• MUSTHAFA KAMAL ATATURK, ANTARA KHILAFAH ISLAMIYAH & SEKULARISME


    MUSTHAFA KAMAL ATATURK,

    ANTARA KHILAFAH ISLAMIYAH & SEKULARISME

    Kritik dan Komentar

    Keberadaan khilafah Islamiah (pemerintahan Islam), muncul pertama kali sekitar tahun 622 M tatkala Rasulullah saw berhijrah meninggalkan Makkah menuju Madinah dan mendirikan pemerintahan Islam di sana, dan berahir pada tahun 1924 M pada masa khilafah Utsmaniah di Turki

    Prolog

    Seiring dengan maraknya wacana dan usaha menghidupkan kembali Daulah Islamiah, tergugah semangat untuk rereading a history of Khilafah Islamiah. Bagaimana sebenarnya Khilafah Islamiah tersebut? Benarkah ia merupakan suatu kewajiban yang harus dibuktikan dan diusahakan oleh muslimin untuk mewujudkannya dalam kehidupan beragama? Atau ia hanya sebagai sarana penopang kekuatan dakwah Islamiah sebagaimana sarana-sarana dakwah lainnya? Apakah memang system Khilafah Islamiah dalam hidup bernegara itu sudah tidak relevan dengan zaman sekarang? Atau memang sebenarnya khilafah Islamiah itu merupakan suatu target "suci" dalam kehidupan beragama sebagaimana yang terdengar dalam fakta? Lantas apa kaitannya runtuhnya daulah Islamiah dengan paham sekularisme?

    Untuk menjawab semua itu, penulis tidak akan memberikan jawabannya secara langsung. Di sini disodorkan sekilas pemahaman tentang khilafah, dengan sedikit menggambarkan –sebagai contoh- kilas sejarah khilafah Islamiah yang paling terakhir eksis di muka bumi ini, yakni Daulah Islamiah Utsmaniyah, dan juga sekilas pemahaman tentang sekularisme serta sejarah singkat tentang Musthafa kamal Ataturk yang diresume dari beberapa atikel.

    Di mana runtuhnya Daulah Utsmaniyah tadi tidak terlepas dari turun tangan Musthafa Kamal Ataturk yang merupakan presiden pertama kali dalam dunia Islam dan merupakan penyebab utama runtuhnya Khilafah Islamiah.

    Pengertian Khilafah

    Ketika berbicara tentang "khilafah", secara otomatis pembahasan tersebut tidak lepas dari pemahaman "imamah". Khilafah dan imamah menurut pendapat yg paling benar –sebagaimana yg dikatakan Al-Amidy- mempunyai arti yg sama, yaitu kepemimpinan.

    Kata "imamah" dalam pemerintahan Islam oleh imam Baidhowi dianalogikan dengan kata "imamah" dalam sholat[1]. Hingga seorang kholifah dalam system pemerintahan khilafah ini, harus diikuti dan ditaati semua titah dan perintahnya sebagaimana kewajiban seorang makmum untuk mengikuti semua gerak-gerik imamnya dalam shalat. Sebagaimana sosok Rasulullah saw sebagai seorang pemimpin dalam shalat, pemimpin dalam penerapan syariat sekaligus pemimpin suatu Negara Islam yang saat itu masih hidup bersama kelompok Yahudi dan kafir Quraisy dalam satu bi'ah (lingkungan).

    Jika pendapat al Baidhawi bisa diterima, maka kepemimpinan dalam suatu Negara yang dianalogikan dengan kepemimpinan dalam shalat itu, secara otomatis segala hal yang berkenaan dengan kepemimpinan dalam Negara dianalogikan juga dengan segala hal yang ada dalam shalat.

    Untuk menjadi seorang imam dalam shalat, harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan oleh aturan yang ada, yakni syariat. Seorang imam harus beragama Islam, baligh, dan berakal. Ia harus suci dari segala jenis najis dalam pakaian, tempat dan badannya.

    Dalam menentukan seorang imam, dianjurkan (bukan diharuskan) untuk memilih yang paling alim, paling faqih dan paling mengerti tentang bacaan-bacaan yang ada dalam shalat, serta dianjurkan dari orang yang disenangi oleh para makmum, karena dihukumi makruh berjamaah dengan imam yang tidak disenangi.

    Namun, di sana ada juga beberapa aturan yang ditetapkan berdasarkan ijtihad para ulama' yang berkompeten di bidangnya, seperti keberadaan niat antara syarat dan rukun, dan bukan syarat atau rukun dalam shalat, bacaan basmalah dalam fatehah antara wajib, sunnah dan makruh jika dibaca dalam shalat, dll. Hingga wajar jika terjadi perbedaan pendapat dalam hal ini

    Dalam shalat jama'ah, secara umum, seorang perempuan tidak boleh menjadi imam bagi laki-laki dengan beberapa alasan. Perempuan hanya bisa menjadi imam bagi sesame perempuan dan anak kecil. Sedangkan yang paling berhak untuk memimpin shalat berjamaah, secara umum adalah laki-laki, namun dengan syarat dan anjuran-anjuran seperti tersebut di atas.

    Demikian juga kepemimpinan dalam suatu Negara, sudah semestinya berlaku seperti apa yang ada dalam shalat. Seorang pemimpin Negara harus muslim dan berakal sehat (tidak suka mengumbar janji dengan ini-itu tanpa ada bukti nyata). Ia harus suci dari segala jenis sifat yang bisa menurunkan kredibilitas dan muru'ahnya, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, suap, menerima suap, dusta, dll. Ia dianjurkan dari orang yang disenangi masyarakat, walaupun tidak semua masyarakat, minimal mayoritas masyarakat bisa menerimanya dengan baik.

    Seorang pemimpin itu diharuskan adil dan jujur, dianjurkan ber-iptek tinggi dan ber-imtaq mulia, serta berakhlaq terpuji, hingga ia bisa dijadikan tauladan rakyat yang dipimpin dalam segala hal. Sebagaima Rasulullah saw yang menjadi tauladan umat dalam segala hal dari semua sisi kehidupan yang ada.

    Namun, pasca wafat Rasul saw, dari generasi ke generasi, figure kepemimpinan semakin melemah dan merosot, bahkan sampai pada tarap hampir tidak ada figure pemimpin yang memenuhi criteria yang digambarkan oleh Rasulullah saw dalam kehidupannya.

    Demikianlah pemahaman "khilafah" dalam Islam yang penulis nukil dari pendapat Albaidhawi. Jika dicermati, pemahaman khilafah tersebut di atas hanya berlaku dalam Negara Islam. Soalnya khilafah di sini dianalogikan dengan imamah dalam shalat. Di mana dalam agama lain tidak ditemukan ibadah yang namanya shalat. Sekalipun ada, tata cara dan aturannya pasti berbeda dengan apa yang ada dalam Islam. Secara otomatis, khilafah dalam pemahaman ini hanya bisa diterapkan dalam Negara Islam saja dan tidak bisa diterapkan dalam Negara yang bukan Negara Islam, seperti Indonesia.

    Jika ingin mendirikan system khilafah di Negara yang bukan Negara Islam, harus mengambil pemahaman khilafah yang lain, bukan pemahaman seperti yang tersebut di atas.

    Khilafah dalam Islam

    Dalam sejarah, keberadaan pemerintahan Islam, muncul pertama kali sekitar tahun 622 M tatkala Rasulullah saw hijarah dan berdomisili di al Madinah al Munawwarah dan berahir pada tahun 1924 M pada masa khilafah Utsmaniah di Turki.

    Pemerintahan ini dalam khazanah fiqh Islam biasa disebut Khilafah atau Imamah. Abdul Shaheed dalam artikelnya mengatakan "Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menegaskan dalam kitabnya Al Fiqh Ala Al Madzahib Al Arba'ah, jilid V, hal. 416 : Para imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan Ahmad) –rahimahumullah– telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu wajib, dan bahwa umat Islam wajib mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya… Tak hanya kalangan Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah, bahkan seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah termasuk juga Khawarij dan Mu'tazilah tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang Khalifah".[2]

    Jika dipahami dari ungkapan tersebut (sebatas apa yg tertulis di sini, karena penulis tidak menemukan kitab aslinya), kata "imam" di atas ada kemungkinan, bahkan mungkin lebih condong dipahami sebagai imamah dalam madzhab itu sendiri, bukan imamah dalam suatu pemerintahan Negara. Demikian itu dilihat dari orang yang berpendapat, yakni para fuqoha' dan bisa dipahami juga dari kata-kata "wajib mempunyai imam", bukan wajib mendirikan daulah Islamiah.

    Sementara, bisa dimaklumi jika mereka (a'immatul madzahib) mengatakan demikian, karena dalam menjalankan syareat, jika tidak ada panutan akan menjadi amburadul pemahamannya, terlebih bagi orang awam yang masih sangat minim pemahamannya tentang Islam.

    Namun, di sana juga tidak berarti para imam madzhab tadi mengharuskan umat untuk mengikuti mereka dalam urisprodensi Islam (fikih/syareat), tapi lebih condong pada pemahaman bahwa orang yang awam diwajibkan mempunyai seorang panutan (imam) dalam menjalankan syareatnya, siapapun orangnya, yang dianggap berkompeten di bidangnya, bisa dijadikan panutan dalam penerapan syareat Islam. Ada kemungkinan juga kata "imamah" di atas dipahami sebagai imamah dalam kenegaraan atau pemerintahan. Hingga imamah di sana bisa dipahami bahwa imamah adalah "kekuasaan umum yang tertinggi bagi orang tertentu (pemimpin) yang ditetapkan berdasarkan syariat (Islam)".[3] Namun, tidak setiap orang bias menjadi imam dalam hal ini. Dalam tells tersebut di atas menyebutkan yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya, ini berarti seorang imam dicari yang bisa dan mampu untuk menjunjung tinggi martabat Islam dan muslimin dalam percaturan social-politic.

    Almawardi dalam al Ahkam al Sulthaniyyah mengatakan bahwa menentukan atau memilih pemimpin atau imam yang telah memenuhi syarat demi menjaga agama dan kemaslahatan dunia adalah hukumnya wajib. Jika criteria dan dua tujuan tersebut ditemukan, wajib orang tersebut dijadikan pemimpin, dan wajib di sini adalah fardhu kifayah, bukan fardhu 'ain.

    Jika tidak ditemukan criteria tersebut, maka ada dua alternative cara penentuan seorang imam, yaitu dengan cara dipilih oleh kelompok yang ahli dan dengan cara dipilh secara langsung oleh rakyat. Dan tidak berdosa jika penetapan seorang pemimpin atau imam tidak menggunakan kedua cara tersebut.[4] Perlu diingat bahwa di sana Almawardy tidak menyebutkan wajibnya mendirikan daulah Islamiyyah, tapi hanya menyebutkan wajibnya memilih imam demi menjaga agama dan kemaslahatan hidup di dunia.

    Dalam hal khilafah, kita bisa melihat sejarah bagaimana Rasul saw memulai mendirikan daulah Islamiah di Madinah. Di mana beliau mendirikan daulah Islamiah untuk memperkuat dan memperkokoh persaudaraan, persatuan dan kesatuan antar sesame muslim, dan untuk mempermudah penerapan syareat secara jama'I, serta mempermudah urusannya dengan non muslim.

    Demikian itu untuk membentengi ke-islam-an para pengikut beliau dari segala bahaya yang datang dari musuh Islam, yang menganggap Islam seagai ajaran baru yang mengganggu stabilitas posisi mereka (non muslim) di masyarakat saat itu. So, berdirinya daulah Islamiah di sana bisa dipahami sebagai sarana pengukuh dan penguat persaudaraan, persatuan dan kesatuan muslim yang masih dikwatirkan terpecah belah oleh kelompok-kelompok yang tidak senang terhadap Islam dengan melakukan penindasan dan penekanan-penekanan yang tidak beralasan saat itu, yang kemudian bisa membuat mereka lari dari Islam. Namun, dengan eksistensi daulah Islamiah saat itu keberadaan Islam bias tetap terjaga dengan baik sampai sekarang. Dan mungkin boleh dikatakan juga bahwa keberadaan daulah Islamiah di sana lebih condong pada sisi afdholiyyah, yakni afdhal al wasail litathbiiq al syariiah al islamiyah jama'atan.

    Jika dikatakan syareat tidak bisa diterapkan tanpa ada kekuasaan yang mengatur -dalam hal ini adalah Negara atau Daulah Islamiah-, dengan dalil maa laa yatimmu waajibun illaa bihi fa huwa wajibun, maka alasan itu kurang bisa diterima, karena syareat bisa dijalankan secara individu.

    Jika mendirikan Daulah Islamiah bertujuan agar syareat Islam bisa diterapkan secara kaffah, dengan dalil " … udkhuluu fissilmi kaaffah ..." (QS. Albaqarah: 208), alasan ini juga kurang tepat, karena masing-masing person, dengan mengerahkan kemampuan dan keilmuannya, bisa mencapai ke-islam-an yang kaffah kalau memang Islam bisa dijalankan dengan kaffah. Sepanjang sejarah muslimin –sepengetahuan penulis- belum pernah terbukti Islam bias diterapkan dengan kaffah. So, daulah Islamiah tidak dapat menjamin Islam bisa diterapkan secara kaffah.

    Kalau boleh berpendapat, penulis lebih condong memahami kata "fissilmi" dalam ayat tersebut di atas denga arti "perdamaian/kedamaian". Hingga ayat tersebut bias diterjemahkan dengan "wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian semuanya dalam kedamaian atau keselamatan secara kaffah (sempurna)". Yang berarti orang-orang mukmin diperintahkan untuk menjunjung tinggi kedamaian, perdamaian dan keselamatan di muka bumi, baik dalam tubuh Islam sendiri atau di luar Islam ilal abad. Dengan demikian –jika perintah itu terwujud- akan tampak bahwa Islam benar-benar agama yang rahmatan lil alamin.

    Mayoritas ulama tafsir mengartikan "assilmi" di sana dengan "Islam". Dari pengartian "Islam" di sini, timbul pertanyaan dalam diri penulis, bukankah kata "iman" itu lebih dalam artinya daripada kata "Islam" ?, yakni mukmin merupakan sifat dari muslim, yang berarti orang mukmin itu orang muslim pilihan. Lantas, kenapa jika mereka sudah muslim, bahkan sudah mukmin, masih diperintahkan untuk masuk dalam Islam secara sempurna? Apakah ke-Islam-an atau ke-iman-an mereka tersebut tidak sesuai dengan keinginan syariat? Dari sini lah timbullah dalam otak penulis fikroh seperti tersebut di atas. Wallahu a'lam bishsowab ….

    Di samping itu, dalam menjalankan "perintah", Islam juga tidak memaksakan kehendaknya, dengan arti lain, perintah bisa dikerjakan sesuai kemampuan masing-masing. So, dalam menjalankan syareat, umat boleh berbeda cara dan sarana, tapi syareat dan akidah tetap satu, yaitu syareat dan akidah Islam. Sarana boleh beda, tapi asas dan tujuan tetap sama.

    Sementara, di sepanjang masa Daulah Islamiyah, seorang Khalifah selalu diangkat melalui bai’at. Khalifah tidak pernah diangkat dengan cara pewarisan tahta (sistem putera mahkota) tanpa adanya bai’at sama sekali. Tidak ada satu pun riwayat atau peristiwa yang menunjukkan bahwa Khalifah pernah diangkat dengan cara pewarisan kekuasaan tanpa melalui bai’at.

    Namun, seiring berjalannya waktu dan sejarah, pengambilan bai’at terhadap khalifah mulai bergeser dari praktek semula. Ada sebagian Khalifah yang mengambil bai’at dari rakyat pada saat ia masih hidup untuk anaknya, saudaranya, keponakannya, atau salah seorang anggota keluarganya. Ahirnya sampai pada system pembaiatan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni pemilu.

    Kilas Sejarah Khilafah Utsmaniyah

    Pada era pemerintahan Madinah, penerapan Islam mencakup seluruh segi kehidupan dengan keberhasilan yang gemilang. Waktu itu roda pemerintahan, secara mutlak dipegang oleh Rasul saw. Kemudian terbagi menjadi dua kekuasaan, yaitu Al Qadla' (kehakiman), yang mengadili berbagai macam sengketa di antara manusia, dan ar-riyasah (kepemimpinan), yang memimpin rakyat.

    Al Qadli (hakim), sebegai pelaksana dalam lembaga kusus yang menyelesaikan berbagai macam sengketa antar sesame, sudah ada sejak masa Rasulullah SAW hingga runtuhnya Khilafah di Istambul. Mereka menyelesaikan berbagai perkara berdasarkan hukum-hukum Islam, baik di antara kaum muslimin sendiri maupun di antara rakyat yang berbeda agamanya.

    Adapun masuknya undang-undang Barat ke negeri Islam, disebabkan adanya fatwa ulama yang berpendapat bahwa itu tidak bertentangan denganآ hukum-hukum Islam.

    Di antara hukum-kukum Barat tersebut antara lain Qanun Al Jazaa Al Utsmani (UU Pidana Pemerintahan Utsmaniah) tahun 1275 H (1857 M), dan Qanun Al Huquuq wat Tijaarah (UU Keuangan dan Perdagangan) tahun 1276 H (1858 M).آ

    Kemudian di tahun 1288 H (1870 M) mahkamah pengadilan dibagi menjadi dua, yaitu Mahkamah Syari’ah (Peradilan agama) dan Mahkamah Nizhamiah (Peradilan Sipil) yang kemudian dibuat undang-undangnya.

    Pada tahun 1295 H (1877 M) dibuat peraturan tentang pembentukan Mahkamah Sipil (badan dan strukturnya). Pada tahun 1296 H (1878 M) dibuat undang-undang mengenai tata cara pengadilan yang menyangkut hak-hak (keuangan) dan hukum pidana.

    Meskipun sejak tahun 1918 M penjajah mulai mengambil alih masalah penyelesaian persengketaan yang menyangkut hak-hak dan hukum pidana berlandaskan selain hukum-hukum Syari’at Islam, akan tetapi negeri-negeri yang tidak dijajah secara militer –walaupun pengaruh penjajah mulai terasa– masih tetap melaksanakan hukum Islam, seperti misalnya negeri-negeri Jazirah Arab yaitu Hijaz, Najd, dan Kuwait. Begitu pula Afghanistan yang saat itu masih menerapkan Islam, sekalipun para penguasa di negeri Afghanistan saat ini tidak lagi melaksanakan hukum Islam sebagaimana sebelumnya.[5]

    Hingga kemudian datang golongan Utsmaniyin yang mengambil kendali pemerintahan Khilafah (abad ke-9 H/ke-15 M). Meskipun demikian, mereka tetap berhasil mempersatukan negeri-negeri Islam, seperti negeri-negeri Arab di bawah kekuasaannya (abad ke-10 H/ke-16 M), kemudian melebarkan sayap kekuasaan ke negara-negara Eropa.

    Adapun kelemahan yang ada waktu itu, belum begitu terasa atau diperhatikan pada masa-masa awal kekuasaan Khilafah Utsmani (abad ke-9 H/ke-15 M). Sebab saat itu mereka mempunyai kekuatan militer yang hebat dan disegani oleh musuh-musuhnya, yakni negara-negara Eropa.

    Bila ditimbang, Daulah Islamiyah masih lebih unggul daripada Eropa dalam bidang pemikiran, hukum, dan peradaban. Eropa saat itu masih tenggelam dalam abad kegelapan, meskipun sudah mulai bangkit.

    Pada saat yang demikian, Khalifah melakukan futuhat ke negara-negara Eropa, sampai ke bagian selatan dan timur wilayah Balkan. Jutaan orang masuk Islam di Albania, Yugoslavia, dan Bulgaria. Negara-negara Eropa pun mulai membahas bagaimana cara menghadapi serangan jihad Khilafah ini.

    Muncullah apa yang dikenal dengan Masalah Timuran‌ (al mas`alah asy syarqiyah), yakni bagaimana menghindarkan diri dari serbuan pasukan Khilafah Utsmaniyah, di bawah pimpinan Muhammad Al Fatih (abad ke-9 H/ke-15 M). Pasukan ini terus eksis dan misinya dilanjutkan oleh generasi-generasiآ Islam sesudahnya hingga berhentinya jihad pada abad ke-11 H / ke-18 M ketika pasukan Islam dipimpin Sulaiman Al Qanuni.

    Pada abad ke-18 M, kelemahan negara Khilafah itu makin terasa. Selanjutnya, Khilafah makin lama makin lemah, sementara di pihak lain, negara-negara penjajah dari Eropa makin lama makin kuat‌. Pada puncaknya khilafah pun runtuh dengan bangkitnya Musthafa Kamal Ataturk yang mengumumkan penghapusan Khilafah pada tanggal 3 Maret 1924.

    Mengenal Musthafa Kamal Ataturk

    Ia adalah seorang pahlawan besar bagi pendukungnya, seorang pemikir handal bagi pengagumnya dari kalangan pemikir muda. Ia adalah Bapak sekularisme bagi orang yang menyebut dia sebagai pemisah ajaran Islam dari dunia politik atau pemerintahan tatkala ia menjabat sebagai presiden pertama di Turki. Ia juga dijuluki Alghozi, yakni orang yang gigih berperang melawan musuhnya.

    Namanya sendiri adalah Musthafa Kamal Pasha. Ia dijuluki Alghozi setelah perang kemerdekaan Turki dan terkenal dengan Ataturk setelah mengeluarkan Undang-undang dasar buat Turki baru pada tahun 1934M. Di mana arti dari Ataturk adalah bapak orang-orang Turki. Hingga ahirnya ia dikenal dengan Musthafa Kamal Ataturk.[6]

    Ataturk dilahirkan pada tahun 1880/1881 di Selanik (Thessaloniki, Greece). Bapaknya, Ali Ridha Efendi bekerja sebagai pegawai kastam dan kemudian berniaga kayu. Kemudian meninggal pada waktu Ataturk berusia 7 tahun. Ahirnya ia dibesarkan oleh ibunya sendiri, Zubaidah Hanım.

    Pada usia 12 tahun, ia mulai belajar di sekolah tentera Selanik dan Manatir (kini Bitola, Republik Macedonia). Kemudian ia bergabung dengan Akademi Tentera Ottoman di Manastir pada tahun 1895 dan ditugaskan di Damsyik. Setelah beberapa tahun ia dinaikkan pangkatnya sebagai letnan. Dari sini ia mulai menanamkan benih gerakan reformasi yang dikenal dengan sebutan "Vatan ve Hürriyet" (Tanah air dan Kebebasan). Gerakan ini aktif menentang rezim autokratik Utsmaniyyah saat itu yang dipimpin oleh Abdul Hamid II.

    Pada tahun 1322H (1905M), ia masuk perguruan tinggi tentera di Istanbul dan menamatkan latihan ketenteraannya pada tahun 1325H. (1907M). Kemudian, ia ditugaskan di Kem Tentera Batalion ketiga di Salonika atau Selanik. Dari posisi inilah, Ataturk mulai bergerak memusuhi Khalifah Uthmaniyyah dan agama Islam.

    Pada awal abad ke-20 masehi, Mustafa Kamal Ataturk menandatangani satu perjanjian dengan Inggris dan kuasa sekutu barat. Dalam perjanjian tersebut, terdapat empat syarat penting yang perlu di patuhi dan beberapa syarat lainnya yang harus dilakukan, antara lain:

    1. sistem khilafah Islamiah harus dihapus.

    2. menukar peraturan syariat Islam dengan undang-undang Barat.

    3. memisah urusan agama dari kepentingan politik dan Negara.

    4. merubah azan dengan bahasa Turki,

    5. Al-Quran dicetak dalam bahasa Turki

    6. melarang perempuan memakai jilbab.

    7. hari libur umum Jum'at diganti hari Ahad.

    Semua syarat tersebut telah dipenuhi semua oleh kamal Ataturk tatkala tongkat estafet kepemimpinan di Turki sudah berada dalam genggaman tangannya.

    Demikianlah sekilas tentang Mustafa Kamal Atartuk. Perubahan-perubahan negatif sebagaimana tersebut di atas diteruskan dan diikuti oleh para penggantinya. Hingga akhirnya, Turki menjadi sebuah negara sekuler sebagaimana masyarakat barat. Di mana hal itu menyebabkan mereka jauh dari ajaran Islam yang sebenarnya.[7]

    Jika sejarah tersebut benar dan fakta, maka tidak salah lagi kalau Musthafa Kamal Atatturk dijuluki sebagai Bapak Sekularisme. Berarti ia juga bisa dikatakan sebagai Presiden muslim pertama kali yang skuler.

    Memahami Sekularisme

    Sekularisme (secularism), secara etimologis -menurut Larry E. Shiner- berasal dari bahasa Latin "saeculum" yang artinya “zaman sekarang ini” (the present age). Dalam perspektif religius saeculum dapat mempunyai makna netral, yaitu “sepanjang waktu yang tak terukur”, dan dapat pula diartikan negatif yaitu “dunia yang dikuasai oleh setan".

    Kata Latin saeculum tersebut diartikan oleh Prof. Dr. Sayed Muhammad Naquib al-Attas, penulis buku "Islam and Secularism" dengan makna "masakini di sini", yang mana "masakini" berarti masa sekarang, dan "di sini" berarti "di dunia ini". Dari sini dapat dipaham bahwa secular -menurut al-Attas- merujuk pada makna dan faham "kedisinikinian". Oleh karena itu istilah sekularisme jika diterjemahkan ke bahasa Arab, maka terjemahan harfiah yang paling tepat adalah perkataan hunalaniyyah berdasarkan kepada dua perkataan Arab "huna" yang bermaksud "di sini", dan "al-an" yang berarti "kini" atau 'sekarang". Jadi al-hunalaniyyah adalah faham "kedisinikinian" yang tercermin dalam istilah secularism.[8]

    Pada abad ke-19, tepatnya tahun 1864 M, George Jacob Holyoke menggunakan istilah "sekularisme" dalam arti filsafat praktis untuk manusia yang menafsirkan dan mengorganisir kehidupan tanpa bersumber dari supernatural.

    Secara terminologis, pengertian sekularisme mengacu pada doktrin atau praktik yang menafikan peran agama dalam fungsi-fungsi negara. Dalam Webster Dictionary, sekularisme didefinisikan sebagai:

    “A system of doctrines and practices that rejects any form of religious faith and worship”, yang kurang lebih artinya adalah "sebuah sistem doktrin dan praktik yang menolak bentuk apa pun dari keimanan dan upacara ritual keagamaan". Atau diartikan sebagai:

    “The belief that religion and ecclesiastical affairs should not enter into the function of the state especially into public education", yakni "Sebuah kepercayaan bahwa agama dan ajaran-ajaran gereja tidak boleh memasuki fungsi negara, khususnya dalam pendidikan public". Dari sini bisa dipahami bahwa secara terminologis, sekularisme adalah suatu paham pemisahan agama dari kehidupan.

    Secara sosio-historis, sekularisme lahir di Eropa, bukan di Dunia Islam, sebagai kompromi antara dua pemikiran ekstrem yang kontradiktif. Pemikiran pertama adalah pemikiran tokoh-tokoh gereja dan raja-raja di Eropa sepanjang Abad Pertengahan (abad V-XV M), yang mengharuskan segala urusan kehidupan tunduk menurut ketentuan agama (Katolik). Mulai dari urusan keluarga, ekonomi, politik, sosial, seni, hingga teologi dan ilmu pengetahuan, semuanya harus mengikuti kekuatan para gerejawan Katolik.

    Kedua, pemikiran sebagian pemikir dan filusuf –misalnya Machiaveli (w.1527 M) dan Michael Mountaigne (w. 1592 M)-- yang mengingkari keberadaan Tuhan atau menolak hegemoni agama dan gereja Katolik.

    Dari kedua paham tersebut, dapat dipahami bahwa keduanya masih mengakui keberadaan agama, tapi agama tidak boleh turut campur dalam pengaturan urusan masyarakat. Peran agama dibatasi pada urusan privat saja, yakni dalam interaksi antara manusia dan Tuhannya (seperti aqidah, ibadah ritual, dan akhlak). Agama tidak boleh mengatur urusan publik, yakni interaksi antara manusia dengan manusia lainnya, seperti politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya.[9]

    Dalam bahasa Arab, sekularisme diterjemahkan dengan علمانية; 'almaniyyah/'ilmaniyyah. Jika diterjemahkan dengan 'ilmaniyyah, berakar kata dari al-'ilm (ilmu) yang mendapat akhiran 'alif' dan 'nun' serta "ya'" yang menunjukkan sifat kepada ilmu, sebagaimana perkataan "ruh" yang menjadi "ruhaniyyah" atau "rabb" yang menjadi "rabbaniyyah".

    Namun terjemahan sekularisme dengan kata 'ilmaniyyah tersebut mendapat kritikan dari seorang tokoh muslim, Dr. Yusuf al-Qardhawi. Ia menyatakan bahwa menerjemahkan sekularisme dengan 'ilmaniyyah, bukan saja merupakan satu terjemahan yang tidak teliti, tapi juga merupakan satu terjemahan yang tidak benar, karena istilah sekularisme itu tidak mempunyai kaitan langsung dengan kata al-'ilm yang merupakan akar kata 'ilmaniyyah. Terjemahan sekularisme dengan 'ilmaniyyah yang mengaitkannya dengan ilmu adalah suatu usaha untuk menjadikannya satu makna dengan istilah 'ilmiyyah, dan itu merupakan penipuan yang (patut) dikemukakan".[10]

    Jika sekularisme diterjemahkan dengan 'almaniyyah, berakar kata dari al-'alam (alam), yang mestinya menjadi 'alamaniyyah. Namun yang umum digunakan adalah istilah 'almaniyyah.

    Sebagaimana 'ilmaniyyah yang mendapat kritikan dari Aqardhawi, istilah 'almaniyyah inipun juga mendapat kritikan dari seorang tokoh yang selevel dengan Alqardhawi dalam dunia Islam, yaitu Prof. Dr. Sayed Muhammad Naquib al-Attas, penulis buku "Islam and Secularism"[11].

    Perbedaan penggunaan istilah skularisme dalam bahasa Arab ini ('almaniyyah & 'ilmaniyyah) menunjukkan bahwa istilah sekularisme yang dicoba diterjemahkan kedalam bahasa Arab, memang tidak mempunyai akar kata yang kokoh dalam pandangan hidup Islam.

    Berdasarkan penelitian etymology itu, al-Aththas menyimpulkan bahwa terjemahan sekularisme ke dalam bahasa Arab dengan kata 'almaniyyah, sebenarnya tidak menjelaskan pengertian ide itu sendiri, yang secara konseptualnya lebih mendekati ide waqi'iyyah yang mempunyai kaitan dengan aliran positivisme. Di mana istilah al-waqi'iyyah, menurut al-Aththas lebih mendekati pada paham sekuler.

    Menurut al-Qaradawi, yang sejak awal memfokuskan pertentangan antara al-'ilm (ilmu) dan al-din (agama) dalam konsepsi pemikiran dan pengalaman orang Barat, pengertian sekularisme itu sinonim dengan konsep alladiniyyah (tidak ada agama) atau al-dunyawiyyah (dunia, tiada hubungan dengan agama), dan dua istilah tersebutlah yang benar untuk terjemahan dari istilah sekularisme.[12]

    Penerjemahan sekularisme ke bahasa Arab dalam teori Al Qardhawi ini bukan hanya bermakna menomorduakan sesuatu yang bersifat ukhrawi semata-mata, tapi juga mempunyai arti yang lebih khusus, yaitu paham yang tidak mempunyai hubungan dengan agama (al-ladiniyyah), ataupun kalau ada hubungannya dengan agama, itu hanya sebatas hubungan pertentangan.

    Namun mengenai hubungan agama dan sekularisme, al-Qaradawi tetap mengakui teori kebebasan agama yang dianut oleh sekularisme, walaupun definisi kebebasan agama itu tidak sesuai untuk Islam.

    Al-Qaradawi pernah menyatakan bahwa sekularisme liberal tidak melarang umat manusia untuk beriman kepada Allah, Rasul-Nya dan hari akhir. Karena sekularisme jenis ini punya prinsip "mengakui kebebasan beragama bagi setiap manusia".[13]

    Dari dua pendapat kedua tokoh muslim tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa penjelasan al-Qaradawi tentang sekularisme masih umum, sedangkan al-Attas lebih memerinci lagi dan menyimpulkannya sebagai ide yang lebih dekat dengan ideologi positivisme, yang memang bertentangan dengan Islam.

    Pertentangan ideologi ini terjadi karena positivisme menyatakan bahwa "wujud di alam ini hanyalah fakta" (dalam arti physics) dan tidak ada makna di balik fakta (metaphysics). Sedangkan dalam Islam, selain mengakui adanya fakta dunia ini, masih ada lagi makna yang lebih besar yang bahkan mendasarinya, yaitu alam ruhani dan alam ukhrawi.

    Dari pemaparan di atas, juga bisa disimpulkan bahwa al-Attas dan al-Qaradawi sama-sama tidak menyetujui terjemahan sekularisme sebagai 'almaniyyah atau 'ilmaniyyah. Bagi al-Attas konsep sekularisme itu tidak ada terjemahan yang tepat di dalam bahasa Arab. Menurut beliau kalaupun ada aspek-aspek persamaannya maka konsep itu lebih mendekati faham waqi'iyyah yang mempunyai kaitan dengan faham positivisme yang lahir di Barat.

    Sementara bagi al-Qaradawi, ide sekularime itu ada terjemahannya yang tepat dalam bahasa Islam, yaitu faham al-ladiniyyah atau al-dunyawiyyah.

    Di sisi lain, al-Aththas mengusulkan supaya istilah sekularisme dirubah menjadi "sikulariyyah", dan tidak diterjemahkan, demi menghindari kerancuan berfikir kaum Muslimin yang menggunakan istilah itu sehingga memerlukan penjelasan yang panjang untuk memperbetulkannya.

    Berangkat dari latar belakang falsafah yang melahirkan faham sekularisme, al-Attas dan al-Qardhawi sama-sama sepakat bahwa pemikiran sekuler, berakar dari pemikiran Aristoteles, salah seorang filosof Yunani klasik, yang beranggapan bahwa Tuhan itu jauh dan terpisah dengan alam. Ini berarti Aristoteles merupakan bapak sekularisme.

    Menurut al-Attas, sekularisme sebagai satu philosophical program, dengan pandangan hidup Islam. Walaupun mengakui adanya kedua jenis sekularisme di atas, al-Attas dalam karyanya "Islam and Secularism" lebih menekankan sekularisme yang bukan merupakan pandangan rasmi sebuah negara.

    Beda dengan Al-Qardhawi, dengan karyanya "al-Islam wa al-'Ilmaniyyah Wajhan li Wajhin", lebih menekankan sekularisme dalam bentuknya sebagai pandangan resmi sebuah Negara.. Ia lebih mengarahkan pada kesimpulan bahwa sekularisme dalam bentuk apapun bertentangan dengan Islam, baik dari segi akidah dan juga syariah. Dan ia juga menyatakan bahwa sekularisme merupakan komoditi Barat yang dapat dicontohkan pelaksanaannya di negara Turki.

    Al-Qardhawi juga menolak adanya pembagian sekularisme menjadi sekularisme neutral/moderat dan sekularisme agresif yang memusuhi Agama. [14]

    Epilog

    Puji syukur kepada Allah swt –alhamdulillahi rabbil 'alamin- sudah sepantasnya terucap oleh setiap mukmin selepas mendapat nikmat. Sebagaimana penulis yang merasa bangga dan bersyukur sekali, karena dapat menyelesaikan artikel yang sederhana ini di tengah kesibukannya belajar.

    Dari paparan tersebut di atas, sangatlah jelas bahwa paham sekularisme dengan segala bentuk dan macamnya, bertentangan dengan dengan agama Islam, sebagaimana yang diutarakan Dr. Yusuf al Qardhawi dan Prof. Dr. Sayed Muhammad al Aththas.

    Adapun Negeri Islam yang muncul dengan diperintah oleh paham sekularisme, yang melaksanakan rancangan-rancangannya, yang memukul dengan tangan besi siapa saja yang menentangnya, yang dengan semua itu telah menumpahkan lautan darah, adalah Turki.

    Di mana Turki merupakan negeri khilafah Islamiah yang terakhir, yaitu khilafah Utsmaniyyah. Di mana berdirinya daulah atau khilafah Islamiyyah bagi muslimin, masih terdapat perbedaan pendapat antar ulama dalam memberikan hukumnya antara wajib dan tidak. Yang jelas wajib bagi setiap muslim terhadap Islam adalah menyampaikan dakwah (tabligh) kepada orang lain dengan system dan metode hikmah, diskusi ilmiah dan memberikan nasehat baik sebagaimana digambarkan oleh Alqur'an al Karim.

    Turki setelah ditaklukkan oleh Musthafa Kamal Ataturk, menjadi sarana untuk merealisasikan teori-teori model Barat dalam semua aspek kehidupan, baik di bidang politik, ekonomi, kemasyarakatan, pengajaran, maupun kebudayaan dengan mendasarkan pola berpikirnya pada teori sekularisme.

    Hingga di kemudian hari, Musthafa Kamal Ataturk dikenal sebagai Bapak sekuler dan ia juga dapat dikatakan sebagai presiden muslim yang pertama dalam sejarah yang beraliran sekularisme. Yang kemudian paham tersebut secara bergilir diteruskan oleh generasi berukutnya. Hingga paham sekularisme berkembang besar di Negara kekuasaannya, Turki.

    Refrensi.

    1. Al Maktabah al Syamilah al Ishdar al Tsani :
      1. Tafsir Alqur'an al Karim, Aththabari.
      2. Tafsir Alqur'an al Karim, Ibnu Katsir.
      3. Tajul madzhaab li ihkamil madzhab, bab.: fasl fi hukm al imamah.
      4. Badai'ul maslak fi thabai'il mulk, fi haqiqatil khilafah.
      5. Al Ahkam al Sulthaniyyah". Almawardy
    2. Artikel-artikel dari internet:
      1. Al Aththas dan Al Qardhawi; antara Islam dan sekularisme. Dr. Ugi Suharto, dalam http://staff.iiu.edu.my/ugi/alattas.htm.
      2. Mengapa kita menolak skularisme". M. Shiddiq al Jawi, dalam http://www.khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=156&Itemid=50.
      3. Musthafa Kemal Ataturk" dalam wikipedia berbahsa Melayu. http://www.wikipedia.com/.
      4. Penyelenggaraan Pemerintahan Daulah Islamiyah dalam tinjuan historis". Abd. Syaheed dalam http://www.gaulislam.com/penyelenggaraan-pemerintahan-daulah-islamiyah-dalam-tinjuan-historis.


0 comments:

Leave a Reply

Monggo dikomentari ...