• PANCASILA Senafas dengan Ruh Rukun Islam

    PANCASILA

    Senafas dengan Ruh Rukun Islam

    By: Anas Mas’udi

    Dengan Pancasila, Negara aman, tenteram dan damai. Pun dengan rukun Islam yang lima, agama akan tetap eksis menjaga keamanan dan kemaslahatan umat dalam hidup beragama, berbangsa dan bernegara serta dalam berinteraksi dengan sesama manusia dengan tanpa bertepuk sebelah tangan

    Pada millennium 2000, sejarah dunia tengah memasuki gerbang abad 21. Pada saat itu lebih dari setengah abad Indonesia telah menampakkan jati dirinya di atas panggung sejarah dunia dengan berdiri tegak di atas system Pancasia dan bernaung di bawah sayap burung garuda. Sepanjang kurun waktu tersebut Indonesia telah mengalami tiga periode pemerintahan dan dua kali pergantian UUD.

    Pertama, Indonesia di bawah pemerintahan rezim Soekarno, yang dikenal dengan orde lama. Pada masa itu diberlakukan UUD 1945, UUDS 1950, dan ahirnya kembali lagi ke UUD 1945. Periode kedua, masa berkuasanya orde baru di bawah system militerisme pimpinan jendral Soeharto. Dan periode ketiga, masa-masa transisi yang disebut orde reformasi, dengan presidennya Prof. Dr. Ing. Bj. Habibie.

    Dalam rentang waktu setengah abad lebih Indonesia merdeka, dominasi nasionalis sekuler dalam percaturan politik nasional, bagaimanapun juga menjadi penyebab semakin terpinggirkannya peran agama dalam pengelolaan Negara. Jargon-jargon politik yang sengaja dilansir oleh para politisi sekuler menunjukkan hal itu. Di dalam rangka ideology yang diletakkan kaum sekuler, tuduhan bahwa agama merupakan penyebab pokok instabilitas konstitusional, atau menganggap agama sebagai isu sectarian, primordial dan sebagainya, menjadi isu yang semakin hari makin melemahkan posisi agama dan kaum agamawan berhadapan dengan lembaga Negara. Lalu mereka pada kesimpulan supaya jangan membawa agama dalam urusan politik.

    Di sisi lain, entah telah direncanakan para deklarator proklamasi kemerdekaan atau secara kebetulan saja, penetapan hari kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus, sama persis dengan angka yang terdapat dalam pondasi pokok ajaran Islam, yakni shalat lima waktu, yang jika dihitung akan ditemui sejumlah 17 rakaat tiap harinya.

    Sudah sepantasnya sebagai warga Indonesia yang muslim, untuk selalu bersyukur atas kemerdekaan dan penetapan tanggal proklamasi kemerdekaan tersebut, dengan menjaga dan melestarikannya baik-baik agar setiap warga benar-benar merasa merdeka dalam ruang geraknya. Dengan kata lain tidak ada tekanan di sana-sini atau gangguan atau bahkan penangkapan-penangkapan yang tidak jelas sebab-sebabnya.

    Terlepas dari itu semua, sebagai bangsa Indonesia, sudah semestinya kita juga merasa bangga sebagai warga Indonesia. Kita berada di Negara yang bukan Negara Islam -walaupun mayoritas penduduknya Islam-, tapi mempunyai dasar Negara yang sama sekali tidak bertentangan dengan Islam, bahkan jika dicermati dasar Negara tersebut sudah cukup bisa untuk mewakili pemahaman rukun Islam yg lima. Untuk bisa membuktikan hal tersebut, bisa dilakukan perbandingan satu persatu dari lima prinsip dasar Negara yang tercover dalam PANCASILA dengan rukun Islam yang lima.

    Pancasia yang diambil dari bahasa sansekerta, yang berarti lima prinsip, telah ditetapkan sebagai dasar Negara Indonesia sejak Indonesia merdeka. Lima prinsip tersebut sangatlah luas arti dan pemahamannya. Jika dicermati dengan seksama, akan tampak jelas bahwa PANCASILA bisa dikatakan sebagai dasar Negara yang islami, hanya saja istilahnya lebih terkesan umum. Demikian itu, bisa jadi sang peletak lima prinsip tadi bermaksud supaya Negara Indonesia bisa dihuni oleh siapapun orangnya dengan berbagai agama dan sektenya, ras dan etnisnya.di bawah kekuasaan seorang muslim dengan kekuasaan yang bisa menaungi dan menjaga ketenteraman warganya yang multi agama, ras, dan etnisnya. Untuk lebih jelasnya, kita coba memahami bersama masing-masing prinsip dalam Pancasila tersebut dengan sedikit mencoba mengomparasikannya dengan rukun Islam yang lima.

    .

    Sila pertama: Belief in the one and only God (Ketuhanan yang Maha Esa).

    Artinya, bangsa Indonesia mempunyai keyakinan terhadap Tuhan yang Maha Esa. Sila pertama ini sejalan dengan rukun pertama dalam Islam, yaitu dua kalimat syahadat, asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah. Hanya saja dalam Pancasila tidak ada pernyataan nabi atau rasul tertentu yang harus diyakini kebenarannya dan diikuti ajarannya.

    Demikian itu, tentunya bisa dimaklumi oleh semua, karena Indonesia bukanlah Negara Islam dan agar mereka yang masih mengakui adanya Tuhan yang Esa, atau minimal masih mengakui keberadaan Tuhan, Allah, bisa juga merasa memiliki sebagai warga Negara Indonesia. Di sebagian aliran Ahl al Kitab (Nasrani dan Yahudi), ada sekte yang masih meyakini Tuhan yang Esa, yang mungkin berdomisili atau bahkan berkewarganegaraan Indonesia asli.

    Dilihat dari urutannya, secara tidak langsung, sila pertama tersebut bisa dipahami bahwa Negara Indonesia mengajari dan mendidik bangsanya agar urusan yang berkaitan dengan ketuhanan, yakni akidah, lebih diprioritaskan daripada urusan-urusan lainnya. Siapapun orangnya jika mendahulukan urusan akidah (keyakinan) dari pada lainnya, maka urusan-urusan yang lain akan bisa terselesaikan dengan mudah.

    Sila kedua: Just and Civilized Humanitiy (Kemanusiaan yang adil dan beradab)

    Artinya, setelah memprioritaskaan urusan ketuhanan yang mencakup akidah dan ibadah, bangsa Indonesia menaruh perhatiannya pada urusan mu’amalah (interaksi) social di urutan kedua dengan memperlakukan sesama manusia dengan bersikap adil dan beradab, tanpa ada penindasan atau ringan sebelah dalam menetapkan suatu keputusan, baik yang bersifat kelompok, golongan maupun umum. Ini berarti urusan social tidak kalah pentingnya dengan urusan ketuhanan tadi. Demikian sangat relevan sekali dengan Islam yang di sana terdapat istilah ibadah mahdhoh (ibadah murni, yakni ibadah hamba secara langsung kepada Tuhannya) dan ibadah ghoiru mahdhoh (ibadah yang tidak secara langsung, atau dengan istilah lain ibadah social). Pun juga sejalan dengan rukun Islam yang kedua, yakni shalat dan yang ketiga (zakat).

    Di dalam shalat, terdapat nilai social yang lumayan tinggi jika dikerjakan secara berjamaah, baik di rumah ataupun di surau dan masjid. Namun, dikerjakan di surau dan masjid nilai sosialnya jauh lebih besar dibanding jika dikerjakan di dalam rumah. Oleh karenanya, Islam sangat menganjurkan umatnya untuk senantiasa mengerjakan shalat dengan berjamaah, sebagaimana dikatakan sholatul jama’ah afdhalu min sholatil fadzdzi bisab’in wa ‘isyrina darajat (shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendiri dengan (paut) 27 nilai).

    Sedangkan zakat, sudah tampak jelas nilai sosialnya, bahkan bisa dikatakan bahwa zakat rukun Islam yang paling tinggi nilai socialnya jika dibanding dengan rukun-rukun lainnya. So, sila kedua dari Pancasila tersebut sangatlah sejalan dengan kedua rukun Islam tadi, tapi yang lebih sejajar adalah nilai social dalam perintah zakat.

    Sila Ketiga: The Unity of Indonesia (Persatuan Indonesia)

    Artinya, setelah Indonesia membangun bangsanya dengan mengukuhkan akidahnya dan membangun kejiwaan social pada bangsanya, ia menginginkan agar bangsa dengan berbagai suku, bahasa, etnis, ras, agama dan sektenya ini tetap bersatu padu dalam membangun Indonesia dan menjaga serta melestarikan keamanan dan kemaslahatan warga, dengan tetap terus saling gotong royong dalam hidup bersosial.

    Sila ini, sangat sejalan dengan apa yang dikatakan Alqur’an dalam surat Albaqarah, ayat 143 yang artinya: Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Dengan sila ketiga ini, Indonesia mengharapkan agar bangsanya senantiasa menjaga kesatuan dan persatuan dengan mengedepankan asas perdamaian dalam menyelesaikan segala masalah, perselisihan ataupun konflik, baik yang bersifat micro maupun macro. Demikian agar tidak terjadi sengketa dan perpecahan dalam negeri sebagaimana yang digambarkan ayat tersebut di atas.

    Sila Keempat: Democracy Guided by the Inner Wisdom in Unanimity Arising Out of Deliberations Amongst Representatives (Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan)

    Artinya, dalam mengambil sikap dan keputusan, Negara mengedepankan asas musyawarah untuk mufakat, dengan menyngkirkan apriori, egois,otoriter dsb. Posisi sila ini, sangat tepat tempatnya. Setelah masing-masing warga punya keyakinan yang kuat dalam hal ketuhanan, yang kemudian diaplikasikan keyakinan itu dalam hidup bersosial, dilanjutkan dengan menjaga persatuan dan kesatuan dalam keberlangsungan hidup, demi menjaga itu semua, Negara membuat aturan yang sesuai dengan job discribtion masing-masing dengan penuh kearifan dan kebijakan di bawah asas musyawarah untuk mufakat.

    Sila keempat ini, sejalan dengan perintah Islam dalam Alqur’an, yang artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu (yakni urusan peperangan dan hal-hal duniawi lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lain) QS. Aly Imran: 159.

    Jika dicermati dengan seksama, akan kita temui titik persamaan –walaupun hanya sekilas- antara sila keempat dengan rukun Islam keempat, yakni puasa. Dalam mencapai musyawarah untuk mufakat, masing-masing anggota perlu melatih diri dengan membiasakan bersikap adil,jujur,bijak dan tidak mudah emosi. Beberapa factor untuk mencapai musyawarah untuk mufakat tersebut,terkandung dalam fungsi dan faedah puasa. Di dalam puasa, tidak ada yang tahu apakah kita berpuasa atau tidak, kecuali Allah. Nah, di sana akan tertanam benih-benih kejujuran yang timbul dari kebiasaan berpuasa tadi. Di sisi lain, dalam menunggu tibanya waktu maghrib untuk bisa berbuka melepas lapar dan dahaga, terdapat pendidikan kesabaran, tenggangrasa, social, keadilan, manejemen waktu, konsisten dan komitmen. Di mana kesemua sifat-sifat tersebut sangatlah diperlukan oleh masing-masing anggota musyawarah untuk bisa mencapai mufakat.

    Sila kelima: Social Justice for the Whole of the People of Indonesia (Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia)

    Artinya, setelah Negara menanamkan keempat prinsip dasar tersebut di atas, dari akidah, kemanusiaan atau social, persatuan dan permusywaratan dalam mengambil keputusan, ia menutup prinsip-prinsip tersebut dengan menekankan asas keadilan dalam menetapkan suatu hukum, kususnya pada mereka yang terpidana. Semua, siapapun orangnya, apapun pangkatnya dan bagaimanapun posisinya, jika melanggar hukum harus dihukum dengan seadil-adilnya, bukan malah menghukum yang tidak bersalah dan melindungi yang bersalah.

    Sila terahir ini, bisa dikatakan sebagai penguat sila yang kedua. Hanya saja sila kedua lebih menekankan nilai kemanusiaan secara umum, sedangkan sila kelima lebih mengedepankan dan menekankan keadilan dalam bertindak dan memberi hukum.

    Jika dikomparasikan dengan rukun Islam, sila kelima ini ada kaitannya dengan rukun Islam keempat, yakni puasa, sebagaimana tersebut di atas. Pun sekilas tergambar dalam ritual praktek ibadah haji. Di sana, Islam tidak membedakan antara yang kaya dan yang miskin, antara yang tampan atau cantik dan yang jelek, antara yang pintar dan yang tidak pintar, yang rumahnya jauh dari Mekah dan yang dekat, yang berkulit putih dan yang berkulit hitam, semuanya harus berpakaian ihram, beribadah dengan cara yang sama dan di tempat-tempat yang sama pula. Nah, di sanalah tergambar dengan jelas arti suatu keadilan dari satu sisi. Dari sisi lain, ibadah haji melatih pelaksananya untuk rela berkorban di jalan kebenaran. Dalam hal ini, bisa mendidik para hujaj (jamaah haji) untuk mudah mengulurkan tangan kepada fuqara’ wa masakin (fakir dan miskin) dan juga kepada orang-orang yang membutuhkannya,

    Di samping itu, sila kelima ini juga sejalan dengan perintah Islam yang tercover dalam Alqur’an, yang artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil … (QS. Al Nisa’: 58).

    Dari sini, tampaklah dengan jelas bahwa Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia yang notabene bukan Negara Islam (walaupun mayoritas penduduknya muslim), sangat sejalan dengan ajaran-ajaran Islam, bahkan bisa dikatakan “mirip” dengan lima pilar dasar dalam Islam itu sendiri.

    Menurut hemat penulis, di sana tidak perlu diadakan perubahan atau pergantian dalam masalah dasar Negara dengan menyodorkan Alqur’an sebagai dasar hukum Negara. Karena itu akan menimbulkan permasalahan baru yang sangat dimungkinkan akan menimbulkan banyak korban dan nyawa yang akan melayang, serta akan memakan waktu yang relative lama.

    Cukuplah Alqur’an sebagai dasar agama dan benteng keyakinan bagi masing-masing warga Negara yang muslim,kususnya Indonesia. Toh, berangkat dari individu yang muslim dengan berusaha semaksimal mungkin untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, dengan sendirinya akan terbentuk Negara Islam cultural, walaupun bukan structural. Dan itu lebih baik daripada Negara Islam structural, namun kulturnya bukan Islami, atau bahkan terdapat kultur-kultur yang menentang ajaran Islam itu sendiri di dalam system pemerintahan Negara tadi.

    Demikian, sekilas paparan tentang filosofi Pancasila yang penulis hasilkan dari “renungan semalam” dengan hanya memahami teks Pancasia secara langsung, tanpa ada kontribusi dari pemikiran atua tulisan orang lain di dalamnya, yang kemudian penulis komparasikan dengan rukun Islam yang lima. Penulis yakin, sekalipun ada kemungkinan salah atau kurang tepat dalam pemahaman penulis terhadap teks Pancasila tersebut, semua orang,kususnya warga Indonesia sangat mengharapkan Negara dan pemerintahannya bisa menerapkan Pancasila sesuai dengan apa yang dipahami penulis di atas.

    Jika ternyata di lapangan ditemukan ketidakcocokan dengan apa yang penulis sampaikan, itu bisa dikembalikan kepada pelakunya, bukan pada Pancasila-nya. Dengan Pancasila, Negara aman, tenteram dan damai. Pun dengan rukun Islam, agama akan tetap eksis menjaga keamanan dan kemaslahatan umat dalam hidup beragama, berbangsa dan bernegara, serta dalam berinteraksi dengan sesama manusia dengan tanpa bertepuk sebelah tangan.

0 comments:

Leave a Reply