• MENYONGSONG LAILATUL QADAR




    MENGGAPAI LENTERA MASA DEPAN

    By: Anas Mas’udi El Malawi

    Sesungguhnya kami menurunkannya (Alqur’an) pada malam yang diberkati. Sesungguhnya kami adalah Pemberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan setiap urusan yang bijaksana” (QS. Addukhan: 3-4)

    “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alqur’an) pada Lailatul Qadar. Dan tahukah engkau, Apakah Lailatul Qadar itu? Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan. Malaikat dan Ruh (Jibril) turun padanya (malam itu) dengan izin Tuhannya membawa segala perintah. Sejahteralah malam itu sampai terbit fajar”. (QS. Alqadr)

    Bulan Ramadhan merupakan bulan yang suci bagi umat Islam. Di dalamnya terkandung banyak cahaya yg bisa diraih oleh setiap orang yang mampu memanfaatkan moment tersebut dengan sebaik-baiknya.

    Di bulan inilah al Qur’an yg menjadi a way of life dalam kehidupan dunia dan akherat bagi semua insan diturunkan oleh Allah Sang Pencipta jagat raya. Di mana peristiwa tersebut kita kenal dengan istilah Nuzul al Qur’an (turunnya al Qur’an) yang terjadi pada malam 17 bulan Ramadhan.

    Makna Lailatul Qadar

    Untuk memahami makna Lailat al Qadar. kita tidak terlepas dari surah al-Qadr yang merupakan surah ke-97 menurut urutannya di dalam Mushaf (al qur’an). Ia ditempatkan sesudah surah Iqra'. Para ulama Al-Quran menyatakan bahwa ia turun jauh sesudah turunnya surah Iqra'. Bahkan, sebagian di antara mereka menyatakan bahwa surah Al-Qadr turun setelah Nabi Muhammad saw. berhijrah ke Madinah.

    Penempatan dan perurutan surah dalam Al-Quran dilakukan langsung atas perintah Allah SWT, dan dari urutannya ditemukan keserasian-keserasian yang mengagumkan. Kalau dalam surah Iqra', Nabi saw. diperintahkan (demikian pula kaum Muslim) untuk membaca dan yang dibaca itu antara lain adalah Al-Quran, maka wajarlah jika surah sesudahnya -yakni surah Al-Qadr ini- berbicara tentang turunnya Al-Quran dan kemuliaan malam yang terpilih sebagai malam Nuzul Al-Qur'an (turunnya Al-Quran).

    Kata al qadr sendiri paling tidak digunakan untuk tiga arti; Pertama, penetapan dan pengaturan. Yakni Lailat Al-Qadr dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia. Pendapat ini dikuatkan oleh penganutnya dengan firman Allah pada surah Addukhan : Sesungguhnya Kami menurunkannya (Alqur’an) pada malam yang diberkati. Sesungguhnya Kami adalah Pemberi peringatan (QS. 44: 3). Malam Lailatul Qadr merupakan malam yang penuh berkah. Di mana pada malam itu dijelaskan atau ditetapkan segala urusan besar dengan penuh kebijaksanaan. “Pada malam itu dijelaskan setiap urusan yang bijaksana” (QS. Addukhan: 4).

    Sementara, ada ulama yang memahami “penetapan” itu dalam batas setahun. Al-Quran yang turun pada malam Lailat Al-Qadr diartikan bahwa pada malam itu Allah SWT mengatur dan menetapkan khiththah (garis-garis besar haluan kehidupan) dan strategi bagi Nabi-Nya, Muhammad saw., guna mengajak manusia kepada agama yang benar yang pada akhirnya akan menetapkan perjalanan sejarah umat manusia, baik sebagai individu maupun kelompok.

    Kedua, Lailatul Qadr bermakna kemuliaan, yakni malam tersebut adalah malam mulia yang tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya Al-Quran serta karena ia menjadi titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih. Kata Alqadr yang berarti mulia ditemukan dalam ayat ke-91 surah Al-An'am yang berbicara tentang kaum musyrik: Maa qadarullaha haqqa qadrihi idz qaalu maa anzalallahu 'alaa basyarin min syay'in (Mereka itu tidak memuliakan Allah sebagaimana kemuliaan yang semestinya, tatkala mereka berkata bahwa Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia).

    Ketiga, Lailatul Qadr bermakna sempit, yakni malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surah Al-Qadr: “Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan”.

    Kata al qadr yang berarti sempit digunakan oleh Al-Quran antara lain dalam ayat ke-26 surah Al-Ra'd: Allah yabsuthu al-rizqa liman yasya' wa yaqdiru (Allah melapangkan rezeki bagi yang dikehendaki dan mempersempitnya [bagi yang dikehendaki-Nya).

    Ketiga arti tersebut -pada hakikatnya- dapat menjadi benar, karena bukankah malam tersebut adalah malam mulia, yang bila dapat diraih maka ia dapat menetapkan masa depan manusia, dan bahwa pada malam itu malaikat-malaikat turun ke bumi membawa kedamaian dan ketenangan?

    Nuzulul Qur’an & Lailatul Qadar

    Adapun Nuzul al Quran, secara etimologi terdiri dari dua kata “Nuzul” dan “Al Qur’an” . Kata “Nuzul” diambil dari bahasa Arab “nazala-yanzilu-nuzuulan” yang artinya “turun” dan “Al Qur’an” berarti kalamullah yang diturunkan pada nabi Muhammad saw. Saat beliau berusia 41 tahun.

    Nuzul al Qur’an adalah turunnya al Qur’an, yakni hari diturunkannya al Qur’an. Di mana telah diketahui bersama bahwa turunnya al Qur’an tersebut pada malam ke 17 dari bulan Ramadhan secara berangsur-angsur selama 22 tahun, 2 bulan, 22 hari, mulai tanggal 17 Ramadhan tahun 1 kenabian sampai tanggal 9 Dzul Hijjah pada waktu haji akbar tahun 10 H., dengan wahyu pertama surat “Iqra’” (QS. Al ‘Alaq: 1-5) dan wahyu terahir surat al Ma’idah: 3.

    Demikian tadi jika dirinci menjadi 12 tahun, 5 bulan 13 hari diturunkan di Makkah al Mukarramah, dari tanggal 17 bulan Ramadhan tahun 1 kenabian (tahun ke 41 dari usia Rasul saw.) sampai permulaan bulan Rabi’ul Awal tahun ke 13 kenabian, dan 9 tahun, 9 bulan, 9 hari diturunkan di Madinah al Munawwarah, dari permulaan bulan R. Awal tahun ke 13 kenabian sampai 9 Dz. Hujjah tahun ke 10 H. (tahun ke 63 dari usia Rasul saw.). Dengan kata lain, kurang-lebih 63,33%-nya al Quran yg berjumlah 30 juz diturunkan di Makkah al Mukarramah dan 36,67%-nya diturunkan di Madinah al Munawwarah.

    Sementara sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud Nuzulul Qur’an adalah turunnya Alqur’an secara lengkap 30 juz dari Lauh Mahfudh ke Baitul Ma’mur di langit pertama pada tanggal 17 Ramadhan. Ada juga yang mengatakan bahwa Nuzulul Qur’an adalah peristiwa turunnya wahyu pertama dari Alqur’an pada Nabi Muhammada saw di dalam gua Hira’.

    Adapaun Lailatul Qadar adalah malam turunnya malaikat Jibril membawa perintah Allah kepada Nabi Muhammad saw untuk muraja’ah dan mentashhih (mengukuhkan dan membenarkan wahyu yang telah diterima oleh Nabi Muhammada saw). Malam tersebut terjadi pada bulan Ramadhan. Sebagaimana Alqur’an menginformasikan bahwa ia diturunkan oleh Allah pada bulan Ramadhan (QS 2:185) pada malam Al-Qadr (QS 97:1). Malam tersebut adalah malam mulia, tidak mudah diketahui seberapa besar kemuliaannya. Ini diisyaratkan oleh adanya "pertanyaan" dalam bentuk pengagungan, yaitu Wa maa adraaka maa lailat al-Qadr.

    Demikian itu terjadi pada setiap bulan Ramadhan tiap tahunnya hanya satu kali. Namun, menjelang wafat Rasul saw, pengukuhan wahyu tersebut dilaksanakan dua kali pada bulan Ramadhan.

    Dari sinilah, timbulnya beberapa perbedaan pendapat tentang datangnya Lailatul Qadar. Ada ulama’ –dengan beberapa hadis yang ada- berpendapat bahwa Lailatul Qadar itu datang pada hari ganjil dalam lingkaran sepuluh hari terahir dari bulan Ramadhan. Ada juga yang mengkhususkan pada malam 21 Ramadhan. Ada yang bilang pada malam 23, malam 25, malam 27, malam 29. Bahkan ada yang berpendapat bahwa lailatul Qadar itu dapat dicari mulai dari awal Ramadhan sampai ahir bulan. Namun, mayoritas ulama berpendapat bahwa bahwa Lailatul Qadar itu datang pada malam 27 Ramadhan.

    Ada 13 kali kalimat wa maa adraaka terulang dalam Al-Quran. Sepuluh di antaranya mempertanyakan tentang kehebatan yang terkait dengan hari kemudian, seperti wa maa adraaka maa yaumul fashl, wa maa adraaka mal haaqqah, wa maa adraaka maa ‘illiyyun, dst. Kesemuanya itu merupakan hal yang tidak mudah dijangkau oleh akal pikiran manusia, kalau enggan berkata mustahil dijangkaunya. Dari 13 kalimat wa maa adraaka itu terdapat ayat yang mengatakan: wa maa adraaka math thaariq, wa maa adraaka mal ‘aqabah, dan wa maa adraaka maa lailat al-qadr.

    Jika dilihat, pemakaian Al-Quran tentang hal-hal yang menjadi objek pertanyaan, maka kesemuanya adalah hal-hal yang sangat hebat dan sulit dijangkau hakikatnya secara sempurna oleh akal pikiran manusia. Hal ini tentunya termasuk Lailat Al-Qadr yang menjadi pokok bahasan kita, kali ini.

    Walaupun demikian, sebagian ulama membedakan antara pertanyaan maa adraaka dan maa yudriika yang juga digunakan oleh Al-Quran dalam tiga ayat: Wa maa yudriika la'allas saa'ata takunu qariban (Al-Ahzab: 63), Wa maa yudriika la'allas sa'ata qariib (Al-Syura:17), Wa maa yudriika la‘allahuu yazzakkaa (‘Abasa: 3).

    Ada dua hal yang dipertanyakan dari ungkapan wa maa yudriika. Pertama menyangkut waktu kedatangan hari kiamat dan kedua apa yang berkaitan dengan kesucian jiwa manusia. Secara gamblang, Al-Quran -demikian pula Al-Sunnah- menyatakan bahwa Nabi saw. tidak mengetahui kapan datangnya hari kiamat dan tidak pula mengetahui tentang yang gaib. Ini berarti bahwa wa maa yudriika digunakan oleh Al-Quran untuk hal-hal yang tidak mungkin diketahui walaupun oleh Nabi saw. sendiri.

    Sedangkan wa maa adraaka, walaupun berupa pertanyaan, namun pada akhirnya Allah SWT menyampaikannya kepada Nabi saw., sehingga informasi lanjutannya dapat diperoleh dari beliau. Itu semua berarti bahwa persoalan Lailat al-Qadr harus dirujuk kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw., karena di sanalah dapat diperoleh informasinya.

    Pendapat Ulama Tentang Lailatul Qadar

    Al-Quran memberikan penjelasan bahwa wahyu-wahyu Allah itu diturunkan pada Lailat al-Qadr. Namun, karena umat sepakat mempercayai bahwa Al-Quran telah sempurna dan tidak ada lagi wahyu setelah wafatnya Nabi Muhammad saw., atas dasar logika itu, ada yang berpendapat bahwa malam mulia itu sudah tidak akan hadir lagi. Kemuliaan yang diperoleh oleh malam tersebut adalah karena ia terpilih menjadi waktu turunnya Al-Quran.

    Pakar hadis, Ibnu Hajar, menyebutkan satu riwayat dari penganut paham di atas yang menyatakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda bahwa malam qadr sudah tidak akan datang lagi. Pendapat tersebut ditolak oleh mayoritas ulama dengan berpegang pada teks ayat Al-Quran serta sekian banyak teks hadis yang menunjukkan bahwa Lailat al-Qadr terjadi pada setiap bulan Ramadhan.

    Bahkan, Rasul saw. menganjurkan umatnya untuk mempersiapkan jiwanya masing-masing untuk menyambut malam mulia itu secara khusus pada malam-malam ganjil setelah berlalu dua puluh hari Ramadhan. Sebagaimana sabda beliau: ...maka barang siapa yang ingin memperolehnya (lailat al qadr), hendaklah ia mencarinya di tujuh hari terahir (bulan Ramadhan). (HR. Bukhari-Muslim) dan dalam hadits lain, ‘Aisyah ra. menceritakan perihal Rasul saw. Ia berkata: (dulu) Rasulullah saw jika masuk 10 hari –yg terahir dari Ramadhan- beliau mengencangkan mi’zarnya (pakaian penutup badan bagian bawah/ sejenis sarung;sekarang), menghidupi malamnya (tidak tidur untuk ibadah) dan membangunkan isterinya. (HR. Bukhari-Muslim)

    Memang, turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu terjadi pada malam Lailat Al-Qadr, tetapi itu bukan berarti bahwa malam mulia itu hadir pada saat itu saja. Ini juga berarti bahwa kemuliaannya bukan hanya disebabkan karena Al-Quran ketika itu turun, tetapi karena adanya faktor intern pada malam itu sendiri.

    Pendapat tersebut dikuatkan juga dengan penggunaan bentuk kata kerja mudhari' (present tense) pada ayat, Tanazzalul mala'ikatu wa al-ruh, kata Tanazzalu adalah bentuk yang mengandung arti kesinambungan, atau terjadinya sesuatu pada masa kini dan masa datang. Namun, apakah jika Lailat al Qadr hadir, ia akan menemui setiap orang yang terjaga (tidak tidur) pada malam kehadirannya itu? Tidak sedikit umat Islam yang menduganya demikian. Akan tetapi, dugaan itu -hemat penulis- kurang tepat, karena itu dapat berarti bahwa yang memperoleh keistimewaan adalah yang terjaga baik mereka yang terjaga karena untuk menyambutnya maupun tidak.

    Di sisi lain, kehadirannya ditandai oleh hal-hal yang bersifat fisik material. Sedangkan riwayat-riwayat demikian tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya. Dan seandainya, ada tanda-tanda fisik material, maka itu pun tidak akan ditemui oleh orang-orang yang tidak mempersiapkan diri dan menyucikan jiwa guna menyambutnya. Sebagaimana Air dan minyak tidak mungkin akan menyatu dan bertemu. Pun Kebaikan dan kemuliaan yang dihadirkan oleh Lailat al-Qadr tidak mungkin akan diraih kecuali oleh orang-orang tertentu saja. Sebagaimana tamu agung yang berkunjung ke satu tempat, tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun setiap orang di tempat itu mendambakannya. Bukankah ada orang yang sangat rindu atas kedatangan kekasih, namun ternyata sang kekasih tidak sudi mampir menemuinya? Demikian juga dengan Lailat al-Qadr.

    Itulah sebabnya bulan Ramadhan menjadi bulan kehadirannya, karena bulan ini adalah bulan penyucian jiwa dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga oleh Rasul datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Karena, ketika itu, diharapkan jiwa manusia yang berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai satu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu berkenan mampir menemuinya. Dan itu pula sebabnya Rasul saw. menganjurkan sekaligus mempraktekkan i'tikaf (berdiam diri dan merenung di masjid) pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan.

    Apabila jiwa telah siap, kesadaran telah mulai bersemi, dan Lailat al-Qadr datang menemui seseorang, ketika itu malam kehadirannya menjadi “malam qadr” baginya, yakni saat yang menentukan bagi perjalanan sejarah hidupnya pada masa-masa mendatang. Saat itu, bagi yang bersangkutan adalah saat yang sangat urgent dan interest guna meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan di akhirat kelak, dan sejak saat itu, malaikat akan turun guna menyertai dan membimbingnya menuju kebaikan sampai terbit fajar kehidupannya yang baru kelak di hari kemudian. (Perhatikan kembali makna-makna Al-Qadr yang dikemukakan di atas!).

    Syaikh Muhammad 'Abduh pernah menjelaskan pandangan Imam al-Ghazali tentang kehadiran malaikat dalam diri manusia..Ia memberikan ilustrasi berikut: Setiap orang dapat merasakan bahwa dalam jiwanya ada dua macam bisikan, yaitu bisikan baik dan buruk. Manusia seringkali merasakan pertarungan antara keduanya, seakan apa yang terlintas dalam pikirannya ketika itu sedang diajukan ke satu sidang pengadilan. Yang ini menerima dan yang itu menolak, atau yang ini berkata lakukan dan yang itu mencegah, demikian halnya sampai pada akhirnya sidang memutuskan sesuatu. Yang membisikkan kebaikan adalah malaikat, sedangkan yang membisikkan keburukan adalah setan atau paling tidak penyebab adanya bisikan tersebut adalah malaikat atau setan.

    Nah, turunnya malaikat, pada malam Lailat Al-Qadr, menemui orang yang mempersiapkan diri menyambutnya berarti ia akan selalu disertai oleh malaikat sehingga jiwanya selalu terdorong untuk melakukan kebaikan-kebaikan. Jiwanya akan selalu merasakan salam (rasa aman dan damai) yang tidak terbatas sampai fajar malam Lailat Al-Qadr itu saja, tetapi sampai akhir hayat menuju fajar kehidupan baru di hari kemudian kelak.

    Dari beberapa pendapat yang ada, tidak ada satu pendapat pun yang bisa memastikan datangnya Lailatul Qadar, karena hal itu merupakan peristiwa gaib yang sengaja dirahasiakan datangnya oleh Allah swt. Adapun hikmah dirahasiakannya Lailatul Qadar adalah motivasi bagi setiap Mukmin yang sangat berharap dapat menemukan Lailatul Qadar tadi. Dengan dirahasikannya tersebut, ia akan senantiasa berusaha dan berupaya meningkatkan pendekatan diri kepada Allah swt dengan beberapa ibadah dan amal-amal shalih lainnya yang dimulai sejak awal Ramadhan dan dijaganya kebiasaan itu sampai ahir Ramadhan.

    Dengan demikian, orang yang tersifati tersebut di atas akan mudah terbuka jalannya untuk dapat menemukan malam istimewa tadi, malam yang nilai kebaikannya lebih besar dari seribu bulan, yaitu Lailatul Qadar.

    Maka, sudah sepantasnya bagi mereka yang berpuasa di bulan Ramadhan dan memperbanyak membaca al Qur’an disebut orang yang kembali pada kesuciannya (fitrahnya) semula, setelah selesai dari puasanya sebulan, yakni ketika datang hari raya Ied al fitri (hari kembalinya kesucian). Hingga mereka berseru minal ‘aidiin wal faiziin (semoga termasuk orang-orang yang kembali pada fitrahnya dan orang-orang yg beruntung dengan kesucian tersebut).

    Demikianlah yg dapat penulis uraikan. Suatu kajian ilmiah yang dapat memotivasi kita untuk senantiasa berusaha meningkatkan keimanan dan ketaqwaan dalam hati dengan men-tadabbur-i ayat-ayat Allah yang tersurat. Kemudian berupaya memahami pesan-pesan-Nya lewat ayat-ayat keaguangan-Nya yang tersirat untuk kemudian diaplikasikan dalam perjalanan hidup di dunia yang fana menuju aherat yang baka.

    Semoga Allah swt. senantiasa memberi hidayah dan kekuataan dhahir-batin pada kita untuk menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, kususnya di bulan Ramadhan yang suci penuh dengan barakah, rahmah dan ampunan ini. Hingga kita bisa menjalankan ibadah puasa dengan sebaik-sebaiknya sesuai dengan ajaran dan tuntunan Rasulullah saw dan bisa mempersiapkan diri (dhahir-batin) untuk menyambut datangnya Lailat al Qadr, suatu malam yang sangat mulia yang hanya ditemui oleh orang-orang yg bersih nan suci jiwa dan raganya. Mudah-mudahan kita termasuk golongan orang-orang tersebut, amiiin. .

    Refrensi.

    1. Al Qur’an al Karim.

    2. Subulus Salam, Syarkh Bulugh al Maram min Jam’I Adillat al Ahkam. Al Imam Muhammad Ibn Ismail al Amir al Yamani al Shan’ani. Jld 1. Kuliah Dakwah Islamiah. Tripoli-Libya.

    3. Tarikh al Tasyri’ al Islami. Al Syekh Muhammad al Khudhari Biek. Kuliah dakwah Islamiah. Tripoli-Tripoli.

    4. Syarkh Ibn Aqil ‘ala Alfiyat Ibn Malik. Jld II. Kuliah Dakwak Islamiah. Tripoloi-Libya.

    5. Kumpulan artikel tentang puasa Ramadhan dan Lailat al Qadr.

    more