuk menampakkan kepada keduanya apa yang
    tertutup dari mereka, yaitu auratnya) (QS Al-A'raf [7]: 20).

    Penggalan ayat itu bukan saja mengisyaratkan bahwa sejak
    semula Adam dan Hawa tidak dapat saling melihat aurat mereka,
    melainkan juga berarti bahwa aurat masing-masing tertutup
    sehingga mereka sendiri pun tidak dapat melihatnya.

    Kemudian setan merayu mereka agar memakan pohon terlarang, dan
    akibatnya adalah aurat yang tadinya tertutup menjadi terbuka,
    dan mereka menyadari keterbukaannya, sehingga mereka berusaha
    menutupinya dengan daun-daun surga. Usaha tersebut menunjukkan
    adanya naluri pada diri manusia sejak awal kejadiannya bahwa
    aurat harus ditutup dengan cara berpakaian.

    Perlu diperhatikan pula kalimat yang dipergunakan Al-Quran
    untuk menyatakan usaha kedua orang tua kita, "Wa thafiqa
    yakhshifan 'alaihima min waraq al-jannah."

    Kata yakhshifan terambil dari kata khashf yang berarti
    menempelkan sesuatu pada sesuatu yang lain agar menjadi lebih
    kokoh. Contoh yang dikemukakan oleh pakar-pakar bahasa adalah
    menempelkkan lapisan baru pada lapisan yang ada dari alas
    kaki, agar lebih kuat dan kokoh.

    Adam dan Hawa bukan sekadar mengambil satu lembar daun untuk
    menutup auratnya (karena jika demikian pakaiannya adalah
    mini), melainkan sekian banyak lembar agar melebar, dengan
    cara menempelkan selembar daun di atas lembar lain, sebagai
    tanda bahwa pakaian tersebut sedemikian tebal, sehingga tidak
    transparan atau tembus pandang.

    Hal lain yang mengisyaratkan bahwa berpakaian atau menutup
    aurat merupakan fitrah manusia adalah penggunaan istilah "Ya
    Bani Adam" (Wahai putra-putri Adam) dalam ayat-ayat yang
    berbicara tentang berpakaian.

    Panggilan semacam ini hanya terulang empat kali dalam
    Al-Quran. Kesan dan makna yang disampaikannya berbeda dengan
    panggilan ya ayyuhal ladzina amanu yang hanya khusus kepada
    orang-orang mukmin, atau ya ayyuhan nas yang boleh jadi hanya
    ditujukan kepada seluruh manusia sejak masa Nabi Saw. hingga
    akhir zaman. Panggilan ya Bani Adam jelas tertuju kepada
    seluruh manusia. Bukankah Adam adalah ayah seluruh manusia?

    Hanya empat kali panggilan ya Bani Adam dalam Al-Quran, dan
    semuanya terdapat dalam surat Al-'Araf, yaitu:

    1. Ayat 26 berbicara tentang macam-macam pakaian yang
    dianugerahkan Allah.

    2. Ayat 27 berbicara tentang larangan mengikuti setan
    yang menyebabkan terbukanya aurat orang tua manusia
    (Adam dan Hawa).

    3. Ayat 31 memerintahkan memakai pakaian indah pada
    saat memasuki masjid.

    4. Ayat 35 adalah kewajiban taat kepada tuntunan Allah
    yang disampaikan oleh para rasul-Nya (tentu termasuk
    tuntunan berpakaian).

    Ini menunjukkan bahwa sejak dini Allah Swt. telah mengilhami
    manusia sehingga timbul dalam dirinya dorongan untuk
    berpakaian, bahkan kebutuhan untuk berpakaian, sebagaimana
    diisyaratkan oleh surat Thaha (20): 117-118, yang mengingatkan
    Adam bahwa jika ia terusir dari surga karena setan, tentu ia
    akan bersusah payah di dunia untuk mencari sandang, pangan,
    dan papan. Dorongan tersebut diciptakan Allah dalam naluri
    manusia yang memiliki kesadaran kemanusiaan. Itu sebabnya
    terlihat bahwa manusia primitif pun selalu menutupi apa yang
    dinilainya sebagai aurat.

    Dari ayat yang berbicara tentang ketertutupan aurat, ditemukan
    isyarat bahwa untuk merealisasikan hal tersebut, manusia tidak
    membutuhkan upaya dan tenaga yang berat. Hal ini diisyaratkan
    oleh bentuk pasif yang dipilih Al-Quran untuk menyebut
    tertutupnya aurat Adam dan Hawa, yakni ayat 22 surat Al-A'raf
    yang dikutip pada awal uraian ini: "yang tertutup dan mereka
    yaitu aurat mereka."

    Menutup aurat tidak sulit, karena dapat dilakukan dengan bahan
    apa pun yang tersedia, sekalipun selembar daun (asalkan dapat
    menutupinya).

    FUNGSI PAKAIAN

    Dari sekian banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang
    pakaian, dapat ditemukan paling tidak ada empat fungsi
    pakaian.

    Al-Quran surat Al-A'raf (7): 26 menjelaskan dua fungsi
    pakaian:

    Wahai putra putri Adam, sesungguhnya Kami telah
    menurunkan kepada kamu pakaian yang menutup auratmu dan
    juga (pakaian) bulu (untuk menjadi perhiasan), dan
    pakaian takwa itulah yang paling baik.

    Ayat ini setidaknya menjelaskan dua fungsi pakaian, yaitu
    penutup aurat dan perhiasan.

    Sebagian ulama bahkan menyatakan bahwa ayat di atas berbicara
    tentang fungsi ketiga pakaian, yaitu fungsi takwa, dalam arti
    pakaian dapat menghindarkan seseorang terjerumus ke dalam
    bencana dan kesulitan, baik bencana duniawi maupun ukhrawi.

    Syaikh Muhammad Thahir bin 'Asyur menjelaskan jalan pikiran
    ulama yang berpendapat demikian. Ia menulis dalam tafsirnya
    tentang ayat tersebut:

    Libasut taqwa dibaca oleh Imam Nafi' ibnu Amir,
    Al-Kisa'i, dan Abu Ja'far dengan nashab (dibaca libasa
    sehingga kedudukannya sebagai objek penderita). Ini
    berarti sama dengan pakaian-pakaian lain yang
    diciptakan, dan tentunya pakaian ini tidak berbentuk
    abstrak, melainkan nyata. Takwa yang dimaksud di sini
    adalah pemeliharaan, sehingga yang dimaksud dengannya
    adalah pakaian berupa perisai yang digunakan dalam
    peperangan untuk memelihara dan menghindarkan
    pemakainya dari luka dan bencana lain.

    Ada juga yang membaca libasu at-taqwa, sehingga kata tersebut
    tidak berkedudukan sebagai objek penderita. Ketika itu, salah
    satu makna yang dikandungnya adalah adanya pakaian batin yang
    dapat menghindarkan seseorang dari bencana duniawi dan
    ukhrawi.

    Betapapun, ditemukan ayat lain yang menjelaskan fungsi ketiga
    pakaian, yakni fungsi pemeliharaan terhadap bencana, dan dari
    sengatan panas dan dingin,

    Dia (Allah) menjadikan untuk kamu pakaian yang
    memelihara kamu dari sengatan panas (dan dingin), serta
    pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam
    peperangan... (QS Al-Nahl [16]: 81).
    Fungsi pakaian selanjutnya disyaratkan oleh Al-Quran surat
    Al-Ahzab (33): 59 yang menugaskan Nabi Saw. agar menyampaikan
    kepada istri-istrinya, anak-anak perempuannya, serta
    wanita-wanita Mukmin agar mereka mengulurkan jilbab mereka:

    Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
    perempuanmu, dan istri-istri orang Mukmin, "Hendaklah
    mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh
    mereka." Yang demikian itu agar mereka lebih mudah
    untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu (oleh
    lidah/tangan usil).

    Terlihat fungsi pakaian sebagai penunjuk identitas pembeda
    antara seseorang dengan yang lain.

    1. Penutup Sau-at (Aurat)

    Sau-at terambil dari kata sa-a -yasu-u yang berarti buruk,
    tidak menyenangkan. Kata ini sama maknanya dengan 'aurat, yang
    terambil dari kata 'ar yang berarti onar, aib, tercela.
    Keburukan yang dimaksud tidak harus dalam arti sesuatu yang
    pada dirinya buruk, tetapi bisa juga karena adanya faktor lain
    yang mengakibatkannya buruk. Tidak satu pun dari bagian tubuh
    yang buruk karena semuanya baik dan bermanfaat --termasuk
    aurat. Tetapi bila dilihat orang, maka "keterlihatan" itulah
    yang buruk.

    Tentu saja banyak hal yang sifatnya buruk, masing-masing orang
    dapat menilai. Agama pun memberi petunjuk tentang apa yang
    dianggapnya 'aurat atau sau-at. Dalam fungsinya sebagai
    penutup, tentunya pakaian dapat menutupi segala yang enggan
    diperlihatkan oleh pemakai, sekalipun seluruh badannya. Tetapi
    dalam konteks pembicaraan tuntunan atau hukum agama, aurat
    dipahami sebagai anggota badan tertentu yang tidak boleh
    dilihat kecuali oleh orang-orang tertentu.

    Bahkan bukan hanya kepada orang tertentu selain pemiliknya,
    Islam tidak "senang" bila aurat --khususnya aurat besar
    (kemaluan)-- dilihat oleh siapa pun. Bukankah seperti yang
    dikemukakan terdahulu, bahwa ide dasar aurat adalah "tertutup
    atau tidak dilihat walau oleh yang bersangkutan sendiri?"

    Beberapa hadis menerangkan hal tersebut secara rinci:

    Hindarilah telanjang, karena ada (malaikat) yang selalu
    bersama kamu, yang tidak pernah berpisah denganmu
    kecuali ketika ke kamar belakang (wc) dan ketika
    seseorang berhubungan seks dengan istrinya. Maka
    malulah kepada mereka dan hormatilah mereka (HR
    At-Tirmidzi).

    Apabila salah seorang dari kamu berhubungan seks dengan
    pasangaunnya, jangan sekali-kali keduannya telanjang
    bagaikan telanjangnya binatang (HR Ibnu Majah).

    Yang dikemukakan di atas adalah tuntunan moral. Sedangkan
    tuntunan hukumnya tentunya lebih longgar. Dari segi hukum,
    tidak terlarang bagi seseorang --bila sendirian atau bersama
    istrinya-- untuk tidak berpakaian. Tetapi, ia berkewajiban
    menutup auratnya, baik aurat besar (kemaluan) maupun aurat
    kecil, selama diduga akan ada seseorang --selain pasangannya--
    yang mungkin melihat. Ulama bersepakat menyangkut kewajiban
    berpakaian sehingga aurat tertutup, hanya saja mereka berbeda
    pendapat tentang batas aurat itu. Bagian mana dari tubuh
    manusia yang harus selalu ditutup.

    Imam Malik, Syafi'i, dan Abu Hanifah berpendapat bahwa lelaki
    wajib menutup seluruh badannya dari pusar hingga lututnya,
    meskipun ada juga yang berpendapat bahwa yang wajib ditutup
    dari anggota tubuh lelaki hanya yang terdapat antara pusat dan
    lutut yaitu alat kelamin dan pantat.

    Wanita, menurut sebagian besar ulama berkewajiban menutup
    seluruh angggota tubuhnya kecuali muka dan telapak tangannya,
    sedangkan Abu Hanifah sedikit lebih longgar, karena
    menambahkan bahwa selain muka dan telapak tangan, kaki wanita
    juga boleh terbuka. Tetapi Abu Bakar bin Abdurrahman dan Imam
    Ahmad berpendapat bahwa seluruh anggota badan perempuan harus
    ditutup.

    Salah satu sebab perbedaan ini adalah perbedaan penafsiran
    mereka tentang maksud firman Allah dalam surat Al-Nur (24):
    31:

    Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali
    yang tampak darinya.

    2. Perhiasan

    Di bagian terdahulu telah dikemukakan ayat Al-Quran yang
    memerintahkan umat Islam agar memakai perhiasannya
    --lebih-lebih ketika berkunjung ke masjid (QS Al-A'raf [7]:
    31).

    Perhiasan adalah sesuatu yang dipakai untuk memperelok.
    Tentunya pemakainya sendiri harus lebih dahulu menganggap
    bahwa perhiasan tersebut indah, kendati orang lain tidak
    menilai indah atau pada hakikatnya memang tidak indah.

    Al-Quran tidak menjelaskan --apalagi merinci-- apa yang
    disebut perhiasan, atau sesuatu yang "elok". Sebagian pakar
    menjelaskan bahwa sesuatu yang elok adalah yang menghasilkan
    kebebasan dan keserasian.

    Bentuk tubuh yang elok adalah yang ramping, karena kegemukan
    membatasi kebebasan bergerak. Sentuhan yang indah adalah
    sentuhan yang memberi kebebasan memegang sehingga tidak ada
    duri atau kekasaran yang mengganggu tangan. Suara yang elok
    adalah suara yang keluar dari tenggorokan tanpa paksaan atau
    dihadang oleh serak dan semacamnya. Ide yang indah adalah ide
    yang tidak dipaksa atau dihambat oleh ketidaktahuan, takhayul,
    dan semacamnya. Sedangkan pakaian yang elok adalah yang
    memberi kebebasan kepada pemakainya untuk bergerak. Demikian
    kurang lebih yang ditulis Abbas A1-Aqqad dalam bukunya
    Muthal'at fi Al-Kutub wa Al-Hayat.

    Harus diingat pula bahwa kebebasan mesti disertai tanggung
    jawab, karenanya keindahan harus menghasilkan kebebasan yang
    bertanggung jawab.

    Tentu saja kita dapat menerima atau menolak pendapat tersebut,
    sekalipun sepakat bahwa keindahan adalah dambaan manusia.
    Namun harus disepakati pula bahwa keindahan sangat relatif;
    tergantung dari sudut pandang masing-masing penilai. Hakikat
    ini merupakan salah satu sebab mengapa Al-Quran tidak
    menjelaskan secara rinci apa yang dinilainya indah atau elok.

    Wahyu kedua (atau ketiga) yang dinilai oleh ulama sebagai
    ayat-ayat yang mengandung informasi pengangkatan Nabi Muhammad
    Saw. sebagai Rasul antara lain menuntun beliau agar menjaga
    dan terus-menerus meningkatkan kebersihan pakaiannya (QS
    Al-Muddatstsir [74]: 4).

    Memang salah satu unsur mutlak keindahan adalah kebersihan.
    Itulah sebabnya mengapa Nabi Saw. senang memakai pakaian
    putih, bukan saja karena warna ini lebih sesuai dengan iklim
    Jazirah Arabia yang panas, melainkan juga karena warna putih
    segera menampakkan kotoran, sehingga pemakainya akan segera
    terdorong untuk mengenakan pakaian lain (yang bersih).

    Al-Quran setelah memerintahkan agar memakai pakaian-pakaian
    indah ketika berkunjung ke masjid, mengecam mereka yang
    mengharamkan perhiasan yang telah diciptakan Allah untuk
    manusia.

    Katakanlah! "Siapakah yang mengharamkan perhiasan yang
    telah Allah keluarkan untuk hamba-hamba-Nya...?" (QS
    Al-A'raf [7]: 32)

    Berhias adalah naluri manusia. Seorang sahabat Nabi pernah
    bertanya kepada Nabi Saw.,

    "Seseorang yang senang pakaiannya indah dan alas
    kakinya indah (Apakah termasuk keangkuhan?)" Nabi
    menjawab, "Sesungguhnya Allah indah, senang kepada
    keindahan, keangkuhan adalah menolak kebenaran dan
    menghina orang lain."

    Terdapat sekian banyak riwayat yang menginformasikan bahwa
    Rasullah Saw. menganjurkan agar kuku pun harus dipelihara, dan
    diperindah. Istri Nabi, Aisyah, meriwayatkan bahwa:

    Seorang wanita menyodorkan --dengan tangannya-- sepucuk
    surat kepada Nabi dari belakang tirai, Nabi berhenti
    sejenak sebelum menerimanya, dan bersabda, "Saya tidak
    tahu, apakah yang (menyodorkan surat) ini tangan lelaki
    atau perempuan." Aisyah berkata, "Tangan perempuan,"
    Nabi kemudian berkata kepada wanita itu, "Seandainya
    Anda wanita, niscaya Anda memelihara kuku Anda
    (mewarnainya dengan pacar)."

    Demikian Nabi Saw. menganjurkan agar wanita berhias. Al-Quran
    memang tidak merinci jenis-jenis perhiasan, apalagi bahan
    pakaian yang baik digunakan. Meskipun ada sekian ayat yang
    berbicara tentang penghuni surga dan pakaian mereka. misalnya:

    Bagi mereka surga 'Adn, mereka masuk ke dalamnya, di
    sana mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari
    emas dan mutiara, dan pakaian mereka di sana adalah
    sutera (QS Fathir [35]: 33).

    ...Dalam surga mereka dihiasi dengan gelang emas dan
    mereka memakai pakaian hijau dan sutera halus dan
    sutera tebal, dalam keadaan mereka duduk sambil
    bersandar di atas dipan-dipan yang indah... (QS Al-Kahf
    [18]: 31).

    Perlu dicatat, bahwa yang disebutkan di atas tidak dapat
    dianalogikan dengan nama bahan yang sama di dunia ini. Ketika
    penghuni surga diberi rezeki berupa buah-buahan, orang menduga
    bahwa suguhan tersebut sama dengan yang pernah mereka peroleh
    di dunia. Dugaan ini dibantah oleh Al-Quran surat Al-Baqarah
    (2): 25 dengan menyatakan, "Mereka diberi yang serupa (tetapi
    tak sama)." Demikian juga halnya dengan jenis-jenis perhiasan
    yang telah disebutkan.

    Berbicara tentang perhiasan, salah satu yang diperselisihkan
    para ulama adalah emas dan sutera sebagai pakaian atau
    perhiasan lelaki.

    Dalam Al-Quran, persoalan ini tidak disinggung, tetapi sekian
    banyak hadis Nabi Saw. menegaskan bahwa keduanya haram dipakai
    oleh kaum lelaki.

    Ali bin Abi Thalib berkata, "Saya melihat Rasullullah
    Saw, mengambil sutera lalu beliau meletakkan di sebelah
    kanannya, dan emas diletakkannya di sebelah kirinya,
    kemunduran beliau bersabda, 'Kedua hal ini haram bagi
    lelaki umatku" (HR Abu Dawud dan Nasa'i).

    Pendapat ulama berbeda-beda tentang sebab-sebab diharamkannya
    kedua hal tersebut bagi kaum lelaki. Antara lain bahwa
    keduanya menjadi simbol kemewahan dan perhiasan yang
    berlebihan, sehingga menimbulkan ketidakwajaran kecuali bagi
    kaum wanita. Selain itu ia dapat mengundang sikap angkuh, atau
    karena menyerupai pakaian kaum musyrik.

    Muhammad bin 'Asyur, seorang ulama besar kontemporer serta
    Mufti Tunisia yang telah diakui otoritasnya oleh dunia Islam,
    menulis dalam bukunya Maqashid Asy-Syari'ah Al-Islamiyyah,
    bahwa ucapan dan sikap Rasulullah Saw. tidak selalu harus
    dipahami sebagai ketetapan hukum. Ada dua belas macam tujuan
    ucapan dan sikap beliau, walaupun diakuinya bahwa yang
    terpenting dan terbanyak adalah dalam bidang syariat atau
    hukum.

    Salah satu dari kedua belas tujuan tersebut adalah al-hadyu wa
    al-irsyad (tuntunan dan petunjuk). Ini berbeda dengan
    ketetapan hukum, karena --tulisnya:

    Boleh jadi Nabi Saw. memerintah atau melarang, tetapi
    tujuannya bukan harus melaksanakan itu, melainkan
    tujuannya adalah tuntunan ke jalan-jalan yang baik
    (hlm. 32).

    Dalam rinciannya, ulama besar itu menulis bahwa sebagian
    tuntunan tersebut berupa nasihat-nasihat. Dalam bidang pakaian
    dikemukakannya hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang
    disampaikan oleh sahabat Nabi Al-Bara' bin 'Azib:

    Rasulullah Saw. memerintahkan kami tujuh hal dan
    melarang tujuh hal; memerintahkan kami mengunjungi
    orang sakit, mengantar jenazah, mendoakan yang bersin
    (mengucapkan "yarhamukallah" bila orang yang bersin
    mengucapkan alhamdulillah), mengabulkan permintaan
    (yang meminta dengan menyebut nama Allah), membantu
    yang teraniaya, menyebarluaskan salam, serta menghadiri
    undangan. Beliau melarang kami memakai cincin emas,
    perabot perak, pelana dari kapas, aqsiyah (bentuk jamak
    dari "qisiy", yaitu sejenis pakaian yang dibuat di
    Mesir berbahan sutera), istabraq (sutera tebal), dan
    dibaj (sutera halus).

    Di sini, tulis Muhammad bin 'Asyur, terdapat perintah yang
    jelas-jelas wajib, seperti membantu yang teraniaya (kalau
    mampu). Ada juga larangan yang jelas haram, seperti minum dari
    gelas perak. Ada juga yang jelas tidak wajib, seperti
    mendoakan orang yang bersin, dan mengabulkan permintaan
    (walau) dengan cara yang disebut di atas, dan terdapat juga
    yang jelas tidak haram seperti mengenakan pelana dari kapas
    atau jenis pakaian buatan Mesir. Larangan-larangan semacam itu
    tidak lain kecuali bertujuan menghindarkan sahabat-sahabat
    beliau (dan tentu termasuk umatnya) dari penampilan
    berlebih-lebihan, berfoya-foya, dan berhias dengan warna-warna
    menyolok seperti warna merah. Pemahaman ini diperkuat oleh
    hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ali bin Abi Thalib
    yang menyatakan bahwa,

    Rasul Saw. melarang memakai aqsiyah, bercincin emas,
    membaca ayat Al-Quran ketika sedang rukuk dan sujud
    dalam shalat. (Ali berkata), "Aku tidak berkata bahwa
    kamu sekalian dilarang."

    Maksudnya bahwa sebagian larangan itu tidak ditujukan kepada
    seluruh umat, tetapi hanya kepada Ali bin Abi Thalib.
    Demikian Muhammad Thahir bin 'Asyur, dalam Magashid
    Asy-Syariah Al-Islamiyyah' hlm. 36.

    Sebelum mengakhiri uraian tentang fungsi pakaian sebagai
    perhiasan, perlu digarisbawahi bahwa salah satu yang harus
    dihindari dalam berhias adalah timbulnya rangsangan berahi
    dari yang melihatnya (kecuali suami atau istri) dan atau sikap
    tidak sopan dari siapa pun.
    Hal-hal tersebut dapat muncul dari cara berpakaian, berhias,
    berjalan, berucap, dan sebagainya.

    Berhias tidak dilarang dalam ajaran Islam, karena ia adalah
    naluri manusiawi. Yang dilarang adalah tabarruj al-jahiliyah,
    satu istilah yang digunakan Al-Quran (QS Al-Ahzab [33]: 33)
    mencakup segala macam cara yang dapat menimbulkan rangsangan
    berahi kepada selain suami istri. Termasuk dalam cakupan
    maksud kata tabarruj menggunakan wangi-wangian (yang menusuk
    hidung). Rasul Saw. bersabda:

    Wanita yang memakai parfum (yang merangsang) dan lewat
    di satu majelis (kelompok pria), maka sesungguhnya dia
    "begini" (yakni berzina) (HR At-Tirmidzi).

    Al-Quran mempersilakan perempuan berjalan di hadapan lelaki,
    tetapi diingatkannya agar cara berjalannya jangan sampai
    mengundang perhatian. Dalam bahasa Al-Quran disebutkan:

    ...dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar
    diketahui perhiasan yang mereka "sembunyikan" (QS
    Al-Nur [24]: 31).

    Al-Quran tidak melarang seseorang berbicara atau bertemu
    dengan lawan jenisnya, tetapi jangan sampai sikap dan isi
    pembicaraan mengundang rangsangan dan godaan,... demikian
    maksud firman Allah dalam sural Al-Ahzab (33): 32:

    ...maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
    berkeinginan orang yang ada penyakit dalam jiwanya...
    (QS Al-Ahzab [33]: 32).

    Demikian, sebagian tuntunan Al-Quran tentang perhiasan.

    PERLINDUNGAN (TAKWA)

    Di atas telah dikemukakan bahwa salah satu fungsi pakaian
    adalah "perlindungan". Bahwa pakaian tebal dapat melindungi
    seseorang dari sengatan dingin, dan pakaian yang tipis dari
    sengatan panas, bukanlah hal yang perlu dibuktikan. Yang
    demikian ini adalah perlindungan secara fisik.

    Di sisi lain, pakaian memberi pengaruh psikologis bagi
    pemakainya. Itu sebabnya sekian banyak negara mengubah pakaian
    militernya, setelah mengalami kekalahan militer. Bahkan Kemal
    Ataturk di Turki, melarang pemakaian tarbusy (sejenis tutup
    kepala bagi pria), dan memerintahkan untuk menggantinya dengan
    topi ala Barat, karena tarbusy dianggapnya mempengaruhi sikap
    bangsanya serta merupakan lambang keterbelakangan.

    Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat merasakan pengaruh
    psikologis dari pakaian jika kita ke pesta. Apabila mengenakan
    pakaian buruk, atau tidak sesuai dengan situasi, maka
    pemakainya akan merasa rikuh, atau bahkan kehilangan
    kepercayaan diri, sebaliknya pun demikian.

    Kaum sufi, sengaja memakai shuf (kain wol) yang kasar agar
    dapat menghasilkan pengaruh positif dalam jiwa mereka.

    Memang, harus diakui bahwa pakaian tidak menciptakan santri,
    tetapi dia dapat mendorong pemakainya untuk berperilaku
    seperti santri atau sebaliknya menjadi setan, tergantung dari
    cara dan model pakaiannya. Pakaian terhormat, mengundang
    seseorang untuk berperilaku serta mendatangi tempattempat
    terhormat, sekaligus mencegahnya ke tempat-tempat yang tidak
    senonoh. Ini salah satu yang dimaksud Al-Quran dengan
    memerintahkan wanita-wanita memakai jilbab.

    Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenal
    (sebagai Muslimah/wanita terhormat) sehingga mereka
    tidak diganggu.

    Fungsi perlindungan bagi pakaian dapat juga diangkat untuk
    pakaian ruhani, libas at-tagwa. Setiap orang dituntut untuk
    merajut sendiri pakaian ini. Benang atau serat-seratnya adalah
    tobat, sabar, syukur, qana'ah, ridha, dan sebagainya.

    Iman itu telanjang, pakaiannya adalah takwa.

    Demikian sabda Nabi Muhammad Saw.

    Al-Quran mengingatkan kepada mereka yang telah berhasil
    merajut pakaian takwa:

    Janganlah kamu menjadi seperti seorang perempuan (gila
    dalam cerita lama) mengurai kembali tenunannya sehelai
    benang demi sehelai, setelah ditenunnya dengan kuat (QS
    Al-Nahl [l6]: 92).

    PENUNJUK IDENTITAS

    Yang demikian itu lebih mudah bagi mereka untuk dikenal (QS
    Al-Ahzab [33]: 59)

    Demikian terjemahan ayat yang menggambarkan fungsi pakaian.

    Identitas/kepribadian sesuatu adalah yang menggambarkan
    eksistensinya sekaligus membedakannya dari yang lain.
    Eksistensi atau keberadaan seseorang ada yang bersifat
    material dan ada juga yang imaterial (ruhani). Hal-hal yang
    bersifat material antara lain tergambar dalam pakaian yang
    dikenakannya.

    Anda dapat mengetahui sekaligus membedakan murid SD dan SMP,
    atau Angkatan Laut dan Angkatan Darat, atau Kopral dan
    Jenderal dengan melihat apa yang dipakainya. Tidak dapat
    disangkal lagi bahwa pakaian antara lain berfungsi menunjukkan
    identitas serta membedakan seseorang dari lainnya. Bahkan
    tidak jarang ia membedakan status sosial seseorang.

    Rasul Saw. amat menekankan pentingnya penampilan identitas
    Muslim, antara lain melalui pakaian. Karena itu:

    Rasulullah Saw. melarang lelaki yang memakai pakaian
    perempuan dan perempuan yang memakai pakaian lelaki (HR
    Abu Daud).

    Kepribadian umat juga harus ada. Ketika Rasul membicarakan
    bagaimana cara yang paling tepat untuk menyampaikan/mengundang
    kaum Muslim melaksanakan shalat, maka ada di antara sahabatnya
    yang mengusulkan menancapkan tanda, sehingga yang melihatnya
    segera datang. Beliau tidak setuju. Ada lagi yang mengusulkan
    untuk menggunakan terompet, dan komentar beliau: "Itu cara
    Yahudi." Ada juga yang mengusulkan membunyikan lonceng. "Itu
    cara Nasrani," sabda beliau. Akhirnya yang disetujui beliau
    adalah adzan yang kita kenal sekarang, setelah Abdullah bin
    Zaid Al-Anshari dan juga Umar ra. Bermimpi tentang cara
    tersebut. Demikian diriwayatkan oleh Abu Daud. Yang penting
    untuk digarisbawahi adalah bahwa Rasul menekankan pentingnya
    menampilkan kepribadian tersendiri, yang berbeda dengan yang
    lain. Dari sini dapat dimengerti mengapa Rasul Saw. bersabda:

    Siapa yang meniru satu kaum, maka ia termasuk kelompok
    kaum itu.

    Kepribadian imaterial (ruhani) bahkan ditekankan oleh
    Al-Quran, antara lain melalui surat Al-Hadid (57): 16:

    Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman,
    untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada
    kebenaran yang telah turun, dan janganlah mereka
    seperti orang-orang sebelumnya yang telah diberikan
    Al-Kitab (orang Yabudi dan Nasrani). Berlalulah masa
    yang panjang bagi mereka sehingga hati mereka menjadi
    keras. Kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang
    fasik.

    Seorang Muslim diharapkan mengenakan pakaian ruhani dan
    jasmani yang menggambarkan identitasnya.

    Disadari sepenuhnya bahwa Islam tidak datang menentukan mode
    pakaian tertentu, sehingga setiap masyarakat dan periode, bisa
    saja menentukan mode yang sesuai dengan seleranya. Namun
    demikian agaknya tidak berlebihan jika diharapkan agar dalam
    berpakaian tercermin pula identitas itu.

    Tidak diragukan lagi bahwa jilbab bagi wanita adalah gambaran
    identitas seorang Muslimah, sebagaimana yang disebut Al-Quran.
    Tetapi apa hukumnya? Baiklah kita membahasnya dalam bagian
    berikut ini.

    SEPUTAR AYAT AL-NUR DAN AL-AHZAB

    Wanita-wanita Muslim, pada awal Islam di Madinah, memakai
    pakaian yang sama dalam garis besar bentuknya dengan
    pakaian-pakaian yang dipakai oleh wanita-wanita pada umumnya.
    Ini termasuk wanita-wanita tuna susila atau hamba sahaya.
    Mereka secara umum memakai baju dan kerudung bahkan jilbab
    tetapi leher dan dada mereka mudah terlihat. Tidak jarang
    mereka memakai kerudung tetapi ujungnya dikebelakangkan
    sehingga telinga, leher dan sebagian dada mereka terbuka.
    Keadaan semacam itu digunakan oleh orang-orang munafik untuk
    menggoda dan mengganggu wanita-wanita termasuk wanita
    Mukminah. Dan ketika mereka ditegur menyangkut gangguannya
    terhadap Mukminah, mereka berkata: "Kami kira mereka hamba
    sahaya." Ini tentu disebabkan karena ketika itu identitas
    mereka sebagai wanita Muslimah tidak terlihat dengan jelas.
    Nah, dalam situasi yang demikian turunlah petunjuk Allah
    kepada Nabi yang menyatakan:

    Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
    perempuan dan istri-istri orang Mukmin agar mengulurkan
    atas diri mereka jilbab-jilbab mereka. Yang demikian
    itu menjadikan mereka. Lebih mudah untuk dikenal
    (sebagai wanita Muslimah/wanita merdeka/orang
    baik-baik) sehingga mereka tidak diganggu. Allah Maha
    Pengampun lagi Maha Penyayang (QS A1-Ahzab [33]: 59).

    Jilbab adalah baju kurung yang longgar dilengkapi dengan
    kerudung penutup kepala.

    Ayat ini secara jelas menuntun/menuntut kaum Muslimah agar
    memakai pakaian yang membedakan mereka dengan yang bukan
    Muslimah yang memakai pakaian tidak terhormat lagi mengundang
    gangguan tangan atau lidah yang usil. Ayat ini memerintahkan
    agar jilbab yang mereka pakai hendaknya diulurkan ke badan
    mereka.

    Seperti tergambar di atas, wanita-wanita Muslimah sejak semula
    telah memakai jilbab, tetapi cara pemakaiannya belum
    menghalangi gangguan serta belum menampakkan identitas
    Muslimah.

    Nah, di sinilah Al-Quran memberi tuntunan itu.

    Penjelasan serupa tentang pakaian ditemukan pada surat Al-Nur
    (24): 31,

    Katakanlah, kepada wanita yang beriman, hendaklah
    mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya
    dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali
    yang tampak darinya. Hendaklah mereka
    mengulurkan/menutupkan kain kudung kedadanya dan
    janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada
    suami mereka, atau ayah mereka, atau mertua mereka,
    atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka,
    atau saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara
    lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan
    mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang
    mereka miliki, atau pelayan-pelayan lelaki yang tidak
    mempunyai keinginan terhadap wanita, atau anak-anak
    yang belum mengerti tentang aurat wanita. Janganlah
    mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang
    mereka sembunyikan dan bertobatlah kamu sekalian kepada
    Allah, hai orang yang beriman, supaya kamu beruntung.

    Surat Al-Nur (24): 31 di atas, kalimat-kalimatnya cukup jelas.
    Tetapi yang paling banyak menyita perhatian ulama tafsir
    adalah larangan menampakkan zinah (hiasan) yang dikecualikan
    oleh ayat di atas dengan menggunakan redaksi illa ma zhahara
    minha [kecuali (tetapi) apa yang tampak darinya].

    Mereka sepakat menyatakan bahwa zinah berarti hiasan (bukan
    zina yang artinya hubungan seks yang tidak sah); sedangkan
    hiasan adalah segala sesuatu yang digunakan untuk memperelok,
    baik pakaian penutup badan, emas dan semacamnya maupun
    bahan-bahan make up.

    Tetapi apa yang dimaksud dengan pengecualian itu? Inilah yang
    mereka bahas secara panjang lebar sekaligus merupakan salah
    satu kunci pemahaman ayat tersebut.

    Ada yang berpendapat bahwa kata illa adalah istisna' muttashil
    (satu istilah -- dalam ilmu bahasa Arab yang berarti "yang
    dikecualikan merupakan bagian/jenis dari apa yang disebut
    sebelumnya"), dan dalam penggalan ayat ini adalah zinah atau
    hiasan.

    Ini berarti ayat tersebut berpesan: "Hendaknya janganlah
    wanita-wanita menampakkan hiasan (anggota tubuh) mereka
    kecuali apa yang tampak."

    Redaksi ini, jelas tidak lurus, karena apa yang tampak tentu
    sudah kelihatan. Jadi, apalagi gunanya dilarang? Karena itu,
    lahir paling tidak tiga pendapat lain guna lurusnya pemahamam
    redaksi tersebut.

    Pertama, memahami illa dalam arti tetapi atau dalam istilah
    ilmu bahasa Arab istisna' munqathi' dalam arti yang
    dikecualikan bukan bagian/jenis yang disebut sebelumnya. Ini
    bermakna: "Janganlah mereka menampakkan hiasan mereka sama
    sekali; tetapi apa yang tampak (secara terpaksa/bukan sengaja
    seperti ditiup angin dan lain-lain), maka itu dapat dimaafkan.

    Kedua, menyisipkan kalimat dalam penggalan ayat itu. Kalimat
    dimaksud menjadikan penggalan ayat itu mengandung pesan lebih
    kurang: "Janganlah mereka (wanita-wanita) menampakkan hiasan
    (badan mereka). Mereka berdosa jika demikian. Tetapi jika
    tampak tanpa disengaja, maka mereka tidak berdosa."

    Penggalan ayat --jika dipahami dengan kedua pendapat di atas--
    tidak menentukan batas bagi hiasan yang boleh ditampakkan,
    sehingga berarti seluruh anggota badan tidak boleh tampak
    kecuali dalam keadaan terpaksa.

    Tentu saja pemahaman ini, mereka kuatkan pula dengan sekian
    banyak hadis, seperti sabda Nabi Saw. kepada Ali bin Abi
    Thalib yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan At-Tirmidzi melalui
    Buraidah:

    Wahai Ali, jangan ikutkan pandangan pertama dengan pandangan
    kedua. Yang pertama Anda ditolerir, dan yang kedua anda
    berdosa.
    Riwayat berikut juga dijadikan alasan,

    Pemuda, Al-Fadhl bin Abbas, ketika haji Wada'
    menunggang unta bersama Nabi Saw., dan ketika itu ada
    seorang wanita cantik, yang ditatap terus-menerus oleh
    Al-Fadhl. Maka Nabi Saw. memegang dagu Al-Fadhl dan
    mengalihkan wajahnya agar ia tidak melihat wanita
    tersebut secara terus-menerus.

    Demikian diriwayatkan oleh Bukhari dari saudara Al-Fadhl
    sendiri, yaitu Ibnu Abbas.

    Bahkan penganut pendapat ini merujuk kepada ayat A1-Quran,

    Dan apabila kamu meminta sesuatu dan mereka, maka
    mintalah dari belakang tabir (QS Al-Ahzab 133]: 53).

    Ayat ini walaupun berkaitan dengan permintaan sesuatu dari
    istri Nabi, namun dijadikan oleh ulama penganut kedua pendapat
    di atas, sebagai dalil pendapat mereka.

    Ketõga, memahami "kecuali apa yang tampak" dalam arti yang
    yang biasa dan atau dibutuhkan keterbukaannya sehingga harus
    tampak." Kebutuhan disini dalam arti menimbulkan kesulitan
    bila bagian badan tersebut ditutup. Mayoritas ulama memahami
    penggalan ayat tersebut dalam arti ketiga ini. Cukup banyak
    hadis yang mendukung pendapat ini. Misalnya:

    Tidak dibenarkan bagi seorang wanita yang percaya
    kepada Allah dan hari kemudian untuk menampakkan kedua
    tangannya, kecuali sampai di sini (Nabi kemudran
    memegang setengah tangan belõau) (HR Ath-Thabari).

    Apabila wanita telah haid, tidak wajar terlihat darinya
    kecuali wajah dan tangannya sampai ke pergelangan (HR
    Abu Daud).

    Pakar tafsir Al-Qurthubi, dalam tafsirnya mengemukakan bahwa
    ulama besar Said bin Jubair, Atha dan Al-Auzaiy berpendapat
    bahwa yang boleh dilihat hanya wajah wanita, kedua telapak
    tangan dan busana yang dipakainya. Sedang sahabat Nabi Ibnu
    Abbas, Qatadah, dan Miswar bin Makhzamah, berpendapat bahwa
    yang boleh termasuk juga celak mata, gelang, setengah dari
    tangan yang dalam kebiasaan wanita Arab dihiasi/diwarnai
    dengan pacar (yaitu semacam zat klorofil yang terdapat pada
    tumbuhan yang hijau), anting, cincin, dan semacamnya.
    Al-Qurthubi juga mengemukakan hadis yang menguraikan kewajiban
    menutup setengah tangan.

    Syaikh Muhammad Ali As-Sais, Guru Besar Universitas Al-Azhar
    Mesir, mengemukakan dalam tafsirnya-yang menjadi buku wajib
    pada Fakultas Syariah Al-Azhar bahwa Abu Hanifah berpendapat
    kedua kaki, juga bukan aurat. Abu Hanifah mengajukan alasan
    bahwa ini lebih menyulitkan dibanding dengan tangan, khususnya
    bagi wanita-wanita miskin di pedesaan yang (ketika itu)
    seringkali berjalan (tanpa alas kaki) untuk memenuhi kebutuhan
    mereka. Pakar hukum Abu Yusuf bahkan berpendapat bahwa kedua
    tangan wanita bukan aurat, karena dia menilai bahwa mewajibkan
    untuk menutupnya menyulitkan wanita.

    Dalam ajaran Al-Quran memang kesulitan merupakan faktor yang
    menghasilkan kemudahan. Secara tegas Al-Quran menyatakan bahwa
    Allah tidak berkehendak menjadikan bagi kamu sedikit kesulitan
    pun (QS Al-Ma-idah [5]: 6) dan bahwa Allah menghendaki buat
    kamu kemudahan bukan kesulitan (QS Al-Baqarah [2): 185).

    Pakar tafsir Ibnu Athiyah sebagaimana dikutip oleh Al-Qurthubi
    berpendapat:

    Menurut hemat saya, berdasarkan redaksi ayat, wanita
    diperintahkan untuk tidak menampakkan dan berusaha
    menutup segala sesuatu yang berupa hiasan.
    Pengecualian, menurut hemat saya, berdasarkan keharusan
    gerak menyangkut (hal-hal) yang mesti, atau untuk
    perbaikan sesuatu dan semacamnya.

    Kalau rumusan Ibnu Athiyah diterima, maka tentunya yang
    dikecualikan itu dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan
    mendesak yang dialami seseorang.

    Al-Qurthubi berkomentar:

    Pendapat (Ibnu Athiyah) ini baik. Hanya saja karena
    wajah dan kedua telapak tangan seringkali (biasa)
    tampak --baik sehari-hari maupun dalam ibadah seperti
    ketika shalat dan haji-- maka sebaiknya redaksi
    pengecualian "kecuali yang tampak darinya" dipahami
    sebagai kecuali wajah dan kedua telapak tangan yang
    biasa tampak itu.

    Demikian terlihat pakar hukum ini mengembalikan pengecualian
    tersebut kepada kebiasaan yang berlaku. Dari sini, dalam
    Al-Quran dari Terjemah-nya susunan Tim Departemen Agama,
    pengecualian itu diterjemahkan sebagai kecuali yang (biasa)
    tampak darinya.

    Nah, Anda boleh bertanya, apakah "kebiasaan" yang dimaksud
    berkaitan dengan kebiasaan wanita pada masa turunnya ayat ini,
    atau kebiasaan wanita di setiap masyarakat Muslim dalam masa
    yang berbeda-beda? Ulama tafsir memahami kebiasaan dimaksud
    adalah kebiasaan pada masa turunnya Al-Quran, seperti yang
    dikemukakan Al-Qurthubi di atas.

    Sebelum menengok kepada pendapat beberapa ulama kontemporer,
    ada baiknya kita melanjutkan sedikit lagi uraian ayat di atas,
    menyangkut kerudung.

    Hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke atas
    juyubi-hinna (dada mereka).

    Juyub adalah jamak jaib yaitu lubang yang terletak di bagian
    atas pakaian yang biasanya menampakkan (sebagian) dada.

    Kandungan ayat ini berpesan agar dada ditutup dengan kerudung
    (penutup kepala). Apakah ini berarti bahwa kepala (rambut)
    juga harus ditutup? Jawabannya, "ya". Demikian pendapat yang
    logis, apalagi jika disadari bahwa "rambut adalah
    hiasan/mahkota wanita". bahwa ayat ini tidak menyebut secara
    tegas perlunya rambut ditutup, hal ini agaknya tidak perlu
    disebut. Bukankah mereka telah memakai kudung yang tujuannya
    adalah menutup rambut?

    PENDAPAT BEBERAPA ULAMA KONTEMPORER TENTANG JILBAB

    Di atas --semoga telah tergambar-- tafsir serta pandangan
    ulama-ulama mutaqaddimin (terdahulu) tentang persoalan jilbab
    dan batas aurat wanita. Tidak dapat disangkal bahwa pendapat
    tersebut didukung oleh banyak ulama kontemporer. Namun amanah
    ilmiah mengundang penulis untuk mengemukakan pendapat yang
    berbeda --dan yang boleh jadi dapat dijadikan bahan
    pertimbangan dalam menghadapi kenyataan yang ditampilkan oleh
    mayoritas wanita Muslim dewasa ini.

    Muhammad Thahir bin Asyur seorang ulama besar dari Tunis, yang
    diakui juga otoritasnya dalam bidang ilmu agama, menulis dalam
    Maqashid Al-Syari'ah sebagal berikut:

    Kami percaya bahwa adat kebiasaan satu kaum tidak boleh
    --dalam kedudukannya sebagai adat-- untuk dipaksakan
    terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat
    dipaksakan pula terhadap kaum itu.

    Bin Asyur kemudian memberikan beberapa contoh dari Al-Quran
    dan Sunnah Nabi. Contoh yang diangkatnya dari Al-Quran adalah
    surat Al-Ahzab (33): 59, yang memerintahkan kaum Mukminah agar
    mengulurkan jilbabnya. Tulisnya:

    Di dalam Al-Quran dinyatakan, Wahai Nabi, katakan
    kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan
    wanita-wanita Mukmin; hendak1ah mereka mengulurkan
    jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, yang demikian itu
    supaya mereka lebih mudah dikenal sehingga tidak
    diganggu. Ini adalah ajaran yang mempertimbangkan adat
    orang-orang Arab, sehingga bangsa-bangsa lain yang
    tidak menggunakan jilbab, tidak memperoleh bagian
    (tidak berlaku bagi mereka) ketentuan ini.

    Dalam kitab tafsirnya ia menulis bahwa:

    Cara memakai jilbab berbeda-beda sesuai dengan
    perbedaan keadaan wanita dan adat mereka. Tetapi tujuan
    perintah ini adalah seperti bunyi ayat itu yakni "agar
    mereka dapat dikenal (sebagai wanita Muslim yang baik)
    sehingga tidak digangu" (Tafsir At-Tahrir, jilid XXII,
    hlm. lO).

    Tetapi bagaimana dengan ayat-ayat ini, yang menggunakan
    redaksi perintah?

    Jawabannya --yang sering terdengar dalam diskusi-- adalah:
    Bukankah tidak semua perintah yang tercantum dalam Al-Quran
    merupakan perintah wajib? Pernyataan itu, memang benar.
    Perintah menulis hutang-piutang (QS Al-Baqarah [2]: 282)
    adalah salah satu contohnya.

    Tetapi bagaimana dengan hadis-hadis yang demikian banyak?
    Jawabannya pun sama. Bukankah seperti yang dikemukakan oleh
    Bin Asyur di atas bahwa ada hadis-hadis Nabi yang merupakan
    perintah, tetapi perintah dalam arti "sebaiknya" bukan
    seharusnya. (Lihat kembali uraian tentang memakai pakaian
    sutera, cincin, emas pada buku ini).

    Memang, kita boleh berkata bahwa yang menutup seluruh badannya
    kecuali wajah dan (telapak) tangannya, menjalankan bunyi teks
    ayat itu, bahkan mungkin berlebih. Namun dalam saat yang sama
    kita tidak wajar menyatakan terhadap mereka yang tidak memakai
    kerudung, atau yang menampakkan tangannya, bahwa mereka
    "secara pasti telah melanggar petunjuk agama". Bukankah
    Al-Quran tidak menyebut batas aurat? Para ulama pun ketika
    membahasnya berbeda pendapat.

    Namun demikian, kehati-hatian amat dibutuhkan, karena pakaian
    lahir dapat menyiksa pemakainya sendiri apabila ia tidak
    sesuai dengan bentuk badan si pemakai. Demikian pun pakaian
    batin. Apabila tidak sesuai dengan jati diri manusia, sebagai
    hamba Allah, yang paling mengetahui ukuran dan patron terbaik
    buat manusia.

    ***

    Sebagai akhir dari uraian tentang wawasan Islam menyangkut
    pakaian, ada baiknya digarisbawahi dua hal.

    Pertama: Al-Quran dan Sunnah secara pasti melarang segala
    aktivitas --pasif atau aktif-- yang dilakukan seseorang bila
    diduga dapat menimbulkan rangsangan berahi kepada 1awan
    jenisnya. Di sini tidak ada tawar-menawar.

    Kedua, Tuntunan Al-Quran menyangkut berpakaian --sebagaimana
    terlihat dalam surat Al-Ahzab dan Al-Nur-- yang dikutip di
    atas, ditutup dengan ajakan bertobat (QS Al-Nur [24]: 31) dan
    pernyataan bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang pada
    surat Al-Ahzab (33): 59.

    Ajakan bertobat agaknya merupakan isyarat bahwa pelanggaran
    kecil atau besar terhadap tuntunan memelihara pandangan kepada
    lawan jenis, tidak mudah dihindari oleh seseorang. Maka setiap
    orang dituntut untuk berusaha sebaik-baiknya dan sesuai
    kemampuannya. Sedangkan kekurangannya, hendaknya dia mohonkan
    ampun dari Allah, karena Dia Maha Pengampun lagi Maha
    Penyayang.

    Pernyataan bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
    --semoga-- mengandung arti bahwa Allah mengampuni kesalahan
    mereka yang lalu dalam hal berpakaian. Karena Dia Maha
    Penyayang dan mengampuni pula mereka yang tidak sepenuhnya
    melaksanakan tuntunan-Nya dan tuntunan Nabi-Nya, selama mereka
    sadar akan kesalahan dan kekurangannya serta berusaha untuk
    menyesuaikan diri dengan petunjuk-petunjuk-Nya.

    Wa Allahu A'lam

    more
  • How Liberal Can You Go....????
    How Liberal Can You Go...?
    oleh: Ahmad Gaus AF
    (Peneliti di Paramadina, Jakarta)

    Kompas, Jumat, 13 Desember 2002
    ANCAMAN serius bagi setiap pemikiran keagamaan adalah kemandekan, kebuntuan, dan ketiadaan semangat inovasi. Kondisi semacam itu akan menyebabkan agama kehilangan relevansinya dengan zaman dan masyarakat yang terus berubah. Pemikiran keagamaan dalam bentuk tafsir, teologi, dan lebih-lebih hukum (fiqih), bagaimanapun merupakan hasil interaksi dengan semangat zamannya.
    Maka, mandeknya pemikiran keagamaan akan berdampak langsung pada irelevansi agama dan akhirnya peminggiran agama dari denyut nadi kehidupan manusia.
    Itulah sebabnya, di setiap kurun waktu selalu ada orang atau kelompok yang "gelisah" bahwa agama mereka akan kehilangan elan vital untuk menyesuaikan diri dengan-atau menjawab-tantangan zaman. Mereka berusaha mempelopori perubahan dan melampaui pemikiran status quo. Namun, gerakan semacam itu tidak selalu berjalan mulus karena akan ditantang oleh mereka yang juga "cemas" dengan kemurnian iman mereka apabila perubahan dilakukan di wilayah-wilayah keagamaan.
    Sejarah kemunculan gerakan-gerakan keagamaan (Islam) di Tanah Air dengan jelas menunjukkan hasrat kepada perubahan di satu kutub, dan pada saat bersamaan muncul perlawanan dari kutub lain yang mencoba mempertahankan apa yang mereka anggap "kebenaran mutlak" yang tidak bisa diganggu gugat. Contoh paling mudah adalah Nurcholish Madjid ketika pada dekade 1970-an, ia dan teman-temannya mendeklarasikan perlunya kelompok pembaru yang liberal.
    Melalui berbagai ceramah dan tulisannya, Cak Nur mengajak umat Islam untuk melakukan perubahan-perubahan yang mendalam supaya dapat mengikuti perkembangan zaman. Ia mengajukan argumen bahwa organisasi-organisasi Islam yang selama ini mengklaim sebagai pembaru telah berhenti sebagai pembaru, karena mereka tidak sanggup menangkap semangat dari ide pembaruan itu sendiri, yaitu dinamika dan progresivitas. Lebih jauh, menurut dia, ide-ide dan pemikiran Islam yang diwadahi dan hendak diperjuangkan oleh partai-partai Islam ketika itu sudah memfosil, usang, kehilangan dinamika, sehingga tidak menarik lagi. Karena itu, kemudian ia mengajukan tesis: Islam Yes, Partai Islam No!
    Dalam makalahnya yang berjudul Menyegarkan Kembali Pemahaman Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia, ketua umum PB HMI dua periode ini juga mengkritik ide Negara Islam yang menurutnya hanya merupakan suatu apologi, yaitu apologi terhadap ideologi-ideologi Barat modern seperti demokrasi, sosialisme,dan komunisme. Sebagai apologi, ujarnya, pikiran-pikiran itu hanya mempunyai efektivitas yang berumur pendek.
    Dua tesis itulah (Islam Yes Partai Islam No, dan Tidak Ada Negara Islam), yang menyulut kontroversi berkepanjangan. Tetapi, ia juga banyak diakui telah menyegarkan kembali pemahaman Islam yang dianggap telah lama membeku, dan seraya itu memberikan "rasa aman teologis" bagi kaum Muslim tanpa harus bergabung dengan partai Islam atau mendirikan negara Islam.
    SEMANGAT untuk menyegarkan kembali pemahaman Islam itu pulalah tampaknya yang kini diwarisi oleh anak-anak muda yang juga menyuarakan perlunya suatu pembaruan yang liberal dalam pemikiran Islam. Dinyatakan oleh koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL), Ulil Abshar-Abdalla dalam tulisannya, Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam.
    Dibandingkan dengan gerakan pembaruan pemikiran Islam era 1970-an, apa yang dilakukan oleh Ulil Abshar dan kawan-kawan di JIL sekarang ini jauh lebih agresif dan maju, karena terorganisir dengan baik. Tema-tema yang diangkat pun lebih beragam dengan melibatkan narasumber berbagai tokoh yang dipandang sejalan dengan, dan dapat mendukung, ideologi Islam liberal.
    Atas dasar itu, tidak heran jika Ketua PB-NU KH Salahuddin Wahid pernah menyatakan bahwa JIL-yang kebanyakan dipelopori oleh anak-anak muda NU-jauh lebih liberal dari Cak Nur. Kalau Cak Nur, katanya kepada majalah Sabili Nomor 15, 25 Januari 2002, masih kental dengan nuansa Islamnya seperti penggunaan istilah masyarakat madani, sedangkan JIL menggunakan istilah masyarakat sipil. Berbeda dengan Kiai Salahuddin, para penentang JIL, cenderung berpendapat bahwa JIL itu hanya kelanjutan belaka dari proyek dan ide-ide Cak Nur.
    Mana yang benar, bukanlah soal yang terlalu penting. Yang penting adalah sejauh mana ide-ide itu memang mampu membangunkan tidur orang banyak, bukan sekadar memancing kemarahan orang banyak. Dalam hal ini, pilihan-pilihan isu tidak bisa diabaikan. Apa yang membuat gerakan pembaruan pemikiran Islam era 70-an begitu spektakuler dan gaungnya begitu kuat, tidak lain karena pilihan isunya.
    Kalau saja waktu itu Cak Nur bicara soal hak waris, kesaksian perempuan, jilbab, kawin antaragama, dan yang setara dengan itu, mungkin proyek pembaruannya tidak akan cukup berwibawa.
    Betapapun gerakan pembaruan ketika itu adalah gerakan kultural, namun ia bisa menjadi counter political discourse bagi pemikiran arus utama (mainstream) yang tertanam kuat di benak para politisi dan aktivis Islam tentang hubungan antara Islam, partai politik, dan negara. Boleh dibilang bahwa perdebatan mengenai hubungan ketiganya pada masa itu (Orde Baru) sudah menemui jalan buntu. Kaum Muslim di-fait accompli bahwa menjadi Muslim harus dengan sendirinya menjadi pendukung partai Islam dan mendirikan negara Islam; sebaliknya, rezim Orde Baru sangat alergi dengan partai Islam dan ide-ide negara Islam. Penghadapan antara umat dan rezim seakan-akan adalah zero sum game. Di sinilah kehadiran gagasan pembaruan ketika itu menemukan arti pentingnya; ia memberikan solusi dan jalan keluar dari kebuntuan.
    APA yang diagendakan oleh gerakan Islam liberal sekarang ini sebenarnya juga sebagian menyangkut isu-isu struktural, seperti demokrasi dan penghargaan kepada HAM. Dalam tingkat tertentu, isu-isu pinggiran seperti soal jilbab, kawin antar- agama, dan lain-lain, juga bisa ditransformasikan menjadi isu struktural sehingga dampaknya langsung terasa. Misalnya kasus jilbab. Memang benar bahwa seorang ahli tafsir seperti Prof Quraish Shihab saja mengisyaratkan bahwa jilbab itu budaya Arab. Yang bukan bangsa Arab tidak terkena ketentuan untuk mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh. Perintah dalam Al Quran dan hadis menyangkut ketentuan jilbab, kata Shihab, adalah perintah dalam arti sebaik-baiknya, bukan perintah wajib (Lihat, Wawasan Al Quran, 1996, tentang Pakaian). Akan tetapi, yang harus menjadi agenda para pejuang demokratisasi pemikiran keagamaan seperti JIL bukanlah soal hukumnya wajib atau tidak (itu soal interpretasi fiqih yang boleh berbeda), melainkan memperjuangkan agar orang bisa melaksanakan apa yang diyakininya sendiri tanpa paksaan.
    Sasaran kampanye JIL dalam hal ini bukanlah masyakarat itu sendiri, tetapi institusi atau otoritas yang membelenggu kebebasan masyarakat dalam menjalankan apa yang diyakini dari ajaran agamanya. JIL, sekadar contoh, tidak perlu mempengaruhi mahasiswa IAIN/UIN untuk tidak berjilbab, karena itu akan percuma selama institusinya sendiri mewajibkan jilbab. Artinya, kampanye demokratisasi Islam harus diarahkan langsung kepada sistem yang melingkupinya.
    Begitu juga sebaliknya. Lembaga atau otoritas yang melarang perempuan Muslim memakai jilbab-seperti lazim di masa rezim Orde Baru-juga harus dilawan, demi persamaan hak yang dijunjung tinggi Islam liberal. Bukankah prinsip liberalisme adalah "mekanisme pasar"? Di sinilah diuji sejauhmana kalangan Islam liberal itu sungguh-sungguh liberal dalam pandangan dan sikapnya. How liberal can you go?
    Kasus lain. Kawin antaragama adalah juga isu pinggiran, karena tidak menjadi mainstream dan cenderung tidak tampak. Diakui atau tidak, sudah banyak warga masyarakat yang melakukan kawin antaragama, sekalipun mereka tahu kesulitan yang akan mereka hadapi, misalnya dalam hal pencatatan pernikahan mereka di kantor catatan sipil.
    Isu pinggiran ini akan menjadi isu publik apabila agenda pemecahannya struktural. Misalnya, dalam Islam, memisahkan kantor urusan agama (KUA) dengan catatan sipil. Sehingga dengan begitu menghilangkan kendala pencatatan bagi pasangan beda agama. Dalam konteks ini perlu dipikirkan bahwa salah satu agenda Islam liberal adalah mereduksi campur tangan (birokrasi) negara dalam mengatur kehidupan umat beragama. Hal lain yang bisa dilakukan adalah menyusun fiqih baru menyangkut ketentuan kawin beda agama.
    Dua kasus itu sekadar contoh terhadap mana gerakan Islam liberal bisa memainkan peran strategisnya. Pendekatan baru adalah kata kuncinya. Bukankah Islam liberal sendiri hanya old wine in the new bottle? Karena itu, tanpa pendekatan baru, JIL tidak bisa mengelak dari tuduhan bahwa agendanya hanya mengulang-ulang proyek usang yang sudah ketinggalan zaman.
    Akhirnya, dengan sedikit memperbandingkan gerakan Islam liberal era Cak Nur dan kawan-kawan pada dekade 1970-an dengan era Ulil Abshar dan kawan-kawan pada dekade 2000-an sekarang ini, bukanlah hendak menegaskan supremasi, prestise, dan kelebihan yang satu atas yang lain. Di setiap generasi, memang seharusnya muncul pikiran-pikiran baru yang menyegarkan. Gerakan pembaruan Cak Nur digulirkan pada masa transisi masyarakat dan bangsa dari era Orde Lama ke era Orde Baru, yang menyebabkan munculnya tuntutan-tuntutan baru yang perlu diberikan jawabannya.
    Gerakan Islam liberal sekarang ini juga digulirkan pada era transisi dari rezim otoriter Orde Baru ke Orde Demokrasi atau era kebebasan. Tantangan era kebebasan sekarang ini pasti jauh lebih kompleks, dan pasti pula membutuhkan pikiran-pikiran yang jauh lebih liberal, yang lebih menyentakkan kesadaran banyak orang, dan mengganggu tidurnya orangorang yang malas. How liberal can you go?
    Ahmad Gaus AF Peneliti di Paramadina, Jakarta

    more
  • Gejala Fundamentalisme
    Memahami Gejala Fundamentalisme
    By: Azyumardi Azra
    Fundamentalisme sering mempunyai citra negatif. Peristiwa bunuh diri massal David Koresh dan pengikutnya, yang dikenal sebagai kelompok fundamentalis Kristen "Davidian Branch," pada pertengahan April lalu, hanya memperkuat citra bahwa kaum fundamentalis adalah orang-orang sesat. Di tempat kelahirannya, Amerika Serikat, fundamentalisme punya makna pejoratif seperti fanatik, anti intelektualisme, eksklusif yang sering membentuk cult yang menyimpang dari praktek keagamaan mainstream.
    Mempertimbangkan perkembangan historis dan fenomena fundamentalisme Kristen, sementara orang menolak penggunaan istilah "fundamentalisme" untuk menyebut gejala keagamaan semacam di kalangan Muslim. Tapi terlepas dari keberatan-keberatan yang bisa dipahami itu, ide dasar yang terkandung dalam istilah fundamentalisme Islam ada kesamaannya dengan fundamentalisme Kristen; yakni kembali kepada "fundamentals" (dasar-dasar) agama secara "penuh" dan "literal", bebas dari kompromi, penjinakan, dan reinterpretasi.
    Dengan mempertimbangkan beberapa karakteristik dasar itu, maka fundamentalisme Islam bukanlah sepenuhnya gejala baru. Muhammad bin 'Abd al-Wahhab dengan kaum Wahhabiyyah bisa dikatakan sebagai gerakan fundamentalisme Islam pertama yang berdampak panjang dan luas. Gerakan Wahhabi muncul sebagai reaksi terhadap kondisi internal umat Islam sendiri; tidak disebabkan faktor-faktor luar seperti penetrasi Barat.
    Banyak ahli dan pengamat menilai di masa kontemporer fundamentalisme menggejala jauh lebih kuat di kalangan kaum Muslim dibandingkan di kalangan penganut agama-agama lain. Hal ini tentu saja kontras dengan kenyataan bahwa masyarakat-masyarakat Muslim, yang termasuk ke dalam Dunia Ketiga, dalam beberapa dasawarsa terakhir telah dan sedang menggenjot proses modernisasi. Modernisasi, menurut banyak sosiolog, pada gilirannya menimbulkan sekularisasi. Dengan kata lain, dalam masyarakat modern yang bersifat saintifik-industrial, kepercayaan, komitmen dan pengamalan keagamaan mengalami kemerosotan.
    Teori modernisasi-sekularisasi ini nampaknya semakin kehilangan relevansinya. Harvey Cox misalnya belum lama ini dalam bukunya Religion in the Secular City: Toward a Postmodern Theology (1984) terpaksa "merevisi" teori modernisasi-sekularisasinya seperti yang dikemukakannya dalam The Secular City (1965). Sejauh menyangkut Islam, Ernest Gellner berpendapat, "menyatakan sekularisasi berlaku dalam Islam tidak hanya bisa diperdebatkan. Pandangan seperti itu jelas keliru. Islam sekarang tetap kuat seperti seabad lampau. Bahkan dalam segi-segi tertentu, semakin kuat." (Postmodernism and Religion, 1992).
    Mengapa Islam begitu secularization-resistant? Menurut Gellner, hal itu disebabkan watak dasar "High Islam" --sebagai kontras "Folk Islam"-- yang luarbiasa monotheistik, nomokratik, dan pada umumnya sangat berorientasi puritanisme dan skripturalisme. Dalam beberapa dasawarsa terakhir terjadi pergeseran besar dari "Folk Islam" kepada "High Islam". Basis-basis sosial "Folk Islam" sebagian besarnya mengalami erosi, sementara "High Islam" terus semakin kuat. Seperti bisa diduga, "High Islam" menyerukan kepada pengalaman ketat Islam, sebagaimana dipraktekkan di masa-masa awal Islam. Dengan demikian, Gellner menyimpulkan, Islam yang puritan dan skripturalis kelihatannya tidak harus punah dalam kondisi modern. Dunia modern, sebaliknya malah merangsang kebangkitannya.
    Dalam segi-segi tertentu orang bisa mempertanyakan keabsahan teori Gellner. Untuk kasus Indonesia, misalnya, pergeseran dari "Folk Islam" kepada "High Islam" dapat diartikan sebagai terjadinya proses "santrinisasi" kaum Muslim. Tetapi penting dicatat, tidak seluruh mereka yang mengalami proses "santrinisasi" ini kemudian menjadi fundamentalis. Bahkan bisa dikatakan, hanya sebagian kecil saja yang bisa dimasukkan ke dalam tipologi fundamentalis; karena itulah mereka disebut sebagai kelompok sempalan belaka. Wajah kaum santri yang ramah dan teduh tetap lebih dominan. Gejala seperti ini agaknya juga dominan di tempat-tempat lain di Dunia Muslim.
    Poin ini penting ditegaskan. Pengamat Barat khususnya, sering keliru--apakah sengaja atau tidak--dengan mengidentikkan gejala "kebangkitan" Islam (atau tepatnya intensifikasi keagamaan) di kalangan kaum Muslim sebagai fundamentalisme Islam. Dalam kerangka inilah maka pengamat Barat secara tidak bertanggungjawab menganggap Islam sebagai "ancaman" vis-a-vis Dunia Barat. Pandangan Barat seperti itu jelas tidak hanya naif tetapi juga sangat distortif. Kajian-kajian yang lebih obyektif, adil dan jujur diperlukan berbagai pihak untuk memahami gejala fundamentalisme Islam secara lebih baik.
    Diambil dari Jurnal Ulumul Qur'an.

    more
  • Sang Kiyai Pembelajar Umat
    KH Achmad Mustofa Bisri
    Sang Kiyai Pembelajar
    Kiyai, penyair, novelis, pelukis, budayawan dan cendekiawan muslim, ini telah memberi warna baru pada peta perjalanan kehidupan sosial dan politik para ulama. Ia kiyai yang bersahaja, bukan kiyai yang ambisius. Ia kiyai pembelajar bagi para ulama dan umat. Pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah, ini enggan (menolak) dicalonkan menjadi Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama dalam Muktamar NU ke-31 28/11-2/12-2004 di Boyolali, Jawa Tengah.KH Achmad Mustofa Bisri, akrab dipanggil Gus Mus, ini mempunyai prinsip harus bisa mengukur diri. Setiap hendak memasuki lembaga apapun, ia selalu terlebih dahulu mengukur diri. Itulah yang dilakoninya ketika Gus Dur mencalonkannya dalam pemilihan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama pada Muktamar NU ke-31 itu.“Saya harus bisa mengukur diri sendiri. Mungkin lebih baik saya tetap berada di luar, memberikan masukan dan kritikan dengan cara saya,” jelas alumnus Al Azhar University, Kairo (Mesir), ini, yang ketika kuliah mempunyai hobi main sepakbola dan bulutangkis. Setelah tak lagi punya waktu meneruskan hobi lamanya, ulama ini lalu menekuni hobi membaca buku sastra dan budaya, menulis dan memasak, termasuk masak makanan Arab dengan bumbu tambahan.Lahir di Rembang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1944, dari keluarga santri. Kakeknya, Kyai Mustofa Bisri adalah seorang ulama. Demikian pula ayahnya, KH Bisri Mustofa, yang tahun 1941 mendirikan Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, adalah seorang ulama karismatik termasyur.
    Ia dididik orangtuanya dengan keras apalagi jika menyangkut prinsip-prinsip agama. Namun, pendidikan dasar dan menengahnya terbilang kacau. Setamat sekolah dasar tahun 1956, ia melanjut ke sekolah tsanawiyah. Baru setahun di tsanawiyah, ia keluar, lalu masuk Pesantren Lirboyo, Kediri selama dua tahun. Kemudian pindah lagi ke Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Di Yogyakarta, ia diasuh oleh KH Ali Maksum selama hampur tiga tahun. Ia lalu kembali ke Rembang untuk mengaji langsung diasuh ayahnya. KH Ali Maksum dan ayahnya KH Bisri Mustofa adalah guru yang paling banyak mempengaruhi perjalanan hidupnya. Kedua kiyai itu memberikan kebebasan kepada para santri untuk mengembangkan bakat seni. Kemudian tahun 1964, dia dikirim ke Kairo, Mesir, belajar di Universitas Al-Azhar, mengambil jurusan studi keislaman dan bahasa Arab, hingga tamat tahun 1970. Ia satu angkatan dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).Menikah dengan Siti Fatimah, ia dikaruniai tujuh orang anak, enam di antaranya perempuan. Anak lelaki satu-satunya adalah si bungsu Mochamad Bisri Mustofa, yang lebih memilih tinggal di Madura dan menjadi santri di sana. Kakek dari empat cucu ini sehari-hari tinggal di lingkungan pondok hanya bersama istri dan anak keenamnya Almas. Setelah abangnya KH Cholil Bisri meninggal dunia, ia sendiri memimpin dan mengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, didampingi putra Cholil Bisri. Pondok yang terletak di Desa Leteh, Kecamatan Rembang Kota, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, 115 kilometer arah timur Kota Semarang, itu sudah berdiri sejak tahun 1941. Keluarga Mustofa Bisri menempati sebuah rumah kuno wakaf yang tampak sederhana tapi asri, terletak di kawasan pondok. Ia biasa menerima tamu di ruang seluas 5 x 12 meter berkarpet hijau dan berisi satu set kursi tamu rotan yang usang dan sofa cokelat. Ruangan tamu ini sering pula menjadi tempat mengajar santrinya. Pintu ruang depan rumah terbuka selama 24 jam bagi siapa saja. Para tamu yang datang ke rumah lewat tengah malam bisa langsung tidur-tiduran di karpet, tanpa harus membangunkan penghuninya. Dan bila subuh tiba, keluarga Gus Mus akan menyapa mereka dengan ramah. Sebagai rumah wakaf, Gus Mus yang rambutnya sudah memutih berprinsip, siapapun boleh tinggal di situ.Di luar kegiatan rutin sebagai ulama, dia juga seorang budayawan, pelukis dan penulis. Dia telah menulis belasan buku fiksi dan nonfiksi. Justru melalui karya budayanyalah, Gus Mus sering kali menunjukkan sikap kritisnya terhadap “budaya” yang berkembang dalam masyarakat. Tahun 2003, misalnya, ketika goyang ngebor pedangdut Inul Daratista menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat, Gus Mus justru memamerkan lukisannya yang berjudul “Berdzikir Bersama Inul”. Begitulah cara Gus Mus mendorong “perbaikan” budaya yang berkembang saat itu.Bakat lukis Gus Mus terasah sejak masa remaja, saat mondok di Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Ia sering keluyuran ke rumah-rumah pelukis. Salah satunya bertandang ke rumah sang maestro seni lukis Indonesia, Affandi. Ia seringkali menyaksikan langsung bagaimana Affandi melukis. Sehingga setiap kali ada waktu luang, dalam bantinnya sering muncul dorongan menggambar. “Saya ambil spidol, pena, atau cat air untuk corat-coret. Tapi kumat-kumatan, kadang-kadang, dan tidak pernah serius,” kata Gus Mus, perokok berat yang sehari-hari menghabiskan dua setengah bungkus rokok. Gus Mus, pada akhir tahun 1998, pernah memamerkan sebanyak 99 lukisan amplop, ditambah 10 lukisan bebas dan 15 kaligrafi, digelar di Gedung Pameran Seni Rupa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Kurator seni rupa, Jim Supangkat, menyebutkan, kekuatan ekspresi Mustofa Bisri terdapat pada garis grafis. Kesannya ritmik menuju zikir membuat lukisannya beda dengan kaligrafi. “Sebagian besar kaligrafi yang ada terkesan tulisan yang diindah-indahkan,” kata Jim Supangkat, memberi apresiasi kepada Gus Mus yang pernah beberapa kali melakukan pameran lukisan.Sedangkan dengan puisi, Gus Mus mulai mengakrabinya saat belajar di Kairo, Mesir. Ketika itu Perhimpunan Pelajar Indonesia di Mesir membikin majalah. Salah satu pengasuh majalah adalah Gus Dur. Setiap kali ada halaman kosong, Mustofa Bisri diminta mengisi dengan puisi-puisi karyanya. Karena Gus Dur juga tahu Mustofa bisa melukis, maka, ia diminta bikin lukisan juga sehingga jadilah coret-coretan, atau kartun, atau apa saja, yang penting ada gambar pengisi halaman kosong. Sejak itu, Mustofa hanya menyimpan puisi karyanya di rak buku. Namun adalah Gus Dur pula yang ‘mengembalikan’ Gus Mus ke habitat perpuisian. Pada tahun 1987, ketika menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Gus Dur membuat acara “Malam Palestina”. Salah satu mata acara adalah pembacaan puisi karya para penyair Timur Tengah. Selain pembacaan puisi terjemahan, juga dilakukan pembacaan puisi aslinya. Mustofa, yang fasih berbahasa Arab dan Inggris, mendapat tugas membaca karya penyair Timur Tengah dalam bahasa aslinya. Sejak itulah Gus Mus mulai bergaul dengan para penyair. Sejak Gus Mus tampil di Taman Ismail Marzuki, itu kepenyairannya mulai diperhitungkan di kancah perpuisian nasional. Undangan membaca puisi mengalir dari berbagai kota. Bahkan ia juga diundang ke Malaysia, Irak, Mesir, dan beberapa negara Arab lainnya untuk berdiskusi masalah kesenian dan membaca puisi. Berbagai negeri telah didatangi kyai yang ketika muda pernah punya keinginan aneh, yakni salaman dengan Menteri Agama dan menyampaikan salam dari orang-orang di kampungnya. Untuk maksud tersebut ia berkali-kali datang ke kantor sang menteri. Datang pertama kali, ditolak, kedua kali juga ditolak. Setelah satu bulan, ia diizinkan ketemu menteri walau hanya tiga menit. Kyai bertubuh kurus berkacamata minus ini telah melahirkan ratusan sajak yang dihimpun dalam lima buku kumpulan puisi: Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (1988), Tadarus Antologi Puisi (1990), Pahlawan dan Tikus (1993), Rubaiyat Angin dan Rumput (1994), dan Wekwekwek (1995). Selain itu ia juga menulis prosa yang dihimpun dalam buku Nyamuk Yang Perkasa dan Awas Manusia (1990). Tentang kepenyairan Gus Mus, ‘Presiden Penyair Indonesia’ Sutardji Calzoum Bachri menilai, gaya pengucapan puisi Mustofa tidak berbunga-bunga, sajak-sajaknya tidak berupaya bercantik-cantik dalam gaya pengucapan. Tapi lewat kewajaran dan kesederhanaan berucap atau berbahasa, yang tumbuh dari ketidakinginan untuk mengada-ada. Bahasanya langsung, gamblang, tapi tidak menjadikan puisinya tawar atau klise. “Sebagai penyair, ia bukan penjaga taman kata-kata. Ia penjaga dan pendamba kearifan,” kata Sutardji.Kerap memberi ceramah dan tampil di mimbar seminar adalah lumrah bagi Gus Mus. Yang menarik, pernah dalam sebuah ceramah, hadirin meminta sang kiai membacakan puisi. Suasana hening. Gus Mus lalu beraksi: “Tuhan, kami sangat sibuk. Sudah.”Sebagai cendekiawan muslim, Gus Mus mengamalkan ilmu yang didapat dengan cara menulis beberapa buku keagamaan. Ia termasuk produktif menulis buku yang berbeda dengan buku para kyai di pesantren. Tahun 1979, ia bersama KH M. Sahal Mahfudz menerjemahkan buku ensiklopedia ijmak. Ia juga menyusun buku tasawuf berjudul Proses Kebahagiaan (1981). Selain itu, ia menyusun tiga buku tentang fikih yakni Pokok-Pokok Agama (1985), Saleh Ritual, Saleh Sosial (1990), dan Pesan Islam Sehari-hari (1992). Ia lalu menerbitkan buku tentang humor dan esai, “Doaku untuk Indonesia” dan “Ha Ha Hi Hi Anak Indonesia”. Buku yang berisi kumpulan humor sejak zaman Rasullah dan cerita-cerita lucu Indonesia. Menulis kolom di media massa sudah dimulainya sejak muda. Awalnya, hatinya “panas” jika tulisan kakaknya, Cholil Bisri, dimuat media koran lokal dan guntingan korannya ditempel di tembok. Ia pun tergerak untuk menulis. Jika dimuat, guntingan korannya ditempel menutupi guntingan tulisan sang kakak. Gus Mus juga rajin membuat catatan harian.Seperti kebanyakan kyai lainnya, Mustofa banyak menghabiskan waktu untuk aktif berorganisasi, seperti di NU. Tahun 1970, sepulang belajar dari Mesir, ia menjadi salah satu pengurus NU Cabang Kabupaten Rembang. Kemudian, tahun 1977, ia menduduki jabatan Mustasyar, semacam Dewan Penasihat NU Wilayah Jawa Tengah. Pada Muktamar NU di Cipasung, Jawa Barat, tahun 1994, ia dipercaya menjadi Rais Syuriah PB NU. Enggan Ketua PB NUKesederhanaannya telah memberi warna baru pada peta perjalanan kehidupan sosial dan politik para ulama. Ia didorong-dorong oleh Gus Dur dan kawan-kawan dari kelompok NU kultural, untuk mau mencalonkan diri sebagai calon ketua umum PB NU pada Muktamar NU ke-31 tahun 2004, di Boyolali, Jawa Tengah. Tujuannya, untuk menandingi dan menghentikan langkah maju KH Hasyim Muzadi dari kelompok NU struktural. Kawan karib Gus Dur selama belajar di Kairo, Mesir, ini dianggap salah satu ulama yang berpotensi menghentikan laju ketua umum lama. Namun Gus Mus justru bersikukuh menolak. Alhasil, Hasyim Muzadi mantan calon wakil presiden berpasangan dengan calon presiden Megawati Soekarnoputri dari PDI Perjuangan, pada Pemilu Preisden 2004, itu terpilih kembali sebagai Ketua Dewan Tanfidziah ‘berpasangan’ dengan KH Achmad Sahal Makhfud sebagai Rois Aam Dewan Syuriah PB NU. Muktamar berhasil meninggalkan catatan tersendiri bagi KH Achmad Mustofa Bisri, yakni ia berhasil menolak keinginan kuat Gus Dur, ulama ‘kontroversial’ .Ternyata langkah seperti itu bukan kali pertama dilakukannya. Jika tidak merasa cocok berada di suatu lembaga, dia dengan elegan menarik diri. Sebagai misal, kendati pernah tercatat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah tahun 1987-1992, mewakili PPP, demikian pula pernah sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), mantan Rois Syuriah PB NU periode 1994-1999 dan 1999-2004 ini tidak pernah mau dicalonkan untuk menjabat kembali di kedua lembaga tersebut. Lalu, ketika NU ramai-ramai mendirikan partai PKB, ia tetap tak mau turun gelanggang politik apalagi terlibat aktif di dalamnya. Demikian pula dalam Pemilu Legislatif 2004, meski namanya sudah ditetapkan sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Jawa Tengah, ia lalu memilih mengundurkan diri sebelum pemilihan itu sendiri digelar. Ia merasa dirinya bukan orang yang tepat untuk memasuki bidang pemerintahan. Ia merasa, dengan menjadi wakil rakyat, ternyata apa yang diberikannya tidak sebanding dengan yang diberikan oleh rakyat. “Selama saya menjadi anggota DPRD, sering terjadi pertikaian di dalam batin saya, karena sebagai wakil rakyat, yang menerima lebih banyak dibandingkan dengan apa yang bisa saya berikan kepada rakyat Jawa Tengah,” kata Mustofa mengenang pengalaman dan pertentangan batin yang dia alami selama menjadi politisi.Dicalonkan menjadi ketua umum PB NU sudah seringkali dialami Gus Mus. Dalam beberapa kali mukhtamar, namanya selalu saja dicuatkan ke permukaan. Ia adalah langganan “calon ketua umum” dan bersamaan itu ia selalu pula menolak. Di Boyolali 2004 namanya digandang-gandang sebagai calon ketua umum. Bahkan dikabarkan para kyai sepuh telah meminta kesediaannya. Sampai-sampai utusan kyai sepuh menemui ibunya, Ma’rafah Cholil, agar mengizinkan anaknya dicalonkan. Sang ibu malah hanya menjawab lugas khas warga ulama NU, ”Mustofa itu tak jadi Ketua Umum PB NU saja sudah tak pernah di rumah, apalagi kalau menjadi ketua umum. Nanti saya tak pernah ketemu.” Gus Mus sendiri yang tampak enggan dicalonkan, dengan tangkas menyebutkan, “Saya mempunyai hak prerogatif untuk menolak,” ucap pria bertutur kata lembut yang sesungguhnya berkawan karib dengan Gus Dur selama belajar di Kairo, Mesir. Saking karibnya, Gus Mus pernah meminta makan kepada Gus Dur selama berbulan-bulan sebab beasiswanya belum turun-turun. Persahabatan terus berlanjut sampai sekarang. Kalau Gus Dur melawat ke Jawa Timur dan singgah di Rembang, biasanya mampir ke rumah Gus Mus. Sebaliknya, bila dia berkunjung ke Jakarta, sebisa-bisanya bertandang ke rumah Gus Dur. Selain saling kunjung, mereka tak jarang pula berkomunikasi melalui telepon. ►eti/ht-tsl
    *** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

    more
  • Pesankan Aku Tempat Di Neraka
    Pesankan Aku Temat di Neraka
    by: Ibn Sabil
    Sebuah kisah dimusim panas yang menyengat. Seorang kolumnis majalah Al Manar mengisahkannya...Musim panas merupakan ujian yang cukup berat. Terutama bagi muslimah, untuk tetap mempertahankan pakaian kesopanannnya. Gerah dan panas tak lantas menjadikannya menggadaikan akhlak. Berbeda dengan musim dingin, dengan menutup telinga dan leher kehangatan badan bisa dijaga. Jilbab bisa sebagai multi fungsi.Dalam sebuah perjalanan yang cukup panjang, Cairo-Alexandria; di sebuah mikrobus. Ada seorang perempuan muda berpakaian kurang layak untuk dideskripsikan sebagai penutup aurat. Karena menantang kesopanan. Ia duduk diujung kursi dekat pintu keluar.Tentu saja dengan cara pakaian seperti itu mengundang 'perhatian' kalau bisa dibahasakan sebagai keprihatinan sosial. Seorang bapak setengah baya yang kebetulan duduk disampingnya mengingatkan. Bahwa pakaian seperti itu bisa mengakibatkan sesuatu yang tak baik bagi dirinya. Disamping pakaian seperti itu juga melanggar aturan agama dan norma kesopanan. Tahukah Anda apa respon perempuan muda tersebut? Dengan ketersinggungan yang sangat ia mengekspresikan kemarahannya. Karena merasa privasinya terusik. Hak berpakaian menurutnya adalah hak prerogatif seseorang. "Jika memang bapak mau, ini ponsel saya. Tolong pesankan saya, tempat di neraka Tuhan Anda!! Sebuah respon yang sangat frontal. Dan sang bapak pun hanya beristighfar. Ia terus menggumamkan kalimat-kalimat Allah. Detik-detik berikutnya suasanapun hening. Beberapa orang terlihat kelelahan dan terlelap dalam mimpinya. Tak terkecuali perempuan muda itu. Hingga sampailah perjalanan dipenghujung tujuan. Di terminal akhir mikrobus Alexandria.Kini semua penumpang bersiap-siap untuk turun. Tapi mereka terhalangi oleh perempuan muda tersebut yang masih terlihat tertidur. Ia berada didekat pintu keluar. "Bangunkan saja!" begitu kira-kira permintaan para penumpang. Tahukah apa yang terjadi. Perempuan muda tersebut benar-benar tak bangun lagi. Ia menemui ajalnya. Dan seisi mikrobus tersebut terus beristighfar, menggumamkan kalimat Allah sebagaimana yang dilakukan bapak tua yang duduk disampingnya. Sebuah akhir yang menakutkan. Mati dalam keadaan menantang Tuhan. Seandainya tiap orang mengetahui akhir hidupnya.... Seandainya tiap orang menyadari hidupnya bisa berakhir setiap saat... Seandainya tiap orang takut bertemu dengan Tuhannya dalam keadaan yang buruk... Seandainya tiap orang tahu bagaimana kemurkaan Allah... Sungguh Allah masih menyayangi kita yang masih terus dibimbing-Nya. Allah akan semakin mendekatkan orang-orang yang dekat denganNYA semakin dekat. Dan mereka yang terlena seharusnya segera sadar... mumpung kesempatan itu masih ada.

    more
  • Cemburu.....
    CEMBURU....

    Cemburu, iri hati, dan sirik adalah tanda tak mampu. Itu jargon anak muda tahun 80-an. Entah apa ini masih berlaku di anak muda jaman sekarang.
    Tapi, cemburu juga ada di sepakbola. Buktinya, kata media Israel, para pemain Inggris banyak yang cemburu kepada status mega bintang David Beckham. Itu sebabnya mereka gagal main bagus waktu di Piala Dunia 2006 Jerman, meski dibantah oleh pelatih mereka kala itu, Sven-Goran Eriksson.
    Tentu saja bukan rasa cemburu karena mereka tak mampu. Soal jago mengolah bola dan memainkannya, gelandang Inggris macam Steven Gerrard, Frank Lampard atau penyerang Wayne Rooney, tentu tidak kalah dibandingkan Beckham. Tapi soal kesohor, mereka memang harus tunduk.
    Beckham tak lagi diragukan soal mega bintangnya. Urusan ini bukan lagi masalah main bola, tapi sudah merambah ke showbiz. Beckham awalnya cuma main bola, memberi umpan dan mencetak gol. Kebetulan lagi, permainan bagusnya membuat Manchester United — yang dibelanya waktu itu — merajai Inggris dan Eropa. Tak pelak, dia menjadi idola masyarakat dunia.
    Keberhasilannya di lapangan kemudian dilengkapi dengan gerak geriknya menjadi bintang. Menikahi Victoria Adams yang mantan penyanyi Spice Girls juga membuat sosoknya menjadi bahan berita media hiburan. Kemudian fotonya semakin sering muncul di media massa maka pengiklan pun tertarik menjadikannya model.
    Beckham boleh jadi tidak seganteng Raul Gonzalez atau Fernando Morientes atau Michael Owen. Skillnya juga tidak sebagus Ronaldinho atau tidak melebihi Michael Ballack. Tapi memang perjalanan hidup Beckham yang digariskan menjadi mega bintang setelah melakukan sedikit usaha untuk mengemas dirinya.
    Tapi jika ada orang sebel melihat Beckham atau sosok manapun yang kesohor, kadang bukan karena kebintangannya. Tapi karena perilaku mereka yang mentang-mentang. Wajar memang, namanya juga bintang. Masak tak boleh bergaya atau jual mahal.
    Bintang bersikap seperti itu karena punya modal. Tapi, buat orang kebanyakan, mau menyombongkan apa? Sombong karena sudah ngetop dan kaya, wajar dan manusiawi. Tapi kalau miskin dan tidak dikenal, apa yang mau disombongkan? Kira-kira begitu kali ya?

    more
  • Hikmah Menelisik SeJARAH Nabi Isma'il
    Kisah Nabi Ismail a.s.
    by: Anas Mas'udi El Malawi
    Nabi Ibrahim yang berhijrah meninggalkan Mesir bersama Sarah, isterinya dan Hajar, dayangnya di tempat tujuannya di Palestin. Ia telah membawa pindah juga semua binatang ternakannya dan harta miliknya yang telah diperolehnya sebagai hasil usaha niaganya di Mesir. Al-Bukhari meriwayatkan daripada Ibnu Abbas r.a. berkata:
    "Pertama-tama yang menggunakan setagi {setagen} ialah Hajar ibu Nabi Ismail tujuan untuk menyembunyikan kandungannya dari Siti Sarah yang telah lama berkumpul dengan Nabi Ibrahim a.s. tetapi belum juga hamil. Tetapi walaubagaimana pun juga akhirnya terbukalah rahsia yang disembunyikan itu dengan lahirnya Nabi Ismail a.s. Dan sebagai lazimnya seorang isteri sebagai Siti Sarah merasa telah dikalahkan oleh Siti Hajar sebagai seorang dayangnya yang diberikan kepada Nabi Ibrahim a.s. Dan sejak itulah Siti Sarah merasakan bahawa Nabi Ibrahim a.s. lebih banyak mendekati Hajar kerana merasa sangat gembira dengan puteranya yang tunggal dan pertama itu, hal ini yang menyebabkan permulaan ada keratakan dalam rumahtangga Nabi Ibrahim a.s. sehingga Siti Sarah merasa tidak tahan hati jika melihat Siti Hajar dan minta pada Nabi Ibrahim a.s. supaya menjauhkannya dari matanya dan menempatkannya di lain tempat."
    Untuk sesuatu hikmah yang belum diketahui dan disadari oleh Nabi Ibrahim Allah s.w.t. mewahyukan kepadanya agar keinginan dan permintaan Sarah isterinya dipenuhi dan dijauhkanlah Ismail bersama ibunya (Hajar) dan Sarah ke suatu tempat di mana yang ia akan tuju dan di mana Ismail puteranya bersama ibunya akan ditempatkan dan kepada siapa akan ditinggalkan.
    Maka dengan tawakkal kepada
    Allah berangkatlah Nabi Ibrahim meninggalkan rumah membawa Hajar dan Ismail yang diboncengkan di atas untanya tanpa tempat tujuan yang tertentu. Ia hanya berserah diri kepada Allah yang akan memberi arah kepada binatang tunggangannya. Dan berjalanlah unta Nabi Ibrahim dengan tiga hamba Allah yang berada di atas punggungnya keluar kota masuk ke lautan pasir dan padang terbuka di mana terik matahari dengan pedihnya menyengat tubuh dan angin yang kencang menghambur-hamburkan debu-debu pasir.
    Ismail dan Ibunya Hajar Ditinggalkan di Makkah
    Setelah berminggu-minggu berada dalam perjalanan jauh yang memenatkan, tibalah pada akhirnya Nabi Ibrahim bersama Ismail dan ibunya di
    Makkah kota suci dimana Kaabah didirikan dan menjadi pujaan manusia dari seluruh dunia. Di tempat di mana Masjidil Haram sekarang berada, berhentilah unta Nabi Ibrahim mengakhiri perjalanannya dan di situlah ia meninggalkan Hajar bersama puteranya dengan hanya dibekali dengan serantang bekal makanan dan minuman sedangkan keadaan sekitarnya tiada tumbuh-tumbuhan, tiada air mengalir, yang terlihat hanyalah batu dan pasir kering. Alangkah sedih dan cemasnya Hajar ketika akan ditinggalkan oleh Ibrahim seorang diri bersama dengan anaknya yang masih kecil di tempat yang sunyi senyap dari segala-galanya kecuali batu gunung dan pasir. Ia seraya merintih dan menangis, memegang kuat-kuat baju Nabi Ibrahim memohon belas kasihnya, janganlah ia ditinggalkan seorang diri di tempat yang kosong itu, tiada seorang manusia, tiada seekor binatang, tiada pohon dan tidak terlihat pula air mengalir, sedangkan ia masih menanggung beban mengasuh anak yang kecil yang masih menyusu. Nabi Ibrahim mendengar keluh kesah Hajar merasa tidak tergamak meninggalkannya seorang diri di tempat itu bersama puteranya yang sangat disayangi akan tetapi ia sedar bahwa apa yang dilakukan nya itu adalah kehendak Allah s.w.t. yang tentu mengandungi hikmat yang masih terselubung baginya dan ia sedar pula bahawa Allah akan melindungi Ismail dan ibunya dalam tempat pengasingan itu dan segala kesukaran dan penderitaan. Ia berkata kepada Hajar:
    "Bertawakkallah kepada Allah yang telah menentukan kehendak-Nya, percayalah kepada kekuasaan-Nya dan rahmat-Nya. Dialah yang memerintah aku membawa kamu ke sini dan Dialah yang akan melindungi mu dan menyertaimu di tempat yang sunyi ini. Sesungguh kalau bukan perintah dan wahyunya, tidak sesekali aku tergamak meninggalkan kamu di sini seorang diri bersama puteraku yang sangat ku cintai ini. Percayalah wahai Hajar bahwa Allah Yang Maha Kuasa tidak akan melantarkan kamu berdua tanpa perlindungan-Nya. Rahmat dan barakah-Nya akan tetap turun di atas kamu untuk selamanya, insya-Allah."
    Mendengar kata-kata Ibrahim itu segeralah Hajar melepaskan genggamannya pada baju Ibrahim dan dilepaskannyalah beliau menunggang untanya kembali ke Palestin dengan iringan air mata yang bercurahan membasahi tubuh Ismail yang sedang menetak. Sedang Nabi Ibrahim pun tidak dapat menahan air matanya keetika ia turun dari dataran tinggi meninggalkan Makkah menuju kembali ke Palestin di mana isterinya Sarah dengan puteranya yang kedua Ishak sedang menanti. Ia tidak henti-henti selama dalam perjalanan kembali memohon kepada Allah perlindungan, rahmat dan barakah serta kurniaan rezeki bagi putera dan ibunya yang ditinggalkan di tempat terasing itu. Ia berkata dalam doanya:" Wahai Tuhanku! Aku telah tempatkan puteraku dan anak-anak keturunannya di dekat rumah-Mu (Baitullahil Haram) di lembah yang sunyi dari tanaman dan manusia agar mereka mendirikan
    solat dan beribadat kepada-Mu. Jadikanlah hati sebahagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan yang lazat, mudah-mudahan mereka bersyukur kepada-Mu."
    Mata Air Zamzam
    Sepeninggal Nabi Ibrahim tinggallah Hajar dan puteranya di tempat yang terpencil dan sunyi itu. Ia harus menerima nasib yang telah ditakdirkan oleh Allah atas dirinya dengan kesabaran dan keyakinan penuh akan perlindungan-Nya. Bekalan makanan dan minuman yang dibawanya dalam perjalanan pada akhirnya habis dimakan selama beberapa hari sepeninggalan Nabi Ibrahim. Maka mulailah terasa oleh Hajar beratnya beban hidup yang harus ditanggungnya sendiri tanpa bantuan suaminya. Ia masih harus meneteki anaknya, namun air teteknya makin lama makin mengering disebabkan kekurangan makan. Anak yang tidak dapat minuman yang memuaskan dari tetek ibunya mulai menjadi cerewet dan tidak henti-hentinya menangis. Ibunya menjadi panik, bingung dan cemas mendengar tangisan anaknya yang sgt menyayat hati itu. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri serta lari ke sana ke sini mencari sesuap makanan atau seteguk air yang dapat meringankan kelaparannya dan meredakan tangisan anaknya, namun sia-sialah usahanya. Ia pergi berlari harwalah menuju bukit Shafa kalau-kalau ia boleh mendapatkan sesuatu yang dapat menolongnya tetapi hanya batu dan pasir yang didapatnya disitu, kemudian dari bukit Shafa ia melihat bayangan air yang mengalir di atas bukit Marwah dan larilah ia berharwahlah ke tempat itu namun ternyata bahawa yang disangkanya air adalha fatamorangana {bayangan} belaka dan kembalilah ke bukit Shafa karena mendengar seakan-akan ada suara yang memanggilnya tetapi gagal dan melesetlah dugaannya. Demikianlah maka kerana dorongan hajat hidupnya dan hidup anaknya yang sangat disayangi, Hajar mundar-mundir berlari sampai tujuh kali antara bukit Shafa dan Marwah yang pada akhirnya ia duduk termenung merasa penat dan hampir berputus asa.
    Diriwayatkan bahawa selagi Hajar berada dalam keadaan tidak berdaya dan hampir berputus asa kecuali dari rahmat Allah dan pertolongan-Nya datanglah kepadanya malaikat Jibril bertanya: "Siapakah sebenarnya engkau ini?" "Aku adalah hamba sahaya Ibrahim", jawab Hajar. "Kepada siapa engkau dititipkan di sini?" tanya Jibril. "Hanya kepada Allah",jawab Hajar. Lalu berkata Jibril: "Jika demikian, maka engkau telah dititipkan kepada Dzat Yang Maha Pemurah Lagi Maha Pengasih, yang akan melindungimu, mencukupi keperluan hidupmu dan tidak akan mensia-siakan kepercayaan ayah puteramu kepada-Nya."
    Kemudian diajaklah Hajar mengikutinya pergi ke suatu tempat di mana Jibril menginjakkan telapak kakinya kuat-kuat di atas tanah dan segeralah memancur dari bekas telapak kaki itu air yang jernih dengan kuasa Allah. Itulah dia mata air Zamzam yang sehingga kini dianggap keramat oleh jemaah haji, berdesakan sekelilingnya bagi mendapatkan setitik atau seteguk air daripadanya dan kerana sejarahnya mata air itu disebut orang "Injakan Jibril".
    Alangkah gembiranya dan lega dada Hajar melihat air yang mancur itu. Segera ia membasahi bibir puteranya dengan air keramat itu dan segera pula terlihat wajah puteranya segar kembali, demikian pula wajah si ibu yang merasa sangat bahagia dengan datangnya mukjizat dari sisi Tuhan yang mengembalikan kesegaran hidup kepadanya dan kepada puteranya sesudah dibayang-bayangi oleh bayangan mati kelaparan yang mencekam dada.
    Mancurnya air Zamzam telah menarik burung-burung berterbangan mengelilingi daerah itu menarik pula perhatian sekelompok
    bangsa Arab dari suku Jurhum yang merantau dan sedang berkhemah di sekitar Makkah. Mereka mengetahui dari pengalaman bahawa di mana ada terlihat burung di udara, nescaya dibawanya terdapat air, maka diutuslah oleh mereka beberapa orang untuk memeriksa kebenaran teori ini. Para pemeriksa itu pergi mengunjungi daerah di mana Hajar berada, kemudian kembali membawa berita gembira kepada kaumnya tentang mata air Zamzam dan keadaan Hajar bersama puteranya. Segera sekelompok suku Jurhum itu memindahkan perkhemahannya ke tempat sekitar Zamzam, di mana kedatangan mereka disambut dengan gembira oleh Hajar kerana adanya sekelompok suku Jurhum di sekitarnya, ia memperolehi jiran-jiran yang akan menghilangkan kesunyian dan kesepian yang selama ini dirasakan di dalam hidupnya berduaan dengan puteranya saja.
    Hajar bersyukur kepada Allah yang dengan rahmatnya telah membuka hati orang-orang itu cenderung datang meramaikan dan memecahkan kesunyian lembah di mana ia ditinggalkan sendirian oleh Ibrahim.
    Ismail Bantu Bapa Bina Ka’bah
    Nabi Ismail dibesarkan di Makkah (pekarangan Kaabah). Apabila dewasa beliau berkahwin dengan wanita daripada puak Jurhum. Walaupun tinggal di Makkah, Ismail sering dikunjungi bapanya.
    Pada suatu ketika, bapanya menerima wahyu daripada Allah supaya membina Kaabah. Perkara itu disampaikan kepada anaknya. Ismail berkata: “Kerjakanlah apa yang diperintahkan Tuhanmu kepadamu dan aku akan membantumu dalam pekerjaan mulia itu.”Ketika membina Kaabah, Nabi Ibrahim berkata kepada Ismail: “Bawakan batu yang baik kepadaku untuk aku letakkan di satu sudut supaya ia menjadi tanda kepada manusia.”Kemudian Jibril memberi ilham kepada Ismail supaya mencari batu hitam untuk diserahkan kepada Nabi Ibrahim.Setiap kali bangun, mereka berdoa: “Wahai Tuhan kami, terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”Bangunan (Kaabah) itu menjadi tinggi dan Ibrahim makin lemah untuk mengangkat batu. Dia berdiri di satu sudut, kini dikenali Makam Ibrahim.
    Nabi Ibrahim sering berulang-alik mengunjungi anaknya. Pada satu hari, beliau tiba di Makkah dan mengunjungi rumah anaknya.Bagaimanapun, Ismail tiada di rumah ketika itu melainkan isterinya. Isteri Ismail tidak mengenali orang tua itu adalah bapa Ismail.Apabila Nabi Ibrahim bertanya isteri Nabi Ismail mengenai suaminya itu, beliau diberitahu anaknya keluar berburu. Seterusnya Nabi Ibrahim bertanya keadaan mereka berdua. Isterinya berkata: “Kami berada dalam kesempitan.”Nabi Ibrahim berkata: “Apakah kamu mempunyai jamuan, makanan dan minuman?“ Dijawab isteri Ismail: “Aku tidak mempunyainya, malah apa pun tiada.”Kelakukan isteri Nabi Ismail itu tidak manis dipandang Nabi Ibrahim kerana kelihatan tidak reda dengan pemberian Allah dan jemu untuk hidup bersama suaminya. Malah, dia kelihatan bersifat kedekut kerana tidak mengalu-alukan kedatangan tetamu.Akhirnya Nabi Ibrahim berkata kepada isteri anaknya: “Jika suamimu kembali, sampaikanlah salamku kepadanya dan katakan kepadanya supaya dia menggantikan pintunya.”
    Selepas itu Nabi Ibrahim beredar dari situ. Sejurus kemudian, Nabi Ismail pulang ke rumah dengan hati gembira kerana dia menganggap tiada perkara tidak diingini berlaku sepanjang ketiadaannya di rumah. Nabi Ismail bertanya isterinya: “Apakah ada orang datang menemui kamu?“Isterinya berkata: “Ya, ada orang tua kunjungi kita.” Ismail berkata: “Apakah dia mewasiatkan sesuatu kepadamu?“ Isterinya berkata: “Ya, dia menyuruhku menyampaikan salam kepadamu dan memintaku mengatakan kepadamu supaya menggantikan pintumu.”Ismail berkata: “Dia adalah bapaku. Sesungguhnya dia menyuruhku supaya menceraikanmu, maka kembalilah kepada keluargamu.”Selepas menceraikan isterinya, Nabi Ismail berkahwin lain, kali ini dengan seorang lagi wanita daripada kaum Jurhum. Isteri baru itu mendapat keredaan bapanya kerana pandai menghormati tetamu, tidak menceritakan perkara yang menjatuhkan maruah suami dan bersyukur dengan nikmat Allah. Ismail hidup bersama isteri barunya itu hingga melahirkan beberapa anak.
    Nabi Ismail mempunyai 12 anak lelaki dan seorang anak perempuan yang dikahwinkan dengan anak saudaranya, iaitu Al-’Ish bin Ishak. Daripada keturunan Nabi Ismail lahir Nabi Muhammad s.a.w. Keturunan Nabi Ismail juga mewujudkan bangsa Arab Musta’ribah.
    Nabi Ismail Sebagai Qurban
    Nabi Ibrahim dari masa ke semasa pergi ke Makkah untuk mengunjungi dan menjenguk Ismail di tempat pengasingannya bagi menghilangkan rasa rindu hatinya kepada puteranya yang ia sayangi serta menenangkan hatinya yang selalu rungsing bila mengenangkan keadaan puteranya bersama ibunya yang ditinggalkan di tempat yang tandus, jauh dari masyarakat kota dan pengaulan umum.
    Sewaktu Nabi Ismail mencapai usia remajanya Nabi Ibrahim a.s. mendapat mimpi bahwa ia harus menyembelih Ismail puteranya. Dan mimpi seorang nabi adalah salah satu dari cara-cara turunnya wahyu Allah, maka perintah yang diterimanya dalam mimpi itu harus dilaksanakan oleh Nabi Ibrahim. Ia duduk sejurus termenung memikirkan ujian yang maha berat yang ia hadapi. Sebagai seorang ayah yang dikurniai seorang putera yang sejak puluhan tahun diharap-harapkan dan didambakan, seorang putera yang telah mencapai usia di mana jasa-jasanya sudah dapat dimanfaatkan oleh si ayah, seorang putera yang diharapkan menjadi pewarisnya dan penyampung kelangsungan keturunannya, tiba-tiba harus dijadikan qurban dan harus direnggut nyawa oleh tangan si ayah sendiri.
    Namun ia sebagai seorang Nabi,
    pesuruh Allah dan pembawa agama yang seharusnya menjadi contoh dan teladan bagi para pengikutnya dalam bertaat kepada Allah, menjalankan segala perintah-Nya dan menempatkan cintanya kepada Allah di atas cintanya kepada anak, isteri, harta benda dan lain-lain. Ia harus melaksanakan perintah Allah yang diwahyukan melalui mimpinya, apa pun yang akan terjadi sebagai akibat pelaksanaan perintah itu.
    Sungguh amat berat ujian yang dihadapi oleh Nabi Ibrahim, namun sesuai dengan firman Allah yang bermaksud: "Allah lebih mengetahui di mana dan kepada siapa Dia mengamanatkan risalahnya". Nabi Ibrahim tidak membuang masa lagi, berazam (niat) tetap akan menyembelih Nabi Ismail puteranya sebagai qurban sesuai dengan perintah Allah yang telah diterimanya. Dan berangkatlah serta merta Nabi Ibrahim menuju ke Makkah untuk menemui dan menyampaikan kepada puteranya apa yang Allah perintahkan.
    Nabi Ismail sebagai anak yang soleh yang sangat taat kepada Allah dan bakti kepada orang tuanya, ketika diberitahu oleh ayahnya maksud kedatangannya kali ini tanpa ragu-ragu dan berfikir panjang berkata kepada ayahnya:
    "Wahai ayahku! Laksanakanlah apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepadamu. Engkau akan menemuiku insya-Allah sebagai seorang yang sabar dan patuh kepada perintah. Aku hanya meminta dalam melaksanakan perintah Allah itu, agar ayah mengikatku kuat-kuat supaya aku tidak banyak bergerak sehingga menyusahkan ayah, kedua agar menanggalkan pakaianku supaya tidak terkena darah yang akan menyebabkan berkurangnya pahalaku dan terharunya ibuku bila melihatnya, ketiga tajamkanlah parangmu dan percepatkanlah perlaksanaan penyembelihan agar menringankan penderitaan dan rasa pedihku, keempat dan yang terakhir sampaikanlah salamku kepada ibuku berikanlah kepadanya pakaian ku ini untuk menjadi penghiburnya dalam kesedihan dan tanda mata serta kenang-kenangan baginya dari putera tunggalnya."
    Kemudian dipeluknyalah Ismail dan dicium pipinya oleh Nabi Ibrahim seraya berkata: "Bahagialah aku mempunyai seorang putera yang taat kepada Allah, bakti kepada orang tua yang dengan ikhlas hati menyerahkan dirinya untuk melaksanakan perintah Allah".
    Saat penyembelihan yang mengerikan telah tiba. Diikatlah kedua tangan dan kaki Ismail, dibaringkanlah ia di atas lantai, lalu diambillah
    parang tajam yang sudah tersedia dan sambil memegang parang di tangannya, kedua mata nabi Ibrahim yang tergenang air berpindah memandang dari wajah puteranya ke parang yang mengilap di tangannya, seakan-akan pada masa itu hati beliau menjadi tempat pertarungan antara perasaan seorang ayah di satu pihak dan kewajiban seorang rasul di satu pihak yang lain. Pada akhirnya dengan memejamkan matanya, parang diletakkan pada leher Nabi Ismail dan penyembelihan di lakukan . Akan tetapi apa daya, parang yang sudah demikian tajamnya itu ternyata menjadi tumpul dileher Nabi Ismail dan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya dan sebagaimana diharapkan.
    Kejadian tersebut merupakan suatu mukjizat dari Allah yang menegaskan bahwa perintah perkorbanan Ismail itu hanya suatu ujian bagi Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail sampai sejauh mana cinta dan taat mereka kepada Allah. Ternyata keduanya telah lulus dalam ujian yang sangat berat itu. Nabi Ibrahim telah menunjukkan kesetiaan yang tulus dengan perkorbanan puteranya. untuk berbakti melaksanakan perintah Allah sedangkan Nabi Ismail tidak sedikit pun ragu atau bimbang dalam memperagakan kebaktiannya kepada Allah dan kepada orang tuanya dengan menyerahkan jiwa raganya untuk dikorbankan, sampai-sampai terjadi seketika merasa bahwa parang itu tidak lut memotong lehernya, berkatalah ia kepada ayahnya:" Wahai ayahku! Rupa-rupanya engkau tidak sampai hati memotong leherku karena melihat wajahku, cubalah telangkupkan aku dan laksanakanlah tugasmu tanpa melihat wajahku. "Akan tetapi parang itu tetap tidak berdaya mengeluarkan setitik
    darah pun dari daging Ismail walau ia telah ditelangkupkan dan dicuba memotong lehernya dari belakang.
    Dalam keadaan bingung dan sedih hati, kerana gagal dalam usahanya menyembelih puteranya, datanglah kepada Nabi Ibrahim wahyu Allah dengan firmannya: "Wahai Ibrahim! Engkau telah berhasil melaksanakan mimpimu, demikianlah kami akan membalas orang-orang yang berbuat kebajikkan". Kemudian sebagai tebusan ganti nyawa, Ismail telah diselamatkan itu, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim menyembelih seekor
    kambing yang telah tersedia di sampingnya dan segera dipotong leher kambing itu oleh beliau dengan parang yang tumpul di leher puteranya Ismail itu. Dan inilah asal permulaan sunnah berqurban yang dilakukan oleh umat Islam pada tiap Hari Raya Aidiladha di seluruh pelosok dunia.
    Hikmah Cerita
    Hikmah dari cerita tersebut di atas sangat banyak untuk bisa kita jadikan “Qudwah” (tauladan) bagi kita semua. Di sini saya tulis beberapa hikmah yg saya anggap sangat urgent untuk kita ketahui bersama. Hikmah-hikmah tersebut antara lain :
    1. Hijrah (transmigrasi demi kebaikan apapun bentuknya) dianjurkan oleh Islam.
    2. Mengembala kambing merupakan pendidikan pertama bagi kebanyakan para Rasulullah. Hikmahnya menggembala kambing antara lain, Penggembala bisa berinteraksi deagan alam semesta secara langsung, hingga ia bebas untuk merenung dan berpikir tentang kehidupan yg ada di sekitarnya, baik kehidupan binatang, tumbuh-tumbuhan maupun manusia itu sendiri. Banyaknya kambing yg digembala akan menambah perhatian penggembala terhadap ternaknya. Ia bisa merenungkan bagaimana kehidupan masyarakat yg sangat kompleks dengan beraneka ragam suku, ras dan etnisnya dengan menganalogikan kehidupan mereka pada kehidupan ternaknya yg notabene tak punya akal, lantas bagaimana kehidupan manusia yg diberi keistemewaan dengan akal? Sudah pasti jauh lebih sulit mengatur kehidupan mereka. Dengan terbiasa menggembala, para Rasul bisa tabah dan kuat dalam mengemban Risalah Ilahiyyah.
    3. Berdagang juga merupakan salah satu pendidikan terhadap manusia secara langsung bagi interaksi sosial dalam masyarakat. Di samping berdagang (dengan kejujuran) merupakan salah satu pekerjaan mulia dan disenangi Allah setelah bercocok tanam.
    4. Perempuan, pada dasarnya tidak bisa menerima jika dirinya diduakan (dimadu) oleh suaminya, sekalipun didasari dengan keimanan, karena itu sudah fitrahnya. Oleh karenanya bagi laki-laki yg ingin berpoligami disyaratkan harus adil dan setiap manusia –dalam masalah ini- jauh dari kemungkinan untuk bisa berbuat adil, karena berhubungan dengan perasaan.
    5. Seorang bujang –dalam menjalani kehidupannya- pertama yg dicari adalah teman hidup setia untuk menyalurkan rasa sukanya yg telah diberikan Allah pada setiap hambanya, kemudian setelah dapat, rasa suka itu pindah pada buah hatinya. Setelah buah hati lahir, pindah pada “keduniaan”. “Manusia dihiasi (kehidupannya) dengan adanya keinginan syahwatnya terhadap perempuan, anak, dan perhiasa-perhiasan dunia.”
    6. Tidak ada yg mampu menyingkap rahasia kehidupan –sekalipun seorang Nabi atau Rasul- kecuali jika telah ditunjukkan oleh Allah.
    7. Kunci menlaksanakan amanat atau amal kebajikan lainnya adalah iman, taqwa dan tawakkal pada Allah.
    8. Setiap perintah syariat pasti ada hikmah dan manfaat yg kembali pada pelakunya, hanya saja sang pelaku kadang tidak mampu menyingkap rahasia tersebut.
    9. Dunia adalah tempat evaluasi bagi manusia untuk kehidupan yg baqa di ahirat. Oleh karenanya Allah senantiasa memberikan ujian dan cobaan pada hambaNya untuk mengevaluasi keimanannya.
    10. Ujian seorang hamba yg paling barat adalah mengorbankan sesuatu yg sangat dicintainya. Seperti Nabi Ibrahim yg diuji untuk menyembelih Putera tercintanya, sebagaimana umat Nabi Muhammad diperintah mengeluarkan zakat yg merupakan kecintaanya.
    11. Amal jariah merupakan satu-satunya amal yg pahalanya terus menerus mengalir sampai hari kiamat. Oleh karenanya umat Islam dianjurkan untuk itu (menyumbang masjid, pesantren, sarana2 pendidikan, menghibahkan tanah untuk bangunan2 tersebut dll), sebagaimana yg dilakukan Nabi Ibrahim dan Ismail a.s dengan membangun Ka’bah atas perintah Allah swt.
    12. Allah tidak mungkin memerintahkan hambanya suatu hal yg membahayakan dirinya. Jika secara dhahir ada yg seperti itu, maka sebenarnya tidaklah demikian, tapi itu merupakan pendidikan bagi orang yg diamanati. Hal itu digambarkan dalam kisah penyembelihan Nabi Ismail oleh bapaknya (Ibrahim) namun tidak sampai terjadi, karena pada dasarnya Allah tidak mungkin memerintahkan hamba untuk menyakiti hamba lainnya.
    13. manusia wajib taat dan patuh pada orang tuanya. Namun, bagi perempuan yg sudah menikah taat dan patuh kepada suaminya (selama tidak untuk maksiat) lebih dahulukan dari pada taat dan patuh pada orang tua. Hal itu digambarkan dalam kisah seorang isteri yg orangtuanya sakit keras sampai meninggal dunia, namun ia sama sekali tiadk menjenguknya karena tidak mendapat izin suaminya yg lagi perang bersama Rasu saw untuk pergi keluar rumah.
    14. Dengan adanya perintah haji dan peringatan hari raya Idul Adha secara tidak langsung kita boleh memperingati hari-hari bersejarah selama tidak menyimpang syari’at dan bisa mendatangkan kebaikan bersama, seperti peringatan maulid nabi, isra’ & mi’raj, Nuzul Qur’an dll.

    more