• Pagi Bening Seekor Kupu-Kupu

    Cerpen Agus Noor1.
    AKU terbang menikmati harum cahaya pagi yang bening keemasan bagai diluluri madu, dan terasa lembut di sayap-sayapku. Sungguh pagi penuh anugerah buat kupu-kupu macam aku. Kehangatan membuat bunga-bunga bermekaran dengan segala kejelitaannya, dan aku pun melayang-layang dengan tenang di atasnya. Sesaat aku menyaksikan bocah-bocah manis yang berbaris memasuki taman, dengan topi dan pita cerah menghiasi kepala mereka. Aku terbang ke arah bocah-bocah itu. Begitu melihatku, mereka segera bernyanyi sembari meloncat-loncat melambai ke arahku, "Kupu-kupu yang lucuuu, kemana engkau pergiii, hilir mudik mencariii…" Aku selalu gembira setiap kali bocah-bocah itu muncul.
    Biasanya seminggu sekali mereka datang ke taman ini, diantar ibu guru yang penuh senyuman mengawasi dan menemani bocah-bocah itu bermain dan belajar. Berada di alam terbuka membuat bocah-bocah itu menemukan kembali keriangan dan kegembiraannya. Taman penuh bunga memang terasa menyenangkan, melebihi ruang kelas yang dipenuhi bermacam mainan. Sebuah taman yang indah selalu membuat seorang bocah menemukan keluasan langit cerah. Ah, tahukah, betapa aku sering berkhayal bisa terbang mengarungi langit jernih dalam mata bocah-bocah itu? Siapa pun yang menyaksikan pastilah akan terpesona: seekor kupu-kupu bersayap jelita terbang melayang-layang dalam bening hening mata seorang bocah…Aku pingin menjadi seperti bocah-bocah itu! Menjadi seorang bocah pastilah jauh lebih menyenangkan ketimbang terus-menerus menjadi seekor kupu-kupu. Alangkah bahagianya bila aku bisa menjadi seorang bocah lucu yang matanya penuh kupu-kupu. Terus kupandangi bocah-bocah itu. Alangkah riangnya. Alangkah gembiranya. Uupp, tapi kenapa dengan bocah yang satu itu?! Kulihat bocah itu bersandar menyembunyikan tubuhnya di sebalik pohon.
    Dia seperti tengah mengawasi bocah-bocah yang tengah bernyanyi bergandengan tangan membentuk lingkaran di tengah taman itu…Seketika aku waswas dan curiga: jangan-jangan bocah itu bermaksud jahat --dia seperti anak-anak nakal yang suka datang ke taman ini merusak bunga dan memburu kupu-kupu sepertiku. Tapi tidak, mata bocah itu tak terlihat jahat. Sepasang matanya yang besar mengingatkanku pada mata belalang yang kesepian. Dia kucel dan kumuh, meringkuk di balik pohon seperti cacing yang menyembunyikan sebagian tubuhnya dalam tanah, tak ingin dipergoki. Mau apa bocah itu? Segera aku terbang mendekati…Aku bisa lebih jelas melihat wajahnya yang muram kecoklatan, mirip kulit kayu yang kepanasan kena terik matahari.
    Dia melirik ke arahku yang terbang berkitaran di dekatnya. Memandangiku sebentar, kemudian kembali mengawasi bocah-bocah di tengah taman yang tengah main kejar-kejaran sebagai kucing dan tikus. Aku lihat matanya perlahan-lahan sebak airmata, seperti embun yang mengambang di ceruk kelopak bunga. Aku terbang merendah mendekati wajahnya, merasakan kesedihan yang coba disembunyikannya. Dia menatapku begitu lama, hingga aku bisa melihat bayanganku berkepakan pelan, memantul dalam bola matanya yang berkaca-kaca…Terus-menerus dia diam memandangiku.
    2.HERAN nih. Dari tadi kupu-kupu itu terus terbang mengitariku. Kayaknya dia ngeliatin aku. Apa dia ngerti kalau aku lagi sedih? Mestinya aku nggak perlu nangis gini. Malu. Tapi nggak papalah. Nggak ada yang ngeliat. Cuman kupu-kupu itu. Ngapain pula mesti malu ama kupu-kupu?! Dia kan nggak ngerti kalau aku lagi sedih. Aku pingin sekolah. Pingin bermain kayak bocah-bocah itu. Gimana ya rasanya kalau aku bisa kayak mereka?Pasti seneng. Nggak perlu ngamen. Nggak perlu kepanasan. Nggak perlu kerja di pabrik kalau malem, ngepakin kardus. Nggak pernah digebukin bapak. Kalau ajah ibu nggak mati, dan bapak nggak terus-terusan mabuk, pasti aku bisa sekolah. Pasti aku kayak bocah-bocah itu. Nyanyi. Kejar-kejaran. Nggak perlu takut ketabrak mobil kayak Joned. Hiii, kepalanya remuk, kelindes truk waktu lari rebutan ngamen di perempatan.Aku senang tiduran di sini. Sembunyi-sembunyi. Nggak boleh keliatan, entar diusir petugas penjaga kebersihan taman. Orang kayak aku emang nggak boleh masuk taman ini. Bikin kotor --karena suka tiduran, kencing dan berak di bangku taman. Makanya, banyak tulisan dipasang di pagar taman: Pemulung dan Gelandangan Dilarang Masuk. Makanya aku ngumpet gini. Ngeliatin bocah-bocah itu, sekalian berteduh bentar.Kalau ajah aku bebas main di sini. Wah, seneng banget dong! Aku bisa lari kenceng sepuasnya. Loncat-loncat ngejar kupu-kupu. Nggak, nggak! Aku nggak mau nangkepin kupu-kupu. Aku cuman mau main kejar-kejaran ama kupu-kupu. Soalnya aku paling seneng kupu-kupu. Aku sering mengkhayal aku jadi kupu-kupu. Pasti asyik banget. Punya sayap yang indah. Terbang ke sana ke mari. Sering aku bikin kupu-kupu mainan dari plastik sisa bungkus permen yang warna-warni. Aku gunting, terus aku pasang pakai lem. Kadang cuman aku ikat pakai benang aja bagian tengahnya. Persis sayap kupu beneran! Kalau pas ada angin kenceng, aku lemparin ke atas.
    Wuuss… Kupu-kupuan plastik itu terbang puter-puter kebawa angin. Kalau jumlahnya banyak, pasti tambah seru. Aku kayak ngeliat banyak banget kupu-kupu yang beterbangan…Ih, aneh juga kupu-kupu ini! Dari tadi terus muterin aku. Apa dia ngerti ya, kalau aku suka kupu-kupu? Apa dia juga tau kalau aku sering ngebayangin jadi kupu-kupu? Apa kupu-kupu juga bisa nangis gini kayak aku? Bagus juga tuh kupu. Sayapnya hijau kekuning-kuningan. Ada garis item melengkung di tengahnya. Kalau saja aku punya sayap seindah kupu-kupu itu, pasti aku bisa terbang nyusul ibu di surga. Ibu pasti seneng ngelus-elus sayapku…Aku terus ngeliatin kupu-kupu itu. Apa dia ngerti yang aku pikirin ya?
    3.BERKALI-KALI, kupu-kupu dan si bocah bertemu di taman itu. Kupu-kupu itu pun akhirnya makin tahu kebiasaan si bocah, yang suka sembunyi di sebalik pohon. Sementara bocah itu pun jadi hapal dengan kupu-kupu yang suka mendekatinya dan terus-menerus terbang berkitaran di dekatnya. Kupu-kupu itu seperti menemukan serimbun bunga perdu liar di tengah bunga-bunga yang terawat dan ditata rapi, membuatnya tergoda untuk selalu mendekati. Kadang kupu-kupu itu hinggap di kaki atau lengan bocah itu. Bahkan sesekali pernah menclok di ujung hidungnya. Hingga bocah itu tertawa, seakan bisa merasa kalau kupu-kupu itu tengah mengajaknya bercanda.Kupu-kupu dan bocah itu sering terlihat bermain bersama, dan kerap terlihat bercakap-cakap.
    Dan apabila tak ada penjaga taman (biasanya selepas tengah hari saat para penjaga taman itu selesai makan siang lalu dilanjutkan tiduran santai sembari menikmati rokok) maka kupu-kupu itu pun mengajak si bocah kejar-kejaran ke tengah taman."Ayolah, kejar aku! Jangan loyo begitu…," teriak kupu-kupu sembari terus terbang ke arah tengah taman.Dan si bocah pun berlarian tertawa-tawa mengejar kupu-kupu itu."Kamu curang! Kamu curang! Bagaimana aku bisa mengejarmu kalau kamu terus terbang?! Kamu curang! Tungguuu kupu-kupuuu… Tungguuuu…"Kupu-kupu itu terus terbang meliuk-liuk riang. Lalu kupu-kupu itu hinggap di setangkai pohon melati. Kupu-kupu itu menunggu si bocah yang berlarian mendekatinya dengan napas tersengal-sengal. "Coba kalau aku juga punya sayap, pasti aku bisa mengejarmu…," bocah itu berkata sambil memandangi si kupu-kupu."Apakah kamu yakin, kalau kamu punya sayap kamu pasti bisa menangkapku?""Pasti! Pasti!"Kupu-kupu itu tertawa --dan hanya bocah itu yang bisa mendengar tawanya."Benarkah kamu ingin punya sayap sepertiku?" tanya kupu-kupu."Iya dong! Pasti senang bisa terbang kayak kamu. Asal tau ajah, aku tuh sebenernya sering berkhayal bisa berubah jadi kupu-kupu…" Lalu bocah itu pun bercerita soal mimpi-mimpi dan keinginannya.
    Kupu-kupu itu mendengarkan dengan perasaan diluapi kesyahduan, karena tiba-tiba ia juga teringat pada impian yang selama ini diam-diam dipendamnya: betapa inginnya ia suatu hari menjelma menjadi manusia…"Benarkah kamu sering membayangkan dirimu berubah jadi kupu-kupu? Apa kamu kira enak jadi kupu-kupu seperti aku?""Pasti enak jadi kupu-kupu seperti kamu…""Padahal aku sering membayangkan sebaliknya, betapa enaknya jadi bocah seperti kamu…""Enakan juga jadi kamu!" tegas bocah itu."Lebih enak jadi kamu!" jawab kupu-kupu."Lebih enak jadi kupu-kupu!""Lebih enak jadi bocah sepertimu!"Setiap kali bertemu, setiap kali berbicara soal itu, kupu-kupu dan bocah itu semakin saling memahami apa yang selama ini mereka inginkan. Bocah itu ingin berubah jadi kupu-kupu. Dan kupu-kupu itu ingin menjelma jadi si bocah."Kenapa kita tak saling tukar saja kalau begitu?" kata kupu-kupu."Saling tukar gimana?""Aku jadi kamu, dan kamu jadi aku.""Apa bisa? Gimana dong caranya?""Ya saling tukar saja gitu…""Kayak saling tukar baju?" Bocah itu ingat kalau ia sering saling tukar baju dengan temen-temen ngamennya, biar kelihatan punya banyak baju. "Iya, gitu?""Hmm, mungkin seperti itu..."Keduanya saling pandang. Ah, pasti akan menyenangkan kalau semua itu terjadi. Aku akan berubah jadi kupu-kupu, batin bocah itu. Aku akan bahagia sekali kalau aku memang bisa menjelma manusia, desah kupu-kupu itu dengan berdebar hingga sayap-sayapnya bergetaran. "Bagaimana?" kupu-kupu itu bertanya."Bagaimana apa?""Jadi nggak kita saling tukar? Sebentar juga nggak apa-apa. Yang penting kamu bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi kupu-kupu. Dan aku bisa merasakan bagaimana kalau jadi bocah seperti kamu.
    Setelah itu kita bisa kembali lagi jadi diri kita sendiri. Aku kembali jadi kupu-kupu lagi. Dan kamu kembali lagi jadi dirimu. Gimana?"Si bocah merasa gembira dengan usul kupu-kupu itu. Gagasan yang menakjubkan, teriaknya girang. Lalu ia pun mencopot tubuhnya, agar kupu-kupu itu bisa merasuk ke dalam tubuhnya. Dan kupu-kupu itu pun segera melepaskan diri dari tubuhnya, kemudian menyuruh bocah itu masuk ke dalam tubuhnya. Begitulah, keduanya saling berganti tubuh. Bocah itu begitu senang mendapati dirinya telah berwujud kupu-kupu. Sedangkan kupu-kupu itu merasakan dirinya telah bermetamorfosa menjadi manusia.
    4.WAH enak juga ya jadi kupu-kupu! Bener-bener luar biasa. Lihat, sinar matahari jadi kelihatan berlapis-lapis warna-warni lembut tipis, persis kue lapis. Aku juga ngeliat cahaya itu jadi benang-benang keemasan, berjuntaian di sela-sela dedaunan. Aku jadi ingat benang gelasan yang direntangkan dari satu pohon ke pohon yang lain, setiap kali musim layangan. Aku lihat daun-daun jadi tambah menyala tertimpa cahaya. Semuanya jadi nampak lebih menyenangkan. Dengan riang aku melonjak-lonjak terbang. Terlalu girang sih aku. Jadi terbangku masih oleng dan nyaris nubruk ranting pohon."Hati-hati!"Kudengar teriakan, dan kulihat kupu-kupu yang kini telah merasuk ke dalam tubuh bocahku. Dia kelihatan panik memandangi aku yang terbang jumpalitan. Aku bener-bener gembira. Tak pernah aku segembira ini. Emang nyenengin kok jadi kupu-kupu.Aku terus terbang dengan riang…
    5.TUBUHKU perlahan-lahan berubah, dan mulai bergetaran keluar selongsong kepompong. Kemudian kudengar gema bermacam suara yang samar-samar, seakan-akan menghantarkan kepadaku cahaya pertama kehidupan yang berkilauan. Dan aku pun seketika terpesona melihat dunia untuk pertama kalinya, terpesona oleh keelokan tubuhku yang telah berubah. Itulah yang dulu aku rasakan, ketika aku berubah dari seekor ulat menjadi kupu-kupu. Dan kini aku merasakan keterpesonaan yang sama, ketika aku mendapati diriku sudah menjelma seorang bocah. Bahkan, saat ini, aku merasakan kebahagiaan yang lebih meruah dan bergairah.Aku pernah mengalami bagaimana rasanya bermetamorfosa, karena itu aku bisa menahan diri untuk lebih menghayati setiap denyut setiap degup yang menandai perubahan tubuhku. Aku merasakan ada suara yang begitu riang mengalir dalam aliran darahku, seperti berasal dari jiwaku yang penuh tawa kanak-kanak. Aku ingin melonjak terbang karena begitu gembira. Tapi tubuhku terasa berat, dan aku ingat: aku kini tak lagi punya sayap.Lalu kulihat bocah itu, yang telah berubah menjadi kupu-kupu, terbang begitu riang hingga nyaris menabrak ranting pepohonan. Aku berteriak mengingatkan, tetapi bocah itu nampaknya terlalu girang dalam tubuh barunya. Dia pasti begitu bahagia, sebagaimana kini aku berbahagia.Kusaksikan bocah itu terbang riang mengitari taman, kemudian hilang dari pandangan. Aku pun segera melenggang sembari bersiul-siul. Tapi aku langsung kaget ketika seorang penjaga taman menghardikku, "Hai!! Keluar kamu bangsat cilik!" Kulihat penjaga taman itu mengacungkan pemukul kayu ke arahku. Segera aku kabur keluar taman.
    6.KETIKA bocah yang telah berubah menjadi kupu-kupu itu terbang melintasi etalase pertokoan, ia bisa melihat bayangan tubuhnya bagai mengambang di kaca, dan ia memuji penampilannya yang penuh warna. Sayapnya hijau kekuning-kuningan dengan garis hitam melengkung di bagian tengahnya. Rasanya seperti pangeran kecil berjubah indah.Tapi segera ia menjadi gugup di tengah lalu lalang orang-orang yang bergegas. Bising lalu lintas membuatnya cemas. Puluhan sepeda motor dan mobil-mobil mendengung-dengung mirip serangga-serangga raksasa yang siap melahapnya. Ia gemetar, tak berani menyeberang jalan. Dari kejauhan ia melihat truk yang menderu bagai burung pelatuk yang siap mematuk. Tiba-tiba ia menyadari, betapa mengerikannya kota ini buat seekor kupu-kupu sekecil dirinya. Sungguh, kota ini dibangun bukan untuk kupu-kupu sepertiku. Ia merasakan dirinya begitu rapuh di tengah kota yang semerawut dan bergemuruh. Gedung-gedung jadi terlihat lebih besar dan begitu menjulang dalam pandangannya. Tiang-tiang dan bentangan kawat-kawat tampak seperti perangkap yang siap menjerat dirinya. Semua itu benar-benar tak pernah terbayangkan olehnya. Ketika ia sampai dekat stasiun kereta, ia menyaksikan trem-trem yang berkelonengan bagaikan sekawanan ular naga dengan mahkota berlonceng terpasang di atas kepala mereka. Sekawanan ular naga yang menjadi kian mengerikan ketika malam tiba. Ia menyaksikan orang-orang yang keluar masuk perut naga itu, seperti mangsa yang dihisap dan dikeluarkan dari dalam perutnya…Ia begitu gemetar menyaksikan itu semua, dan buru-buru ingin pergi. Ia ingin kembali ke taman itu. Ia ingin segera kembali menjadi seorang bocah.
    7.SEMENTARA itu, kupu-kupu yang telah berubah jadi bocah seharian berjalan-jalan keliling kota. Lari-lari kecil keluar masuk gang. Main sepak bola. Bergelantungan naik angkot. Kejar-kejaran di atas atap kereta yang melaju membelah kota. Rame-rame makan bakso. Ia begitu senang karena bisa melakukan banyak hal yang tak pernah ia lakukan ketika dirinya masih berupa seekor kupu-kupu.Tengah malam ia pulang dengan perasaan riang, sembari membayangkan rumah yang bersih dan tenang. Hmm, akhirnya aku bisa merasakan bagaimana enaknya tidur dalam sebuah rumah. Selama ini ia hanya tidur di bawah naungan daun, kedinginan didera angin malam. Rasanya ia ingin segera menghirup semua ketenangan yang dibayangkannya.Tapi begitu ia masuk rumah, langsung ada yang membentak, "Dari mana saja kamu!" Ia lihat seorang laki-laki yang menatap nanar ke arahnya. Ia langsung mengkerut. Ia tak pernah membayangkan akan menghadapi suasana seperti ini."Brengsek! Ditanya diam saja," laki-laki itu kembali membentak, mulutnya sengak bau tuak. Inikah ayah bocah itu? Ia ingat, bocah itu pernah bercerita tentang bapaknya yang seharian terus mabuk dan suka memukulinya. Ia merasakan ketakutan yang luar biasa ketika laki-laki itu mencekik lehernya. "Uang!" bentak laki-laki itu, "Mana uangnya?! Brengsek! Berapa kali aku bilang, kamu jangan pulang kalau nggak bawa uang!"Ia meronta berusaha melepaskan diri, membuat laki-laki itu bertambah marah dan kalap. Ia rasakan tamparan keras berkali-kali. Ia rasakan perih di kulit kepalanya ketika rambutnya ditarik dan dijambak, lantas kepalanya dibentur-benturkan ke dinding. Ia merasakan cairan kental panas meleleh keluar dari liang telinganya. Kemudian perlahan-lahan ia merasakan ada kegelapan melilit tubuhnya, seakan-akan membungkus dirinya sebagai kepompong. Ia rasakan sakit yang bertubi-tubi menyodok ulu hati. Membuatnya muntah. Saat itulah bayangan bocah itu melintas, dan ia merasa begitu marah. Kenapa dia tak pernah cerita kalau bapaknya suka menghajar begini? Ia megap-megap gelagapan ketika kepalanya berulang-ulang dibenamkan ke bak mandi…
    8.UDAH hampir seharian aku nunggu. Kok dia belum muncul juga ya? Aku mulai bosen jadi kupu-kupu begini. Cuma terbang berputar-putar di taman. Habis, aku takut terbang jauh sampai ke jalan raya kayak kemarin sih! Takut ketubruk, dan sayap-sayapku remuk. Padahal sebelum jadi kupu-kupu, aku paling berani nerobos jalan. Aku juga bisa berenang, dan menyelam sampai dasar sungai ngerukin pasir. Sekarang, aku cuman terbang, terus-terusan terbang. Nyenengin sih bisa terbang, tapi lama-lama bosen juga. Apalagi kalau cuman berputar-putar di taman ini.Cukup deh aku ngrasain jadi kupu-kupu gini. Banyak susahnya. Apa karna aku nggak terbiasa jadi kupu-kupu ya? Semaleman ajah aku kedinginan. Tidur di ranting yang terus goyang-goyang kena angin, kayak ada gempa bumi ajah. Aku ngeri ngeliat kelelawar nyambar-nyambar. Ngeri, karena aku ngerasa enggak bisa membela diri. Waktu jadi bocah aku berani berkelahi kalau ada yang ngancem atau ganggu aku. Sekarang, sebagai kupu-kupu, aku jadi ngerasa gampang kalahan. Nggak bisa jadi jagoan! Karna itu aku ingin cepet-cepet berhenti jadi kupu-kupu... Nggak bisa deh kalau hanya nunggu-nunggu begini. Gelisah tau! Kan kemarin dia janji, hanya mau tukar sebentar. Apa dia keenakan jadi aku, ya? Jangan-jangan dia lagi rame-rame ngelem ama kawan-kawannku. Atau dia lagi didamprat ayah? Ah, moga-moga ajah tidak. Tapi ngapain sampai gini hari belum datang juga? Terus terang aku udah cemas. Aku mesti ketemu dia. Aku nggak mau terus-terusan jadi kupu-kupu gini.Baiklah, daripada cemas gini, mendingan aku nyusul dia. Apa dia pulang ke rumahku ya? Aku mesti nyari dia, ah!9.IA mendapati kemurungan di sekitar rumahnya. Bocah yang telah menjadi kupu-kupu itu bisa merasakan indera kupu-kupunya menangkap kelebat firasat, sebagaimana indera serangga bila merasakan bahaya. Ia mencium bau kematian, bagaikan bau nektar yang menguar. Dan ia bergegas terbang masuk rumah. Ia tercekat mendapati tubuh bocah itu terbujur di ruang tamu. Memar lebam membiru, mengingatkannya pada rona bunga bakung layu. Apa yang terjadi? Alangkah menyedihkan melihat jazad sendiri. Segalanya terasa mengendap pelan, namun menenggelamkan. Ia terbang berkelebat mendekati para tetangganya yang duduk-duduk bercakap-cakap pelan. Kemudian ia mencoba mengajak para tetangga itu bercakap-cakap dengan isyarat kepakan sayapnya. Tapi tak ada yang memahami isyaratnya. Tentu saja mereka tak tahu bagaimana caranya berbicara pada seekor kupu-kupu sepertiku! Dan ia merasa kian ditangkup sunyi, terbang berputar-putar di atas jazadnya.
    Ia merasakan duka itu, melepuh dalam mata yang terkatup. Sepasang kelopak mata yang membiru itu terlihat seperti sepasang sayap kupu-kupu yang melepuh rapuh. Ia terbang merendah, dan mencium kening jazad itu. Saat itulah ia mendengar percakapan beberapa pelayat."Lihat kupu-kupu itu…""Aneh, baru kali ini aku melihat kupu-kupu hinggap di kening orang mati.""Kupu-kupu itu seperti menciumnya…""Mungkin kupu-kupu itu tengah bercakap-cakap dengan roh yang barusan keluar dari tubuh bocah itu."Bocah yang telah berubah menjadi kupu-kupu itu kemudian terbang keluar ruangan, dan orang-orang yang melihatnya seperti menyaksikan roh yang tengah terbang keluar rumah. Tapi ke mana roh kupu-kupu itu? Ia tak tahu ke mana roh kupu-kupu itu pergi. Apa sudah langsung terbang membumbung ke langit sana? Apakah kalau kupu-kupu mati juga masuk surga? Di surga, aku harap roh kupu-kupu itu bertemu ibuku. Aku ingin dia bercerita pada ibuku, bagaimana kini aku telah menjadi seekor kupu-kupu yang terus-menerus dirundung rindu. Semua kejadian berlangsung bagaikan bayang-bayang yang dengan gampang memudar namun terus-menerus membuatku gemetar. Bunga-bunga mekar dan layu, sementara aku masih saja selalu merasa perih setiap mengingat kematian kupu-kupu yang menjelma jadi diriku itu. Kuharap bapak membusuk di penjara. Aku terbang, terus terbang, berusaha meneduhkan kerisauanku. Aku ingin terbang menyelusup ke mimpi setiap orang, agar mereka bisa mengerti kerinduan seorang bocah yang berubah menjadi kupu-kupu. Dapatkah engkau merasakan kesepian seorang bocah yang berubah menjadi kupu-kupu seperti aku?Aku terbang mencari taman yang dapat menentramkanku. Aku terbang mengitari taman-taman rumah yang menarik perhatianku. Aku suka bertandang ke rumah-rumah yang penuh keriangan kanak-kanak. Keriangan seperti itu selalu mengingatkan pada seluruh kisah dan mimpi-mimpiku. Aku suka melihat anak-anak itu tertawa. Aku suka terbang berkitaran di dekat jendela kamar tidur mereka. Seperti pagi ini. Dari jendela yang hordennya separuh terbuka, aku menyaksikan bocah perempuan yang masih tertidur pulas. Kamar itu terang, dan cahaya pagi membuatnya terasa lebih tenang. Sudah sejak beberapa hari lalu aku memperhatikan bocah perempuan itu.
    Dari luar jendela, dia terlihat seperti peri cilik cantik yang terkurung dalam kotak kaca. Aku terbang menabrak-nabrak kaca jendelanya. Aku ingin masuk ke dalam kamar bocah perempuan itu. Betapa aku ingin menyelusup ke dalam mimpinya…
    10. HANGAT pagi mulai terasa menguap di horden jendela yang setengah terbuka, tetapi kamar berpendingin udara itu tetap terasa sejuk. Bocah perempuan itu masih meringkuk dalam selimut. Sebentar ia menggeliat, dan teringat kalau hari ini Mamanya akan mengajak jalan-jalan. Karena itu, meski masih malas, bocah perempuan itu segera bangun, dan ia terpesona menatap cahaya bening matahari di jendela. Seperti sepotong roti panggang yang masih panas diolesi mentega, cahaya matahari itu bagaikan meleleh di atas karpet kamarnya. Cuping hidung bocah itu kembang-kempis, seakan ingin menghirup aroma pagi yang harum dan hangat. Di luar jendela, dilihatnya seekor kupu-kupu tengah terbang menabrak-nabrak kaca jendela, seperti ingin masuk ke dalam kamarnya. Segera ia mendekati jendela. Ia pandangi kupu-kupu itu. Sayapnya, hijau kekuning-kuningan, bergaris hitam melengkung di tengah-tengahnya. Seperti kupu-kupu dalam mimpiku semalam, gumam bocah perempuan itu. Lalu ia ingat mimpinya semalam: ia bertemu seorang bocah yang telah menjelma kupu-kupu.
    Terus ia pandangi kupu-kupu itu. Kayaknya kupu-kupu itu yang semalam muncul dalam mimpiku? Jangan-jangan itu memang kupu-kupu yang semalam meloncat keluar mimpiku? Bocah perempuan itu ingin membuka jendela. Tapi jendela itu penuh teralis besi. Lagi pula daun jendelanya dikunci mati, karena orang tuanya takut pencuri. Bocah perempuan itu hanya bisa memandangi kupu-kupu yang terus terbang menabrak-nabrak kaca jendela…Pintu kamar terbuka, muncul Mamanya yang langsung terkejut mendapati anaknya tengah berdiri gelisah memandangi jendela. "Kenapa?" tanya Mama sambil memeluk putrinya dari belakang, berharap pelukannya akan membuat putrinya tenang."Kasihan kupu-kupu itu, Mama…""Kenapa kupu-kupu itu?""Aku ingin kenal kupu-kupu itu.""Kamu ingin tahu kupu-kupu? Kamu suka kupu-kupu?"Bocah perempuan itu mengangguk."Kalau gitu cepet mandi, ya. Biar kita bisa cepet jalan-jalan. Nanti habis Mama ke salon kita mampir ke toko buku, beli buku tentang kupu-kupu. Kamu boleh pilih sebanyak-banyaknya… Atau kamu pingin ke McDonald dulu?"Bocah perempuan itu menatap ibunya. Ia ingin mengatakan sesuatu. Ingin bercerita soal mimpinya semalam. Ingin mengatakan kenapa ia suka pada kupu-kupu di luar itu. Ia ingin menceritakan apa yang dirasakannya, tapi tak tahu bagaimana cara mengatakan pada Mamanya.
    Setelah lama terdiam, baru bocah itu berkata, "Gimana ya, Ma… kalau suatu hari nanti aku menjadi kupu-kupu?"Mamanya hanya tersenyum. Sementara kupu-kupu di luar jendela itu terus-menerus terbang menabrak-nabrak jendela, seperti bersikeras hendak masuk dan ingin menjawab pertanyaan bocah perempuan itu.
    11.PERNAHKAH suatu pagi engkau menyaksikan seekor kupu-kupu bertandang ke rumahmu? Saat itu engkau barangkali tengah sarapan pagi. Engkau tersenyum ke arah anakmu yang berwajah cerah, seakan-akan masih ada sisa mimpi indah yang membuat pipi anakmu merona merah. Engkau segera bangkit ketika mendengar anakmu berteriak renyah, "Papa, lihat ada kupu-kupu!"Dan engkau melihat kupu-kupu bersayap hijau kekuning-kuningan dengan garis hitam melengkung di bagian tengahnya sedang terbang berputar-putar gelisah di depan pintu rumahmu. Kupu-kupu itu terlihat ragu-ragu ingin masuk ke rumahmu. Apakah yang melintas dalam benakmu, ketika engkau melihat kupu-kupu itu?Kuharap, pada saat-saat seperti itu, engkau terkenang akan aku: seorang bocah yang telah berubah menjadi seekor kupu-kupu…
    Surabaya-Yogyakarta, 2004*)
    Agus Noor, buku terbarunya Rendezvous (Kisah Cinta yang Tak setia), 2004. Tinggal di Jogjakarta.

    more
  • .Dendang Sepanjang Pematang


    Cerpen: M. Arman AZ

    Adalah kenangan yang menghimbauku untuk menengok pohon randu itu. Letaknya menjorok sekitar sepuluh meter di sebelah kiri jalan masuk kampung. Dahan-dahannya seperti masa lalu yang merentangkan tangan. Aku tergoda untuk membelokkan langkah ke sana. Bersijingkat menyibak rimbun ilalang setinggi pinggang.Ohoi, pohon randu, inilah dia si anak hilang. Lama sudah dia tak pulang. Sambut dan peluklah dia sepenuh kenang.Kutelisik sisi belakang batang randu itu. Sekian tahun silam, menggunakan sebilah belati milik kakek yang kupinjam tanpa izin beliau, aku dan beberapa teman bergiliran memahat nama kami di sana. Tak ada lagi ukiran nama kami. Aku tersenyum kecut menyadari kebodohanku barusan. Bukankah pohon randu terus tumbuh seiring guliran waktu? Kuletakkan pantat di tanah yang lembab. Menyandarkan punggung di kekar batang randu. Kuhela napas haru. Aroma humus dan ilalang mengepung dari segenap penjuru.

    Dari pohon yang jadi tapal batas kampung ini dengan kampung seberang, kusaksikan pagi menggeliat lagi. Ufuk timur perlahan benderang. Aku teringat selembar kartu pos bergambar sunrise yang mengintip dari balik punggung gedung-gedung pencakar langit. Seorang teman mengirimnya dari negeri yang jauh. Konon dia sekarang jadi kelasi kapal pesiar. Entah di belahan dunia mana dia kini berada. Masih ingatkah dia pada pohon randu ini? Masih ingatkah dia pada Pak Narto, guru kami dulu? Andai dia tahu beliau telah mangkat, sanggupkah dia lipat jarak dan waktu agar bisa ikut mengantar kepergiannya?Kemarin siang, di tengah raung mesin pabrik, ponsel tuaku bergetar.

    Sebuah nomor asing berkedip-kedip gelisah. Aku kaget mendengar suara Ayub. Dia salah seorang sahabatku di kampung. "Pak Narto wafat!" jeritnya dari seberang sana. Sebelum mengakhiri percakapan yang tergesa-gesa, Ayub minta tolong agar kabar duka itu kusampaikan secara berantai ke teman-teman lain.Kutimang ponsel dengan gamang. Kenangan kampung halaman begitu menyentak.***Aku tertegun menatap rumah Ayub. Dindingnya dari papan. Di samping kiri ada tumpukan kayu bakar. Tanaman hias memagari rumahnya. Ada kuntum kembang sepatu dan melati baru mekar. Sedap dipandang mata. Di depan rumah ada bale-bale bambu. Ruas-ruasnya sudah renggang. Kuucap salam di depan pintu yang separuh terbuka. Terdengar sahutan, langkah tergopoh, dan derit pintu yang dikuak."Man?!" Dia terperangah. Aku tersenyum. Sudah lama kami tak bersua. Detik itu juga, waktu seolah berhenti ketika kami saling berpelukan."Baru datang? Wah, pangling aku. Gemuk kau sekarang. Sudah jadi orang rupanya. Ah, sampai lupa aku. Ayo masuk." Runtun kalimatnya. Dia tepuk-tepuk dan rangkul bahuku. Aku duduk di kursi rotan ruang tamu. Tas kecil kuletakkan di lantai semen. Ayub memanggil istrinya. Dikenalkan padaku seraya minta dibuatkan dua gelas kopi.Wajah Ayub yang sesegar pagi cepat menghapus letihku. Diam-diam kucermati sosoknya. Ia memakai kaos putih lusuh dan celana panjang hitam. Tubuhnya kekar. Kulitnya legam. Urat-urat lengannya menyembul keluar. Ketika senyum atau bicara, gigi putihnya berderet rapi. Dengan penuh keluguan ia dedahkan hidupnya kini.

    Dari semua nama yang terpahat di batang randu, cuma Ayub yang masih setia pada kampung ini. Yang lainnya telah pergi menyabung nasib ke kota, ke pulau seberang, bahkan ke negeri orang. Ayub hidup dari mengurus sawah dan ladang warisan orang tua. Katanya, meski sempat diserang hama wereng, panen dua bulan lalu cukup lumayan. Hasilnya digunakan untuk menyulap tanah kosong di belakang rumah jadi empang. Dia pelihara ikan mas dan gurami untuk menambah penghasilan.

    Aku ngilu waktu Ayub menyuruhku menginap di rumahnya. Tawaran itu menohok batinku. Aku tak punya apa-apa lagi di sini. Setengah windu setelah Emak menyusul Abah ke liang lahat, aku dan tiga saudaraku sepakat menjual sawah dan rumah. Kami ingin merantau. Mencari nasib yang lebih baik. Setelah hasil penjualan dibagi rata, kami pun berpencar ke penjuru mata angin.Bagaimana menguraikan keadaanku pada Ayub? Aku cuma buruh pabrik tekstil di pulau seberang yang gaji tiap bulan ludes untuk menghidupi istri dan empat anak yang masih kecil. Bedeng kontrakan kami tak jauh dari kawasan pabrik. Berhimpitan dengan bedeng-bedeng lainnya. Lingkungannya kumuh, dikepung bacin selokan dan tempat pembuangan sampah. Kami sudah biasa antre mandi, buang hajat, atau cuci pakaian di WC umum yang ada di tiap pojok bedeng.Ayub terpana mendengar ceritaku. Sambil terkekeh-kekeh dia menyela, "Jangankan mengalaminya, membayangkannya saja aku tak sanggup."Menepis risau, kuraih gagang gelas. Kuseruput kopi yang dihidangkan istri Ayub. Ah, kopi yang digoreng sendiri lebih nikmat rasanya. Sambil menyulut rokok, Ayub berkata, "Kenapa tak pulang saja, Man? Beli sawah. Bertani. Meneruskan tradisi keluarga kita dulu."Aku tercekat. Sekian lama di rantau, sekian jauh berjarak dengan kampung halaman, tak pernah terbersit di benakku untuk pulang.***

    Sepanjang jalan menuju rumah duka, kami kenang kawan-kawan lama. Maryamah, gadis lugu yang dulu pernah aku kesengsem padanya, kini jadi biduan orkes dangdut. Namanya diubah jadi Marta. Kata Ayub, jangan harap dia menengok jika dipanggil dengan nama asli. Darto, yang paling pintar di kelas kami, jadi tukang becak di kota. Sebulan sekali dia pulang menjenguk ibunya yang sakit tua. Aku kaget mendengar nasib Sumarno. Dia jadi bencong. Ngamen di gerbong-gerbong kereta. Lantas kuingat Abas. Ayub bilang, dia ketiban bulan. Hidupnya kini makmur. Mertua Abas orang kaya di kota kecamatan. Abas ditugasi mengurus koperasi. Kesempatan itu tak disia-siakan Abas. Dia pinjamkan uang pada orang-orang dengan bunga tinggi. Masih kuingat guyonan tentang Abas dulu. Jika ketemu Abas dan ular sawah dalam waktu bersamaan, lebih baik bunuh Abas duluan, sebab culasnya melebihi ular. Dan si Ahmad, anak pendiam dan alim itu, sekarang nyantri di sebuah pesantren di Madura.Ah, waktu telah mengubah segalanya. Kisah teman-teman lama membuatku takjub, heran, campur sedih. Hingga tak terasa tempat yang kami tuju sudah di depan mata. Usai berdoa di sisi almarhum Pak Narto, kami beringsut keluar dari ruang tamu. Duduk di seberang jalan dekat batang bambu yang dihiasi kain kuning. Makin tinggi matahari, makin banyak pelayat datang. Aku termangu menatap rumah duka itu. Ada tarup besar memayungi halaman. Kursi-kursi plastik penuh terisi. Dari bisik-bisik yang kudengar, Marta yang membayar sewa tarup dan kursi itu. Dia tak bisa datang melayat.Dulu warga kampung ini hidup penuh harmoni dan bersahaja. Meski tak ada hubungan darah, kami merasa selayaknya saudara. Kehidupan yang lambat laun sekeras batulah yang memaksa kami untuk memilih. Merantau jadi pilihan kami, anak-anak muda kala itu.Sejauh-jauh terbang, warga kampung ini pasti mudik setiap lebaran.

    Cuma aku yang jarang pulang semenjak tak ada lagi yang tersisa di sini. Begitu juga jika ada yang meninggal, Kami yang di rantau pasti dikabari. Tapi, entah kenapa, sampai jenazah Pak Narto berkalang tanah di pemakaman umum di pojok kampung, hanya segelintir teman yang kutemui. Apakah sosok lelaki kurus jangkung dan ramah itu telah lesap dari ingatan mereka? Apakah rutinitas membuat mereka tak sempat lagi untuk sekedar menengok masa silam?***Hari kedua di kampung. Ayub mengajakku ke sawah. Pematang-pematang itu sudah tak sabar menunggu jejakmu, guraunya. Di jalan, kami berpapasan dengan warga yang hendak ke sawah atau ladang. Ada yang jalan kaki sambil menenteng pacul di bahu. Ada yang menggoes sepeda. Aku terharu. Mereka masih mengingatku dan meluangkan waktu sejenak untuk mengobrol.Justru generasi muda kampung ini yang membuatku jengah. Beberapa kali kulihat mereka memacu sepeda motor sesuka hati. Ngebut di jalan tanah berbatu. Meninggalkan debu panjang di depan mataku.Sawah Ayub beberapa puluh meter di depan sana, dekat rimbunan pohon pisang. Ketika masih ngungun menatap hamparan permadani hijau itu, Ayub mengajakku turun. Kapan terakhir kali aku meniti pematang? Alangkah jauh masa itu kutinggalkan.Ayub melenggang tanpa kuatir tergelincir ke lumpur sawah. Aku jauh tertinggal di belakangnya. Melangkah tersendat-sendat sambil merentangkan tangan untuk menjaga keseimbangan.

    Lir ilir, lir ilir. Tandure wis semilir. Tak ijo royo-royo. Tak sengguh temanten anyar...Hawa dingin meniup tengkukku ketika mendengar tembang gubahan Sunan Bonang itu. Sempat terbersit untuk mengikuti Ayub berdendang sepanjang pematang. Namun, entah kenapa, bibirku terasa kelu.Dari huma beratap rumbia, kusaksikan Ayub berkubang di tengah sawah. Batang-batang padi meliuk. Menimbulkan suara gemerisik ketika saling bergesekan. Sepasang kepodang terbang melayang di keluasan langit. Suara serunai terdengar sayu-sayup sampai. Entah siapa peniupnya. Mendengarnya, aku seakan terhisap dan sesat dalam masa lalu.Kami pulang menjelang petang. Memutari jalan kampung. Meski lebih jauh jaraknya, tapi aku tak keberatan. Kami mau ke sungai tempat dulu biasa berenang. Sesampainya di sana, hati-hati kami turuni tebing penuh lumut. Aku rindu membasuh muka dengan air sungai. Kutangkupkan kedua telapak tangan lalu kucelupkan ke dalam air. Ayub terkekeh-kekeh melihat kelakuanku yang mirip anak kecil. Setelah segar kami pulang. Baru beberapa puluh langkah menyusuri jalan sunyi, tiba-tiba Ayub mencekal bahuku. Tangannya menuding rimbun ilalang yang bergerak-gerak mencurigakan. Aku ingat, Ayub pernah membidik burung dengan ketapel. Bidikannya paling jitu di antara kami. Burung itu jatuh dari dahan pohon. Menggelepar di semak-semak. Kami mengendap-endap. Alangkah kaget kami memergoki pemandangan itu. Ada sepasang remaja tanggung sedang asyik bercumbu.Ayub menghardik mereka. Aku terpana. Merasa tertangkap basah, wajah keduanya pucat dan merah padam. Mereka buru-buru membenahi pakaian lalu setengah berlari menuju tempat motor diparkir. Kami kembali melanjutkan langkah. Wajah Ayub kaku. Sepanjang jalan dia bersungut-sungut memaki kelakuan dua anak tadi.***

    Harum bunga kopi merayap dibawa angin. Bintang bertaburan di langit lama. Suara jangkerik dan kodok jadi musik alam. Aku serasa sedang berada di sorga."Kampung kita sudah berubah, Man," kata Ayub sambil menatap cahaya kunang-kunang yang timbul tenggelam di rimbun ilalang."Ya, aku seperti orang asing di sini," suaraku gamang."Semua teman kita pergi merantau. Jadi TKI, babu, atau buruh sepertimu. Tetua kampung meninggal satu-satu. Apalagi sejak teknologi modern menyerbu. Kampung kita makin kehilangan jati dirinya. Asal kau tahu, apa yang kau lihat di tepi sungai tadi belum seberapa..."Kalimat Ayub terakhir membuatku risau. Aku enggan bertutur lebih banyak. Aku harus tahu diri. Setelah memilih jadi manusia urban, aku tak punya kuasa apa-apa lagi di sini.

    ***

    Izin cuti empat hari telah usai. Takziah tiga malam berturut-turut di rumah almarhum Pak Narto telah kuikuti. Aku harus pulang pagi ini. Rindu kampung halaman telah kutebus dengan hal-hal menyakitkan. Tapi biarlah kutelan dalam hati saja.Dengan motor tuanya, Ayub mengantarku ke pasar di kampung sebelah. Di sana ada angkutan pedesaan yang trayeknya sampai ke terminal kota. Dari terminal itu aku akan menyambung perjalanan ke pulau seberang.Persis ketika kami lewati pohon randu itu, lagi-lagi Ayub mengimbauku agar pulang saja. Sebenarnya tak ada lagi yang ingin kukatakan. Namun sekedar menghibur diri, kukatakan pada Ayub bahwa aku punya mimpi yang sederhana. Satu saat nanti, jika ada uang, aku mau pulang. Membeli sawah. Bertani sambil beternak puyuh dan itik. Makan dari hasil keringat sendiri. Hidup tenteram bersama anak istri.Ayub berjanji kelak akan menagih mimpiku. Sementara aku membayangkan omong kosong yang baru saja kuucapkan, cuma bisa tersenyum giris...***

    more
  • MENYIKAPI PERMASALAHAN DAN MUSIBAH DENGAN AKIDAH
    MENYIKAPI PERMASALAHAN DAN MUSIBAH DENGAN AKIDAH

    Dalam Persepsi Paham Asy’ariyah

    By: Anas El Malawy

    "Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun, Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?" (QS. Al Mulk: 1-4)

    Prolog

    Musibah dan bencana diberikan oleh Allah agar manusia kembali sadar dari segala kelalaian-nya sebagaimana dalam firmanNya: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka bermohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri”. (QS. 6:42) dan firmanNya juga: “Kami tidaklah mengutus seseorang Nabipun kepada suatu negeri, (lalu penduduknya mendustakan nabi itu), melainkan Kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya mereka tunduk dan merendahkan diri”. (QS. 7:94)

    Musibah Dalam Realita

    Sejak tahun 1997 hingga hari ini, bangsa kita merasakan bertubi-tubi. Ujian, derita dan cobaan menimpa bumi negara kita. Hampir semua orang ingat dengan program pembangunan lima tahun (PELITA) para pemimpin bangsa yang memprediksikan bahwa setelah 6 tahap pelita kita sudah TINGGAL LANDAS, setidaknya kita memiliki fondasi untuk membangun diri sebagai bangsa yang memiliki kemampuan yang sejajar dengan negara-negara maju.

    Namun tiba-tiba musibah dan bencana, baik yang bersifat bencana moral-sosial dan bencana alam tiba-tiba bertubi-tubi mendera bangsa. Walhasil cita-cita yang telah dicanangkan dengan begitu rapi dan bagus telah sia-sia, bagaikan peribahasa “hujan sehari menghapus panas setahun”. (lihat articel: Usaha Batin Menghentikan Musibah di Negriku Indonesia. By: Abdullah)
    Kita perlu mengingat ulang bahwa di awal-awal tahap Pelita, kita sering mendengar kebijaksanaan para pemimpin, dengan melarang siaran-siaran iklan di media TV, dengan tujuan agar rakyat Indonesia tidak terjerumus pada kehidupan konsumerisme. Demikian pula sering terdengar kata-kata bijak pemimpin, yang menghimbau rakyat agar mau mengencangkan ikat pinggang.

    Di jaman-jaman awal-awal tahap Pelita, sering sekali masyarakat awam dilibatkan secara langsung untuk mengeluarkan dari sakunya sendiri-sendiri dan kemudian mengumpulkan dana untuk membantu berbagai musibah yang terjadi, baik dalam skala nasional atau bahkan dalam skala internasional. Sifat kepedulian sosial dan kebersamaan terasa lebih menyentuh dan lebih wujud dalam nafas berbangsa.
    Musibah-musibah moral-sosial lebih sulit dirasakan dibandingkan dengan musibah alam. Dan sebenarnya musibah-musibah alam sering didatangkan Allah ke dalam kehidupan umat manusia untuk menjadi sarana memperbaiki kerusakan moral-sosial umat manusia.

    Dengan musibah yang terjadi secara beruntun, dan berturut-turut sejak th 1997, Allah memberi kepada kita peringatan agar kita mau melihat kesalahan-kesalahan yang kita perbuat, dan segera mengoreksi diri dan memperbaiki diri.
    Namun sayang dengan banyaknya pemancar televisi hiburan di negeri kita, berbagai musibah timbul hanya sebatas komoditi berita, peran siaran televisi sangat besar dalam membantu para korban, namun sayang di satu pemancar memberitakan penderitaan, sedang pemancar yang lain penyiarkan tentang hiburan hingar-bingar.

    Sehingga kesedihan yang seharusnya dihayati untuk memperbaiki moral diri, segera terhapus dengan hiburan hangar-bingar yang membuat manusia melupakan penderitaan, serta melupakan dosa-dosa yang telah menyebabkan diturunkannya musibah. Sungguh suatu hal yang sangat kontra-produktip dari sisi perbaikan moral bangsa.

    Namun kita perlu berhati-hati, jangan sampai kita terus menerus melupakan peringatan-peringatan yang Allah timpakan kepada bangsa kita. Bila kita tidak mau mengindahkan peringatan Allah, maka kejadian yang lebih besar lagi akan muncul, sebagaimana firman Allah:
    “Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras dan syaitanpun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan”. (QS. 6:43)

    “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka gembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa”. (QS. 6:44)


    “Dan sesungguhnya Kami telah pernah menimpakan azab kepada mereka, maka mereka tidak tunduk kepada Tuhan mereka, dan (juga) tidak memohon (kepada-Nya) dengan merendahkan diri”. (QS. 23:76)

    “Hingga apabila Kami bukakan untuk mereka suatu pintu yang ada azab yang amat sangat (di waktu itulah) tiba-tiba mereka menjadi putus-asa”. (QS. 23:77)

    Sebagaimana peristiwa banjir besar yang pernah terjadi di wisata alam Bukit Lawang, Bohorok, Langkat, Sumatera Utara, hari Minggu (2/11) malam. Alam sebenarnya sudah memperingatkan penduduk yang tinggal di sepanjang sungai akan terjadinya bencana alam. Air mulai masuk ke dalam rumah penduduk secara perlahan. Namun, pertanda alam itu sering kali tidak kita pedulikan lagi.

    Sewaktu malapetaka yang sesungguhnya tiba, semua sudah terlambat. Hanya dalam waktu 20 menit banjir bandang menyapu Bukit Lawang dan membawa sedikitnya 87 orang, yang sebagian mungkin sedang terlelap.

    Berulang kali musibah alam seperti ini terjadi. Menurut data yang dikumpulkan Litbang Kompas, sepanjang tahun 2003 saja, paling tidak ada 13 musibah terjadi di seluruh Indonesia. Apa yang terjadi di Langkat pastilah bukan yang terakhir. Masih banyak kemungkinan terjadinya musibah alam dan pasti akan banyak lagi korban yang jatuh. (lihat ; Kompas Jawa Tengah, Rabu, 12 September 2007.)

    Hal itu terutama terjadi kalau kita selalu melihat musibah hanya sebagai takdir. Sebab, itu hanya akan membuat kita pasrah menerima keadaan, tanpa kita mau berbuat sesuatu untuk menghindarkan terjadinya musibah.. Padahal, jelas musibah alam yang terjadi ini bukan semata-mata karena takdir. Ini merupakan akibat dari ulah kita untuk tidak mau lagi bersahabat dengan alam

    Bangsa Indonesia adalah anak turun orang sholih. Allah tidak ridho bila anak-anak orang sholih ini merusak diri dan mencelakakan diri. Allah menghendaki dengan musibah dan bencana serta berbagai kesulitan yang menimpa bangsa ini atau menimpa diri manusia masing-masing agar manusia mau kembali kepada jalan Allah, kembali ke jalan yang benar dan lurus, kembali menjadi kekasih-kekasih Allah. Menjadi manusia yang bahagia di dunia dan di akherat. Dan memiliki kesempatan masuk surga Allah senagaimana firman-Nya: “Hai jiwa yang tenang”. (QS. 89:27), “Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya”. (QS. 89:28), “Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku” (QS. 89:29), “dan masuklah ke dalam surga-Ku”. (QS. 89:30)


    Makna Akidah

    Akidah adalah keyakinan seseorang yang tidak bisa dimasuki keraguan, baik keyakinan tersebut bisa diterima oleh akal maupun tidak, baik benar menurut syariat Islam maupun salah.
    Dalam istilah, akidah terbagi menjadi dua pemahaman, pemahaman agama dan pemahaman filsafat. Akidah dalam pemahaman suatu agama adalah segala sesuatu yang diataati oleh seseorang atau sekelompok orang yang dianggap keluar dari agama jika ia atau mereka berusaha merubahnya atau bahkan menentangnya. Sementara, jika itu dilakukan akan mendapat siksaan yang sangat pedih. Adapun pemahaman dalam filsafat, akidah berarti suatu ideologi yang terkait dengan paham-paham sosial tertentu, seperti ideologi Marxisme, liberalisme, kapitalisme, Sosialisme, dll.
    Akidah, apapun tujuannya ia dapat diterima sebagaimana mestinya oleh setiap orang yang meyakininya, tidak akan dibantah dan ditentang. Ia akan dipatuhi olehnya jika diketahui dengan jelas sumbernya oleh pemeluk tadi, baik dari syariat, kekuasaan (akidah yang menjadi aturan suatu pemerintahan), tradisi, maupun hasil pemikiran akal. (Al Aqidah Bainal Wahyi wal Falsafah wal Ilm. Hal. 24-26)


    Paham Akidah Asy’ariyah
    Paham ini merupakan salah satu paham akidah yang diakui oleh Ahlussnnah wal Jama’ah. Di Indonesia, paham ini diikuti oleh kebanyakan anggota Ormas-Ormas Islamiyyah di indonesia, kususnya para anggota Ormas Islamiyyah terbesar, Nahdhatul Ulama. Ia mempunyai paham akidah yang disebut dengan “akidah khamsin“ (lima puluh akidah). Akidah lima puluh tersebut terperinci dalam sifat wajib Allah 20, sifat mustahil/muhal Allah dan sifat jaiz Allah satu, serta sifat wajib bagi para Rusul empat, sifat mustahilnya empat dan sifat jaiznya satu. (lihat; “Aqidatul ‘Awam”. Syekh Ahmad Marzuqy)

    Sejarah Singkat Akidah Asy’ariyah

    Semenjak negara tauhid berdiri di bawah pimpinan Rasulullah saw. keadaan akidah masih tetap dalam kesuciannya, berasal dari wahyu Ilahi dan ajaran-ajaran yang diberikan dari langit. Dasar utama yang digunakan sebagai pedoman adalah Alquran dan sunah. Pada tingkat permulaan arah yang dituju ialah mendidik watak dan tabiat, meluhurkan sifat-sifat yang bersangkutan dengan instink kalbu dan cara pendidikan yang harus dilalui dan ditempuh. Maksudnya ialah agar setiap anggota masyarakat dapat memperoleh keluhuran yang sesuai dengan kehormatan dan kemuliaan dirinya, dengan demikian akan tumbuh suatu kekuatan secara otomatik yang amat kokoh dalam kehidupan.

    Setelah datang masa khilafah yang banyak diwarnai oleh siasat dan politik, apalagi setelah ada hubungannya dengan cara-cara pemikiran yang ditimbulkan berbagai aliran filsafat atau yang dibawa oleh agama-agama lain yang memaksa otak manusia supaya menyelami sesuatu yang ia tidak kuasa mencapainya, itulah yang menjadi sebab pokok terjadinya pergantian atau penyelewengan dari jalan yang biasa ditempuh oleh para nabi dan rasul. Ini pula yang merupakan sebab utama mengapa keimanan yang asalnya cukup luas dan mudah diterima, menjadi berbagai macam pemikiran yang berisikan filsafat atau menjadi bahan kiasan yang banyak diperselisihkan yang terjadi akibat ketentuan logika atau ilmu bahasanya.

    Ajaran keimanan yang sudah berubah itu akhirnya tidak lagi mencerminkan keimanan yang dapat menyucikan jiwa, memuliakan dan memperbaiki amal perbuatan, memberi semangat gerak pada perorangan atau yang memberikan semangat hidup pada umat dan bangsa, melainkan suatu corak pemikiran tersendiri. Masing-masing pihak menganggap bahwa apa yang dia miliki dan pegangi itulah yang benar, sedang yang tidak cocok dengan pendapatnya adalah salah.

    Demikianlah anggapan setiap golongan, malah ada anggapan yang lebih kejam lagi dari itu yakni siapa saja yang tidak masuk dalam golongan kelompoknya, maka menurut pandangannya sudah keluar dari Islam. Oleh karena itu, timbullah aliran ahli hadis dan aliran Asyariah.

    Di tempat lain timbul pula aliran kaum Maturidiah. Ada pula aliran untuk kaum Muktazilah, Syiah, kaum Jahmiah dan masih banyak lagi aliran dan mazhab yang berlainan dan berbeda-beda, malah pendapat antara satu segolongan dengan golongan lain berbeda pula.

    Seorang ahli syair berkata: “Setiap orang mengaku ia mempunyai hubungan dengan putri Laila Tetapi Laila sendiri membisu, tidak ikut di sini atau pun sana. Di kala air mata sudah bertimbun membasahi seluruh pelupuk mata Nyatalah nanti siapa sebenarnya yang menangis dan siapa pula yang berpura-pura”. (Al Aqoid al Islamiyyah. Sayyid Sabiq. Hal: 14)

    Sebagai akibat dari adanya perselisihan dalam persoalan politik itu dan adanya penyelewengan dari jalan yang lazim ditempuh oleh para rasul sebagai fitrah, ditambah pula dengan kesan-kesan pemikiran secara mazhab dan aliran yang baru datang dan dilanjutkan pula oleh pemaksaan akal untuk menyelidiki yang bukan semestinya, akhirnya para penganjur akidah tersebut berpecah-belah menjadi beberapa golongan yang memberikan pengajaran yang berlain-lainan, berbeda antara satu dengan lainnya. Setiap ajaran atau aliran mencer mencerminkan suatu corak pemikiran tersendiri. Masing-masing pihak menganggap bahwa apa yang dia miliki dan pegang itulah yang benar, sedang yang tidak cocok dengan pendapatnya adalah salah.

    Di antara perselisihan yang tersohor yang memperluas jurang antara umat Muhammad satu dengan lainnya ialah yang terjadi antara kaum Asyariah dan kaum Muktazilah. Adapun penyebab timbulnya pertengkaran dan perbedaan pendapat itu berkisar dalam hal-hal di bawah ini:

    1. Apakah keimanan, sebagai kepercayaan saja ataukah kepercayaan dan amal perbuatan?

    2. Apakah sifat-sifat zatiah Allah Taala kekal pada-Nya ataukah dapat lenyap daripada-Nya?

    3. Manusia bersifat fatalis ataukah memiliki ikhtiar? Untuk masalah ini silakan baca bab Takdir.

    4. Apakah wajib atas Allah Taala mengerjakan yang baik, yang terbaik, ataukah tidak?

    5. Apakah baik atau buruk dapat dikenal dengan akal atau dengan syariat?

    6. Apakah Allah Taala wajib memberi pahala kepada orang yang taat dan menyiksa orang yang maksiat ataukah tidak?

    7. Apakah Allah Taala dapat dilihat di akhirat nanti ataukah hal itu mustahil sama sekali?

    8. Bagaimana hukumnya seseorang yang menumpuk-numpuk dosa besar dan mati sebelum bertobat? (Al Aqoid al Islamiyyah. Sayyid Sabiq. Hal: 15)

    Masih banyak lagi di sana persoalan yang merupakan bahan perselisihan antara berbagai golongan kaum muslimin dan itu pula yang menyebabkan tersobek-sobeknya umat Islam menjadi berbagai golongan dan partai. Benar-benar menyedihkan, sebab sebagai hasil daripada pertengkaran yang tidak berujung pangkal ini juga sebagai bekas dari perpecahan itu lalu kaum muslimin membuat suatu kesalahan yang amat besar sekali, suatu kekeliruan yang amat berbahaya.


    Mengenal Ajaran Akidah Asy’ariyah

    Asy`ariyah adalah sebuah paham aqidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ariy. Beliau lahir di Bashrah tahun 260 Hijriyah bertepatan dengan tahun 935 Masehi. Beliau wafat di Bashrah pada tahun 324 H / 975-6 M. (lihat; www.wordpress.com/2007/04/16/salafiyah-asyairah-dan-maturidi)

    Pada awalnya, Al-Asy`ari pernah belajar kepada Al-Jubba`i, seorang tokoh dan guru dari kalangan Mu`tazilah. Sehingga untuk sementara waktu, Al-Asy`ari menjadi penganut Mu`tazilah, sampai tahun 300 H. Namun setelah beliau mendalami paham Mu`tazilah hingga berusia 40 tahun, terjadilah debat panjang antara dia dan gurunya, Al-Jubba`i dalam berbagai masalah terutama masalah Kalam. Debat itu membuatnya tidak puas dengan konsep Mu`tazilah dan dia pun keluar dari paham itu kembali ke pemahanan Ahli Sunnah Wal Jamaah. (baca artikel; Paham Asy’ariyah dan Maturidiyah)

    Al-Asy`ariyah membuat sistem hujjah yang dibangun berdasarkan perpaduan antara dalil nash (naql) dan dalil logika (`aql). Dengan itu belaiu berhasil memukul telak hujjah para pendukung Mu`tazilah yang selama ini mengacak-acak eksistensi Ahlus Sunnah. Bisa dikatakan, sejak berdirinya aliran Asy`ariyah inilah Mu`tazilah berhasil dilemahkan dan dijauhkan dari kekuasaan. Setelah sebelumnya sangat berkuasa dan melakukan penindasan terhadap lawan-lawan debatnya termasuk di dalamnya Imam Ahmad bin Hanbal.

    Kemampuan Asy`ariyah dalam memukul Mu`tazilah bisa dimaklumi karena sebelumnya Al-Asy`ari pernah berguru kepada mereka. Beliau paham betul lika-liku logika Mu`tazilah dan dengan mudah menguasai titik-titik lemahnya. Meski awalnya kalangan Ahlussunnah sempat menaruh curiga kepada beliau dan pahamnya, namun setelah keberhasilannya memukul Mu`tazilah dan komitmennya, ia kembali pada aqidah ahlus sunnah wal jamaah.

    Al-Asy`ari mencoba menangkis semua argumen kelompok rasionalis dengan menggunakan bahasa dan logika lawannya. Karena kalau dijawab dengan dalil nash (naql), jelas tidak akan efektif untuk menangkal argumen lawan. Karena lawannya sejak awal sudah menafikan nash. Sehingga kita memang melihat adanya kombinasi antara dalil aqli dan naqli yang digunakan oleh Al-Asy-`ari. Pada masanya, metode penangkisan itu sangat efektif untuk meredam argumen lawan.

    Tentu tidak tepat untuk membandingkannya dengan zaman yang berbeda. Karena bila hal itu dilakukan, memang di sana sini barangkali kita akan temukan hal-hal yang agak janggal secara konsep aqidah yang manhajiyah. Sayangnya, oleh mereka yang kurang mengerti duduk permasalahan, kejanggalan inilah yang sering dijadikan bahan tuduhan bahwa mazhab aqidah ini sesat.

    Padahal di masanya, banyak sekali para ulama yang secara otomatis berada di pihak al-Asy`ari bila melihat tarik menarik antar kedua kelompok. Namun bukan berarti semua ulama saat itu 100 % menerima / setuju dengan detail mazhabnya. Dan hal itu adalah sesuatu yang lumrah sifatnya. (baca; Menyoroti Teologi Asy'ariyah. Afifuddin Haritsah))

    Secara defacto, mazhab aqidah Asy`ariyah ini memang mazhab yang paling banyak dipeluk umat Islam secara tradisional dan turun temurun di dunia Islam. Di dalamnya terdapat banyak ulama, fuqoha, imam-imam dan sebagainya. Meski bila masing-masing imam itu dikonfrontir satu persatudengan detail pemikiran asy`ari, belum tentu semuanya sepakat 100 %. Bahkan sejarah mencatat bahwa hampir semua imam besar dan fuqoha dalam Islam adalah pemeluk mazhab aqidah al-As-`ari. Antara lain Al-Baqillani, Imam Haramain Al-Juwaini, Al-Ghazali, Al-Fakhrurrazi, Al-Baidhawi, Al-Amidi,Asy-Syahrastani, Al-Baghdadi, Ibnu Abdissalam, Ibnud Daqiq Al-`Id, Ibu Sayyidinnas, Al-Balqini, al-`Iraqi, An-Nawawi, Ar-Rafi`I, Ibnu Hajar Al-`Asqallani dan As-Suyuti.

    Sedangkan dari wilayah barat khilafat Islamiyah ada Ath-Tharthusi, Al-Maziri, Al-Baji, Ibnu Rusyd (aljad), Ibnul Arabi, Al-Qadhi `Iyyadh, Al-Qurthubi dan Asy-Syatibi. Jangan lupa juga bahwa universitas Islam terkemuka di dunia dan legendaris menganut paham al-Asy`ariah dan Maturidiyah seperti Al-Azhar di Mesir, Az-Zaitun di Tunis, Al-Qayruwan di Marokko, Deoban di India. Dan masih banyak lagi universitas dan madrasah yang menganutnya. (baca; Sketsa Tokoh & Literatur Turats)

    Imam Abu Hassan al Asy’ari adalah seorang mujaddid (orang yang memperbaharui agama atau reformis). Masalah utama yang dihadapi di zamannya adalah masalah kerusakan aqidah umat Islam. Aqidah umat Islam ketika itu rata-rata telah dilanda, dirusak dan diselewengkan oleh berbagai unsur dan faham yang ada saat itu. Termasuk faham Jabariah, Qadariah dan berbagai faham yang dibawa oleh kelompok Muktazilah yang banyak bersandar kepada hujah akal. Ia sudah sampai ke tahap krisis yang besar dan umat Islam ketika itu berhadapan dengan wabah kerusakan dan penyelewengan aqidah yang mengenaskan.

    Di waktu itu, soal penghayatan aqidah sudah menjadi perkara kecil dan orang yang mau terlibat dengan usaha penghayatan aqidah ini tidaklah banyak. Soal utama ketika itu adalah memelihara dan menyelamatkan aqidah masyarakat yang ada supaya tidak tergelincir dan tidak terpengaruh oleh faham-faham Muktazilah yang dianggap kurang sesuai dengan paham ahlussunnah, bahkan dianggap -menurut sebagian ulama- sesat. Inilah yang menjadi permasalahan utama saat itu. Dari sinilah munculnya paham sifat wajib 20, sifat mustahil 20 dan sifat jaiz satu (1) bagi Allah swt. Begitu juga meunculnya paham sifat wajib empat (4), sifat mustahih empat (4) dan sifat jaiz sastu (1) bagi para Rasul Allah shalawatullah wasalamuhu ‘alaihim. Dan terkenal dengan istilah “Aqoid Lima Puluh”.


    Memahami Aqoid 50

    Sebagaimana yang tersebut di atas bahwa aqoid 50 secara garis besar terbagi menjadi dua. Pertama berhubungan dengan sifat-sifat Allah swt yang jumlahnya ada 41 dan kedua berhubungan dengan sifat-sifat para Rasul yang jumlahnya ada sembilan (9) sebagaimana teerperinci di atas.


    Sifat Wajib, Mustahil & Jaiz Bagi Allah
    Sifat-sifat wajib tersebut antara lain:

    1. Wujud
    2. Qidam
    3. Baqo’
    4. Mukhalafun lil hawaditsi
    5. Qiyamuhu binafsihi

    6. Wahdaniyyah
    7. Qudroh
    8. Irodah
    9. Ilmu
    10. Hayat
    11. Sama’
    12. Bashor
    13. Kalam
    14. Qodiran
    15. Muridan

    16. ‘Aliman
    17. Hayyan

    18. Sami’an

    19. Bashiran

    20. Mutakalliman

    Dalam sifat wajib ini, ulama ilmu kalam membagi menjadi lima kelompok, yaitu:

    1. al Nafsiyyah;
    Adalah suatu sifat ketetapan yang menunjukkan pada suatu dzat tertentu. (lihat; “Kubral Yaqiniyyat al Kauniyyah”. Dr. M. Said Ramdhan al buthy. Hal. 108). Misalkan kita melihat sebuah apel. kita menyebut buah tersebut apel karena ia mempunyai sifat-sifat tertentu (warna, bentuk, rasa dst) yang menyebabkan kita menyebutnya apel. Dalam sifat nafsiyyah ini hanya terdapat satu sifat, yaitu “wujud”, yang berarti “ada”. Yakni, Allah swt wajib kita imani keberadaanNya di manapun dan kapanpun kita berada. Dengan kata lain, wujud adalah sifat yang selalu menyatu dan melekat pada dzat Allah swt dan tidak akan pernah terpisah darinya, karena dzat Allah selamanya “wujud” dan “wujud” selamanya ada pada dzatNya. Hanya Allah swt yang disebut “wujud”. Sedangkan selain Allah disebut “maujud” (yang diwujudkan) atau “makhluq” (yang diciptakan). Adapun keberadaan Allah swt tidak bisa diraba oleh indera kita. Di mana hakekat tempat keberadaanNya? Bagaimana wujudNya? Di sana tidak ada yang bisa memastikan hakekatnya.. Namun, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa Allah swt bertempat di atas langit, dengan bukti peristiwa mikraj Rasul saw yang bertemu langsung dengan Allah swt di “Sidrotul Muntaha”. “Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha” (tempat yang paling tinggi, di atas langit ke-7, yang telah dikunjungi Nabi ketika Mi'raj), QS. Al Najm: 13-14. Di mana dalam ayat tersebut tersirat makna bahwa Jibril saat itu menemani Nabi Muhammad saw dalam perjalanan mi’raj untuk bertemu Allah di Sidratul Muntaha. Ada juga yang mengatakan Allah ada di ‘arsy, dengan dalil “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam (maksudnya kekuasaanNya meliputi segala sesuatu yang ada) di atas 'Arsy....”(QS. Al A’raf: 54). Ada juga yang mengatakan Allah berada di hati setiap Mukmin atau Allah itu berada di mana-mana, dengan dalil: “Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu” (QS. Al Mujadalah: 7). Namun, menurut hemat penulis baiknya kita jangan terlalu daqiq (detil) membahas tentang dzat Allah di mana hakekat keberadaanNya. Bagi kita cukup meyakini bahwa Allah itu benar-benar ada dan tidak perlu mencari tahu di mana tempat Allah sebenarnya. Sebab, menurut paham asy’ariyyah, Allah swt tidak membutuhkan tempat sebagaimana manusia membutuhkan tempat untuk ditempati. Jika Allah bertempat di ‘arsy, atau di atas langit atau di hati masing-masing orang mukmin atau berada di mana-mana, berarti Allah membutuhkan tempat untuk ditempati, dan itu berarti sama seperti makhluq. Sedangkan serupanya Allah dengan makhluq merupakan hal yang mustahil. Pemahaman bahwa Allah di atas langit atau di ‘arsy, menurut penulis bisa diartikan bahwa Allah swt itu Maha Tinggi sebagaimana ketinggian langit yang sampai sekarang masih belum bisa dijangkau dan ditemukan oleh akal manusia. Pun bisa diartikan bahwa kekuasaan Allah itu meliputi segala yang ada di langit tanpa terkecuali. Pemahaman ini diambil dari makna tersirat yang terdapat pada Surat al A’raf: 54 di atas, yang menerangkan tentang penciptaan langit dan bumi, kemudian Allah “bersemayam” di ‘arsy. Allah. Kata “Istawa” yang diartikan “bersemayam” bukan bermaksud Allah berbentuk jasad atau sesuatu yang bertempat di ‘arsy. Namun, di sana ada penekanan makna atas kekuasaan Allah dan ilmuNya terhadap hakekat segala sesuatu yang ada di sana. Hingga, dalam ayat digambarkan seolah-olah Allah itu seperti seorang Raja yang bersemayam di tahta ‘arsy memantau segala yang ada di sana. Begitu juga, Allah ada di setiap hati Mukmin atau bersama dengan setiap hambaNya, itu berarti bahwa keberadaan Allah yang selalu dirasa oleh hati setiap mukmin yang bertaqwa dan taat pada perintahNya serta menjauhi semua laranganNya, atau juga bisa diartikan bahwa sifat “Ilmu Allah” (Maha Mengetahui) selalu memantau setiap gerak-gerik hambaNya di manapun dan kapanpun ia berada.Adapun bukti wujudnya Allah swt selain dapat dibuktikan dengan dalil-dalil qath’i (al Qur’an & Hadits) seperti dalam surat al Mukminun: ”Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur. Dan Dialah yang menciptakan serta mengembang biakkan kamu di bumi ini dan kepada-Nyalah kamu akan dihimpunkan. Dan Dialah yang menghidupkan dan mematikan, dan Dialah yang (mengatur) pertukaran malam dan siang. Maka apakah kamu tidak memahaminya?” (QS. Al mukminun: 78-80), dapat juga dibuktikan dengan akal manusia. Demikian itu dengan merenungi dan menganalisa ciptaan-ciptaanNya, baik yang ada di sekitar kita maupun yang ada dalam tubuh kita sesuai dengan kemampuan akal kita. Allah berffirman: “Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz Dzariyat: 20-21), dalam ayat lain disebutkan: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” (QS. Al Ghasyiyah: 17-20)

    2. al Salbiyyah;
    Adalah sifat mengeluarkan/menghilangkan sifat-sifat lain yang tidak pantas bagi Allah yang Maha Sempurna. (al Aqoid al Islamiyyah. Sayyid Sabiq. Hal. 53). Sifat-sifat tersebut ada lima (5), antara lain: Qidam, Baqo’, Mukholafatun lil hawaditsi, Qiyamuhu binafsihi dan Wahdaniyyat. 1). Qidam artinya dahulu, yakni Allah Maha Dahulu. Tidak ada yang mendahului Allah sebelumnya.(Kubra al Yaqiniyyat al Kauniyyah. Dr. M. Said Ramadhan al Buthi. Hal.112). Jika Allah ada yang mendahului, berarti Allah termasuk benda “baru” (huduts) yang diciptakan (makhluq), dan berarti bukan Khaliq. Namun, seperti itu mustahil terjadi pada Allah. 2). Baqo’, yakni Allah Maha Kekal abadi selamanya. Kekal dan abadinya Allah selamanya tidak akan pernah bertemu dengan kata “sirna” (fana’) atau rusak. Jika ada yang menyamai kekekalanNya, berarti Allah akan “binasa”. Dan itu mustahil bagi Allah. 3). Mukholafatun lil hawaditsi, yakni Allah itu beda dengan makhluq dan tidak sama dengan mereka dalam segalanya. Makhluq tercipta, tapi Allah Pencipta. Makhluq berjasad yang terdiri dari beberapa organ, tapi Allah dzatnya tidak tersusun sebagaimana organ tubuh para makhluq. Dan setiap benda yang tampak dan dapat terindra oleh panca indera pasti membutuhkan suatu tempat untuk ditempati, tapi Allah tidak butuh tempat untuk di tempati sebagaimana butuhnya makhluq pada tempat tertentu. Karena mustahil bagi Allah ‘sama dengan makhluq” (mumatsalatun lil hawaditsi). 4). Qiyamuhu binafsihi, yakni Allah dalam berbuat dan menciptakan semua makhluq, dari yang paling terkecil sampai yang paling besar, baik yang bersifat konkrit (kasat mata) maupun yang abstrak (gaib), baik benda mati atau yang hidup, semuanya dilakukan sendiri tanpa ada pembantu atau teman yang membantu dalam menciptakan semuanya. Sebab mustahil bagi Allah ada teman dalam berbuat. Jika Allah ada teman, berarti Allah butuh pada yang lain. Jika Allah “butuh pada yang lain” (ihtiyajun lighoirihi), berarti kekuasaan Allah tidak sempurna atau lemah. Namun, itu tidak mungkin terjadi bagi Allah. Dan ke 5). Wahdaniyyah, yakni Allah Maha Esa, Maha Satu. Satu dalam DzatNya, satu dalam perbuatanNya dan satu dalam sifatNya. Artinya, dzat Allah hanya satu, tidak dapat diketahui oleh manusia selama hidup di dunia. Oleh karenanya, tidak ada satu bendapun yang menyerupai dzat Allah. Sifatnya satu artinya sifat-sifat Allah hanya dimilki olahNya sendiri. Sekalipun di dalam sebagian sifat-sifat wajibNya terdapat sifat-sifat yang sama istilahnya dengan sifat-sifat makhluq, seperti qudrot, irodat, ilmu, hayat, sama’, bashar dan kalam, semua itu pada hakekatnya tidak sama atau semua sifat-sifat tersebut yang dimiliki oleh makhluq pada hakekatnya merupakan pengejawantahan dari secuil sifat-sifat Allah tadi. Oleh karenanya mustahil bagi Allah ada teman (‘adadun; terbilang). (al Aqoid al Islamiyyah. Sayyid Sabiq. Hal. 59)

    3. al Ma’ani,
    Adalah sifat-sifat Allah yang dapat membuahkan makna yang dapat dijangkau oleh akal, atau sifat-sifat Allah yang pengertian atau pemahamannya dapat dibuktikan oleh akal dalam pengejawantahannya. Sifat-sifat tersebut ada tujuh, antara lain: Qudrot, Irodat, Ilmu, Hayat, Sama’, Bashar dan Kalam. 1-2). Qudrot (berkuasa) & Irodat (berkehendak), yakni Allah Maha Kuasa dan Maha Berkehendak terhadap segala sesuatu. Kuasa untuk menciptakan segala yang belum ada dan meniadakan semua yang sudah ada dalam waktu sekejap sesuai dengan kehendaknya. Tidak ada kata “lemah” (‘ajzun) dan “terpaksa” (karohah) bagi Allah. Wujud alam semesta dengan segala isinya merupakan bukti nyata akan sifat “Qudrat” dan “Irodat” Allah. (al Aqoid al Islamiyyah. Sayyid Sabiq. Hal. 65-67). 3). Ilmu (mengetahui), yakni Allah Maha Mengetahui atas segala gerak, diam dan suara dari tiap makhluq hidup, mulai yang paling besar sampai yang paling terkecil, baik yang tampak oleh panca indera maupun yang gaib, baik di tempat yang sangat terang oleh kuatnya cahaya dan sinar, maupun di tempat yang tergelap sekalipun. Semuanya tadi dapat diketahui oleh Allah. Tidak ada satupun atau sedikitpun yang “tidak diketahui” (jahlun) olehNya. 4). Hayat (hidup), yakni Allah Maha Hidup. Hidup Allah tidak ada awal dan ahirnya. Allah idup untuk selamanya dan tidak akan pernah “mati” (mautun), 5). Sama’ (mendengar), yakni Allah Maha Mendengar segalanya yang ada di alam semesta tanpa terkecuali. Mendeangarnya Allah sama seperti IlmuNya. Mustahil bagi Allah “tuli” (shomamun) dan tidak mendengar gerak-gerik makhluk yang merupakan ciptaanNya sendiri. 6). Bashor (melihat), yakni Allah Maha Melihat setiap gerak-gerik makhluqNya, sebagaimana Allah mengetahui & mendengarnya. Mustahil bagi Allah “tidak melihat” (‘umyun) apa yang telah diciptakanNya. 7). Kalam (bicara). Yakni Allah Maha Berfirman kepada setiap makhluq yang dikehendakiNya, baik makhluk hidup maupun benda mati, seperti firmanNya “wahai api, dinginlah! Dan selamatkan (nabi) Ibrahim”, baik yang berakal maupun yang tidak berakal. Dan mustahil bagi Allah” tidak dapat berbicara” (bukmun) dengan makhluq ciptaanNya. Ketujuh sifat tadi disebut “sifat ma’ani” karena pengejawantahannya dapat dicerna oleh akal manusia dan ketujuh sifat tersebut juga dimilki oleh manusia. Namun, persamaannya hanya terdapat pada makna dan istilah saja, bukan pada hakekat dan pengejawantahannya.

    4. al Ma’nawiyyah;
    Adalah sifat-sifat yang diumpamakan berwujud sebagi pelaku sifat tadi dikarenakan kesempurnaannya. Yakni, seperti sifat “kuat” pada seseoarang yang dibuktikan dalam melakukan suatu pekerjaan yang berat. Setelah terbukti, ia disebut sebagai “orang kuat”. Namun, ada perbedaan dengan sifat-sifat ma’nawiyyah Allah. Bedanya, sifat-sifat Allah itu qadim (terdahulu) sebagaimana dzatNya dan sifat-sifat makhluq itu baru muncul kemudian setelah beberapa lama ia diciptakan. Sifat ma’nawiyyah ini merupakan istilah bagi pelaku sifat-sifat ma’ani yang oleh madzhab Asy’ariyyah dijadikan sifat tersendiri. Adapun jumlahnya ada tujuh sebagaimana sifat ma’ani. Yaitu; Qaadirun, Muriidun, ‘Aalimun, Hayyun, Samii’un, Bashiirun dan Mutakallimun.

    Selain sifat-sifat tersebut di atas, Allah swt juga mempunyai sifat “Jaiz” (boleh; kebolehan) yang oleh Asy’ariyyah dipahamkan dalam ungkapan “Fi’lu Mumkinin au Tarkuhu” (boleh/bebas mengerjakan sesuatu dan meninggalkannya). Yakni, Allah tidak terikat oleh suatu apapun dan bebas dalam berbuat serta berkehendak. Tidak ada baginya kata “wajib berbuat” atau “dilarang berbuat”, seperti Allah wajib berbuat baik dan memperbaiki makhluqnya. Jika Allah berkewajiban mengerjakan sesuatu atau dilarang melakukan sesuatu, maka Allah terikat dengan kekuatan lain. Di mana hal itu menunjukkan sifat-sifat lemah, sedangkan Allah Maha Kuasa. Maka, semisal contoh tersebut tidak akan terjadi (mustahil) pada Allah. Dalam firmanNya : “Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Aly Imran: 26).

    Dari kesemua sifat-sifat tersebut yang jumlahnya ada 41 sifat, tercover dalam pemahaman kalimat tauhid “Laa Ilaaha illallah” (tiada Tuhan selain Allah). Dari kalimat tauhid tersebut, muncullah kalimat “Laa haula wa laa quwwata illa billah” (tiada daya untuk menghindar dari maksiat dan tidak kekuatan untuk berbuat taat kecuali dengan izin Allah swt). Jika makna tersirat dalam kalimat hauqalah (“Laa haula wa laa quwwata illa billah”) tadi telah tertanam subur dalam hati, bisa mengantarkan kita pada kalimat “Inna shalaati wa nusuki wa mahyaaya wa mamaati lillahi rabbil alamiin” (sesungguhnya shalat dan ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah swt. Dengan tiga dasar kalimat tersebut yang dapat dijadikan perinsip dalam hidup, maka manusia akan mampu mengarungi samudera kehidupannya dengan tenang dan tenteram.


    Sifat-Sifat Wajib, Mustahil & Jaiz Para Rasul
    Dalam kitab Aqidatul Awam, syekh Ahmad Marzuqi menjelaskan bahwa para Rasul itu mempunyai empat sifat wajib dan empat sifat mustahil yang merupakan perbandingannya, serta mempunya sifat jaiz satu. Di mana jika kesemua sifat tersebut dikumpulkan berjumlah sembilan sifat.

    Sifat-sifat tersebut antara lain; 1). al Sidqu (jujur) lawannya al Kadzibu (dusta). 2). Al Amaanah (terpercaya), lawannya al Khiyanat (khianat). 3). Al Tabligh (menyampaikan wahyu), lawannya al Kitman (menyembunyikan wahyu). 4). Al Fathonah (cerdas), lawannya al Balaadah (bodoh).

    Para Rasul harus bersifatan dengan empat sifat tersebut, karena keempatnya merupakan syarat muthlaq bagi seseorang yang diangkat menjadi Rasul (utusan) Allah tanpa mengenyampingkan adanya “pelantikan langsung” (yakni penegasan akan ke-rasul-annya dalam al Qur’an) dari Allah swt. Mereka harus “jujur” dalam segala perbuatan, ucapan, kebijakan, keputusan, dsb. Mereka harus mempunyai sifat “terpercaya” yang diketahui oleh masyarakat sekitarnya dan terbukti kepercayaan tersebut dalam pergaulannya dengan masyarakat sekitar. Mereka pun harus berani dan tegas dalam “menyampaikan wahyu” dengan segala tantangan dan bahaya yang ada. Pun, mereka harus “cerdas” dalam bersikap, bertindak dan memahami situasi-kondisi sosial-politik yang ada dan harus cerdas mencermati zaman. Jika mereka tidak jujur, tidak terpercaya, tidak menyampaikan wahyu dan tidak cerdas, maka tugas risalah tidak akan sampai pada tujuannya, yaitu memberi petunjuk manusia sebuah jalan menuju kebahagiaan dunia dan aherat.

    Di samping itu, para Rasul, mempunyai sifat jaiz “al A’radhul Basyariyyah” (kejadian-kejadian/peristiwa manusiawi). Yakni, kejadian-kejadian yang biasa terjadi atau menimpa seseorang, boleh juga terjadi pada para Rasul, seperti: makan, minum, tidur, menikah, punya anak, sakit dst. Demikian itu untuk menafikan sekelompok masyarakat yang mudah menkultuskan sesuatu yang dianggap dan diyakini bisa memberikan keuntungan dalam hidupnya. Yang pada ahirnya sampai pada titik menuhankan seseoarang (seperti kaum kristiani) atau menuhankan benda-benda tertentu, seperti aliran Konghucu, Sinto, Sikh, Hindu, budha dll.

    Dari kumpulan sembilan sifat bagi Rasul tersebut, pemahamannya tercover dalam kalimat syahadat “Wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah” (dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah). Jika kita meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, maka kita juga harus mempercayai apa-apa yang dibawa beliau berupa ajaran syari’at. Namun, seharusnya tidak cukup hanya dengan percaya saja, akan tetapi lebih semurna lagi jika perjalanan hidup beliau menjadi tauladan bagi setiap Mukmin dalam mengarungi zig-zag kehidupannya.

    Dengan demikian, jika kesemua sifat tersebut di atas dikumpulkan menjadi satu akan bejumlah 50 sifat, yang kemudian dikenal dengan “akidah lima puluh”. Dan ke 50 sifat tersebut, pemahamannya tercover dalam dua kalimat syahadat “Laa Ilaaha illallah-Muhammadun Rasulullah”.


    Pengejawantahan Akidah Dalam Kehidupan

    Ketika orang meyakini “Tiada Tuhan Selain Allah”, berarti ia telah berikrar bahwa hanya Allah-lah yang berhak untuk dikultuskan dan disembah serta dipuji. Ketika hanya Allah yang berhak di kultuskan dan disembah, maka Dia-lah yang paling berkuasa di alam semesta ini. Jika hanya Dia yang berkuasa di alam semesta ini, maka Dia punya hak prerogatif yang mutlak dalam mengatur alam semesta seisinya. Jika demikian, maka Dia wajib “wujud” dan wujudNya tidak didahului oleh “adam” (tidak ada) serta tidak ditemui oleh “fana’” (binasa) atau “maut” (mati) atau “intiha’” (berahir). Hanya Allah-lah yang “wujud” dan selain Allah “maujud”.

    Ketika orang berkeyakinan demikian, maka ia akan mudah menerima dan meyakini akan kebenaran setiap wahyu Allah (al Qur’an) yang telah sampai di telinganya. Hingga semua yang tertera dalam al Qur’an bisa diyakini dengan sepenuhnya. Yang kemudian ia akan berusaha mengaplikasikan dalam kelangsungan hidupnya. Jika masing-masing orang sadar dan sanggup serta berupaya keras untuk menerapkan isi kandungan Al Qur’an dalam kehidupannya sehari-hari, maka kedamaian, ketentraman, keamanan, kebahagiaan dan ketenangan akan terjamin di setiap lingkungan masyarakat.

    Namun, masalahnya di sana sangat jarang sekali ditemukan orang berfikir dan mendalami “tadabbur” dalam pemahaman akidah seperti ini. Hingga tidak sedikit ditemukan kekosongan dan kekeringan rohani dalam kalbu masing-masing anggota masyarakat sekitar. Yang kemudian hal itu cenderung mengantarkan mereka pada perbuatan yang anti hukum, baik hukum negara maupun hukum agama. Hingga jari pun tidak mampu menghitung banyaknya perbuatan asusila, abmoral, patalogi sosial, kriminal dan lain-lain sejenisnya yang telah merambah ketenangan masyarakat kita.

    Demikian pula, ketika orang meyakini bahwa Nabi Muhammad saw adalah utusan Allah, maka itu akan mengantarkannya pada pembenaran akan setiap ajaran yang disampaikan oleh beliau. Yang kemudian diambil dan berusaha dijalani serta diamalkan. Ia akan menjadikan Rasul saw sebagai satu-satunya “idola” dan “figur” dalam kehidupan dunia dan aherat. Setiap kelangsungan hidup yang dijalani akan dicerminkan pada jejak kehidupan Rasul saw. Jika ia dihadapka suatu permasalahan, langsung menggali pesan Allah swt yang tersurat dalam al qur’an dan berusaha mengeluarkan makna yang tersirat (hikmah) darinya. Jika dalam al Qur’an tidak ditemukan jawaban, ia akan melarikan permasalahan pada hadis Rasul saw dan sejarah hidupnya. Jika ia menemui jalan buntu, ia serahkan semua urusannya kepada Allah dengan memerbanyak upaya mendekatkan diri padaNya. Karena dengan banyak mendekatkan diri padaNya, semua permasalahan akan tersolusikan, karena sebenarnya tidak masalah yang tidak ada jalan keluarnya. Sebagaimana firman Allah : “Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari ahir, dan barang siapa yang bertaqwa pada Allah, niscaya Ia akan memberikan padanya jalan keluar (untuk segalanya), dan akan memberinya rejeki dari cara yang tidak terduga. Dan barang siapa yang bertawakkal ada Allah, niscaya Allah akan meberikan kecukupan padana”. (QS. Al Thalaq: 2-3)

    Namun, sebenarnya segala permasalaahan dan problematika yang telah atau sedang atau akan terjadi, jika dicermati dengan jeli dan teliti, semuanya akan bisa ditemukan jawabannya dalam al Qur’an. Hanya saja kemampuan akal manusia sangat terbatas –sekalipun mengalami perkembangan dan peningkatan dalam kemampuan-, hingga belum mampu mengupas semua makna tersirat dalam al Qur’an dan rahasia yang dikandungnya. Karena, Al Qur’an merupakan satu-satunya a way of life yang salih likulli zaman wa makaan (relevan dengan masa dan tempat, tanpa batas).


    Epilog

    Dalam menjalani kelangsungan kehidupan setiap orang pasti membutuhkan bimbingan. Bimbingan dan tuntunan hidup yang paling utama dan pertama adalah Al Qur’an, kemudian al Sunnah al Nabawiyyah dan al Sirah al Nabawiyyah. Untuk menciptakan agar aktivitas bisa berjalan sesuai dengan diinginkan, butuh sebuah perinsip untuk pedoman.
    Untuk mengahiri tulisan ini, penulis ingin menawarkan beberapa perinsip kehidupan yang diambil dari Al Qur’an dengan berlandaskan keyakinan.
    Pertama, perinsip “Inna al Diina ‘Indallahil Islam” (Hanya Islam agama yang benar di sisi Allah) QS. Aly Imran: 11. Sebuah perinsip yang mendorong kita untuk benar-benar meyakini kebenaran ajaran Islam. Jika keyakinan ini telah tertanam kuat dalam hati kita, maka kita akan mudah menerima ajaran syari’atnya.

    Kedua, perinsip “Qulillahumma Maalikal Mulki Tu’til Mulka Man Tasyaa’u wa Tanzi’ul Mulka Min Man Tasyaa’u, wa Tu’izzu Man Tasyaa’u wa Tudzillu Man Tasyaa’u, Biyadikal Khoiru, Innaka ‘Alaa Kulli Syai’in Qadiir” –(QS. Aly Imran: 26)- (Katakan (Muhammad)! Wahai Allah... Sang Raja Diraja, Engkau lah yang akan memberikan kekuasaan kepada orang yang engkau kehendaki, dan Engkaulah yang akan mencabut kekuasan dari orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau lah yang akan memuliakan orang yang Engkau kehendaki, dan engkau lah yang akan menghinakan orang yang Engkau kehendaki. Dalam genggamanMu segala kebaikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu). Perinsip ini akan mengantarkan kita untuk mudah menerima keputusan suratan taqdir yang telah digariskan oleh Allah pada kita.

    Jika kita ditaqdirkan memiliki suatu kekuasaan tertentu –dengan perinsip ini-, kita akan selalu ingat di sana ada yang lebih berkuasa, yang sewaktu-waktu akan mengambil kekuasaan itu dengan mudah. Dengan demikian, kita pun akan mudah bersyukur dan terhindar dari sifat takabbur dan tama’ alias rakus bin kikir. Jika kebetulan kita ditaqdirkan sebagai orang yang kurang mampu (tidak punya kekuasaan), maka kita tidak akan terlalu berharap yang berlebihan. Karena semua yang telah digariskan oleh Allah pada kita merupakan yang terbaik bagi kita. Hanya saja kadang kita belum bisa mengungkap kebaikan yang terkandung dalam nasib kita. Demikian juga, ketika kita ditaqdirkan menjadi orang yang mulia, kita akan banyak bersyukur dan menyanjung orang di bawah kita, atau ketika ditaqdirkan menjadi orang yang hina (na’udzu billah), kita akan berusaha untuk mengentaskan diri dari kehinaan tersebut dengan upaya dan usaha memperbaiki semua kesalahan dan kekhilafan yang telah berlalu. Kemudian merubahnya dengan perbuatan dan amalan yang terpuji.

    Ketiga, perinsip “Allahumma Laa Maani’a Limaa A’thoita, wa Laa Mu’thiya Limaa Mana’ta, wa Laa Raadda Limaa Qadhoita, wa Yanfa’u Dzal Jaddi Minka al Jaddu” (Wahai Allah, Tidak ada penghalang untuk segala sesuatu yang telah Engkau berikan, dan tidak ada pemberi bagi segala sesuatu yang telang Engkau halangi, dan tidak ada pencegah bagi segala sesuatu yang telah Engkau putuskan, dan tidak akan mampu memberikan suatu manfaat apapun orang yang mempunyai keagungan (kecuali dengan izinNya) karena keagungan itu hanya dari Engkau). Sebuah perinsip yang akan mendorong kita untuk meyakini akan keberadaan taqdir Allah dan meyakini bahwa semua taqdir yang telah ditetapkan Allah tidak ada yang mampu menghalangi kelangsungannya.

    Jika Allah telah menghendaki kita untuk mendapatkan sesuatu (harta, ilmu, isteri, kedudukan dll), pasti kita akan memperolehnya. Hanya saja cara sampainya kadang yang berbeda-beda. Ada yang sampainya dengan lancar tanpa hambatan dan ada pula yang sampainya dengan melewati berbagai rintangan. Begitu juga jika Allah telah mencegah sesuatu untuk kita peroleh, maka -sekalipun secara dhahir sesuatu yang akan diperoleh itu menurut hitungan akal pasti akan diperolehnya- sesuatu itu tidak akan bisa sampai pada kita. Sebagaiamana kadang kita menemukan suatu kejadian tentang pernikahan seseorang yang gagal menjelang hari “H” pernikahan karena maslah sepele. Semuanya itu ada dalam kekuasaan Allah.

    Keempat, perinsip “Inna Shalaatii wa Nusukii wa Mahyaaya wa Mamaatii Lillahi Rabbil ‘Alamiin” (sesungguhnya shalat dan ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah swt semata). Perinsip ini akan mensupport kita untuk selalu optimis beraktivitas dan bisa menjauhkan kita dari sifat-sifat penyakit hati, seperti riya’ (pamer), sum’ah (memperdengarkan amal), ‘ujub (merasa paling baik) dll. Pun dapat mengantarkan kita pada ketulusan niat dan gahyah dalam beramal. Hingga setiap amal yang kita perbuat akan membuahkan hasil yang bisa kita tuai kelak di aherat, karena “amal tanpa ikhlas laksana jasad tanpa nyawa”.

    Kelima, perinsip “Laa Haula wa Laa Quwwata Illa Billah” (tiada upaya untuk menjauhi maksiat dan tiada daya untuk berbuat taat kecuali dengan pertolongan Allah). Perinsip ini akan mengantarkan kita pada kepercayaan akan pertolongan Allah swt. Jika seseorang diberi amanat amanat dan dalam menjalankannya ia menerapkan perinsip ini, niscaya amanat ini akan terlaksana dengan lancar dan bagus. Karena setiap orang yang meyakini akan peranan pertolongan Allah dalam perbuatan baik, pasti Allah akan membantunya. Sebagiamana firman Allah dalam hadis Qudsy “Ana Inda Dhann Abdii bii” (Aku tergantung persangkaan hambaKu terhadapKu), dan sabda Nabi saw: “dan Allah akan selalu menolong hambaNya selama hamba tersebut selalu menolong saudaranya” .

    Dengan lima perinsip tersebut di atas -insyaallah- kita bisa menjalani hidup ini dengan tenang, santai, tenteram, damai, senang, bahagia dan bersemangat. Demikian uraian tentang akidah . Semoga bermanfat bagi setiap pembaca terlebih kusus bagi penulis sendiri.


    Refrensi

    Al Qur’an al Karim (terjemahan digital).

    Artikel; Usaha Batin Menghentikan Musibah di Negriku Indonesia. Abdullah.

    Koran Kompas Jawa Tengah, Rabu, 12 September 2007.

    Al Aqidah Bainal Wahyi wal Falsafah wal Ilm. Dr. Al Saih Aly Husain.

    Aqidatul ‘Awam. Syekh Ahmad Marzuqy.

    Al Aqoid al Islamiyyah. Sayyid Sabiq.

    Artikel; Sketsa Tokoh & Literatur Turats.

    Kubral Yaqiniyyat al Kauniyyah. Dr. M. Said Ramdhan al Buthy.




    .

    more