• Mikul Dhuwur Mendhem Jero



    Oleh: A. Mustofa Bisri





    Di tempat saya ada kebiasaan dalam upacara pemberangkatan jenazah muslim, seorang yang mewakili keluarga almarhum berbicara kepada para pelayat, memohonkan maaf untuk almarhum.



    Itu memang sangat diperhatikan oleh keluarga yang sangat mencintai dan menghormati anggotanya yang meninggal. Menurut keyakinan mereka, hal ini sangat penting. Karena ada hadis yang menjelaskan betapa gawatnya kesalahan antar manusia apabila tidak diselesaikan sewaktu masih hidup. Dalam hadis yang bersumber dari shahabat Abu Hurairairah r.a riwayat imam Bukhari misalnya, Nabi Muhammad SAW berpesan, “Barangsiapa mempunyai tanggungan (kesalahan yang merugikan) kepada saudaranya, baik mengenai kehormatannya atau yang lain, hendaklah dimintakan halal sekarang juga, sebelum dinar dan dirham (/uang) tidak laku….”




    “Sebagai manusia biasa, almarhum dalam pergaulan dengan bapak-bapak, ibu-ibu, dan para pelayat sekalian selama hidupnya pasti mempunyai kesalahan. Karena itu kami, atas nama keluarga, dengan kerendahan hati memohon sudilah kiranya bapak-bapak, ibu-ibu, dan para hadiirin semua memaafkannya.” Antara lain begitulah kira-kira pidato wakil keluarga. Bagi keluarga yang berhati-hati dan sangat mencintai almarhum yang meninggal, biasanya kata-kata permohonan maaf itu ditambah dengan memohon penyelesaian kalau-kalau ada urusan yang menyangkut hak Adam: “Apabila ada kesalahan almarhum yang berkaitan dengan hak Adami, utang-piutang, atau yang lain, jika bapak-bapak, ibu-ibu, dan saudara-saudara sekalian berkenan mengikhlaskan dan membebaskannya, keluarga menghaturkan banyak-banyak terimakasih. Namun apabila tidak, bapak-bapak, ibu-ibu, dan saudara-saudara sekalian dapat menghubungi keluarga dan ahli waris untuk penyelesaiannya.”




    Di akherat uang tidak laku. Tidak bisa untuk menebus. Tidak bisa untuk ganti rugi. Tidak bisa untuk menyogok. Pesan hadis di atas -- wallahu a’lam--: mumpung masih di dunia, belum di akherat, hendaklah kita menyelesaikan masalah kita dengan sesama. Sebab jika tidak masalah itu akan menjadi ganjalan kelak di akherat. Dalam hadis sahih yang lain, digambarkan betapa bangkrutnya seorang ahli ibadah –ahli salat, puasa, dll—gara-gara kelakuannya yang buruk terhadap sesama manusia. Suka mencaci , memukul, menuduh, melukai, memakan harta sesama. Pahala-pahala ibadah yang diharapkannya dapat mengantarkannya ke sorga, habis digunakan untuk ‘menebus’ kesalahan-kesalahannya terhadap sesama. Karena besarnya tanggungan kesalahan dan kelalimannya itu, malah menjerumuskannya ke neraka. Na’udzu billah min dzaalik.




    Hal itu berlaku untuk kita dan tentu saja untuk orang-orang yang kita cintai. Orangtua, suami/istri, anak, kekasih, dan siapa saja yang tidak kita kehendaki celaka kelak di akherat. Artinya, apabila kita ingin ke sorga, tentu sekaligus kita ingin orang-orang yang kita cintai juga bersama-sama kita di sorga. Seorang ibu yang mengaku mencintai anaknya tentu ingin berbahagia bersama-sama anaknya dan tidak ingin anaknya celaka. Maka sungguh tidak bisa dimengerti apabila ada orangtua yang mengaku mencintai anaknya tapi membiarkan si anak itu kesasar di neraka. Demikian pula sebaliknya; seorang anak yang menyintai dan ingin mengangkat martabat orangtuanya, yang dalam istilah Jawa ingin mikul dhuwur mendhem jero, tentu tidak ingin orangtuanya bahagia di dunia yang fana ini saja tapi celaka di akheratnya. Anak yang mencintai dan berbakti kepada orangtuanya pasti ingin orangtuanya bahagia di dunia dan terutama di akherat.




    Bahkan muslim yang baik ingin saudara-saudaranya selamat dan bahagia bersamanya terutama di kehidupan kekal kelak di akherat. Itulah sebabnya muslim yang baik terus beramar-makruf-nahi-mungkar.

    more
  • Anak Muda Yang Bersemangat

    Oleh: A. Mustofa Bisri





    Semangat beribadah anak muda itu memang luar biasa. Baginya, tak ada hari tanpa puasa dan tak ada malam tanpa qiyaamullail. Siang puasa, malamnya membaca al-Quran.




    Mendengar perihal anak muda-yang tidak lain adalah sahabat Nabi Abdullah Ibnu Amr itu-Nabi Muhammad SAW pun bersabda, menanyainya: “Aku dengar kau selalu puasa di siang hari dan membaca al-Quran sepanjang malam, benar?”



    “Benar, wahai Rasulullah, dan aku melakukan itu semata-mata menginginkan kebaikan.”



    “Sesungguhnya cukup bagimu berpuasa 3 hari setiap bulan.”



    “Ya Rasulallah, saya kuat berpuasa yang lebih afdol dari itu.”



    “Isterimu punya hak yang wajib kamu penuhi, tamumu punya hak yang wajib kamu penuhi, dan jasmanimu juga punya hak yang wajib kamu penuhi. Maka puasa saja seperti puasanya Nabi Daud. Beliau itu orang yang paling kuat ibadahnya.”



    “Ya Rasulallah, bagaimana itu puasa Nabi Daud?”


    “Sehari berpuasa, sehari tidak. Dan bacalah al-Quran setiap bulan.”


    “Ya Rasulallah, saya kuat melakukan yang lebih afdol daripada itu.”


    “Kalau begitu, baca setiap 20 hari.”


    “Ya Rasulallah, saya kuat melakukan yang lebih afdol daripada itu.”


    “Ya baca setiap 10 hari.”



    “Ya Rasulallah, saya kuat melakukan yang lebih afdol dari itu.”


    “Oke, bacalah setiap 7 hari. Dan jangan lebih dari itu. Isterimu punya hak yang wajib kamu penuhi, tamumu punya hak yang wajib kamu penuhi, dan jasmanimu juga punya hak yang wajib kamu penuhi.”


    Ketika Abdullah Ibnu Amr sudah tua, dengan nada agak menyesal, berkat,“Ah, seandainya dulu aku menerima kemurahan Rasulullah SAW…”


    Dalam suasana maraknya anak-anak muda bersemangat dalam beragama dan beribadah akhir-akhir ini, makna apa yang dapat kita ambil dari kisah dari Hadits sahih riwayat Imam Bukhari di atas?


    Pertama-tama, kondisi itu perlu kita syukuri. Sebagai bentuk syukur kita, kita perlu menjaga semangat itu agar tetap menjadi faktor positif terutama dalam kehidupan keberagamaan kita. Beragama dan beribadah itu mudah. Yang sulit adalah terus beragama dan beribadah sesuai tuntunan yang diberikan oleh Sang Pembawa agama itu sendiri, dalam hal ini adalah Rasulullah SAW.



    Kisah nyata yang diceritakan sendiri oleh pelakunya, sayyidina Abdullah Ibnu Amr melalui antara lain riwayat Imam Bukhari di atas, memberikan gambaran yang menarik tentang “tawar-menawar” antara semangat keberagamaan yang menggebu dari anak muda dan kearifan Sang Pembawa agama. Semangat anak muda yang merasa memiliki kekuatan riil untuk melakukan amal kebaikan seoptimal mungkin, berhadapan dengan kearifan Sang Nabi yang tidak hanya melihat kebaikan amal semata, tapi juga terutama kelangsungan amaliah baik itu sendiri.



    Orang arif mengatakan “Laa khaira fii khairin laa yaduumu bal syarrun laa yaduumu khairun min khairin laa yaduumu” yang artinya Tidak ada baiknya kebaikan yang tidak berlangsung terus, malahan keburukan yang tidak berlangsung terus, lebih baik daripada kebaikan yang tidak berlangsung terus. Ucapan sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Amr, di masa tuanya boleh jadi merupakan semacam “penyesalan” mengapa tidak mengikuti bimbingan Nabinya yang menawarkan sesuatu yang lebih ringan tampaknya, tapi dapat dilaksanakan dalam segala umur dengan semangat dan gairah yang sama.


    Kisah sahabat Abdullah Ibnu Amr di atas hanya sebagian dari tuntunan Rasulullah SAW dalam hal bersikap tawassuth, tidak berlebihan, dan hikmahnya. Masih banyak Hadits yang menganjurkan kita untuk bersikap sedang-sedang atau sederhana, tidak berlebih-lebihan dalam segala hal.


    Kenyataan juga membuktikan bahwa keberlebih-lebihan hampir selalu menimbulkan masalah. Berlebih-lebihan mencintai maupun membenci, misalnya, sama-sama berakibat buruk. Berlebih-lebihan dalam mencintai dunia menimbulkan malapetaka. Berlebih-lebihan menilai kehebatan diri sendiri juga terbukti merusak diri sendiri dan lingkungan. Orang yang berlebih-lebihan dalam segala hal, pasti tidak bisa berlaku adil dan istiqamah.



    Biasanya, ketika sedang bersemangat, kita memang sering lupa akan keburukan sikap berlebih-lebihan itu. Sementara, sudah merupakan kewajaran bahwa kaum muda memiliki semangat yang berkobar-kobar. Ini merupakan hal yang positif. Apalagi, semangat itu merupakan semangat beragama. Yang perlu dijaga ialah bagaimana semangat itu tidak seperti ungkapan, “panas-panas tai ayam” dan tidak menjerumuskan kepada sikap berlebih-lebihan. Untuk itu, semangat beragama mesti diikuti dengan semangat terus memperdalam pengetahuan tentang agama.



    Kalau tidak-kalau semangat beragama jauh lebih besar daripada pemahaman tentang agama-justru malah bisa menimbulkan masalah seperti yang sering terjadi di sekitar kita dewasa ini.

    more
  • Menengok Ke Belakang Untuk Maju Ke Depan

    Oleh: A. Mustofa Bisri




    “Haasibuu anfusakum qabla an tuhaasabuu”, Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. (Sayyidina Umar Ibn Khaththab r.a.)


    Menjelang akhir tahun, ada baiknya kita menengok sejenak ke belakang untuk keperluan memperbaiki atau menyempurnakan langkah kita ke depan



    Tahun ini, isu politik dan tingkah-polah para politisi masih dominan. Terutama, tentang banyaknya tokoh yang mencalonkan dan mengiklankan diri sebagai pemimpin negara, pemimpin daerah, maupun “wakil rakyat”. Juga, tentang tersangkutnya banyak politisi dalam kasus korupsi. Sedemikian dominannya, sehingga isu tentang krisis global sekalipun tidak mampu mempengaruhinya.



    Saya sendiri heran dan bertanya-tanya, apa sih yang terjadi di negeri ini dan bangsa ini? Kalau dibilang negeri ini carut-marut dan mengalami krisis kepemimpinan, mengapa banyak tokoh yang kepingin memimpin atau tepatnya kepingin dipilih menjadi pemimpin? Kalau dibilang citra politisi dan legislatif sedemikian buruknya, mengapa orang masih berebut mencalonkan diri sebagai caleg, termasuk artis-artis? Kalau mereka semua itu bicara tentang kemiskinan rakyat, mengapa harta mereka yang berlimpah hanya untuk mengiklankan diri atau sekedar “investasi kedudukan”?



    Di tahun ini, peringatan-peringatan seperti Hari Kemerdekaan, Hari Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, dan Hari Pahlawan; gaungnya-dan perhatian masyarakat terhadap maknanya-masih kalah dari misalnya peringatan Hari Valentine. Persoalan-persoalan mendasar seperti kemanusiaan, kebangsaan, kemiskinan dan keterbelakangan terdesak oleh isu-isu tentang Ahmadiyah dan “aliran sesat”, pornografi dan “jihad fi sabilihizbi kullin wara’yihi”.



    Yang mengusik perhatian dan boleh jadi bahkan menggetarkan sanubari kita, adalah terus-menerusnya fenomena kekerasan dan kebencian, termasuk yang muncul dari mereka yang merasa dan mengaku umat Nabi Muhammad SAW. Nabi agung yang lembut, santun dan penuh kasih sayang. Peristiwa-peristiwa yang menjadi tajuk berita di negeri kita akhir-akhir ini yang berkaitan dengan sikap keberagamaan, sungguh perlu mendapat perhatian terutama dari para pemimpin dan ahli agama.



    Kekerasan yang dilakukan oleh para pengikut aliran yang merasa diri paling dekat dengan Allah dan paling benar sendiri, merupakan tanggungjawab para pemimpin agama, bukan saja-meskipun terutama-pemimpin aliran itu sendiri. Amar-makruf dan nahi (‘anil) munkar yang biasa dijadikan dalih menghalalkan tindakan kekerasan dan kekejaman, menurut hemat saya, justru merupakan manifestasi atau pengejawentahan dari kasih sayang Islam. Amar makruf dan nahi (‘anil) munkar tidak mungkin dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki kasih sayang. Amar makruf dan nahi (‘anil) munkar yang dilandasi kebencian, jelas bukan amar makruf nahi (‘anil) munkar yang diajarkan Nabi Kasih Sayang, Rasulullah Muhammad SAW.



    Ada lagi, yang melakukan tindak kekerasan dan bahkan pembantaian dengan dalih jihad. Marilah kita lihat kembali jihad menurut contoh dan ajaran Rasulullah SAW. Kalau pun jihad fii sabiilillah dimaknai sempit, yaitu hanya diartikan qitaal, Rasulullah SAW telah memberi contoh dan mengajarkan aturan dan etika qitaal sedemikian bijak . Lagi pula, jihad fi sabiilillah berarti berjuang di jalan agama Allah. Jadi, harus karena dan dengan aturan yang ditentukan Allah. Jihad yang hanya karena nafsu amarah dan kejengkelan, bukanlah jihad fii sabiilillah. Jihad yang ngawur tidak memperhatikan aturan dan tuntunan Rasulullah SAW, bukanlah jihad fii sabiilillah. (Baca misalnya Q. 5: 8; Shahih Bukhari 1/58 Hadits 123; Shahih Muslim 3/1512 Hadits 1904, lihat juga bab Jihad)



    Satu lagi berita yang dibesar-besarkan pers. Yaitu, pernikahan Pujiono Cahyo Widianto. Orang kaya yang dipopulerkan pers dengan julukan Syeh Puji ini mengawini gadis cilik Lutviana Ulfa yang belum genap 16 tahun. Seandainya sebelumnya, pengusaha hiasan dinding kaligrafi ini tidak menjadi berita karena membagikan zakat dan tidak mengumumkan pernikahannya tersebut, mungkin tidak akan menjadi berita nasional yang menghebohkan. Mungkin tokoh gundul berjenggot ini mau meniru pernikahan Kanjeng Nabi dengan Sayyidatina Aisyah r.a. Kalau benar demikian, ini satu bukti lagi bahwa dalam meniru atau ittibaa’ Kanjeng Nabi Muhammad SAW, orang cenderung asal saja dan hanya berdasarkan kesenangannya.



    Selintas kita telah menengok ke belakang; maka adakah di sana pelajaran yang dapat kita ambil bagi memperbaiki dan menyempurnakan langkah kita selanjutnya ke depan?

    more




  • Sekali peristiwa di Bandung, sehari sebelum kudeta, pagi 22 Januari 1950 Westerling bercakap-cakap sambil minum-minum di Hotel Preanger dengan kenalannya. Malam hari, ia bersama istrinya makan malam di hotel itu juga. Hari itu Paris van Java tenang, tak seorang pun menduga bakal terjadi prahara.Pada pukul 21.00, Westerling mengendarai mobil menuju Padalarang.


    Di sana, ia menunggu kiriman senjata yang akan dibagikan kepada anak buahnya. Sesuai rencana, pagi hari 23 Januari 1950, ia akan menyerang dua kota penting di Jawa: Bandung dan Jakarta. Strategi ini disesuaikan dengan geopolitik Bandung.


    Bandung adalah penyangga Jakarta, sekaligus ibukota Negara Pasundan yang dipimpin Kartalegawa. Sedangkan Jakarta adalah jantung kekuasaan Indonesia.Subuh 23 Januari 1950, 800 Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)— 300 orang diantaranya merupakan tentara Belanda—bergerak menuju kota Bandung. Mereka mengendarai truk, sepeda motor, jeep dan ada yang jalan kaki.


    Sepanjang jalan, mereka melucuti polisi negara di Pos Cimindi, Cibeureum, dan Pabrik Mekaf. Sementara itu, 2 peleton APRA dengan mengendari truk menuju Jakarta.Hari itu juga, jalan Bandung-Cimahi diblokir. Pos-pos polisi di sepanjang jalan menuju Bandung dilumpuhkan. Ketika sampai kota Bandung, masyarakat masih acuh pada tentara Belanda.


    Pemandangan itu biasa mereka saksikan. Tapi tiba-tiba mereka terkejut. Tentara Belanda menembak membabi buta di jalan Braga. Penduduk ketakutan, jalanan, toko-toko, dan rumah-rumah di Bandung menjadi sepi.Di depan apotek Ratkamp di Jalan Braga, sebuah sedan ditahan dan penumpangnya di suruh turun. Penumpang tersebut anggota TNI, dia disuruh berdiri dan langsung ditembak.


    Sedangkan penduduk yang tertangkap dinaikkan ke truk. Di depan Hotel Pranger 3 anggota TNI ditembak. Di Jalan Merdeka, 10 anggota TNI tewas. Di perempatan Suniaraja-Braga, 7 anggota TNI mengalami nasib serupa. Di Kantor Staf Kwartier Divisi Siliwangi Oude Hospitelweg, 15 anggota TNI diserang tiba-tiba, beberapa tewas, sisanya lari. Akibat serangan di Kota Bandung itu, 60-79 anggota TNI dan 6 sipil tewas. (hlm. 81)


    Kudeta tersebut akhirnya gagal. Senjata yang ditunggu Westerling tak datang. Tentara APRA di Jakarta yang siap menyerbu tak memegang senjata. Sedangkan Jendral Spoor, Pemimpin tertinggi tentara Belanda di Indonesia yang sebelumnya menyetujui kudeta tiba-tiba mengurungkan niatnya. Demikian juga dengan Sultan Hamid II yang sedianya membantu ternyata juga urung. Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan masyarakat Jawa Barat yang berafiliasi padanya pun tak banyak memberi dukungan.


    Alhasil kudeta yang disiapkan Westerling berantakan.Padahal sebelumnya, ia telah atur rencana. Ia himpun kekuatan dengan memanfaatkan wacana mesianistik yang berhasil menghipnotis rakyat Jawa Barat. Di perdesaan Jawa Barat ia berhasil mendirikan organisasi yang berafiliasi kepada gerakan Ratu Adil. Bahkan ia berhasil menjalin kerjasama bawah tanah dengan Pemimpin DI/TII, Kartosuwiryo, pengusaha Indo-Belanda dan Cina, Sultan Hamid II, serta Walinegara Pasundan, Kartalegawa.


    Mengetahui kudeta ini, Perdana Menteri RIS, Mohammad Hatta berang. Hatta menuding Belanda melanggar pengakuan kedaulatan yang ditandatangani 27 Desember 1949. Untuk itu, Hatta segera memerintahkan menangkap dan menumpas gerakan Westerling. Demikian pula dengan Menteri Pertahanan RIS, Sultan Hamengkubuwono IX, yang menjadi target pembunuhan Westerling segera menginstruksikan untuk melumpuhkan APRA. Mengetahui kudetanya gagal, Westerling lari ke Singapura.


    Tapi sesampainya di negeri itu, ia ditangkap kepolisian Singapura.Pemerintahan RIS meminta Westerling diekstradisi ke Indonesia dan akan diadili sesuai peradilan Indonesia tapi pemerintah Belanda menolak. Westerling, yang menewaskan kurang lebih 40 ribu nyawa penduduk Sulawesi Selatan dan otak kudeta itu, oleh pengadilan Belanda divonis dua tahun penjara. Ia juga bebas dari dakwaan kejahatan perang oleh Mahkamah Internasional di den Haag, Belanda, sampai ia mati pada 26 November 1987.


    Prahara di Paris van Java yang dilakukan Raymond Westerling meninggalkan luka dalam sejarah Indonesia. Indonesia baru saja mendapat pengakuan de jure dari Belanda. Indonesia juga dihadapkan pada bentuk negara federasi berupa Republik Indonesia Serikat. Bentuk negara seperti ini dinilai para founding fathers sebagai strategi Belanda untuk memecah belah bangsa.


    Pendek kata, di saat Indonesia tertatih-tatih mestabilitasikan politik dan ekonomi, Westerling dan bekas tentara Belanda malah menikam dari belakang.Jejak kelam Westerling ini sepantasnya dibaca masyarakat Jawa Barat dan Indonesia. Dengan membaca buku ini pula pembaca akan terangsang untuk mengetahui lebih lanjut prahara di Paris Van Java. Apalagi Petrik Matanasi dalam karyanya ini sama sekali belum menyingkap oral history dari para pelaku dan saksi yang masih hidujp. Sumber dari oral history ini penting, agar rekonstruksi sejarah prahara di Paris van Java pada 23 januari 1950 semakin lengkap

    more
  • MENYONGSONG LAILATUL QADAR




    MENGGAPAI LENTERA MASA DEPAN

    By: Anas Mas’udi El Malawi

    Sesungguhnya kami menurunkannya (Alqur’an) pada malam yang diberkati. Sesungguhnya kami adalah Pemberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan setiap urusan yang bijaksana” (QS. Addukhan: 3-4)

    “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alqur’an) pada Lailatul Qadar. Dan tahukah engkau, Apakah Lailatul Qadar itu? Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan. Malaikat dan Ruh (Jibril) turun padanya (malam itu) dengan izin Tuhannya membawa segala perintah. Sejahteralah malam itu sampai terbit fajar”. (QS. Alqadr)

    Bulan Ramadhan merupakan bulan yang suci bagi umat Islam. Di dalamnya terkandung banyak cahaya yg bisa diraih oleh setiap orang yang mampu memanfaatkan moment tersebut dengan sebaik-baiknya.

    Di bulan inilah al Qur’an yg menjadi a way of life dalam kehidupan dunia dan akherat bagi semua insan diturunkan oleh Allah Sang Pencipta jagat raya. Di mana peristiwa tersebut kita kenal dengan istilah Nuzul al Qur’an (turunnya al Qur’an) yang terjadi pada malam 17 bulan Ramadhan.

    Makna Lailatul Qadar

    Untuk memahami makna Lailat al Qadar. kita tidak terlepas dari surah al-Qadr yang merupakan surah ke-97 menurut urutannya di dalam Mushaf (al qur’an). Ia ditempatkan sesudah surah Iqra'. Para ulama Al-Quran menyatakan bahwa ia turun jauh sesudah turunnya surah Iqra'. Bahkan, sebagian di antara mereka menyatakan bahwa surah Al-Qadr turun setelah Nabi Muhammad saw. berhijrah ke Madinah.

    Penempatan dan perurutan surah dalam Al-Quran dilakukan langsung atas perintah Allah SWT, dan dari urutannya ditemukan keserasian-keserasian yang mengagumkan. Kalau dalam surah Iqra', Nabi saw. diperintahkan (demikian pula kaum Muslim) untuk membaca dan yang dibaca itu antara lain adalah Al-Quran, maka wajarlah jika surah sesudahnya -yakni surah Al-Qadr ini- berbicara tentang turunnya Al-Quran dan kemuliaan malam yang terpilih sebagai malam Nuzul Al-Qur'an (turunnya Al-Quran).

    Kata al qadr sendiri paling tidak digunakan untuk tiga arti; Pertama, penetapan dan pengaturan. Yakni Lailat Al-Qadr dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia. Pendapat ini dikuatkan oleh penganutnya dengan firman Allah pada surah Addukhan : Sesungguhnya Kami menurunkannya (Alqur’an) pada malam yang diberkati. Sesungguhnya Kami adalah Pemberi peringatan (QS. 44: 3). Malam Lailatul Qadr merupakan malam yang penuh berkah. Di mana pada malam itu dijelaskan atau ditetapkan segala urusan besar dengan penuh kebijaksanaan. “Pada malam itu dijelaskan setiap urusan yang bijaksana” (QS. Addukhan: 4).

    Sementara, ada ulama yang memahami “penetapan” itu dalam batas setahun. Al-Quran yang turun pada malam Lailat Al-Qadr diartikan bahwa pada malam itu Allah SWT mengatur dan menetapkan khiththah (garis-garis besar haluan kehidupan) dan strategi bagi Nabi-Nya, Muhammad saw., guna mengajak manusia kepada agama yang benar yang pada akhirnya akan menetapkan perjalanan sejarah umat manusia, baik sebagai individu maupun kelompok.

    Kedua, Lailatul Qadr bermakna kemuliaan, yakni malam tersebut adalah malam mulia yang tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya Al-Quran serta karena ia menjadi titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih. Kata Alqadr yang berarti mulia ditemukan dalam ayat ke-91 surah Al-An'am yang berbicara tentang kaum musyrik: Maa qadarullaha haqqa qadrihi idz qaalu maa anzalallahu 'alaa basyarin min syay'in (Mereka itu tidak memuliakan Allah sebagaimana kemuliaan yang semestinya, tatkala mereka berkata bahwa Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia).

    Ketiga, Lailatul Qadr bermakna sempit, yakni malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surah Al-Qadr: “Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan”.

    Kata al qadr yang berarti sempit digunakan oleh Al-Quran antara lain dalam ayat ke-26 surah Al-Ra'd: Allah yabsuthu al-rizqa liman yasya' wa yaqdiru (Allah melapangkan rezeki bagi yang dikehendaki dan mempersempitnya [bagi yang dikehendaki-Nya).

    Ketiga arti tersebut -pada hakikatnya- dapat menjadi benar, karena bukankah malam tersebut adalah malam mulia, yang bila dapat diraih maka ia dapat menetapkan masa depan manusia, dan bahwa pada malam itu malaikat-malaikat turun ke bumi membawa kedamaian dan ketenangan?

    Nuzulul Qur’an & Lailatul Qadar

    Adapun Nuzul al Quran, secara etimologi terdiri dari dua kata “Nuzul” dan “Al Qur’an” . Kata “Nuzul” diambil dari bahasa Arab “nazala-yanzilu-nuzuulan” yang artinya “turun” dan “Al Qur’an” berarti kalamullah yang diturunkan pada nabi Muhammad saw. Saat beliau berusia 41 tahun.

    Nuzul al Qur’an adalah turunnya al Qur’an, yakni hari diturunkannya al Qur’an. Di mana telah diketahui bersama bahwa turunnya al Qur’an tersebut pada malam ke 17 dari bulan Ramadhan secara berangsur-angsur selama 22 tahun, 2 bulan, 22 hari, mulai tanggal 17 Ramadhan tahun 1 kenabian sampai tanggal 9 Dzul Hijjah pada waktu haji akbar tahun 10 H., dengan wahyu pertama surat “Iqra’” (QS. Al ‘Alaq: 1-5) dan wahyu terahir surat al Ma’idah: 3.

    Demikian tadi jika dirinci menjadi 12 tahun, 5 bulan 13 hari diturunkan di Makkah al Mukarramah, dari tanggal 17 bulan Ramadhan tahun 1 kenabian (tahun ke 41 dari usia Rasul saw.) sampai permulaan bulan Rabi’ul Awal tahun ke 13 kenabian, dan 9 tahun, 9 bulan, 9 hari diturunkan di Madinah al Munawwarah, dari permulaan bulan R. Awal tahun ke 13 kenabian sampai 9 Dz. Hujjah tahun ke 10 H. (tahun ke 63 dari usia Rasul saw.). Dengan kata lain, kurang-lebih 63,33%-nya al Quran yg berjumlah 30 juz diturunkan di Makkah al Mukarramah dan 36,67%-nya diturunkan di Madinah al Munawwarah.

    Sementara sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud Nuzulul Qur’an adalah turunnya Alqur’an secara lengkap 30 juz dari Lauh Mahfudh ke Baitul Ma’mur di langit pertama pada tanggal 17 Ramadhan. Ada juga yang mengatakan bahwa Nuzulul Qur’an adalah peristiwa turunnya wahyu pertama dari Alqur’an pada Nabi Muhammada saw di dalam gua Hira’.

    Adapaun Lailatul Qadar adalah malam turunnya malaikat Jibril membawa perintah Allah kepada Nabi Muhammad saw untuk muraja’ah dan mentashhih (mengukuhkan dan membenarkan wahyu yang telah diterima oleh Nabi Muhammada saw). Malam tersebut terjadi pada bulan Ramadhan. Sebagaimana Alqur’an menginformasikan bahwa ia diturunkan oleh Allah pada bulan Ramadhan (QS 2:185) pada malam Al-Qadr (QS 97:1). Malam tersebut adalah malam mulia, tidak mudah diketahui seberapa besar kemuliaannya. Ini diisyaratkan oleh adanya "pertanyaan" dalam bentuk pengagungan, yaitu Wa maa adraaka maa lailat al-Qadr.

    Demikian itu terjadi pada setiap bulan Ramadhan tiap tahunnya hanya satu kali. Namun, menjelang wafat Rasul saw, pengukuhan wahyu tersebut dilaksanakan dua kali pada bulan Ramadhan.

    Dari sinilah, timbulnya beberapa perbedaan pendapat tentang datangnya Lailatul Qadar. Ada ulama’ –dengan beberapa hadis yang ada- berpendapat bahwa Lailatul Qadar itu datang pada hari ganjil dalam lingkaran sepuluh hari terahir dari bulan Ramadhan. Ada juga yang mengkhususkan pada malam 21 Ramadhan. Ada yang bilang pada malam 23, malam 25, malam 27, malam 29. Bahkan ada yang berpendapat bahwa lailatul Qadar itu dapat dicari mulai dari awal Ramadhan sampai ahir bulan. Namun, mayoritas ulama berpendapat bahwa bahwa Lailatul Qadar itu datang pada malam 27 Ramadhan.

    Ada 13 kali kalimat wa maa adraaka terulang dalam Al-Quran. Sepuluh di antaranya mempertanyakan tentang kehebatan yang terkait dengan hari kemudian, seperti wa maa adraaka maa yaumul fashl, wa maa adraaka mal haaqqah, wa maa adraaka maa ‘illiyyun, dst. Kesemuanya itu merupakan hal yang tidak mudah dijangkau oleh akal pikiran manusia, kalau enggan berkata mustahil dijangkaunya. Dari 13 kalimat wa maa adraaka itu terdapat ayat yang mengatakan: wa maa adraaka math thaariq, wa maa adraaka mal ‘aqabah, dan wa maa adraaka maa lailat al-qadr.

    Jika dilihat, pemakaian Al-Quran tentang hal-hal yang menjadi objek pertanyaan, maka kesemuanya adalah hal-hal yang sangat hebat dan sulit dijangkau hakikatnya secara sempurna oleh akal pikiran manusia. Hal ini tentunya termasuk Lailat Al-Qadr yang menjadi pokok bahasan kita, kali ini.

    Walaupun demikian, sebagian ulama membedakan antara pertanyaan maa adraaka dan maa yudriika yang juga digunakan oleh Al-Quran dalam tiga ayat: Wa maa yudriika la'allas saa'ata takunu qariban (Al-Ahzab: 63), Wa maa yudriika la'allas sa'ata qariib (Al-Syura:17), Wa maa yudriika la‘allahuu yazzakkaa (‘Abasa: 3).

    Ada dua hal yang dipertanyakan dari ungkapan wa maa yudriika. Pertama menyangkut waktu kedatangan hari kiamat dan kedua apa yang berkaitan dengan kesucian jiwa manusia. Secara gamblang, Al-Quran -demikian pula Al-Sunnah- menyatakan bahwa Nabi saw. tidak mengetahui kapan datangnya hari kiamat dan tidak pula mengetahui tentang yang gaib. Ini berarti bahwa wa maa yudriika digunakan oleh Al-Quran untuk hal-hal yang tidak mungkin diketahui walaupun oleh Nabi saw. sendiri.

    Sedangkan wa maa adraaka, walaupun berupa pertanyaan, namun pada akhirnya Allah SWT menyampaikannya kepada Nabi saw., sehingga informasi lanjutannya dapat diperoleh dari beliau. Itu semua berarti bahwa persoalan Lailat al-Qadr harus dirujuk kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw., karena di sanalah dapat diperoleh informasinya.

    Pendapat Ulama Tentang Lailatul Qadar

    Al-Quran memberikan penjelasan bahwa wahyu-wahyu Allah itu diturunkan pada Lailat al-Qadr. Namun, karena umat sepakat mempercayai bahwa Al-Quran telah sempurna dan tidak ada lagi wahyu setelah wafatnya Nabi Muhammad saw., atas dasar logika itu, ada yang berpendapat bahwa malam mulia itu sudah tidak akan hadir lagi. Kemuliaan yang diperoleh oleh malam tersebut adalah karena ia terpilih menjadi waktu turunnya Al-Quran.

    Pakar hadis, Ibnu Hajar, menyebutkan satu riwayat dari penganut paham di atas yang menyatakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda bahwa malam qadr sudah tidak akan datang lagi. Pendapat tersebut ditolak oleh mayoritas ulama dengan berpegang pada teks ayat Al-Quran serta sekian banyak teks hadis yang menunjukkan bahwa Lailat al-Qadr terjadi pada setiap bulan Ramadhan.

    Bahkan, Rasul saw. menganjurkan umatnya untuk mempersiapkan jiwanya masing-masing untuk menyambut malam mulia itu secara khusus pada malam-malam ganjil setelah berlalu dua puluh hari Ramadhan. Sebagaimana sabda beliau: ...maka barang siapa yang ingin memperolehnya (lailat al qadr), hendaklah ia mencarinya di tujuh hari terahir (bulan Ramadhan). (HR. Bukhari-Muslim) dan dalam hadits lain, ‘Aisyah ra. menceritakan perihal Rasul saw. Ia berkata: (dulu) Rasulullah saw jika masuk 10 hari –yg terahir dari Ramadhan- beliau mengencangkan mi’zarnya (pakaian penutup badan bagian bawah/ sejenis sarung;sekarang), menghidupi malamnya (tidak tidur untuk ibadah) dan membangunkan isterinya. (HR. Bukhari-Muslim)

    Memang, turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu terjadi pada malam Lailat Al-Qadr, tetapi itu bukan berarti bahwa malam mulia itu hadir pada saat itu saja. Ini juga berarti bahwa kemuliaannya bukan hanya disebabkan karena Al-Quran ketika itu turun, tetapi karena adanya faktor intern pada malam itu sendiri.

    Pendapat tersebut dikuatkan juga dengan penggunaan bentuk kata kerja mudhari' (present tense) pada ayat, Tanazzalul mala'ikatu wa al-ruh, kata Tanazzalu adalah bentuk yang mengandung arti kesinambungan, atau terjadinya sesuatu pada masa kini dan masa datang. Namun, apakah jika Lailat al Qadr hadir, ia akan menemui setiap orang yang terjaga (tidak tidur) pada malam kehadirannya itu? Tidak sedikit umat Islam yang menduganya demikian. Akan tetapi, dugaan itu -hemat penulis- kurang tepat, karena itu dapat berarti bahwa yang memperoleh keistimewaan adalah yang terjaga baik mereka yang terjaga karena untuk menyambutnya maupun tidak.

    Di sisi lain, kehadirannya ditandai oleh hal-hal yang bersifat fisik material. Sedangkan riwayat-riwayat demikian tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya. Dan seandainya, ada tanda-tanda fisik material, maka itu pun tidak akan ditemui oleh orang-orang yang tidak mempersiapkan diri dan menyucikan jiwa guna menyambutnya. Sebagaimana Air dan minyak tidak mungkin akan menyatu dan bertemu. Pun Kebaikan dan kemuliaan yang dihadirkan oleh Lailat al-Qadr tidak mungkin akan diraih kecuali oleh orang-orang tertentu saja. Sebagaimana tamu agung yang berkunjung ke satu tempat, tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun setiap orang di tempat itu mendambakannya. Bukankah ada orang yang sangat rindu atas kedatangan kekasih, namun ternyata sang kekasih tidak sudi mampir menemuinya? Demikian juga dengan Lailat al-Qadr.

    Itulah sebabnya bulan Ramadhan menjadi bulan kehadirannya, karena bulan ini adalah bulan penyucian jiwa dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga oleh Rasul datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Karena, ketika itu, diharapkan jiwa manusia yang berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai satu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu berkenan mampir menemuinya. Dan itu pula sebabnya Rasul saw. menganjurkan sekaligus mempraktekkan i'tikaf (berdiam diri dan merenung di masjid) pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan.

    Apabila jiwa telah siap, kesadaran telah mulai bersemi, dan Lailat al-Qadr datang menemui seseorang, ketika itu malam kehadirannya menjadi “malam qadr” baginya, yakni saat yang menentukan bagi perjalanan sejarah hidupnya pada masa-masa mendatang. Saat itu, bagi yang bersangkutan adalah saat yang sangat urgent dan interest guna meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan di akhirat kelak, dan sejak saat itu, malaikat akan turun guna menyertai dan membimbingnya menuju kebaikan sampai terbit fajar kehidupannya yang baru kelak di hari kemudian. (Perhatikan kembali makna-makna Al-Qadr yang dikemukakan di atas!).

    Syaikh Muhammad 'Abduh pernah menjelaskan pandangan Imam al-Ghazali tentang kehadiran malaikat dalam diri manusia..Ia memberikan ilustrasi berikut: Setiap orang dapat merasakan bahwa dalam jiwanya ada dua macam bisikan, yaitu bisikan baik dan buruk. Manusia seringkali merasakan pertarungan antara keduanya, seakan apa yang terlintas dalam pikirannya ketika itu sedang diajukan ke satu sidang pengadilan. Yang ini menerima dan yang itu menolak, atau yang ini berkata lakukan dan yang itu mencegah, demikian halnya sampai pada akhirnya sidang memutuskan sesuatu. Yang membisikkan kebaikan adalah malaikat, sedangkan yang membisikkan keburukan adalah setan atau paling tidak penyebab adanya bisikan tersebut adalah malaikat atau setan.

    Nah, turunnya malaikat, pada malam Lailat Al-Qadr, menemui orang yang mempersiapkan diri menyambutnya berarti ia akan selalu disertai oleh malaikat sehingga jiwanya selalu terdorong untuk melakukan kebaikan-kebaikan. Jiwanya akan selalu merasakan salam (rasa aman dan damai) yang tidak terbatas sampai fajar malam Lailat Al-Qadr itu saja, tetapi sampai akhir hayat menuju fajar kehidupan baru di hari kemudian kelak.

    Dari beberapa pendapat yang ada, tidak ada satu pendapat pun yang bisa memastikan datangnya Lailatul Qadar, karena hal itu merupakan peristiwa gaib yang sengaja dirahasiakan datangnya oleh Allah swt. Adapun hikmah dirahasiakannya Lailatul Qadar adalah motivasi bagi setiap Mukmin yang sangat berharap dapat menemukan Lailatul Qadar tadi. Dengan dirahasikannya tersebut, ia akan senantiasa berusaha dan berupaya meningkatkan pendekatan diri kepada Allah swt dengan beberapa ibadah dan amal-amal shalih lainnya yang dimulai sejak awal Ramadhan dan dijaganya kebiasaan itu sampai ahir Ramadhan.

    Dengan demikian, orang yang tersifati tersebut di atas akan mudah terbuka jalannya untuk dapat menemukan malam istimewa tadi, malam yang nilai kebaikannya lebih besar dari seribu bulan, yaitu Lailatul Qadar.

    Maka, sudah sepantasnya bagi mereka yang berpuasa di bulan Ramadhan dan memperbanyak membaca al Qur’an disebut orang yang kembali pada kesuciannya (fitrahnya) semula, setelah selesai dari puasanya sebulan, yakni ketika datang hari raya Ied al fitri (hari kembalinya kesucian). Hingga mereka berseru minal ‘aidiin wal faiziin (semoga termasuk orang-orang yang kembali pada fitrahnya dan orang-orang yg beruntung dengan kesucian tersebut).

    Demikianlah yg dapat penulis uraikan. Suatu kajian ilmiah yang dapat memotivasi kita untuk senantiasa berusaha meningkatkan keimanan dan ketaqwaan dalam hati dengan men-tadabbur-i ayat-ayat Allah yang tersurat. Kemudian berupaya memahami pesan-pesan-Nya lewat ayat-ayat keaguangan-Nya yang tersirat untuk kemudian diaplikasikan dalam perjalanan hidup di dunia yang fana menuju aherat yang baka.

    Semoga Allah swt. senantiasa memberi hidayah dan kekuataan dhahir-batin pada kita untuk menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, kususnya di bulan Ramadhan yang suci penuh dengan barakah, rahmah dan ampunan ini. Hingga kita bisa menjalankan ibadah puasa dengan sebaik-sebaiknya sesuai dengan ajaran dan tuntunan Rasulullah saw dan bisa mempersiapkan diri (dhahir-batin) untuk menyambut datangnya Lailat al Qadr, suatu malam yang sangat mulia yang hanya ditemui oleh orang-orang yg bersih nan suci jiwa dan raganya. Mudah-mudahan kita termasuk golongan orang-orang tersebut, amiiin. .

    Refrensi.

    1. Al Qur’an al Karim.

    2. Subulus Salam, Syarkh Bulugh al Maram min Jam’I Adillat al Ahkam. Al Imam Muhammad Ibn Ismail al Amir al Yamani al Shan’ani. Jld 1. Kuliah Dakwah Islamiah. Tripoli-Libya.

    3. Tarikh al Tasyri’ al Islami. Al Syekh Muhammad al Khudhari Biek. Kuliah dakwah Islamiah. Tripoli-Tripoli.

    4. Syarkh Ibn Aqil ‘ala Alfiyat Ibn Malik. Jld II. Kuliah Dakwak Islamiah. Tripoloi-Libya.

    5. Kumpulan artikel tentang puasa Ramadhan dan Lailat al Qadr.

    more
  • Doa Syekh Yusuf Alqardhawi



    Di antara do’a yang dimunajatkan oleh Syaikh Dr. Yusuf Al Qaradhawi, Ketua Persatuan Ulama Muslimin Dunia :

    اللهم إني أسألك رحمة من عندك، تهدي بها قلبي، وتجمع بها أمري، وتلم بها شعثي، وترد بها غائبي، وترفع بها شاهدي، وتزكي بها عملي، وتلهمني بها رشدي، وترد بها ألفتي، وتعصمني بها من كل سوء


    “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu, rahmat dari sisi-Mu. Dengan rahmat-Mu Engkau menerangi hatiku. Dengan rahmat-Mu Engkau mengumpulkan dan memudahkan urusanku. Dengan rahmat-Mu Engkau balikkan sesuatu yang tiada dariku. Dengan rahmat-Mu Engkau Angkat kesaksianku. Dengan rahmat-Mu Engkau sucikan amalku. Dengan rahmat-Mu Engkau ilhamkan kedewasaanku. Dengan rahmat-Mu Engkau kembalikan sesuatu yang hilang dariku. Dengan rahmat-Mu Engkau jaga aku dari segala keburukan.”


    اللهم أعطني إيمانا ويقينا ليس بعده كفر، ورحمة أنال بها شرف كرامتك في الدنيا والآخرة، اللهم إني أسألك الفوز في القضاء، ونزل الشهداء، وعيش السعداء، والنصر على الأعداء


    “Ya Allah, karuniakan kepadaku keimanan dan keyakinan yang tidak ada kekufuran lagi setelahnya. Ya Allah karuniakan kepadaku rahmat, yang dengannya aku memperoleh kemulyaan-Mu, di dunia dan di akhirat. Ya Allah, ku mohon kepada-Mu keberhasilan dan keberuntungan dalam takdir. Predikat orang-orang syahid. Kehidupan yang bahagia. Dan pertolongan dalam menghadapi musuh.”


    اللهم إني أُنْزِل بك حاجتي، وإن قصر رأيي، وضعف عملي، وافتقرت إلى رحمتك، فأسألك يا قاضي الأمور، ويا شافي الصدور، كما تجير بين البحور: أن تجيرني من عذاب السعير، ومن دعوة الثبور، ومن فتنة القبور، اللهم وما قصر عنه رأيي، ولم تبلغه مسألتي، ولم تبلغه نيتي من خير وعدته أحدا من خلقك، أو خير أنت معطيه أحدا من عبادك، فإني أرغب إليك فيه، وأسألُكَهُ برحمتك يا رب العالمين


    “Ya Allah, ku sampaikan kepada-Mu segala hajatku. Pendeknya pikiranku. Lemahnya amalku. Aku sangat membutuhkan rahmat-Mu. Karena itu, Ya Allah, aku memohon kepada-Mu, Wahai Dzat Yang Mengabulkan segala urusan. Wahai Dzat yang Melapangkan dada. Sebagaimana Engkau mudah mengalirkan (air) di antara lautan. Maka ku mohon agar Engkau menghindarkanku dari siksa menyala-nyala. Menghindarkanku dari do’a yang sia-sia. Dan dari fitnah kubur. Ya Allah, sungguh, sangat pendek pikiranku tentang itu. Urusanku tidak sampai menjangkaunya. Dan niatku tidak sampai melampauinya, dari kebaikan yang telah Engkau janjikan kepada seseorang dari makhluk-Mu. Atau kebaikan yang Engkau berikan kepada seseorang dari hamba-hamba-Mu. Dan karena itu aku rindu kepada-Mu akan itu. Aku memohon kepada-Mu bisa mendapatkannya dengan rahmat-Mu, Ya Rabbal ‘Alamin.”


    اللهم يا ذا الحبل الشديد، والأمر الرشيد، أسألك الأمن يوم الوعيد، والجنة يوم الخلود، مع المقربين الشهود، الركع السجود، الموفين بالعهود، إنك رحيم ودود، وإنك تفعل ما تريد


    “Ya Allah, Dzat Yang mempunyai tali yang kuat dan urusan yang baik. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu rasa aman di hari persaksian. Syurga di hari kekekalan. Bersama orang-orang dekat lagi syuhada’. Bersama orang-orang yang rukuk lagi sujud. Bersama dengan orang-orang yang memenuhi janji-janjinya. Ya Allah, Sungguh Engkau Maha Cinta dan Kasih-Sayang. Dan Engkau bekerja sesuai dengan apa yang Engkau kehendaki sendiri.”

    اللهم اجعلنا هادين مهتدين، غير ضالين ولا مضلين،سِلما لأوليائك، وحربا لأعدائك، نحب بحبك من أحبك، ونعادي بعداوتك من خالفك. اللهم هذا الدعاء وعليك الإجابة، اللهم هذا الجهد وعليك التكلان


    “Ya Allah, jadikan kami orang-orang yang menjadi sebab orang lain mendapat petunjuk, dan kami sendiri bagian dari orang-orang yang mendapatkan petunjuk. Bukan orang-orang yang sesat lagi menyesatkan. Damai terhadap penolong-penolong-Mu. Perang terhadap musuh-musuh-Mu. Kami cinta dengan cinta-Mu kepada orang yang mencintai-Mu. Kami menentang dengan permusuhan-Mu terhadap orang yang melawan-Mu. Ya Allah, inilah do’a, telah kami panjatkan, karena itu sewajarnya Engkau mengabulkan. Ya Allah, kesungguhan telah kami buktikan, oleh karena itu Engkau pasti melepangkan.”


    اللهم إني عبدك ابن عبدك ابن أمتك، ناصيتي بيدك، ماضٍ فيّ حكمك عدل فيّ قضاؤك، أسألك بكل اسم هو لك، سميت به نفسك، أو أنزلته في كتابك، أو علمته أحدا من خلقك، أو استأثرت به في علم الغيب عندك: أن تجعل القرآن ربيع قلبي، ونور صدري، وجلاء حزني، وذهاب همي.


    “Ya Allah, aku hamba-Mu, putra dari hamba-Mu, putra dari budak-Mu. Ubun-ubunku berada dalam genggaman-Mu. Hukum-Mu berlaku bagiku. Adil putusan-Mu padaku. Aku memohon kepada-Mu dengan menyebut segala nama-Mu. Nama Yang Engkau sendiri menamai-Mu. Atau nama yang telah Engkau turunkan dalam kitab-Mu. Atau nama yang telah Engkau ajarkan kepada salah satu makhluk-Mu. Atau nama yang hanya Engkau yang tahu karena Engkau rahasiakan dalam sisi-Mu. Agar Engkau, Ya Allah, menjadikan Al Qur’an sebagai pelita hatiku. Sebagai cahaya bagi dadaku. Sebagai penawar kegelisahanku. Sebagai penghalau kegundahanku.”


    اللهم ارحمني بترك المعاصي أبدا ما أبقيتني، وارحمني أن أتكلف ما لا يعنيني، وارزقني حسن النظر فيما يرضيك عني، اللهم بديع السموات والأرض، ذا الجلال والإكرام، والعزة التي لا ترام، أسألك يا الله، يا رحمن، بجلالك ونور وجهك: أن تلزم قلبي حفظ كتابك كما علمتني، وارزقني أن أتلوه على النحو الذي يرضيك عني


    “Ya Allah, sayangi aku untuk meninggalkan maksiat dan dosa, selamanya, selama Engkau menghidupkanku. Ya Allah, sayangi aku, agar Engkau tidak membebani aku di luar kemampuanku. Ya Allah, karuniakan kepadaku penglihatan yang indah terhadap sesuatu yang Engkau ridhai dariku. Ya Allah, Pencipta langit dan bumi. Dzat Yang Maha Tinggi lagi Terhormat. Mulya yang tiada duanya. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu, Wahai Dzat Yang Maha Kasih. Aku memohon kepada-Mu dengan kemuliaan Engkau dan cahaya Wajah-Mu, agar Engkau meneguhkan hatiku dalam menjaga kitab-Mu, sebagaimana Engkau mengajarkan itu kepada kami. Karuniakan kepadaku kekuatan untuk selalu membacanya sesuai yang Engkau ridhai.”

    اللهم بديع السموات والأرض، ذا الجلال والإكرام ، والعزة التي لا ترام، أسألك يا الله يا رحمن، بجلالك، ونور وجهك: أن تنور بكتابك بصري، وأن تطلق به لساني، وأن تفرج به عن قلبي، وأن تشرح به صدري، وأن تغسل به بدني، فإنه لا يعينني على الحق غيرك، ولا يؤتينيه إلا أنت، ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم”


    “Ya Allah, Pencipta langit dan bumi. Dzat Yang Maha Tinggi lagi Mulya.Yang memiliki Kehormatan tiada tanding. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu, Wahai Dzat Yang Maha Kasih. Aku memohon kepada-Mu dengan kemulyaan-Mu dan cahaya Wajah-Mu, agar Engkau menerangi penglihatanku dengan Kitab-Mu. Agar Engkau melancarkan lisanku dengan kitab-Mu. Agar Engkau lapangkan hatiku dengan Kitab-Mu. Agar Engkau luaskan dadaku dengan Kitab-Mu. Agar Engkau bersihkan badanku dengan Kitab-Mu. Karena tidak ada yang bisa menolongku dalam menjalankan kebaikan selain-Mu. Tiada yang bisa mendatangkan kebaikan kepadaku selain Engkau. Dan tidak ada daya dan upaya kecuali datang dari Engkau, Ya Allah, Dzat yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.” (ut)

    more
  • Meraih Piala Ramadhan


    Apa yang dirasakan oleh juara Euro 2008, Tim Spanyol, ketika ia dipastikan menjadi juara dalam event besar itu? Tentu luapan kegembiraan dan suka cita menyatu dalam diri mereka. Tidak hanya pemain, pelatih, dan tim saja, bahkan semua warga negara Spanyol menyatu dalam kegembiraan itu. Dunia memujinya, publik menyanjungnya. Spanyol jadi buah bibir.

    Keberhasilan itu hasil jerih perjuangan panjang dan melelahkan. Penantian selama empat puluh tiga tahun untuk merebut kembali predikat sang juara. Penuh kesungguhan dan kedisiplinan.

    Bagaimana jika piala itu datangnya dari Tuhannya manusia?. Bagaimana jika predikat juara itu disematkan oleh Pemilik alam raya ini?. Bagaimana jika yang menyanjung itu adalah Penentu kehidupan semua makhluk?.

    Secara fitriyah dan imaniyah, pasti orang akan berebut piala dan predikat juara dari Tuhannya. Tentu jauh lebih mulia, istimewa dibandingkan dengan sanjungan manusia.

    Ya, itulah peraih sukses Ramadhan. Orang yang mampu melewati event besar ini sampai finish dengan kesungguhan. Ia meraih predikat taqwa, sebagai identitas tertinggi manusia. Ia meraih piala Ar Royyan, surga spesial bagi shaaimin dan shaaimat.

    “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183).

    “Sesungguhnya didalam surga ada pintu bernama Royyan, tidak ada yang memasukinya kecuali mereka yang shaum Ramadhan.” (Muttafaq alaih)

    Bahkan tidak hanya itu, orang yang sukses Ramadhan, mengisinya dengan kesungguhan, akan meraih berbagai keistimewaan dan kemuliaan.

    Karena Ramadhan menjanjikan: Kelipatan pahala, pengkabulan do’a, pemudahan amal shaleh, penghapusan dosa, surga dibuka lebar-lebar, neraka ditutup rapat-rapat, setan-setan dibelenggu. Dan di dalamnya ada malam lailatul qadar, malam lebih baik dari seribu bulan. Kebaikan senilai usia rata-rata manusia, bagi yang meraihnya. Subhanallah!

    Nabi saw. bersabda: “Bila Ramadhan tiba, pintu-pintu surga dibuka, dan pintu-pintu neraka ditutup, sementara setan-setan diikat.” (HR. Bukhari-Muslim).

    “Setiap amal anak Adam -selama Ramadhan- dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat, bahkan sampai tujuh ratus kali lipat. Kecuali puasa, Allah swt. berfirman: Puasa itu untuk-Ku, dan Aku langsung yang akan memberikan pahala untuknya.” (HR. Muslim).

    “Siapa yang berpuasa Ramadhan dengan kesadaran iman dan penuh harapan ridha Allah, akan diampuni semua dosa-dosa yang lalu.” (HR. Bukhari-Muslim).

    “Orang yang berpuasa doanya tidak ditolak, terutama menjelang berbuka.” (HR. Ibn Majah, sanad hadits ini sahih).

    Yang lebih penting untuk diperhatikan di sini adalah, persiapan dan pengkondisian sebelum Ramadhan datang.

    Seperti Tim Spanyol, yang harus berjibaku sepanjang waktu mempersiapkan diri menghadapi musim pertandingan.

    Begitu juga dengan persiapan Ramadhan. Apa yang perlu dipersiapkan?

    Persiapan fikriyah atau pemahaman tentang Ramadhan. Persiapan ruhiyah atau ibadah ritual. Persiapan maddiyah atau fisik dan material.

    Bulan Sya’ban telah menjelang. Bulan di mana Rasulullah saw. meningkatkan aktivitas ibadah. Bahkan diriwayatkan beliau hampir-hampir shaum sunnah sebulan penuh.

    Imam al-Nasa’i dan Abu Dawud meriwayatkan, disahihkan oleh Ibnu Huzaimah. Usamah berkata pada Nabi saw.

    Wahai Rasulullah, saya tidak melihat Engkau melakukan puasa (sunnah) sebanyak yang Engkau lakukan dalam bulan Sya’ban.’ Rasul menjawab: ‘Bulan Sya’ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadhan yang dilupakan oleh kebanyakan orang. Di bulan itu perbuatan dan amal baik diangkat ke Tuhan semesta alam, maka aku ingin ketika amalku diangkat, aku dalam keadaan puasa.”

    Dari Aisyah r.a. beliau berkata: “Rasulullah s.a.w. berpuasa hingga kita mengatakan tidak pernah tidak puasa, dan beliau berbuka (tidak puasa) hingga kita mengatakan tidak puasa, tapi aku tidak pernah melihat beliau menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali bulan Ramadhan dan aku tidak pernah melihat beliau memperbanyak puasa selain bulan Ramadhan kecuali pada bulan Sya’ban.” Imam Bukhari.

    Subhanallah, kondisi ruhiyah, fikriyah dan maddiyah sudah dipersiapkan sebulan, bahkan dua bulan sebelum Ramadhan menjelang. Sehingga ketika Ramadhan datang, kita sudah terbiasa, terkondisikan dengan kesungguhan dan ketaatan. Dan karena itu kebaikan-kebaikan dan keutamaan-keutamaan Ramadhan akan dapat diraih. Keluar Ramadhan meraih predikat muttaqin dan piala Jannatur Rayyan, insya Allah. Allahu a’lam

    more
  • Ramadhan Salafuna & Ramadhan Kita




    Betapa besar perbedaan antara shaumnya –puasanya- kita dengan shaumnya salafus shalih -generasi awal Islam-.

    Generasi awal Islam berlomba meraih nilainya, berkutat dalam naungannya dan mengerahkan segenap kekuatan fisik dan kekuatan jiwa untuk mengisinya.

    Siang hari mereka adalah kesungguhan, produktifitas dan profesional.

    Malam hari mereka adalah malam-malam meraih bekalan ruhani, tahajjud dan tilawatul Qur’an.

    Sebulan penuh mereka belajar, beribadah dan berbuat baik.

    Lisan mereka shaum, jauh dari berkata yang tidak ada manfaatnya, apalagi kata-kata kasar, jorok dan dusta.

    Telinga mereka shaum, tidak mendengarkan pernyataan sesat, negatif dan sia-sia.

    Mata mereka shaum, tidak melihat yang diharamkan dan perbuatan tidak senonoh.

    Hati mereka shaum, tidak terbersit untuk melakukan kesalahan atau dosa.

    Dan tangan mereka, tidak digunakan untuk mengambil yang tidak halal dan tidak menyakiti.

    Berbeda dengan muslim sekarang ini.

    Di antara mereka ada yang menjadikan Ramadhan sebagai musim ta’at kepada Allah swt. dan melipatgandakan kebaikan.

    Mereka shaum siang harinya dengan sebaik-baiknya. Mereka qiyam Ramadhan –shalat tarawih dan tahajjud- dengan sebaik-baiknya.

    Mereka bersyukur kepada Allah swt. atas nikmat yang diberikan, dan mereka tidak lupa saudara-saudara mereka yang lemah dan tidak beruntung.

    Mereka berusaha meneladani Nabi, sebagai orang yang paling dermawan dan paling banyak berbuat baik dalam bulan Ramadhan, laksana angin yang tertiup.

    Kelompok lain adalah, kelompok yang tidak pernah tahu dan sadar akan kebaikan Ramadhan. Mereka tidak merasakan manfaat dari bulan Ramadhan. Mereka tidak peduli dengan shiam dan qiyam. Mereka tidak tahu dan tidak mau tahu keutamaan dan keistimewaan Ramadhan.

    Padahal Allah swt. menghidangkan Ramadhan bagi qalbu dan ruh –hati dan jiwa- sekaligus. Sedangkan mereka malah menjadikan Ramadhan untuk memperturutkan syahwat perut dan mata (tidur) semata.

    Allah swt. menjadikan Ramadhan sebagai upaya menyemai sikap kasih sayang dan kesabaran. Justeru mereka menjadikannya sebagai ajang amarah dan mengumpat.

    Allah swt. menjadikan Ramadhan sebagai wahana meraih sakinah –ketentraman- dan keteduhan. Mereka malah menjadikannya sebagai bulan pertengkaran dan perselisihan.

    Allah swt. menjadikan Ramadhan sebagai momentum perubahan diri, namun mereka hanya merubah jadwal makan belaka.

    Allah swt. menghadirkan Ramadhan untuk menggugah si kaya agar peduli dengan yang tak berpunya. Namun mereka menjadikannya sebagai ajang memperbanyak makanan dan minuman dengan aneka ragamnya.

    Semoga umat muslim melaksanakan shaum Ramadhan adalah dalam rangka meraih janji Allah swt. taqwallah, bertaqwa kepada Allah swt. sebagaimana yang diperintahkan Al Qur’an, dengan demikian mereka akan keluar dari Ramadhan menjadi orang-orang yang suci (fithri) dan dosanya terhapuskan, biidznillah. Allahu a’lam

    more
  • Memahami Anjuran Shalat Taraweh



    Rasulullah saw menganjurkan kepada kita untuk menghidupkan malam Ramadhan dengan memperbanyak sholat. Abu Hurairah r.a. menceritakan bahwa Nabi saw. Sangat mengajurkan qiyam ramadhan dengan tidak mewajibkannya. Kemudian Nabi saw. Bersabda, “Siapa yang mendirikan shalat di malam Ramadhan dengan penuh keimanan dan harapan, maka ia diampuni dosa-dosanya yang telah lampau.” (muttafaq alaih)

    Dan fakta sejarah memberi bukti, sejak zaman Rasulullah saw. hingga kini, umat Islam secara turun temurun mengamalkan anjuran Rasulullah ini. Alhamdulillah. Tapi sayang, dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan di beberapa hal yang kadang mengganggu ikatan ukhuwah di kalangan umat. Seharusnya itu tak boleh terjadi jika umat tahu sejarah disyariatkannya shalat tarawih.

    Pada awalnya shalat tarawih dilaksanakan Nabi saw. dengan sebagian sahabat secara berjamaah di Masjid Nabawi. Namun setelah berjalan tiga malam, Nabi membiarkan para sahabat melakukan tarawih secara sendiri-sendiri. Hingga dikemudian hari, ketika menjadi Khalifah, Umar bin Khattab menyaksikan adanya fenomena shalat tarawih terpencar-pencar di dalam Masjid Nabawi. Terbersit di benak Umar untuk menyatukannya.Umar memerintahkan Ubay bin Kaab untuk memimpin para sahabat melaksanakan shalat tarawih secara berjamaah. ‘Aisyah menceritakan kisah ini seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Untuk selengkapnya silahkan lihat Al-Lu’lu War Marjan: 436. berdasarkan riwayat itulah kemudian para ulama sepakat menetapkan bahwa shalat tarawih secara berjamaah adalah sunnah.

    Bahkan, para wanita pun dibolehkan ikut berjamaah di masjid, padahal biasanya mereka dianjurkan untuk melaksanakan shalat wajib di rumah masing-masing. Tentu saja ada syarat: harus memperhatikan etika ketika di luar rumah. Yang pasti, jika tidak ke masjid ia tidak berkesempatan atau tidak melaksanakan shalat tarawih berjamaah, maka kepergiannya ke masjid tentu akan memperoleh kebaikan yang banyak.




    Jumlah Rakaat


    Berapa rakaat shalat tarawih para sahabat yang diimami oleh Ubay bin Kaab? Hadits tentang kisah itu yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari tidak menjelaskan hal ini. Begitu juga hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah. Hanya menyebut Rasulullah saw. shalat tarawih berjamaah bersama para sahabat selama tiga malam. Berapa rakaatnya, tidak dijelaskan. Hanya ditegaskan bahwa tidak ada perbedaan jumlah rakaat shalat malam yang dilakukan Rasulullah di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Jadi, hadits ini konteksnya lebih kepada shalat malam secara umum. Maka tak heran jika para ulama menjadikan hadits ini sebagai dalil untuk shalat malam secara umum. Misalnya, Iman Bukhari memasukkan hadits ini ke dalam Bab Shalat Tahajjud. Iman Malik di Bab Shalat Witir Nabi saw. (Lihat Fathul Bari 4/250 dan Muwattha’ 141).

    Inilah yang kemudian memunculkan perbedaan jumlah rakaat. Ada yang menyebut 11, 13, 21, 23, 36, bahkan 39. Ada yang berpegang pada hadits ‘Aisyah dalam Fathul Bari, “Nabi tidak pernah melakuka shalat malam lebih dari 11 rakaat baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan.”

    Sebagian berpegang pada riwayat bahwa Umar bin Khattab –seperti yang tertera di Muwattha’ Imam Malik—menyuruh Ubay bin Kaab dan Tamim Ad-Dari untuk melaksanakan shalat tarawih 11 rakaat dengan rakaat-rakaat yang panjang. Namun dalam riwayat Yazid bin Ar-Rumman dikabarkan jumlah rakaat shalat tarawih yang dilaksanakan di zaman Umar adalah 23 rakaat.

    Dalam kitab Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq, Imam At-Tirmidzi menyatakan bahwa Umar, Ali, dan sahabat lainnya melaksanakan shalat tarawih 20 rakaat selain witir. Pendapat ini didukung Imam At-Tsauri, Imam Ibnu Mubarak, dan Imam Asy-Syafi’i.

    Di Fathul Bari ditulis bahwa di masa Umar bin Abdul Aziz, kaum muslimin shalat tarawih hingga 36 rakaat ditambah witir 3 rakaat. Imam Malik berkata bahwa hal itu telah lama dilaksanakan.

    Masih di Fathul Bari, Imam Syafi’i dalam riwayat Az-Za’farani mengatakan bahwa ia sempat menyaksikan umat Islam melaksanakan shalat tarawih di Madinah dengan 39 rakaat dan di Makkah 33 rakaat. Menurut Imam Syafi’i, jumlah rakaat shalat tarawih memang memiliki kelonggaran.

    Dari keterangan di atas, jelas akar persoalan shalat tarawih bukan pada jumlah rakaat. Tapi, pada kualitas rakaat yang akan dikerjakan. Ibnu Hajar berkata, “Perbedaan yang terjadi dalam jumlah rakaat tarawih mucul dikarenakan panjang dan pendeknya rakaat yang didirikan. Jika dalam mendirikannya dengan rakaat-rakaat yang panjang, maka berakibat pada sedikitnya jumlah rakaat; dan demikian sebaliknya.”

    Imam Syafi’i berkata, “Jika shalatnya panjang dan jumlah rakaatnya sedikit itu baik menurutku. Dan jika shalatnya pendek, jumlah rakaatnya banyak itu juga baik menurutku, sekalipun aku lebih senang pada yang pertama.” Selanjutnya beliau mengatakan bahwa orang yang menjalankan tarawih 8 rakaat dengan 3 witir dia telah mencontoh Rasulullah, sedangkan yang menjalankan tarawih 23 rakaat mereka telah mencontoh Umar, generasi sahabat dan tabi’in. Bahkan, menurut Imam Malik, hal itu telah berjala lebih dari ratusan tahun.

    Menurut Imam Ahmad, tidak ada pembatasan yang signifikan dalam jumlah rakaat tarawih, melainkan tergantung panjang dan pendeknya rakaat yang didirikan. Imam Az-Zarqani mengkutip pendapat Ibnu Hibban bahwa tarawih pada mulanya 11 rakaat dengan rakaat yang sangat panjang, kemudian bergeser menjadi 20 rakaat tanpa witir setelah melihat adanya fenomena keberatan umat dalam melaksanakannya. Bahkan kemudian dengan alasan yang sama bergeser menjadi 36 rakaat tanpa witir (lihat Hasyiyah Fiqh Sunnah: 1/195)

    Jadi, tidak ada alasan sebenarnya bagi kita untuk memperselisihkan jumlah rakaat. Semua sudah selesai sejak zaman sahabat. Apalagi perpecahan adalah tercela dan persatuan umat wajib dibina. Isu besar dalam pelaksanaan shalat tarawih adalah kualitas shalatnya. Apakah benar-benar kita bisa memanfaatkan shalat tarawih menjadi media yang menghubungkan kita dengan Allah hingga ke derajat ihsan?


    Cara Melaksanakan Tarawih

    Hadits Bukhari yang diriwayatkan Aisyah menjelaskan cara Rasulullah saw. melaksanakan shalat malam adalah dengan tiga salam. Jadi, dimulai dengan 4 rakaat yang sangat panjang lalu ditambah 4 rakaat yang panjang lagi kemudian disusul 3 rakaat sebagai witir (penutup).

    Boleh juga dilakukan dengan dua rakaat dua rakaat dan ditutup satu rakaat. Ini berdasarkan cerita Ibnu Umar bahwa ada sahabat bertanya kepada Rasulullah saw. tentang cara Rasulullah saw. mendirikan shalat malam. Rasulullah saw. menjawab, “Shalat malam didirikan dua rakaat dua rakaat, jika ia khawatir akan tibanya waktu subuh maka hendaknya menutup dengan satu rakaat (muttafaq alaih, lihat Al-Lu’lu War Marjan: 432). Rasulullah saw. sendiri juga melakukan cara ini (lihat Syarh Shahih Muslim 6/46-47 dan Muwattha’: 143-144).

    Dari data-data di atas, Ibnu Hajar menyimpulkan bahwa Rasulullah saw. kadang melakukan witir dengan satu rakaat dan kadang tiga rakaat.

    Jadi, sangat tidak pantas jika perbedaan jumlah rakaat shalat tarawih menjadi isu yang pemecah persatuan umat. []



    Dari tetangga sebelah (www.dakwatuna.com)

    more
  • MARHABAN YA RAMADHAN

    By : Anas Mas’udi El Malawy

    “Sesungguhnya agama (yang benar) di sisi Allah adalah agama Islam”

    (QS. Aly Imran:19)

    “Wahai orang-orang yang beriman … diwajibkan atas kamu berpuasa (Ramadhan), sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”. (QS. 2: 183)

    “Allahumma baarik lanaa fii Rajaba wa Sya’baana wa ballighnaa Ramadhaan”

    “Saat datang bulan Ramadhan, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka dikunci dan syetan-syetan dibelenggu” (HR. Imam Muslim)


    Islam berdiri di atas lima pondasi pokok yang saling terkait satu dengan lainnya dan kelima pondasi tersebut merupakan paku bumi atau ckaar alamnya. Jika salah satunya ditinggalkan, maka posisi Islam orang yg melakukan hal tersebut menjadi lemah. Lima pondasi tersebut dalam pelaksanaannya dijalankan dengan berurutan dan harus dilasanakan secara keseluruhan bagi yang bisa menjalankannya.

    Pondasi-pondasi tersebut sangat sesuai dengan etika atau norma dalam berinteraksi, baik dengan sesama, lingkungan maupun dengan Sang Pencipta. Lima pondasi tersebut adalah dua kalimat syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji yang kita kenal dengan “Rukun Islam”. Rasul SAW pernah bersabda : “Islam didirikan di atas lima perkara, yaitu Bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya nabi Muhammad adalah utusan Allah (dua kalimat syahadat), mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, puasa di bulan Ramadhan dan menunaikan haji ke Ka'bah”. ( HR.Bukhari Muslim )

    Dari lima pondasi tadi yang paling esensi dan urgen, yang paling pertama dan yang paling utama adalah Dua Kalimat syahadat. Sebab semua amal perbuatan baik apapun yang dilakukan orang yang belum bersyahadat (kafir/non muslim) tidak bisa diterima. Sedangkan orang yang lahir dalam keadaan muslim cukup baginya syahadat orang tuanya, yakni tidak harus mengucapkannya lagi kelak di waktu ia sampai pada usia akil baligh. Pondasi yang pertama ini merupakan hubungan kusus antara Sang Khaliq dengan makhluqNya.

    Shalat adalah pondasi kedua yang merupakan tiangnya Islam. Barang siapa yang meninggalakan shalat berarti ia sama halnya merobohkan agama dan barang siapa menegakkan shalat berarti ia sama halnya menegakkan agama. Oleh karenanya shalat diwajibkan bagi setiap hamba yang sudah akil baligh tanpa terkecuali di manapun ia berada dan dalam keadaan bagaimanapun juga tetap shalat menjadi kewajibannya. Dari satu sisi shalat merupakan sarana kusus bagi hamba untuk bermunajat pada Sang Penciptanya dan saat itulah saat yang paling dekat bagi seorang hamba kepada Tuhannya. Oleh karenanya sangat dianjurkan baginya untuk memohon petunjuk dan dan pertolongan kepada Sang Penciptanya saat ia melakukan shalat atau setelahnya. Dari sisi lain shalat memberi fungsi social jika dikerjakan dengan berjamaah. Di mana hal itu dapat mempererat tali persaudaraan antar sesama.

    Berikutnya adalah zakat yang merupakan penyempurna amal ibadah puasa. Adapun urutannya yang dahulu dari pada puasa dalam hadis Nabi sAW itu menunjukkan bahwa zakat sangatlah penting dalam Islam untuk menunjang kemajuan pemeluknya karena itu bisa mengurangi jumlah kemiskinan yang ada. Dari sisi lain juga bisa dipahami bahwa hal tersebut menunjukkan akan perhatian Islam yg sangat besar terhadap masalah zakat karena di sana banyak dari umat Islam yang enggan untuk mengeluarkan zakat. Di mana mereka yang enggan mengeluarkan zakat tersebut cenderung bepikir matrealistis yang menganggap harta kekayaan yang dimiliki adalah jerih payahnya sendiri dan orang lain tidak berhak untuk memilikinya. Pola pikir seperti inilah yang menyebabkan kemunduran umat Islam.

    Jika puasa dapat membersihkan jiwa seorang hamba dari berbagai kotoran dan penyakitnya, maka zakat berfungsi untuk membersihkan harta bendanya dari barang-barang syubhat (yg tidak jelas halal dan haramnya). Jika seorang hamba telah dibersihkan jiwa dan hartanya, maka saat itulah ia berhak untuk berhari raya. Sehingga hari raya tersebut diberi nama “Iedul Fitri” yang artinya (dalam bahasa Arab) “hari raya kesucian”; yakni suatu hari di mana seorang hamba dapat kembali pada lembaran aslinya yang masih putih bersih laksana bayi yang baru lahir tanpa dosa dan noda.

    Adapun pondasi yang keempat adalah puasa yang merupakan salah satu perintah Allah sebagai upaya bagi seorang hamba untuk mengenali dirinya dan sebagai salah satu bentuk ujian bagi keimanannya. Dari satu sisi puasa dapat mengantarkan seseorang untuk menjadi seorang penderma jika ia mau berpikir tentang kelaparan yang dirasakan saat berpuasa di siang hari. Dari sisi lain puasa dapat meningkatan keimanan seorang hamba jika ia selalu ingat bahwa puasa adalah kewajiban dari Tuhannya. Pun dapat menurunkan keimanannya jika ia lalai akan datangnya kewajiban puasa tadi dari Sang Penciptanya.

    Dan pondasi yang terahir adalah haji yang merupakan salah satu sarana seorang hamba untuk interospeksi diri atas segala hal yang terlah dilakukan. Di mana saat menjalankan ibadah haji ia harus berkorban mengeluarkan banyak harta untuk bisa sampai ke tanah suci “Mekah”. Setelah sampai di sana semua symbol kemewahan harta dunia harus ia tanggalkan. Semua hamba saat itu dalam keadaan dan posisi yang sama di hadapan Ka’bah, baitullah. Hanya taqwa yang dapat membedakan perasaan haru dan senangnya saat berada di hadapan rumah suci tadi (ka’bah). Di sana ia dapat mengenang sejarah para panji-panji Islam yang dengan pengorbanannya Islam bisa jaya dan tersebar luas seantero dunia.

    Dalam waktu yang tidak lama lagi kita akan memasuki bulan suci Ramadhan. Bulan yang penuh hikmah, barokah dan ampunan. Setiap amal kebaikan di dalamnya akan dimpahkan pahalanya dan setiap amal kejahatan akan dinanti taubatnya.

    Pada hari itu pintu-pintu surga dibuka oleh Allah, pintu-pintu neraka dikunci rapat dan syetan-syetam dibelenggu. Namun, apa arti semua itu? Kalau memang syetan-syetan dibelenggu pada bulan Ramadhan, tapi kenapa masih banyak kemaksiatan yang menusuk mata syariat pada hari-hari tersebut?

    Dalam konteks ini, hadis tersebut tidak bisa dipahami secara tektual saja. Namun juga dilihat dari perluasan pemahamannya. Allah swt tidak mungkin berbuat sesuatu tanpa ada manfaat atau hikmahnya.

    Hadis tersebut bisa dipahami juga bahwa dengan adanya pintu surga dibuka itu menunjukkan pintu-pintu kebaikan terbuka lebar dan pintu-pintu neraka yang ditutup itu berarti jalan menuju kemungkaran semakin sempit dan terhimpit. Sebagaimana dalam hadis Rasul saw “Sesungguhnya jujur itu mengantarkan pada kebaikan. Kebaikan mengantarkan pada hidayah. Hidah menyampaikan (pelakunya) ke dalam surga, dan dusta itu mengantarkan ada kejahatan. Kejahatan mengantarkan pada kesesatan, dan kesesatan menyampaikan (pelakunya) ke nerka”.

    Sebagai Muslim setidaknya merasa malu di hadapan teman sesamanya jika tidak berpuasa di bulan Ramadhan tadi. Jika puasa, nafsu menjadi lemah semangatnya dalam menggoda dan mengelabuhi jiwa untuk berbuat jahat. Walaupun, tidak harus berbuat hal yang mendatangkan kebaikan, minimal ia bisa mengurangi kemaksiatan yang kadang cenderung dilakukannya di luar bulan puasa. Dengan demikian, jika ia mersa terbiasa tanpa ada rasa terbebani dengan puasa tadi, lambat-laun ia yang dulunya terbiasa dengan perbuatan maksiat dengan sendirinya akan berubah menjadi baik.

    Adapun syetan-syetan yg dibelenggu itu bukan berarti kejahatan, kemaksiatan dan kemungkaran tidak ada pada bulan puasa. Kenapa? Karena manusia mempunyai hawa nafsu. Syetan adalah musuh manusia dari luar dirinya. Sedang hawa nafsu adalah musuh dalam selimut. Jadi, wajar saja jika dalam bulan Ramadhan masih banyaak ditemukan kejahatan, kemaksiatan dan kemungkaran di depan mata kita. Namun, minimal perbuatan-perbuatan maksiat dan mungkar tadi dapat terkendali oleh jiwa yg sedang berpuasa.

    Untuk itu, kita memerlukan konsep bagaimana dapat menjalani ibadah puasa Ramadhan ini dengan hasil yang maksimal. Untuk mengendalikan hawa nafsu adalah puasa. Namun, kadang puasa pun tidak mampu mengendalikannya. Karena nafsu berjalan dalam jiwa manusia itu seperti mengalirnya darah dalam tubuh. Sedangkan puasa hanya mampu memperlambat kendalinya saja.

    Hawa nafsu merupakan sarana kejahatan bagi syetan dalam jiwa manusia untuk menjerumuskannya ke jalan sesat. Jika jiwa seseorang sering mengonsumsi barang-barang haram, hawa nafsunya akan semakin subur. Karena makanan haram merupakan vitamin dan stamina bagi hawa nafsu. Jadi, sekalipun puasa tiap hari, kalau suka mengonsumsi barang haram, wajar kalau nafsunya sulit dikendalikan.

    Di sana ada beberapa tips untuk bisa mencapai keindahan Ramadhan dengan maksimal. Antaranya:

    - memperbanyal shalat-shalat sunnah. Perbanyak Shalat karena dalam bulan suci Ramadhan setiap amal kebaikan akan dilipat gandakan sebanyak-banyaknya.
    Shalat di bulan Ramadhan mempunyai nilai istemewa melebihi shalat-shalat di luar Ramdhan.

    - meningkatkan kualitas puasa. Imam Ghazali dalam Ihya’-nya membagi kualitas puasa menjadi 3; Pertama,.puasa awam, yakni menahan makan, minum, syahwat kepada lawan jenis di siang hari. Kedua, puasa khawash, yaitu puasa anggota badan dari yang haram, menahan mata, dari yang haram, menahan tangan dari yang haram, menahan tangan dari yang tidak hak, menahan langkah kaki dari jalan menuju yang haram, manahan telinga dari mendengarkan yang haram termasuk ghibah. Dan ketiga adalah puasa khawashul khawash, yaitu mengikat hati dengan kecintaan pada Allah SWT, tidak memperhitungkan selain Allah, membenci prilaku maksiat kepada-Nya.

    - tidak menyia-nyiakan waktu malam dengan begadang tanpa guan. Namun mengerjakan Qiyamul Lail. Qiyamul lail adalah madrasah yang agung dari madrasah pembinaan diri. Tidak ada yang mampu melakukannya kecuali orang-orang yang ikhlas.

    - membasahi lidah dengan dzikrullah. Dzikrullah adalah indikator hidupnya hati. Dzikrullah adalah peristirahatan bagi jiwa. Seorang Tabi'in mengatakan, "Sesungguhnya di dunia ini ada surga. Orang yang belum memasuki surga dunia, tidak masuk ke dalam surga akhirat. Surga dunia itu adalah dzikrullah.".

    - memperbanyak mengeluarkan shadaqah dan infaq, karena Allah pemilik
    Arsy akan membalsnya dengan sebaik-baik balasan.. Sebagaimana firman Allah: "Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah,pinjaman yang baik (Menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipatan yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rizki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan". (QS.Albaqarah:245).

    - memperbanyak baca Al Qur'an. Membaca Al Qur'an adalah ibadah paling utama di bulan Ramadhan. “Iqra’uu Alqur’an fainnahuu ya’tii yaumal qiyaamati syafii’an liashhabihi”.

    - memperbanyak taubat. Artinya, penyesalan atas perilaku kemaksiatan dan menjauh dari mengulangi dosa serta tekad untuk tidak mengulangi dosa. Semua kita memerlukan taubat setiap hari dari banyaknya dosa-dosa yang kita lakukan. Dalam Haditsnya Rasul SAW juga mengatakan, "Barangsiapa yang mendekatkan diri kepadaKu satu jengkal, aku akan mendekatinya satu hasta, dan barang siapa yang mendekatiKu satu hasta, Aku akan mendekatinya satu depa. Dan barangsiapa yang mendekatiKu dengan berjalan, Aku akan mendekatinya dengan berlari."(HR Muslim).

    - melakukan i'tikaf di dalam Masjid bagi orang yang tidak punya kepentingan lain, seperti bekerja, membantu orang tua dll. I'tikaf adalah sunnah yang selalu dilakukan Rasulallah SAW pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Bahkan pada tahun terakhir ketika beliau wafat, Rasulallah melakukan i'tikaf selama 20 hari. I'tikaf adalah tinggal di masjid untuk beribadah, meninggalkan urusan dunia dan kesibukannya. Seorang yang i'tikaf tidak keluar dari masjid kecuali karena darurat.

    - ridhalah dan ikhlas atas segala Ketetapan-Nya. Orang yang yang paling gembira di dunia adalah orang yang paling ridha dengan ketetapan Allah SWT. Sebab, dengan nerimo ing pandum, manusia tidak akan pernah dihinggapi rasa sedirh, susah, merana dll. Keridhaan adalah tingkatan paling tinggi dari sifat sabar.

    - berapang dada dan mudah memaafkan orang lain. Termasuk indikator paling jelas dari sikap lapang dada dan mudah memaafkan adalah kemampuan menahan marah, terutama saat kita mampu melampiaskan kemarahan itu. Sikap menahan marah merupakan sikap Nabi saw.

    - menjalin hubungan baik dengan siapapun. Seperti wasiat Rasul saw, …dan pergaulilah orang lain dengan pekerti yang baik”.

    - Berupaya membahagiakan kedua orang tua. Kita sangat memerlukan orang yang mau belajar kembali bagaimana caranya berbakti kepada orang tua. Bagaimana caranya menyalami dan mencium tangan mereka? Bagaimana caranya membantu mereka? kita telah banyak menyia-nyiakan hak kedua orangtua. Dalam hadits riwayat muslim,Rasulallah saw bersabda, "Rugi dan bangkrutlah orang bertemu dengan kedua-orangtuanya saat mereka sudah tua –salah satu atau keduanya- tapi keadaan itu tidak bisa menyebabkannya masuk Surga". (HR Muslim).

    - Berupaya meraih Lailatul Qadar dengan qiyamul lail. Malam yang paling mulia dalam satu tahun. Tidak ada keutamaan yang
    menyerupainya, ibadah pada malam itu lebih baik dari (ibadah) 1000 bulan. Kapankah malam Lailatul qadar? sejumlah hadits menyebutkan malam tersebut jatuh pada salah satu malam sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, terutama malam-malam ganjil. Rasulallah saw bersabda: "Barangsiapa yang bangun di waktu malam lailatul qadar
    dengan penuh keimanan dan pengharapan, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang terdahulu."(HR Bukhari).

    Demikian sekilas tentang keutamaan bulan suci Ramadhan dan tips untuk meraih keutamaan tersebut yang dapat penulis uraikan. Mari kita perbaiki segala kekurangan dan kelalaian akhlak kita sebagai tamu Allah, karena tidak mustahil Ramadhan tahun ini merupakan Ramadhan terakhir yang dijalani hidup kita. Maka, jangan sampai disia-siakan. Hingga kelak kita akan merugi di kemudian hari.

    SELAMAT MENJALANKAN IBADAH PUASA DI BULAN SUCI RAMADHAN. SEMOGA AMAL IBADAH KITA DITERIMA OLEH-NYA, AMIIIN

    more