• Nama dan Nasab

    Beliau bernama Muhammad dengan kunyah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al-’Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh beliau, yaitu Hasyim bin al-Muththalib.

    Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi’, kakek dari kakek beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi’i)- menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak Syafi’, sendiri termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.

    Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi’i berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi’i bukanlah asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja. Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kunyahUmmu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi’i adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.

    Waktu dan Tempat Kelahirannya

    Beliau dilahirkan pada tahun 150. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.

    Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.

    Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.

    Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu

    Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi’bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi’i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, ‘Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.’” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.

    Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.

    Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya.
    Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu.

    Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-’Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ -yang masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah -ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.

    Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179.
    Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma’il bin Ja’far, Ibrahim bin Sa’d dan masih banyak lagi.

    Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan -satu hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman, nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.

    Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi’i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah.
    Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi’i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.

    Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu’, padahal sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu’ model orang-orang syi’ah. Bahkan Imam Syafi’i menolak keras sikap tasysyu’ model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang terdapat dalam Al-Quran maupun hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.

    Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka.
    Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi’i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad

    Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma ‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.

    Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi’i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.

    Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.

    Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Mekkah.

    Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara Imam Syafi’i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh -yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat.
    Hal itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab mereka.

    Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi’i kemudian memutuskan pergi ke Mesir.
    Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.

    Keteguhannya Membela Sunnah

    Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.

    Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi’i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya.” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi’i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.” Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.

    Wafatnya

    Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.

    Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi’i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah?” Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus.”

    Karangan-Karangannya

    Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat. Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.

    Sumber:
    Al-Umm, bagian muqoddimah hal. 3-33

    Siyar A’lam an-Nubala’

    Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi’, terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-Syafi ‘i fi Itsbat al-’Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi ‘i, Cirebon

    more
  • Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengerti. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.

    Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau

    Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).

    Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.

    Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan 194).

    Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu

    Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”

    Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”

    Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193-194).

    Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.

    Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).

    Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/195).

    Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).

    Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.

    Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya

    Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’ Fatawa 6/54).

    Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54).

    Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang hakiki.

    Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal. Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.” (Siyar A’lam Nubala 19/328).

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena itu para ulama muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164).

    Polemik Kejiwaan Imam Ghazali

    Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.

    Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.

    Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).

    Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).

    Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.

    Masa Akhir Kehidupannya

    Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”

    Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).
    Karya-Karyanya*

    *Nama karya beliau ini diambil secara ringkas dari kitab Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah, karya Dr. Abdurrahman bin Shaleh Ali Mahmud 2/623-625, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/203-204

    Beliau seorang yang produktif menulis. Karya ilmiah beliau sangat banyak sekali. Di antara karyanya yang terkenal ialah:

    Pertama, dalam masalah ushuluddin dan aqidah:

    1. Arba’in Fi Ushuliddin. Merupakan juz kedua dari kitab beliau Jawahirul Qur’an.

    2. Qawa’idul Aqa’id, yang beliau satukan dengan Ihya’ Ulumuddin pada jilid pertama.

    3. Al Iqtishad Fil I’tiqad.

    4. Tahafut Al Falasifah. Berisi bantahan beliau terhadap pendapat dan pemikiran para filosof dengan menggunakan kaidah mazhab Asy’ariyah.

    5. Faishal At Tafriqah Bainal Islam Wa Zanadiqah.

    Kedua, dalam ilmu ushul, fikih, filsafat, manthiq dan tasawuf, beliau memiliki karya yang sangat banyak. Secara ringkas dapat kita kutip yang terkenal, di antaranya:

    (1) Al Mustashfa Min Ilmil Ushul.
    Merupakan kitab yang sangat terkenal dalam ushul fiqih. Yang sangat populer dari buku ini ialah pengantar manthiq dan pembahasan ilmu kalamnya. Dalam kitab ini Imam Ghazali membenarkan perbuatan ahli kalam yang mencampur adukkan pembahasan ushul fikih dengan pembahasan ilmu kalam dalam pernyataannya, “Para ahli ushul dari kalangan ahli kalam banyak sekali memasukkan pembahasan kalam ke dalamnya (ushul fiqih) lantaran kalam telah menguasainya. Sehingga kecintaannya tersebut telah membuatnya mencampur adukkannya.”
    Tetapi kemudian beliau berkata, “Setelah kita mengetahui sikap keterlaluan mereka mencampuradukkan permasalahan ini, maka kita memandang perlu menghilangkan dari hal tersebut dalam kumpulan ini. Karena melepaskan dari sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan sangatlah sukar……” (Dua perkataan beliau ini dinukil dari penulis Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 17 dan 18).

    Lebih jauh pernyataan beliau dalam Mukaddimah manthiqnya, “Mukadimah ini bukan termasuk dari ilmu ushul. Dan juga bukan mukadimah khusus untuknya. Tetapi merupakan mukadimah semua ilmu. Maka siapa pun yang tidak memiliki hal ini, tidak dapat dipercaya pengetahuannya.” (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 19).

    Kemudian hal ini dibantah oleh Ibnu Shalah. beliau berkata, “Ini tertolak, karena setiap orang yang akalnya sehat, maka berarti dia itu manthiqi. Lihatlah berapa banyak para imam yang sama sekali tidak mengenal ilmu manthiq!” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329). Demikianlah, karena para sahabat juga tidak mengenal ilmu manthiq. Padahal pengetahuan serta pemahamannya jauh lebih baik dari para ahli manthiq.

    (2) Mahakun Nadzar.

    (3) Mi’yarul Ilmi. Kedua kitab ini berbicara tentang mantiq dan telah dicetak.

    (4) Ma’ariful Aqliyah. Kitab ini dicetak dengan tahqiq Abdulkarim Ali Utsman.

    (5) Misykatul Anwar. Dicetak berulangkali dengan tahqiq Abul Ala Afifi.

    (6) Al Maqshad Al Asna Fi Syarhi Asma Allah Al Husna. Telah dicetak.

    (7) Mizanul Amal. Kitab ini telah diterbitkan dengan tahqiq Sulaiman Dunya.

    (8) Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi. Oleh para ulama, kitab ini diperselisihkan keabsahan dan keontetikannya sebagai karya Al Ghazali. Yang menolak penisbatan ini, diantaranya ialah Imam Ibnu Shalah dengan pernyataannya, “Adapun kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, bukanlah karya beliau. Aku telah melihat transkipnya dengan khat Al Qadhi Kamaluddin Muhammad bin Abdillah Asy Syahruzuri yang menunjukkan, bahwa hal itu dipalsukan atas nama Al Ghazali. Beliau sendiri telah menolaknya dengan kitab Tahafut.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329).

    Banyak pula ulama yang menetapkan keabsahannya. Di antaranya yaitu Syaikhul Islam, menyatakan, “Adapun mengenai kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, sebagian ulama mendustakan penetapan ini. Akan tetapi para pakar yang mengenalnya dan keadaannya, akan mengetahui bahwa semua ini merupakan perkataannya.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329). Kitab ini diterbitkan terakhir dengan tahqiq Riyadh Ali Abdillah.

    (9) Al Ajwibah Al Ghazaliyah Fil Masail Ukhrawiyah.

    (10) Ma’arijul Qudsi fi Madariji Ma’rifati An Nafsi.

    (11) Qanun At Ta’wil.

    (12) Fadhaih Al Bathiniyah dan Al Qisthas Al Mustaqim. Kedua kitab ini merupakan bantahan beliau terhadap sekte batiniyah. Keduanya telah terbit.

    (13) Iljamul Awam An Ilmil Kalam. Kitab ini telah diterbitkan berulang kali dengan tahqiq Muhammad Al Mu’tashim Billah Al Baghdadi.

    (14) Raudhatuth Thalibin Wa Umdatus Salikin, diterbitkan dengan tahqiq Muhammad Bahit.

    (15) Ar Risalah Alladuniyah.

    (16) Ihya’ Ulumuddin. Kitab yang cukup terkenal dan menjadi salah satu rujukan sebagian kaum muslimin di Indonesia. Para ulama terdahulu telah berkomentar banyak tentang kitab ini, di antaranya:
    Abu Bakar Al Thurthusi berkata, “Abu Hamid telah memenuhi kitab Ihya’ dengan kedustaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya tidak tahu ada kitab di muka bumi ini yang lebih banyak kedustaan darinya, kemudian beliau campur dengan pemikiran-pemikiran filsafat dan kandungan isi Rasail Ikhwanush Shafa. Mereka adalah kaum yang memandang kenabian merupakan sesuatu yang dapat diusahakan.” (Dinukil Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/334).

    Dalam risalahnya kepada Ibnu Mudzaffar, beliau pun menyatakan, “Adapun penjelasan Anda tentang Abu Hamid, maka saya telah melihatnya dan mengajaknya berbicara. Saya mendapatkan beliau seorang yang agung dari kalangan ulama. Memiliki kecerdasan akal dan pemahaman. Beliau telah menekuni ilmu sepanjang umurnya, bahkan hampir seluruh usianya. Dia dapat memahami jalannya para ulama dan masuk ke dalam kancah para pejabat tinggi. Kemudian beliau bertasawuf, menghijrahi ilmu dan ahlinya dan menekuni ilmu yang berkenaan dengan hati dan ahli ibadah serta was-was syaitan. Sehingga beliau rusak dengan pemikiran filsafat dan Al Hallaj (pemikiran wihdatul wujud). Mulai mencela ahli fikih dan ahli kalam. Sungguh dia hampir tergelincir keluar dari agama ini.
    Ketika menulis Al Ihya’ beliau mulai berbicara tentang ilmu ahwal dan rumus-rumus sufiyah, padahal belum mengenal betul dan tidak memiliki keahlian tentangnya. Sehingga dia berbuat kesalahan fatal dan memenuhi kitabnya dengan hadits-hadits palsu.” Imam Adz Dzahabi mengomentari perkataan ini dengan pernyataannya, “Adapun di dalam kitab Ihya’ terdapat sejumlah hadits-hadits yang batil dan terdapat kebaikan padanya, seandainya tidak ada adab dan tulisan serta zuhud secara jalannya ahli hikmah dan sufi yang menyimpang.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/339-340).

    Imam Subuki dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah (Lihat 6/287-288) telah mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Al Ihya’ dan menemukan 943 hadits yang tidak diketahui sanadnya. Abul Fadhl Abdurrahim Al Iraqi mentakhrij hadits-hadits Al Ihya’ dalam kitabnya, Al Mughni An Asfari Fi Takhrij Ma Fi Al Ihya Minal Akhbar. Kitab ini dicetak bersama kitab Ihya Ulumuddin. Beliau sandarkan setiap hadits kepada sumber rujukannya dan menjelaskan derajat keabsahannya. Didapatkan banyak dari hadits-hadits tersebut yang beliau hukumi dengan lemah dan palsu atau tidak ada asalnya dari perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka berhati-hatilah para penulis, khathib, pengajar dan para penceramah dalam mengambil hal-hal yang terdapat dalam kitab Ihya Ulumuddin.

    (17) Al Munqidz Minad Dhalalah. Tulisan beliau yang banyak menjelaskan sisi biografinya.

    (18) Al Wasith.

    (19) Al Basith.

    (20) Al Wajiz.

    (21) Al Khulashah. Keempat kitab ini adalah kitab rujukan fiqih Syafi’iyah yang beliau tulis. Imam As Subki menyebutkan 57 karya beliau dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/224-227.
    Aqidah dan Madzhab Beliau

    Dalam masalah fikih, beliau seorang yang bermazhab Syafi’i. Nampak dari karyanya Al Wasith, Al Basith dan Al Wajiz. Bahkan kitab beliau Al Wajiz termasuk buku induk dalam mazhab Syafi’i. Mendapat perhatian khusus dari para ulama Syafi’iyah. Imam Adz Dzahabi menjelaskan mazhab fikih beliau dengan pernyataannya, “Syaikh Imam, Hujjatul Islam, A’jubatuz zaman, Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi Asy Syafi’i.”

    Sedangkan dalam sisi akidah, beliau sudah terkenal dan masyhur sebagai seorang yang bermazhab Asy’ariyah. Banyak membela Asy’ariyah dalam membantah Bathiniyah, para filosof serta kelompok yang menyelisihi mazhabnya. Bahkan termasuk salah satu pilar dalam mazhab tersebut. Oleh karena itu beliau menamakan kitab aqidahnya yang terkenal dengan judul Al Iqtishad Fil I’tiqad. Tetapi karya beliau dalam aqidah dan cara pengambilan dalilnya, hanyalah merupakan ringkasan dari karya tokoh ulama Asy’ariyah sebelum beliau (pendahulunya). Tidak memberikan sesuatu yang baru dalam mazhab Asy’ariyah. Beliau hanya memaparkan dalam bentuk baru dan cara yang cukup mudah. Keterkenalan Imam Ghazali sebagai tokoh Asy’ariyah juga dibarengi dengan kesufiannya. Beliau menjadi patokan marhalah yang sangat penting menyatunya Sufiyah ke dalam Asy’ariyah.

    Akan tetapi tasawuf apakah yang diyakini beliau? Memang agak sulit menentukan tasawuf beliau. Karena seringnya beliau membantah sesuatu, kemudian beliau jadikan sebagai aqidahnya. Beliau mengingkari filsafat dalam kitab Tahafut, tetapi beliau sendiri menekuni filsafat dan menyetujuinya.

    Ketika berbicara dengan Asy’ariyah tampaklah sebagai seorang Asy’ari tulen. Ketika berbicara tasawuf, dia menjadi sufi. Menunjukkan seringnya beliau berpindah-pindah dan tidak tetap dengan satu mazhab. Oleh karena itu Ibnu Rusyd mencelanya dengan mengatakan, “Beliau tidak berpegang teguh dengan satu mazhab saja dalam buku-bukunya. Akan tetapi beliau menjadi Asy’ari bersama Asy’ariyah, sufi bersama sufiyah dan filosof bersama filsafat.” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 110).

    Adapun orang yang menelaah kitab dan karya beliau seperti Misykatul Anwar, Al Ma’arif Aqliyah, Mizanul Amal, Ma’arijul Quds, Raudhatuthalibin, Al Maqshad Al Asna, Jawahirul Qur’an dan Al Madmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, akan mengetahui bahwa tasawuf beliau berbeda dengan tasawuf orang sebelumnya.
    Syaikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud menjelaskan tasawuf Al Ghazali dengan menyatakan, bahwa kunci mengenal kepribadian Al Ghazali ada dua perkara:

    Pertama, pendapat beliau, bahwa setiap orang memiliki tiga aqidah. Yang pertama, ditampakkan di hadapan orang awam dan yang difanatikinya. Kedua, beredar dalam ta’lim dan ceramah. Ketiga, sesuatu yang dii’tiqadi seseorang dalam dirinya. Tidak ada yang mengetahui kecuali teman yang setara pengetahuannya. Bila demikian, Al Ghazali menyembunyikan sisi khusus dan rahasia dalam aqidahnya.

    Kedua, mengumpulkan pendapat dan uraian singkat beliau yang selalu mengisyaratkan kerahasian akidahnya. Kemudian membandingkannya dengan pendapat para filosof saat beliau belum cenderung kepada filsafat Isyraqi dan tasawuf, seperti Ibnu Sina dan yang lainnya. (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asyariyah 2/628).

    Beliau (Syeikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud) menyimpulkan hasil penelitian dan pendapat para peneliti pemikiran Al Ghazali, bahwa tasawuf Al Ghazali dilandasi filsafat Isyraqi (Madzhab Isyraqi dalam filsafat ialah mazhab yang menyatukan pemikiran dan ajaran dalam agama-agama kuno, Yunani dan Parsi. Termasuk bagian dari filsafat Yunani dan Neo-Platoisme. Lihat Al Mausu’ah Al Muyassarah Fi Al Adyan Wal Madzahibi Wal Ahzab Al Mu’ashirah, karya Dr. Mani’ bin Hamad Al Juhani 2/928-929). Sebenarnya inilah yang dikembangkan beliau akibat pengaruh karya-karya Ibnu Sina dan Ikhwanush Shafa. Demikian juga dijelaskan pentahqiq kitab Bughyatul Murtad dalam mukadimahnya.
    Setelah menyimpulkan bantahan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terhadap beliau dengan mengatakan, “Bantahan Ibnu Taimiyah terhadap Al Ghazali didasarkan kejelasannya mengikuti filsafat dan terpengaruh dengan sekte Bathiniyah dalam menta’wil nash-nash, walaupun beliau membantah habis-habisan mereka, seperti dalam kitab Al Mustadzhiri. Ketika tujuan kitab ini (Bughyatul Murtad, pen) adalah untuk membantah orang yang berusaha menyatukan agama dan filsafat, maka Syaikhul Islam menjelaskan bentuk usaha tersebut pada Al Ghazali. Yang berusaha menafsirkan nash-nash dengan tafsir filsafat Isyraqi yang didasarkan atas ta’wil batin terhadap nash, sesuai dengan pokok-pokok ajaran ahli Isyraq (pengikut filsafat neo-platonisme).” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 111).

    Tetapi perlu diketahui, bahwa pada akhir hayatnya, beliau kembali kepada ajaran Ahlusunnah Wal Jama’ah meninggalkan filsafat dan ilmu kalam, dengan menekuni Shahih Bukhari dan Muslim. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Penulis Jawahirul Qur’an (Al Ghazali, pen) karena banyak meneliti perkataan para filosof dan merujuk kepada mereka, sehingga banyak mencampur pendapatnya dengan perkataan mereka. Pun beliau menolak banyak hal yang bersesuaian dengan mereka.
    Beliau memastikan, bahwa perkataan filosof tidak memberikan ilmu dan keyakinan. Demikian juga halnya perkataan ahli kalam. Pada akhirnya beliau menyibukkan diri meneliti Shahih Bukhari dan Muslim hingga wafatnya dalam keadaan demikian. Wallahu a’lam.”

    ***

    Sumber: Majalah As SunnahPenyusun: Ust. Kholid Syamhudi, Lc.Dipublikasikan kembali oleh www.muslim.or.id

    more

  • Mata uang Libya adalah dinar. Pecahan terbesar terdiri dari 20 dinar, 10, 5, 1, 500 dirham (1/2 dinar) dan 250 dirham (1/4 dinar). Kemudian pecahan setengah dan seperempat dinar. Semua itu pecahan uang kertas. Sedangkan pecahan logamnya terdiri dari 100 dirham dan 50 dirham. 1 dinar = 1000 dirham.
    Dekorasi yang terdapat dalam mata uang dinar Libya merupakan refleksi perjuangan dan ittijah politik negara tersebut yang dituangkan dalam serial mata uang negaranya.Misalnya pecahan 20 dinar. Pada halaman muka digambarkan peta negara Libya dengan proyek raksasanya yang termasuk kategori keajaiban dunia ke-8 yaitu peta ambisius mengenai Sungai Buatan (The Great Man-Made River); sedangkan halaman belakangnya berisi gambar photo para pemimpin negara-negara Afrika dalam pengikraran berdirinya Uni Afrika di kota Sirte, Libya pada tgl 9 Al-Fateh (September) 1999.
    Libya merupakan salah satu negara yang sangat aktif dalam memperjuangkan unifikasi negara-negara Afrika lewat Organisasi Uni Afrika, yang tujuan akhirnya adalah terbentuknya ’The United States of Afrika’ (Negara Afrika Serikat), bahkan akan membuat Parlemen dan Mahkamah Afrika.Pecahan 10 dinar bergambar tokoh pejuang Libya Umar Mukhtar yang pernah difilmkan oleh sutradara Syria Mustafa Akkad berjudul ’Umar Mukhtar’ sedangkan dimuka lainnya bergambar ’Pengumuman Kekuasan Rakyat’ yang merupakan wadah politik pemerintah dan rakyat Libya.
    Semua pecahan uang kertas dinar Libya mengutip ayat suci Al-Qur’an, yang berbunyi,”Walaa Ta’kuluu amwaalakum baynakum Bil Baathili’. (Al-Baqarah : 188). Artinya: ”Janganlah kamu mendapatkan hartamu dengan jalan curang (haram/tidak sah atau bukan hakmu), seperti menipu, korupsi, mark-up, mencuri, merampok, memalsukan dokumen, dan lain-lain cara yang haram seperti yang marak dn terungkap dalam berbagai media di tanah air.
    Boleh juga dipertimbangkan mata uang rupiah mencontoh mata uang dinar Libya tentang pemuatan ayat suci tersebut, sehingga orang yang melakukan kecurangan dan melihat bunyi ayat tersebut bisa menyadarkan dirinya atau minimal dia menyesali perbuatannya dan tidak mengulanginya lagi. Setahu saya baru mata uang Libya yang mengutip ayat suci Al-Qur’an di dalam mata uangnya.

    more
  • Ada Apa Dengan Umat Islam?
    Oleh : Muhammad Saefannur*

    Monday, 26 May 2008
    Seorang teman pernah bertanya, "Kenapa Islam mundur?", sebelum kita jawab, kita akan membenarkan pertanyaannya dulu, seharusnya pertanyaan itu, "Kenapa dunia Islam mundur?". Kalau Islam tidak pernah mundur dan jatuh, karena dia di jaga oleh Yang menurunkannya, yang bermasalah adalah orang Islamnya, kalaupun ada krisis, maka objeknya adalah muslim, bukan Islam!. Islam bukanlah agama seperti yang banyak dipahami oleh sebagian orang dan orientalis, "sebuah agama masa tertentu dengan expiry, sebuah kenangan dalam sejarah peradaban manusia, sebuah ajaran yang hanya tertulis dalam lembaran, bukan ajaran untuk dipakai dalam dunia nyata".

    Pada dasarnya, umat Islam adalah umat Iqra', sedemikian agungnya kalimat ini sampai Allah menyandingkan namaNya dengan kalimat ini, "Iqra' Bismirabbikalladzi Khalaq". kalimat Iqra' bermakna Ilmu dan Peradaban (Knowledge and Civilization). Ketika umat menyadari eksistensi mereka sebagai esensi dari kalimat Iqra', mereka bisa maju, berbuat, memproduksi, yang puncaknya fathul makkah pada abad pertama hijriah, dan kejayaan pada abad ke dua hijriah di masa Harun Al-Rasyid dan Al-Ma'mun.
    ketika itu mereka umat yang produktif, tampil sebagai pemeran utama di panggung sejarah sebagai ahli dalam ilmu pengetahuan, dalam segala segi, baik perkembangan Ilmu Agama dan Ilmu yang kita sebut hari ini dengan Ilmu umum.
    Ibn El-Nafes El-Dimasqy(687h/1288m), penemu system peredaran darah kecil, seorang pakar kedokteran, pakar bahasa arab, fiqh, dan juga sejarahwan. Muhammad Ibn Musa El-Damiry (808h/1405m), seorang sastrawan, peneliti, pemilik kitab Hayaatul Hayawan, beliau juga salah satu ulama dalam fiqh syafi'i.Jalalluddin el-suyuti (911h/1505), al-imam al-hafidz am-muarrikh al-adib. Beliau mewariskan lebih dari 600 karya dalam semua disiplin ilmu, dari tafsir sampai kedokteran.[1]Saat itu umat ini menganggap ilmu adalah satu. Tidak membedakan antara ilmu yang satu dengan yang lain, selama itu bermanfaat itulah tujuan mereka!.
    Kita bisa melihat contohnya, buku "Al-Anieq Fil Manaajiniiq" (The Enchanted Canons),Karya Ibn Aranbugh Al-Zardkasy (867h/1426m), sebuah buku tentang art of war dan militer, buku yang dikarang pada masa dinasti Mamalik. Buku ini dicetak oleh Ma'had Turast Ilmy Araby, Jami'ah Aleppo , Direvisi oleh DR. Ihsan El-hindy.[2]Setelah golden period ini, umat mengalami stagnansi dalam pemikiran, ketika umat memilah-milah antara ilmu Syariah dengan ilmu Umum (cosmology), mereka mengedepankan ilmu syariah dan mengabaikan ilmu Umum, dan mulai melupakan bahwa kalimat Iqra' menuntut semua disiplin ilmu.
    Mereka mengatakan yang pertama Fardhu 'ain dan yang kedua fardhu kifayah! Ada ulama yang mengatakan;" Fardhu kifayah lebih afdhol dari fardhu 'ain, karena dengan fardhu kifayh seseorang telah menanggung beban sosial, sedangkan fardhu 'ain hanya kembali pada dirinya sendiri"[3]Sebuah pernyataan yang sangat menakjubkan agar kita berlomba-lomba dalam mengerjakan fardhu kifayah,yang tentunya setelah fardhu 'ain kita selesaikan.Iqra' berarti ilmu dan peradaban secara komplit, dunia dan akhirat, hidup adalah agama dan agama adalah hidup!.Kita mengabaikan urusan dunia dengan menyibukkan diri dengan urusan akhirat.
    Memang benar akhirat itu adalah hidup yang sesungguhnya, tapi hari ini kita sedang hidup di dunia, di pundak kita Risalah Agung yang harus kita pikul, untuk itu kita tidak hanya bisa dengan duduk berdoa dan berpuasa. Ilmu dunia (umum) adalah ibarat makanan, dan ilmu agama adalah ibarat obat, bagaimana kita bisa hidup normal tanpa makanan? Seseorang yang hanya makan obat, kalau overdosis bisa game! Tapi yang dituntut tubuh kita setiap hari adalah makanan, adapun obat kita gunakan ketika kita sakit.
    Hal ini bukan mengesampingkan atau menomor duakan ilmu agama, karena memang ilmu itu semu milik tuhan, seseorang tidak akan selama dia makan makan makanan yang baik dan halal, semua ilmu apabila diresapi akan mengarahkan kita kepada keagungan Tuhan Maha Pencipta!Hari adalah hasil usaha kemarin, sedangkan besok adalah hasil dari hari ini. Hari ini musuh kita telah jauh maju meninggalkan kita, ketika mereka di depan, mereka selalu berusaha menghalangi perkembangan kita.
    Mereka mengaborsi benih-benih kemajuan dan perkembangan kita, namun jarang dari kita yang menyadarinya. Yang membuat kita akhirnya harus selalu erganutng pada mereka seperti sapi yang dicucut hidungnya. Pada akhir abad 20 M. Mesir telah mulai melakukan pembangunan bersama Jepang, namun Jepang sukses menjadi singa asia , Mesir gagal dan tetap menjadi sapi yang dicucut hidungnya!
    Saat ini semua Negara Islam sedang diperangi dan dinina bobokkan oleh musuh-musuhnya agar tidak terbangun, kalaupun ada satu atau dua dari muslim yang terbangun, maka ditidurkan untuk selamanya!
    1. Prof.DR. Hasan Kamil Shobah (1894), Ilmuwan Libanon yang hijrah ke amerika, dan bekerja di perusahaan general electric newyork, beliau menemukan lebih dari 40 penemuan ilmiah, karena itu beliau disebut Arabian Edison. Salah satu penemuan beliau adalah alat penetralan air laut. Beliau meninggal dalam kecelakaan mobil secara misterius.
    2. Prof.DR. Musthafa Musyarrofah, salah satu dari 10 Ilmuwan Fisika abad 20 didunia dari mesir, meninggal di amerika karena diracuni tahun 1950.
    3. Prof.DR. Samier Al-Habib, ahli atom mesir, belajar diamerika, dan meninggal disana secara misterius satu hari sebelum beliau kembali ke mesir tahun1967.
    4. Prof.DR. Saeed Sayyid Badier, yang mendapat sebutan Egyptian Einstein, salah satu dari 10 antariksawan dunia abad 20, beliau menolak bekerja sebagai badan ahli di NASA amerika, meninggal dibunuh secara misterius sebelum kembali ke mesir tahun 1989.
    [4]Hari ini kita Cuma mampu menghasilkan bahan material dan mengekspor kepada mereka, yang kemudian dikembalikan pada kita dengan harga 100 kali lipat!!Tidak mungkin umat ini bisa bangkit kecuali dengan totalitas keilmuan dan usaha (Hard Effort and Struggle). Perlu dipahami kembali kalimat iqra' dan dilaksanakan dengan baik, sehingga umat bisa bangkit dan sembuh dari penyakit-penyakitnya.Syeikh Badi' El-Zaman Saeed El-Nourusy
    [5] menjawab ketika beliau ditanya tentang sebab kemunduran Muslim (The Muslim Decline):

    1. Kurangnya perhatian Muslimin terhadap Syariah Islamiyyah yang suci.
    2. Fanatisme yang tidak pada tempatnya, baik yang dilakukan oleh ilmuwan yang bodoh atau orang bodoh yang sok ilmuwan!
    3. Mengikuti perdaban eropa yang tanpa memfilter yang baik dan buruk.
    4. Tingkah laku sebagian orang yang terlalu menjilat!! ( Terutama pada penguasa!)
    [6]Mungkin poin pertama adalah pendapat yang sangat benar. Ini stressing point buat kita, khususnya mahasiswa Indonesia di Damaskus.Dan stressing point yang terakhir kenapa kita makin hari makin melangkah ke belakang adalah kurangnya perhatian terhadap potensi dan SDM.
    Hal ini terlihat dari kurangnya perhatian terhadap generasi yang berpotensi, sehingga potensi untung maju dan berkembang mati karena tidak tersalurkan. Rasulullah SAW. telah mencontohkan eksploitasi beliau terhadap potensi yang dimiliki masing-masing sahabat.Riwayat Hakim dalam Mustadrak;" Abu Baker umat ku yang paling lembut, umara yang paling disiplin dan keras dalam hukum Allah SWT, Ustman yang paling pemalu, Ubay ibn Ka'ab yang paling bagus bacaanya, Zaid bin Tsabit yang paling ahli dalam faroidh, Ali yang paling adil dalam memutuskan perkara, Muadz bin Jabal uamtku yang paling mengetahui halal dan haram, yang paling benar dialek bahasanya adalah Abu Dzar, orang yang paling bisa diprcaya adalah Abu Ubaidah bin Jarrah, dan cendikiawan umatkau adalah Abdullah bin Abbas."Dengan melihat potensi ini, Rasul SAW selalu tepat memberikan posisi bagi sahabat sesuai kemampuan masing-masing.
    Seperti saidina Zaid bin Tsabit yang terkenal cepat dalam mempelajari bahasa, maka rasulullah memakai beliau untuk mempelajari bahasa yahudi, dalam tempo setengah bulan beliau telah lancar berbicara dan menulis bahasa yahudi.
    Wallahu A'lam.-------------------------------------------------
    [1] . Al-A'lam, jilid 7, hal 118.
    [2] . Limadza Saqatal 'Alam Al-Islamy? DR.Syauqi Abu Kholil.
    [3] . Al-Majmu' Syarh Muhazzab, Imam Haramain, jilid , hal 26.
    [4] . Al-A'lam, jilid 2, hal 211.
    [5] . Beliau lahir tahun 1876 di kota nourus, utara turkey, beliau adalah salah satu ulama yang mengumpulkan berbagai macam disiplin ilmu, beliau mengajar bangsa turkey sejarah, matematika, geology, kimia, fisika astronomy dan syriah.meninggal 17 September 1960 setelah kehidupan beliau yang penuh dengan perjuangan, penjara, penyiksaan dan pembuangan. beberapa bulan setelah-pemakaman beliau, kuburan beliau digali dan jasad beliau yang masih utuh diambil oleh pemerintah sekuler turkey, dan sampai saat ini tidak diketahui diamana jasad suci itu.
    [6] . Kulliyyatu Rasail Nour, Badi' Zaman, cetakan Istanbul 1988.

    * Penulis adalah mahasiswa Universitas Damaskus Syria Fak. Syari'ah TK II

    more

  • Mei Thuesday, 15 May 2008 nulibya

    Suatu sore, di musim, langit Kota Tripoli berwarna indah nan mempesona. Udaranya sejuk. Musim yang bersahabat bagi mahasiswa Asia, khususnya Indonesia. Sangat mendukung untuk beraktifitas. Dari selatan enam kaki berjalan penuh semangat. Di persimpangan jalan tampak tiga kepala tampak sudah menunggu. Ketiga kepala dan enam kaki itu bersama-sama menuju kampus Mahad At Ta’hili, yang terletak di ibu kota Libya, Tripoli.

    Oups…parade kaki dan kepala itu bukan monster-monster dalam film Spiderman atau prajurit yang akan menggelar sidang untuk mengkudeta atasannya. Melainkan kader muda NU angkatan 2007 yang sedang menempuh study di International Islamic Call College Tripoli, Libya. Mereka berkumpul untuk mengadakan kajian kaidah fikih.

    ”Saya mengajak teman-teman berpikir kritis dan memahami teks warisan para ulama salaf sebelum menerapkanya dalam keseharian. Saya kira salah dan dosa besar bagi kita jika terus taklid buta. Yakni, menelan mentah-mentah hasil pemikiran ulama terdahulu (turats, red). Menurut hmat saya, jangan menerima ajaran sebelum melakukan uji kebenaran atau bahasa yang sedikit santunnya: terjamin relevansinya dengan konteks temporer,” kata A. Muntaha Afandie, koordinator kelompok diskusi yang bernama Kajian Tahili (KT) itu.

    Lebih lanjut, kata alumnus Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur itu, jika umat Islam terus mengamalkan peninggalan masa lalu secara buta, maka selamanya mereka terus berada di belakang panggung sementara berbagai bengsa sudah bergantian menjadi pemeran utama percaturan laju dunia. Oleh karena itu, lanjut Pemred Al Ukhuwwah itu, kajian terhadap teks-teks masa lalu sangat perlu dilakukan. Tidak bisa ditawar. Hal itu apabila ummat Islam mau melestarikan kehidupan yang ilmiah.

    ”Kita terima pemikiran mereka yang masih relevan dengan konteks kekinian dan mampu menjawab problematika kontemporer. Sebaliknya, apabila sudah tidak berkutik dibenturkan pada problematika keseharian kita yang semakin kompleks, maka buat apa kita malu-malu meninggalkannya. Seperti kaidah yang sangat familiar di kalangan nahdliyyin, ’Al muhafadlatu ala qadim al shalih wa al akhdu bi al jadid al ashlah, kita terima peninggalan masa lalu yang masih relevan dan tinggalkan yang sudah usang. Kemudian, ambil produk-produk pemikiran kontemporer yang lebih baik,” tegas mantan redaktur Misykat.

    Tentatif acara pada sore itu cukup padat. Namun, karena keterbatasan waktu akhirnya acara inti, kajian kaidah fikih yang pertama, ditunda minggu berikutnya. Pasalnya, menurut Hardiyatullah, wakil koordinator KT, hal itu disebabkan pemaparan perbedaan antara fikih, ushul fikih, dan kaidahnya oleh Anas Masudi Al Malawy, memakan waktu yang tidak diprediksikan sebelumnya.

    ”Sebelumnya kami memprediksikan pemaparan Kang Anas cuma tiga puluh sampai empat puluh menit. Ternyata perbedaan antara ketiga disiplin ilmu itu cukup luas dan perlu kajian komprehensip dan intens. Sehingga, sebagai konsekwensinya, kami mengambil keputusan mengundur kajian kaidah yang pertama oleh saudara A. Muntaha Afandie,” ujar alumnus Ponpes Ploso Kediri, Jawa Timur itu.

    Walaupun baru sebatas pemaparan sejarah dan perbedaan antara tiga disiplin ilmu tersebut, kajian pada Sabtu (19/04) berjalan ”panas.” Maka, tidak berlebihan jika penyelenggara merasa puas. ”Saya sangat senang acara ini bisa berjalan mulus dan sukses. Semoga kajian ini bisa langgeng di Tanah Hijau. Selain itu, harapan saya, semoga kajian ini benar-benar ilmiah dan jauh dari prasangka negatif. Baik negatif pada pendapat sesama peserta maupun terhadap teks yang kita kaji,” lanjut pria yang akrab disapa Hardyboy diplomatis.

    Rasa senang dan bangga tidak hanya dirasakan oleh anggota kajian dan penyelenggara. Kang Anas— sapaan akrab Anas Masudi Al Malawi— juga menyatakan hal sama. ”Saya bangga dengan gebrakan yang dilakukan oleh teman-teman mahasiswa baru. Kalian harus menjaga acara ini agar tetap berjalan. Jangan sampai berhenti ditengah jalan,” kata mahasiswa tahun terakhir International Islamic Call College, spesifikasi syariah.

    Peserta kajian keluar ruangan setelah mengamini doa yang dipimpin Wasi’ Hilmi. Senandung adzan menyambut langkah mereka, ketika kaki menginjak halaman perpustakaan yang memisahkan kampus Mahad Tahili dan Masjid.

    betty el naviah

    more
  • DUNIA MEMANG MELELAHKAN


    Selepas imtihan niha’I (ujian ahir), aku niat mau refresh otakku dari panasnya terik muqorror (mata kuliah) yang telah menyelimutiku selama kurang-lebih satu bulan. Begitu ujian selesai aku langsung pergi keluar dari asrama mencari udara segar di madinah (kota) untuk menyegarkan otak kembali. Di sana aku bertemu seorang teman. Lantas ia bercerita mengenahi planning kehidupan yang akan dilewatinya.

    Ia adalah salah seorang mahasisiwa yang tengah duduk di bangku ahir kuliah. Ia bilang, aku punya azam baik setelah lulus kuliah dari sini (KDI). Aku punya rencana ingin segera menikah dengan seseorang yang senantiasa akan bersemayam di hatiku. Seorang gadis yang siap menerima aku apa adanya. Seorang gadis yang siap membantu perjuanganku dalam menegakkan ajaran-ajaran Allah swt. Seorang gadis yang senantiasa akan mendapat ridha Allah untuk menjadi pendamping hidup setiaku selama hayat di kandung badan hingga menghadap Sang Yang Agung kelak.

    Dari azam yang baik nan kuat itu, selepas imtihan aku langsung mondar-mandir ke sana dan ke mari guna mencari aktivitas yang bisa mendatangkan material. Setelah mondar-mandir, ahirnya aku bertemu dengan seorang yang aku pandang baik. Ia seorang bos dari pertokoan besar untuk perabitan rumah tangga. Ia adalah penduduk asli Negara di tempat aku belajar (negeri sahara).
    Aku tidak peduli apa aktivitas itu, yang penting halal dan dapat memberiku financial yang cukup untuk bekal melangkah ke depan guna mewujudkan azamku tadi. Setelah berkenalan dengan sang Boaa, ia menawri aku suatu aktivitas yang lumayan besar harapanku untuk berpijak pada hasil yang akan kudaat dari aktivitas tadi.

    Adalah aktivitas yang sama sekali belum pernah aku alami dan aku rasakan. Pasalnya aktivitas itu aku kerjakan di malam hari. Bukan hanya malam hari, bahkan dari sore sampai pagi. Demikian itu karena di mataku sudah terpenuhi dengan hangar-bingar ke-hijau-an duniawi.

    Suatu aktivitas yang sangat membutuhkan tenaga super extra. Sebenarnya, pada awalnya aku menolak tawaran dari boss tadi. Pasalnya aku tidak terbiasa begadang. Sedangkan aktivitas itu menuntut aku harus begadang. Namun, temanku sangat semanga dan antusias sekali menerima tawaran sang boss tadi. Ahirnya, kami pun menerima tawaran itu. Pasalnya sangan boss telah menjanjikan akan menghargai waktu kita yang diambil dengan nilai 10 LD/jam.

    Begitu sang boss menyebutkan nominal yang akan diberikan, otakku langsung bekerja cepat mengalkulasi jumlah yang akan aku dapat. Waktu itu sang boss menghendaki aku untuk memberikan waktu padanya selama 15 jam. Demikian itu mulai dari jam 7 sore sampai jam 10 pagi.

    Bisa dibayangkan bagaimana lelahnya aku saat itu. Beraktivitas selama kurang-lebih 15 jam tanpa ada istirahatnya. Di samping itu teman erat kedua tanganku dalam mengejawantahkan aktivitas tadi berasal dari mesin berat yang harus aku gerakkan dan aku angkat ke sana-sini. Penerimaanku atas tawaran itu, sekali lagi karena otakku telah terpenuhi oleh hijaunya dunia atau gambaran pahlwan Sahara Umar Mukhtar. Jika sang boss menghargai satu jam senilai 10 dinar, berarti jika aku mengejakan aktivitas itu selama 15 jam, aku akan mendapatkan uang 150 dinar. Nominal itu hanya dalam satu hari. Jika selama satu bulan dengan nominal yang sama, atau minimal berkurang menjadi 8 dinar/hari, jika aku teruskan aktivitas itu selama satu bulan, aku akan dapat mengumpulkan dinar Umar Mukhtar senilai kurang-lebih 1000 dinar. Wah, bisa tergambar oleh otakku, jika aku pulang ke negeriku dengan membawa uang sejumlah itu, niscaya kedamaian hati untuk mewujudkan azamku tadi akan segera terwujud dengan mudah.

    Namun, ternyata semua prediksiku meleset dari kenyataan. Pasalnya, di hari pertama aku mulai beraktivitas dengan sang boss, aku sudah melanggar janji tidak menepati waktu. Yang kedua aku minta ijin pulang sebelum nyampai pada batas yang telah aku sepakati dengan sang boss. Pasalnya hari itu adalah hari pertama aku mencoba melakukan aktivitas yang sangat berat bagiku. Apalagi harus menuntut aku begadang penuh, bahkan sampai melewati pagi.

    Ahirnya, sampai sekarang pun aku tidak tahu apakah sang boss tadi akan menepati janji-janji yang telah ditawarkan ke aku atau tidak? Apakah ia akan terus meminta aku menemaninya dalam mengerjakan aktivitas-aktivitas tadi? Masa bodh dengan semua itu. Toh, urusan rejeki semuanya di tanga Tuhan. Namun aku harus berikhtiar. Aku sudah menghabiskan waktuku kurang-lebih 14 jam bersam sang boss, tapi dia sama sekali belum berikan hakku yang telah ia janjikan sampai sekarang (satu hari setelah selesai beraktivitas dengannya). Walaupun ia telah menelponku akan memberikan hakku pada malam hari setelaha beraktivitas di hari itu melalui salah seorang anak didiknya, ternyata ia menundanya sampai besok harinya. Entah besok harinya ia akan menepati janjinya atau tidak, aku serahkan semuanya pada Allah swt Sang Pengtur rejeki. Semoga saja ia akan mengbulkan janji-janjinya padaku besok.

    Begitulah kawan ….. jerih-payah dalah menggali dunia dan mengejar bayangannya. Namanya juga bayangan, kamu tidak akan pernah dapat menemukan dan merasakan hakikat keberadaannya, kecuali jika kamu mendapat petunjuk dariNya. Dunia memang melelahkan bagi kita yang senantiasa mengejar-mengejarnya. Dunia ternyata melelahkan, jika kita berambisi meraihnya dengan tanpa memikirkan dampak psitif-negatifnya.

    Benar kata seorang penyair yang menggambarkan keberadaan dunia seperti bangkai dan orang yang merindukannya seerti anjing-anjing yang menggonggong kelaparan. Penyair lainnya bersenandung tentang dunia seraya berkata:
    “Dunia adalah suatu yang sangat sedikit (nilainya). Orang yang merindukannya adalah orang-orang yang lebih hina dari perkara yang hina. Dunia bisa membuat mata buta dan telinga menjadi tuli……”

    more
  • ABD'ULLAH BIN MAS'UD

    Yang Pertama Kali Mengumandangkan Al-Quran Dengan Suara Merdu
    Sebelum Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam masuk ke rumah Arqam, Abdullah bin Mas'ud telah beriman kepadanya dan merupakan orang keenam yang masuk Islam dan mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Dengan demikian ia termasuk golongan yang mula pertama masuk Islam

    Pertemuannya yang mula-mula dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam itu diceritakannya sebagai berikut:

    "Ketika itu saya masih remaja, menggembalakan kambing kepunyaan Uqbah bin Mu'aith. Tiba-tiba datang Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersama Abu Bakar radhiyallahu 'anhu, dan bertanya: "Hai nak, apakah kamu punya susu untuk minuman kami': "Aku orang kepercayaan" ujarku': "dan tak dapat memberi anda berdua minuman ...!"

    maka sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Apakah kamu punya kambing betina mandul, yang belum dikawini oleh salah seekor jantan"? ada : ujarku. Lalu saya bawa ia kepada mereka. Kambing itu diihat kakinya oleh Nabi lalu disapu susunya sambil memohon kepada Allah. Tiba-tiba susu itu berair banyak .... Kemudian Abu Bakar mengambikan sebuah batu cembung yang digunakan Nabi untuk menampung perahan susu. Lalu Abu Bakar pun minum lah, dan saya pun tidak ketinggalan .... Setelah itu Nabi menitahkan kepada susu: "Kempislah!': maka susu tu menjadi kempis....

    Setelah peristiwa itu saya datang menjumpai Nabi, kataku: "Ajarkanlah kepadaku kata-kata tersebutl"

    Ujar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Engkau akan menjadi seorang anak yang terpelajar!''
    Alangkah heran dan ta'jubnya Ibnu Mas'ud ketika menyaksikan seorang hamba Allah yang shalih dan utusan-Nya yang dipercaya memohon kepada Tuhannya sambil menyapu susu hewan yang belum pernah berair selama ini, tiba-tiba mengeluarkan kurnia dan rizqi dari Allah berupa air susu murni yang enak buat diminum ...!

    Pada sa'at itu belum disadarinya bahwa peristiwa yang disaksikannya itu hanyalah merupakan mu'jizat paling enteng dan tidak begitu berarti, dan bahwa tidak berapa lama iagi dari Rasululla~i yang mulia ini akan disaksikannya mu'jizat yang akan menggoncangkan dunia dan memenuhinya dengan petunjuk serta cahaya ....

    Bahkan pada saat itu juga belum diketahuinya, bahwa dirinya sendiri yang ketika itu masih seorang remaja yang lemah lagi miskin, yang menerima upah sebagai penggembala kambing milik 'Uqbah bin Mu'aith, akan muncul sebagai salah satu dari mu'jizat ini, yang setelah ditempa oleh Islam menjadi seorang beriman, akan mengalahkan kesombongan orang-orang Quraisy dan menaklukkan kesewenangan para pemukanya....

    Maka ia, yang selama ini tidak berani lewat di hadapan salah seorang pembesar Quraisy kecuali dengan menjingkatkan kaki dan menundukkan kepala, di kemudian hari setelah masuk Islam, ia tampil di depan majlis para bangsawan di sisi Ka'bah, sementara semua pemimpin dan pemuka Quraisy duduk berkumpul, lain berdiri di hadapan mereka dan mengumandangkan suaranya yang merdu dan membangkitkan minat, berisikan wahyu Iiahi al-Quranul Karim:

    Bismillahirrahmanirrahim ....Allah Yang Maha Rahman ....Yang telah mengajarkan al-Quran ....Menciptakan insan ....Dan menyampaikan padanya penjelasan ....Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan ....Sedang bintang dan kayu-kayuan sama sujud kepada Tuhan....
    Lain dilanjutkannya bacaannya, sementara pemuka-pemuka Quraisy sama terpesona, tidak percaya akan pandangan mata dan pendengaran telinga mereka .... dan tak tergambar dalam fikiran mereka bahwa orang yang menantang kekuasaan dan kesombongan mereka ..., tidak lebih dari seorang upahan di antara mereka, dan penggembala kambing dari salah seorang bangsawan Quraisy .... yaitu Abdullah bin Mas'ud, seorang miskin yang hina dina .... !

    Marilah kita dengar keterangan dari saksi mata melukiskan peristiwa yang amat menarik dan mena'jubkan itu! Orang itu tiada lain dari Zubair radhiyallah 'anhu katanya:

    "Yang mula-mula menderas al-quran di Mekah setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ialah Abdullah bin Mas’ud radhiyallah 'anhu . Pada suatu hari para shahabat Rasulullah berkumpul, kata mereka:

    "Demi Allah orang-orang Quraisy belum lagi mendengar sedikit pun al-quran ini dibaca dengan suara keras di hadapan mereka....Nah, siapa di antara kita yang bersedia memperdengarkannya kepada mereka ...."Maha kata Ibnu Mas'ud: "Saya ".Kata mereka: "Kami Khawatir akan keselamatan dirimu!Yang kami inginkan ialah seorang laki-laki yang mempunyai kerabat yang akan mempertahankannya dari orang-orangg itu jika mereka bermaksud jahat ....':"Biarkanlah saya!" kata Ibnu Mas'ud pula, "Allah pasti membela Maka datanglah Ibnu Mas'ud kepada kaum Quraisy di waktu dluha, yakni ketika mereka sedang berada di balai pertemuannya.... la berdiri di panggung lalu membaca: Bismillahirrahmaanirrahim, dan dengan mengerashan suaranya: Arrahman Allamal Quran ....Lalu sambil menghadap kepada mereka diteruskanlah bacaannya. Mereka memperhatikannya sambil bertanya sesamanya:"Apa yang dibaca oleh anak si Ummu 'Abdin itu ... .
    Sungguh, yang dibacanya itu ialah yang dibaca oleh Muhammad"Mereka bangkit mendatangi dan memukulinya, sedang Ibnu Mas'ud meneruskan bacaannya sampai batas yang dihehendaki Allah .Setelah itu dengan muka dan tubuh yang babak-belur ia kembali hepada para shahabat. Kata mereka:"Inilah yang kami khawatirkan terhadap dirimu ....!"Ujar Ibnu Mas'ud "Sekarang ini tak ada yang lebih mudah bagimu dari menghadapi musuh-musuh Allah itu! Dan seandainya tuan-tuan menghendaki, saya akan mendatangi mereka lagi dan berbuat hal yang sama esok hari "Ujar mereha: "Cukuplah demikian! Kamu telah membacakan kepada mereka barang yang menjadi tabu bagi mereka!"

    Benar, pada saat Ibnu Mas'ud tercengang melihat susu kambing tiba-tiba berair sebelum waktunya, belum menyadari bahwa ia bersama kawan-kawan senasib dari golongan miskin tidak berpunya, akan menjadi salah satu mu'jizat besar dari Rasulullah, yakni ketika mereka bangkit memanggul panji-panji Allah dan menguasai dengannya cahaya siang dan sinar matahari. Tidak diketahuinya bahwa saat itu telah dekat .... Kiranya secepat itu hari datang dan lonceng waktu telah berdentang, anak remaja buruh miskin dan terlunta-lunta serta-merta menjadi suatu mu'jizat di antara berbagai mu'jizat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam....!

    Dalam kesibukan dan berpacuan hidup, tiadalah ia akan menjadi tumpuan mata .... Bahkan di daerah yang jauh dari kesibukan pun juga tidak ... .! Tak ada tempat baginya di kalangan hartawan, begitu pun di dalam lingkungan ksatria yang gagah perkasa, atau dalam deretan orang-orang yang berpengaruh.

    Dalam soal harta, ia tak punya apa-apa, tentang perawakan ia kecil dan kurus, apalagi dalam soal pengaruh, maka derajatnya jauh di bawah ....Tapi sebagai ganti dari kemiskinannya itu, Islam telah memberinya bagian yang melimpah dan perolehan yang cukup dari pebendaharaan Kisra dan simpanan Kaisar. Dan sebagai imbalan dari tubuh yang kurus dan jasmani yang lemah, dianugerahi-Nya kemauan baja yang dapat menundukkan para adikara dan ikut mengambil bagian dalam merubah jalan sejarah. Dan untuk mengimbangi nasibnya yang tersia terlunta-lunta, Islam telah melimpahinya ilmu pengetahuan, kemuliaan serta ketetapan, yang menampilkannya sebagai salah seorang tokoh terkemuka dalam sejarah kemanusiaan ....

    Sungguh, tidak meleset kiranya pandangan jauh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau mengatakan kepadanya: "Kamu akan menjadi seorang pemuda terpelajar". Ia telah diberi pelajaran oleh Tuhannya hingga menjadi faqih atau ahli hukum ummat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam , dan tulang punggung para huffadh al-Quranul Karim .

    Mengenai dirinya ia pernah mengatakan:"Saya telah menampung 70 surat alquran yang kudengar langsung dari RasululIah Shallallahu 'alaihi wa sallam tiada seorang pun yang menyaingimu dalam hal ini...."

    Dan rupanya Allah swt. memberinya anugerah atas keberaniannya mempertaruhkan nyawa dalam mengumandangkan alQuran secara terang-terangan dan- menyebarluaskannya di segenap pelosok kota Mekah di saat siksaan dan penindasan merajalela, maka dianugerahi-Nya bakat istimewa dalam membawakan bacaan al-Quran dan kemampuan luau biasa dalam memahami arti dan maksudnya.

    Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah memberi washiat kepada para shahabat agar mengambil Ibnu Mas'ud sebagai teladan, sabdanya:"Berpegang-teguhlah kepada ilmu yang diberihan oleh Ibnu Ummi 'Abdin ....!"

    Diwashiatkannya pula agar mencontoh bacaannya, dan mempelajari cara membaca al-Quran daripadanya. Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :"Barangsiapa yang ingin hendak mendengar al-quran tepat seperti diturunkan, hendaklah ia mendengarhannya dari Ibnu Ummi ilbdin ...!Barangsiapa yang ingin hendak membaca al-quran tepat seperti diturunkan, hendaklah ia membacanya seperti bacaan Ibnu Ummi ;Ibdin ...!"

    Sungguh, telah lama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallammenyenangi bacaan al-Quran dari mulut Ibnu Mas'ud .... Pada suatu hari ia memanggilnya sabdanya:

    "Bacakanlah kepadaku, hai Abdullah!""Haruskah aku membacakannya pada anda, wahai Rasulullah..?"Jawab Rasulullah: "Saya ingin mendengarnya dari mulut orang lain"Maka Ibnu Mas'ud pun membacanya dimulai dari surat an-Nisa hingga sampai pada firman Allah Ta'ala:Maka betapa jadinya bila Kami jadikan dari setiap ummat itu seorang saksi, sedangkan kamu Kami jadikan sebagai saksi bagi mereka ... .!Ketika orang-orang kafir yang mendurhakai Rasul sama berharap kiranya mereka disamaratakan dengan bumi ... .! dan mereka tidah dapat merahasiahan pembicaraan dengan Allah ....!" (QS 4 an-Nisa: 41 -- 42)

    Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tak dapat manahan tangisnya, air matanya meleleh dan dengan tangannya diisyaratkan kepada Ibnu Mas'ud yang maksudnya: "Cukup ...,cukuplah sudah, hai lbnu Mas'ud ...!"

    Suatu ketika pernah pula Ibnu Mas'ud menyebut-nyebut karunia Allah kepadanya, katanya:
    '"Tidah suatu pun dari al-quran itu yang diturunkan, kecuali aku mengetahui mengenai peristiwa apa diturunkannya.Dan tidah seorang pun yang lebih mengetahui tentang Kitab Allah daripadaku. Dan sekiranya aku tahu ada seseorang yang dapat dicapai dengan berkendaraan unta dan ia lebih tahu tentang Kitabullah daripadaku, pastilah aku ahan menemuinya. Tetapi aku bukanlah yang terbaik di antaramu!"

    Keistimewaan Ibnu Mas'ud ini telah diakui oleh para shahabat. Amirul Mu'minin Umar berkata mengenai dirinya:

    "Sungguh ilmunya tentang fiqih berlimpah-Iimpah':

    Dan berkata Abu Musa ai-Asy'ari:

    "Jangan tanyakan kepada kami sesuatu masalah, selama kiyai ini berada di antara tuan-tuan.'"
    Dan bukan hanya keunggulannya dalam al-Quran dan ilmu fiqih saja yang patut beroleh pujian, tetapi juga keunggulannya dalam keshalihan dan ketaqwaan.

    Berkata Hudzaifah tentang dirinya:

    "Tidah seorang pun saya lihat yang lebih mirip kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam baik dalam cara hidup, perilaku dan ketenangan jiwanya, daripada Ibnu Mas'ud....
    Dan orang-orang yang dikenal dari shahabat-shahabat Rasulullah sama mengetahui bahwa putera dari Ummi 'Abdin adalah yang paling dekat kepada Allah ....!"

    more
  • ABDULLAH BIN ABBAS

    "Kyai Umat"

    Ibnu Abbas serupa dengan Ibnu Zubeir bahwa mereka sama-sama menemui Rasulullah dan bergaul dengannya selagi masih becil, dan Rasulullah wafat sebelum Ibnu Abbas mencapai usia dewasa. Tetapi ia seorang lain yang di waktu kecil telah mendapat kerangka kepahlawanan dan prinsip-prinsip kehidupan dari Rasuluilah saw. yang mengutamakan dan mendidiknya serta mengajarinya hikmat yang murni. Dan dengan keteguhan iman dan kekuatan akhlaq serta melimpahnya ilmunya, Ibnu Abbas mencapai kedudukan tinggi di lingkungan tokoh-tokoh sekeliling Rasul ....

    Ia adalah putera Abbas bin Abdul Mutthalib bin Hasyim, paman Rasulullah saw. Digelari "habar" atau kyahi atau lengkapnya "kyahi ummat", suatu gelar yang hanya dapat dicapainya karena otaknya yang cerdas, hatinya yang mulia dan pengetahuannya yang luas.

    Dari kecilnya, Ibnu Abbbas telah mengetahui jalan hidup yang akan ditempuhnya, dan ia lebih mengetahuinya lagi ketika pada suatu hari Rasulullah menariknya ke dekatnya selagi ia masih kecil itu dan menepuk-nepuk bahunya serta mendu'akannya: -"Ya Allah, berilah ia ilmu Agama yang mendalam dan ajarkanlah kepadanya ta'wil".

    Kemudian berturut-turut pula datangnya kesempatan dimana Rasulullah mengulang-ulang du'a tadi bagi Abdullah bin Abbas sebagai saudara sepupunya itu ..., dan ketika itu ia mengertilah bahwa ia diciptakan untuk ilmu dan pengetahuan.

    Sementara persiapan otaknya mendorongnya pula dengan kuat untuk menempuh jalan ini. Karena walaupun di saat Rasulullah shallallahu alaihi wasalam wafat itu, usianya belum lagi lebih dari tiga belas tahun, tetapi sedari kecilnya tak pernah satu hari pun lewat, tanpa ia menghadiri majlis Rasulullah dan menghafalkan apa yang diucapkannya....

    Dan setelah kepergian Rasulullah ke Rafiqul A'la, Ibnu Abbas mempelajari sungguh-sungguh dari shahabat-shahabat Rasul yang pertama, apa-apa yang input didengar dan dipelajarinya dari Rasulullah saw. sendiri. Suatu tanda tanya (ingin mengetahui dan ingin bertanya) terpatri dalam dirinya.

    Maka setiap kedengaran olehnya seseorang yang mengetahui suatn ilmu atau menghafaikan Hadits, segeralah ia menemuinya dan belajar kepadanya. Dan otaknya yang encer lagi tidak mau puas itu, mendorongnya nntuk meneliti apa yang didengarnya. Hingga tidak saja ia menumpahkan perhatian terhadap mengumpulkan ilmu pengetahuan semata, tapi jnga untuk meneliti dan menyelidiki sumber-sumbernya.

    Pernah ia menceritakan pengalamannya: -- "Pernah aku bertanya kepada tigapuluh orang shahabat Rasul shallallahu alaihi wasalam mengenai satu masalah". Dan bagaimana keinginannya yang amat besar untuk mendapatkan sesuatu ilmu, digambarkannya kepada kita sebagai berikut: -

    "Tatkala Rasulullah shallallahu alaihi wasalam wafat, kakatakan kepada salah seorang pemuda Anshar: "Marilah kita bertanya kepada shahabat Rasulullah, sekarang ini mereka hampir semuanya sedang bekumpul?"


    Jawab pemuda Anshar itu:"Aneh sekali kamu ini, hai Ibnu Abbas! Apakah kamu kira orang-orang akan membutuhkanmu, padahal di kalangan mereka sebagai kan lihat banyak terdapat shahabat Rasulullah ... ?" Demikianlah ia tak mau diajak, tetapi aku tetap pergi bertanya kepada shahabat-shahabat Rasulullah.

    Pernah aku mendapatkan satu Hadits dari seseorang, dengan cara kudatangi rumahnya kebetulan ia sedang tidur slang. Kubentangkan kainku di muka pintunya, lalu duduk menunggu, sementara angin menerbangkan debu kepadaku, sampai akhirnya ia bangun dan keluar mendapatiku. Maka katanya: -- "Hai saudara sepupu Rasulullah, apa maksud kedatanganmu? Kenapa tidak kamu suruh saja orang kepadaku agar aku datang kepadamu?" "Tidak!" ujarku, "bahkan akulah yang harus datang mengunjungi anda! Kemudian kutanyakanlah kepadanya sebuah Hadits dan aku belajar daripadanya ... !"

    Demikianlah pemuda kita yang agung ini bertanya, kemudian bertanya dan bertanya lagi, lalu dicarinya jawaban dengan teliti, dan dikajinya dengan seksama dan dianalisanya dengan fikiran yang berlian. Dari hari ke hari pengetahuan dan ilmu yang dimilikinya berkembang dan tumbuh, hingga dalam usianya yang muda belia telah cukup dimilikinya hikmat dari orang-orang tua, dan disadapnya ketenangan dan kebersihan pikiran mereka, sampai-sampai Amirul Mu'minin Umar bin Khatthab radhiallahu anhu menjadikannya kawan bermusyawarah pada setiap urusan penting dan menggelarkannya "pemuda tua" ... !

    Pada suatu hari ditanyakan orang kepada Ibnu Abbas:"Bagaimana anda mendapatkan ilmu ini ... ?"

    Jawabnya: -"Dengan lidah yang gemar bertanya, dan akal yang suka berfikir... !"
    Maka dengan lidahnya yang selalu bertanya dan fikirannya yang tak jemu-jemunya meneliti, serta dengan kerendahan hati dan pandainya bergaul, jadilah Ibnu Abbas sebagai "kyahi ummat ini".

    Sa'ad bin Abi Waqqash melukiskannya dengan kalimat-kalimat seperti ini :-

    "Tak seorang pun yang kutemui lebih cepat mengerti, lebih tajam berfikir dan lebih banyak dapat menyerap ilmu dan lebih luas sifat santunnya dari Ibnu Abbas ... ! Dan sungguh, kulihat Umar memanggilnya dalam urusan-urusan pelik, padahal sekelilingnya terdapat peserta Badar dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Maka tampillah Ibnu Abbas menyampaikan pendapatnya, dan Umar pun tak hendak melampaui apa katanya!"


    Ketika membicarakannya, Ubaidillah bin 'Utbah berkata:-"Tidak seorang pun yang lebih tahu tentang Hadits yang diterimanya dari Rasulullah shallallahu alaihi wasalam daripada Ibnu Abbas... !

    Dan tak kulihat orang yang lebih mengetahui tentang putusan Abu Bakar, Umar dan Utsman dalam pengadilan daripadanya ... ! Begitu pula tak ada yang lebih mendalam pengertiannya daripadanya ....

    Sungguh, ia telah menyediakan waktu untuk mengajarkan fiqih satu hari, tafsir satu hari, riwayat dan strategi perang satu hari, syair satu hari, dan tarikh serta kebudayaan bangsa Arab satu hari ....

    Serta tak ada yang lebih tahu tentang syair, bahasa Arab, tafsir -Quran, ilmu hisab dan seal pembagian pusaka daripadanya ... ! Dan tidak seorang alim pun yang pergi duduk ke dekatnya kecuali hormat kepadanya, serta tidak seorang pun yang bertanya, kecuali mendapatkan jawaban daripadanya... !"

    Seorang Muslim penduduk Bashrah melukiskannya pula sebagai berikut: -- (Ibnu Abbas pernah menjadi gubernur di sana, diangkat oleh Ali)

    "Ia mengambil tiga perkara dan meninggalkan tiga perkara ....
    1. Menarik hati pendengar apabila ia berbicara.
    2. Memperhatikan setiap ucapan pembicara.
    3. Memilih yang teringan apabila memutuskan perkara.
    1. Menjauhi sifat mengambil muka.
    2. Menjauhi orang-orang yang rendah budi.
    3. Menjauhi setiap perbuatan dosa.

    Sebagaimana kita telah paparkan bahwa Ibnu Abbas adalah orang yang menguasai dan mendalami berbagai cabang ilmu. Maka ia pun menjadi tepatan bagi orang-orang pang mencari ilmu, berbondong-bondong orang datang dari berbagai penjuru negeri Islam untuk mengikuti pendidikan dan mendalami ilmu pengetahuan. Di samping ingatannya yang kuat bahkan luar biasa itu, Ibnu Abbas memiliki pula kecerdasan dan kepintaran yang Istimewa.

    Alasan yang dikemukakannya bagaikan cahaya matahari, menembus ke dalam kalbu menghidupkan cahaya iman ....Dan dalam percakapan atau berdialog, tidak saja ia membuat lawannya terdiam, mengerti dan menerima alasan yang dikemukakannya, tetapi juga menyebabkannya diam terpesona, karena manisnya susunan kata dan keahliannya berbicara ... !

    Dan bagaimana pun juga banyaknya ilmu dan tepatnya alasan tetapi diskusi atau tukar fikiran itu ... ! Baginya tidak lain hanyalah sebagai suatu slat yang paring ampuh untuk mendapatkan dan mengetahui kebenaran ... !

    Dan memang, telah lama ia ditabuti oleh Kaum Khawarij karena logikanya yang tepat dan tajam! Pada suatu hari ia diutus oleh Imam Ali kepada sekelompok besar dari mereka. Maka terjadilah di antaranya dengan mereka percakapan yang amat mempesona, di mana Ibnu Abbas mengarahkan pembicaraan serta menyodorkan alasan dengan cara yang menakjubkan. Dari percakapan yang panjang itu, kita cukup mengutip cupIikan di bawah ini: -

    Tanya Ibnu Abbas: -- "Hal-hal apakah yang menyebabkan tuan-tuan menaruh dendam terhadap Ali ... ?"

    Ujar mereka: -"Ada tiga hal yang menyebabkan kebencian kami padanya: -

    Pertama dalam Agama Allah ia bertahkim kepada manusia, padahal Allah berfirman: '"Tak ada hukum kecuali bagi Allah ... !')

    Kedua, ia berperang, tetapi tidak menawan pihak musuh dan tidak pula mengambil harta rampasan. Seandainya pihak lawan itu orang-orang kafir, berarti harta mereka itu halal. Sebaliknya bila mereka orang-orang beriman maka haramlah darahnya ... !)

    Dan ketiga, waktu bertahkim, ia rela menanggalkan sifat Amirul Mu'minin dari dirinya demi mengabulkan tuntutan lawannya. Maka jika ia sudah tidak jadi amir atau kepala bagi orang-orang Mu'min lagi, berarti ia menjadi kepala bagi orang-orang kafir... !"3)

    Lamunan-lamunan mereka itu dipatahkan oleh Ibnu Abbas, katanya: -- "Mengenai perkataan tuan-tuan bahwa ia bertahkim kepada manusia dalam Agama Allah, maka apa salahnya ... ?

    Bukankah Allah telah berfirman:

    "Hai orang-orang beriman! Janganlah kalian membunuh binatang buruan, sewaktu kalian dalam ihram! Barang siapa di antara kalian yang membunuhnya dengan sengaja, maka hendaklah ia membayar denda berupa binatang ternak yang sebanding dengan hewan yang dibunuhnya itu, yang untuk menetapkannya diputuskan oleh dua orang yang adil di antara kalian sebagai hakimnya ... !" (Q.S. 5 al-hlaidah: 95)

    Nah, atas nama Allah cobalah jawab: "Manakah yang lebih penting, bertahkim kepada manusia demi menjaga darah kaum Muslimin, ataukah bertahkim kepada mereka mengenai seekor kelinci yang harganya seperempat dirham ... ?"

    Para pemimpin Khawarij itu tertegun menghadapi logika tajam dan tuntas itu. Kemudian "kyai ummat" melanjutkan bantahannya: -

    "Tentang ucapan tuan-tuan bahwa ia perang tetapi tidak melakukan penawanan dan merebut harta rampasan, apakah tuan-tuan menghendaki agar ia mengambil Aisyah istri Rasulullah shallallahu alaihi wasalam dan Ummul Mu'minin itu sebagai tawanan, dan pakaian berkabungnya sebagai barang rampasan ... ?"

    Di sini wajah orang-orang itu jadi merah padam karena malu, lain menutupi muka mereka dengan tangan ...,sementara Ibnu Abbas beralih kepada soal yang ketiga katanya: -

    "Adapun ucapan tuan-tuan bahwa ia rela menanggalkan sifat Amirul Mu'minin dari dirinya sampai selesainya tahkim, maka dengarlah oleh tuan-tuan apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasalam di hari Hudaibiyah, yakni ketika ia mengimlakkan surat perjanjian yang telah tercapai antaranya dengan orang-orang Quraisy. Katanya kepada penuiis: "Tulislah: Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad Rasulullah ... ". Tiba-tiba utusan Qnraisy menyela: 'Demi Allah, seandainya kami mengakuimu sebagai Rasulullah, tentulah kami tidak menghalangimu ke Baitullah dan tidak pula akan memerangimu ... !
    Maka tulislah: Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad bin Abdullah ... !"Kata Rasulullah kepada mereka: "Demi Allah, sesungguhnya saya ini Rasulullah walaupun kamu tak hendak mengakuinya…"

    Lalu kepada penulis surat perjanjian itu diperintahkannya:"Tulislah apa yang mereka kehendaki! Tulis: Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad bin Abdullah ... !"

    Demikianlah, dengan cara yang menarik( dan menakjubkan ini, berlangsung soal jawab antara Ibnu Abbas dan golongan Khawarij, hingga belum lagi tukar fikiran itu selesai, duapuluh ribu orang di antara mereka bangkit serentak, menyatakan kepuasan mereka terhadap keterangan-keterangan Ibnu Abbas dan sekaligus memaklumkan penarikan diri mereka dari memusuhi Imam Ali... !

    Ibnu Abbas tidak saja memiliki kekayaan besar berupa ilmu pengetahuan semata, tapi di samping itu ia memiliki pula kekayaan yang lebih besar lagi, yakni etika ilmu serta akhlak para ulama. Dalam kedermawanan dan sifat pemurahnya, Ia bagaikan Imam dengan,panji-panjinya. Dilimpah-ruahkannya harta bendanya kepada manusia, persis sebagaimana ia melimpah ruahkan ilmunya kepada mereka....

    Orang-orang yang sesama dengannya, pernah menceritakan dirinya sebagai berikut: -- "Tidak sebuah rumah pun kita temui yang lebih banyak makanan, minuman buah-buahan, begitupun ilmu pengetahuannya dari rumah Ibnu Abbas ... !"

    Di samping itu ia seorang yang berhati suci dan berjiwa bersih, tidak menaruh dendam atau kebencian kepada siapa juga.

    Keinginannya yang tak pernah menjadi kenyang, ialah harapannya agar setiap orang, baik yang dikenalnya atau tidak, beroleh kebaikan...!

    Katanya mengenai dirinya: -"Setiap aku mengetahui suatu ayat dari kitabullah, aku berharap kiranya semua manusia mengetahui seperti apa yang kuketahui itu ... ! Dan setiap aku mendengar seorang hakim di antara hakim-hakim Islam melaksanakan keadilan dan memutus sesuatu perkara dengan adil, maka aku merasa gembira dan turut mendu'akannya ..., padahal tak ada hubungan perkara antaraku dengannya ... ! Dan setiap aku mendengar turunnya hujan yang menimpa bumi Muslimin, aku merasa berbahagia, padahal tidak seekor pun binatang ternakku yang digembalakan di bumi tersebut...!"

    Ia seorang ahli ibadah yang tekun beribadat dan rajin bertaubat ..., sering bangun di tengah malam dan shaum di waktu siang, dan seolah-olah kedua matanya telah hafal akan jalan yang dilalui oleh air matanya di kedua pipinya, karena seringnya ia menangis, balk di kala ia shalat maupun sewaktu membaca alquran ....Dan ketika ia membaca ayat-ayat alquran yang memuat berita duka atau ancaman, apalagi mengenai maut dan saat dibangkitkan, maka isaknya bertambah keras dan sedu sedannya menjadi-jadi ... !

    Di samping semua itu, ia juga seorang yang berani, berfikiran sehat dan teguh memegang amanat ... ! Dalam perselisihan yang terjadi antara Ali dan Mu'awiyah, ia mempunyai beberapa pendapat yang menunjukban tingginya kecerdasan dan banyaknya akal serta siasatnya .... Ia lebih mementingkan perdamaian dari peperangan, lebih banyak berusaha dengan jalan lemah lembut daripada kekerasan, dan menggunahan fikiran daripada paksaan...!

    Tatkala Husein radhiallahu anhu bermaksud hendak pergi ke Irak untuk memerangi Ziad dan Yazid, Ibnu Abbas menasehati Husein, memegang tangannya dan berusaha sekuat daya untuk menghalanginya. Dan tatkala ia mendengar kematiannya, ia amat terpukul, dan tidak keluar-keluar rumah karena amat dukanya.

    Dan di setiap pertentangan yang timbul antara Muslim dengan Muslim tak ada yang dilakukan oleh Ibnu Abbas, selain mengacungkan bendera perdamaian, beriunak lembut dan melenyapkan kesalah-pahaman

    Benar ia ikut tejun dalam peperangan di pihak Imam Ali terhadap Mu'awiyah, tetapi hal itu dilakukannya, tiada lain hanyalah sebagai tamparan keras yang wajib dilakukan terhadap penggerak perpecahan yang mengancam keutuhan Agama dan kesatuan ummat... !

    Demikianlah kehidupan Ibnu Abbas, dipenuhi dunianya dengan ilmu dan hikmat, dan disebarkan di antara ummat buah nasehat dan ketaqwaannya - · · · Dan pada usianya yang ketujuhpuluh satu tahun, ia terpanggil untuk menemui Tuhannya Yang Maha Agung · - · · Maka kota Thaif pun menyaksikan perarakan besar, di mana seorang Mu'min diiringkan menuju surganya.

    Dan tatkala tubuh kasamya mendapatkan tempat yang aman dalam kuburnya, angkasa bagai berguncang disebabkan gema janji Allah yang haq:

    "Wahai jiwa yang aman tenteram! Kembalilah kamu kepada Tuhanmu dalam keadaan ridla dan diridlai. Maka masuklah ke dalam lingkungan hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surgaKu.

    more