• Chating Ramadhan II, Pengebirian Binatang (kucing) dalam Pandangan Islam
    Chating Ramadhan II,
    Pengebirian Binatang (kucing) dalam Pandangan Islam

    Ini, merupakan jawaban dari pertanyaan Ibu Iin Hasan yg diwallkan ke fesbook saya. Di sini akn saya coba uraikan jawabannya menurut kemampuan saya melalui beberapa tulisan di internet dan pemahaman hadis2 yg berkaitan dengan pertanyaan tersebut, yang say baca dari maktabah syamilah.


    Pertanyaan.

     

    Salam Bang Ust. Anas, ana mau tanya boleh? Bagaimana hukumnya mengenai mengebiri binatang peliharaan seperti kucing dengan tujuan menekan populasi, menghindari penyakit dan demi kebersihan lingkungan rumah. Kucing jantan yang dikebiri tidak lagi memilki kebiasaan "spraying" disetiap pojok ruangan untuk menandai teritori sehingga rumah yang ikut didiami kucing menjadi bebas dari kencing kucing. Mohon jawaban, terima kasih. Sebagai info, proses ini sekarang sudah lazim disediakan, hewan dibius total sebelumnya shg tidak merasa sakit. Clinick2 hewan di Lybia juga menyediakan jasa ini.


    Jawaban.

    Wa'alaikumussalam Bu Iin ... Boleh Ibu ... mau tanya apapun dipersilahkan. Slama sy bs jawab, insyaallah sy jwab lgsg. Jk sy msh lom bs mnjwab (krn msh prlu mempelajari prtanyaannya) mungkin jwabannya ditundaa beberapa saat dulu.

    Mengenahi pengebirian binatang, spt kucing atau anjing yg sekarang memang menjadi "sorotan" banyak org krna pupulasinya yg stiap tahun meningkat pesat, harus dijawab secara rinci. Karena pertanyaan ini mengenahi hukum, maka rujukan pertama adalah Alqur'an n hadis, kemudian ijma' n qiyas, baru pendapat2 ulama yg ada yg bs dipertanggungjawabkan.

    Sebagaimana manusia yg punya hak kemanusiaan, yg di antaranya adlh hak kebutuhan biologis, binatang/hewan pun punya hak kebinatangan/kehewanan dlm kebutuhan biologis ini.

    Kita ketahui bersama bahwa dewasa ini masyarakat makin banyak memelihara kucing sebagai hewan kesayangan. Di sisi lain, populasi kucing kian bertambah karena siklus reproduksinya 3-4 kali pertahun dengan anak 4-8 ekor per kelahiran (menurut keterangan di internet yg sempat saya baca).
    I
    nteraksi kucing yang mengidap penyakit ini, bisa berakibat tertularnya manusia atas toksoplasmosis. Penyebaran toksoplasmosis terus meluas. karena kucing sebagai pembawa tokso bersifat karier (pembawa penyakit). Kucing sebagai pembawa penyakit toksoplasma ini semakin mengkhawatirkan karena prevalensinya semakin tinggi.

    Salah satu untuk mencegah penyakit ini dengan cara pengendalian populasi, yaitu ovariohisterektomi. Ovariohisterektomi, merupakan tindakan operasi pengangkatan ovariun dan uterus, sehingga kucing tidak menghasilkan keturunan, tetapi tetap bisa melakukan aktivitas biologisnya. Jika populasi kucing ditekan diharapkan toksoplasmosis bisa dikendalikan. Nah, dalam kasus seperti ini bagaimana Islam menyikapinya?
    Pada dasarnya melakukan operasi ovariohisterektomi pada kucing adalah haram secara syar’i. Sebab operasi tersebut termasuk ikhshaa` ( إخصاء; pengebirian) yang dapat memandulkan binatang (tidak berketurunan). Padahal Islam telah mengharamkan. ikhshaa’  tersebut.

    Terdapat beberapa hadits Nabi SAW yang melarang ikhshaa` pada binatang. Di antaranya diriwayatkan dari Ibnu Umar RA bahwa dia berkata,
     (نهى رسول الله صلى الله عليه و سلّم عن إخصاء البهائم و الخيل. رواه أحمد )
    Rasulullah SAW telah melarang mengebiri kuda dan binatang-binatang (HR Ahmad). (Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 1660, hadits no. 3581).

    Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas RA bahwa dia berkata,
    (إن النبي صلى الله عليه و سلم نهى عن صبر الروح وعن إخصاء البهائم نهيا شديد. أخرجه البزار)
    Bahwasanya Nabi SAW telah melarang mengurung/menahan [binatang] yang bernyawa [dan membunuhnya sampai mati dengan panah atau yang semisalnya] dan melarang mengebiri binatang dengan larangan yang keras".  (HR al-Bazzar, dengan sanad sahih) (Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 1661)

    Dengan demikian, jelaslah bahwa pada dasarnya mengebiri binatang adalah haram. Dan operasi ovariohisterektomi pada kucing dengan mengangkat ovarium dan uterusnya termasuk dalam pengertian pengebirian tersebut. Sebab keduanya akan berakibat sama yaitu hilangnya kemampuan reproduksi pada kucing yang dioperasi. 

    Namun dalam kasus tertentu jika diduga kuat operasi ovariohisterektomi akan dapat mencegah tertularnya penyakit toksoplasma dari kucing pada manusia, maka operasi ovariohisterektomi pada kucing dibolehkan.

    Kaidah fiqih menyebutkan :
    إذا تعارضت  مفسدتان، روعي أعظمهما ضررا بارتكاب/ بأخذ أخفّهما
     Jika bertentangan dua mafsadat (bahaya), maka dilihat mana bahaya yang lebih besar dan diambil bahaya yang lebih ringan dari keduanya.” (Imam Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazha`ir fi al-Furu’, hal. 62).
    Operasi ovariohisterektomi kucing itu adalah mafsadat, karena hukumnya haram dan dapat membuat kucing tidak berketurunan. Demikian juga penularan penyakit toksoplasma pada manusia lewat kucing juga mafsadat, karena jelas manusia akan tertimpa penyakit toksoplasma yang juga dapat membuat reproduksi manusia terganggu.

    Dalam menghadapi dua mafsadat yang bertentangan ini, dipilih mana bahaya yang lebih ringan. Jelas mafsadat yang lebih ringan adalah melakukan operasi ovariohisterektomi, bukan membiarkan manusia tertular toksoplasma. Martabat dan kesehatan manusia lebih berharga daripada martabat dan kesehatan hewan.

    Allah SWT berfirman [artinya] :
    “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. al-Israa: 70) 

    Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah SWT telah melebihkan manusia dari kebanyakan makhluk-Nya seperti binatang (al-baha`im). (Lihat Imam Suyuthi, Tafsir a-Jalalain, hal. 205).

    Oleh karena itu, secara kasuistik operasi ovariohisterektomi dibolehkan demi menghindarkan manusia dari penularan penyakit toksoplasmosis, meskipun hukum asalnya adalah haram.

    Namun sekali lagi perlu diingat, bolehnya operasi ovariohisterektomi ini tidaklah berlaku umum, melainkan hanya bersifat kasuistik. Yaitu ia hanya berlaku untuk kondisi, waktu, dan lokasi tertentu, berdasarkan pengamatan seorang pakar muslim yang adil (taqwa) setelah terdapatnya indikasi-indikasi kuat akan terjadinya penularan toksoplasma melalui kucing. Di luar kondisi ini, operasi ovariohisterektomi adalah tetap haram dan merupakan dosa di hadapan Allah Azza wa Jalla. Wallahu  A’lam bishshowab.


    more
  • Chating Ramadhan; Seputar Puasa & Zakat 1
    Chating Ramadhan; 
    Seputar Puasa & Zakat 1

    Ada beberapa pertanyaan tentang puasa dan zakat yang diajukan oleh hamba Allah. Antara lain:
     
    1. Kalau kita punya tabungan lebih dari 9 juta rupiah, kena zakat g?

    Jawab: Tabungan uang merupakan uang atau kekayaan yg disimpan, maka ia terkena zakat. Adapun nishobnya (batas diwajibkan) zakat dalam uang tabungan disamakan dg harga 85gram emas di daerah orang yg bersangkutan. Misalkan harga emas 1gr = Rp. 300.000, maka batas diwajibkan zakat untuk tabungan seseorang adalah 300ribu x 85gram = Rp. 25.500.000. Sedangkan zakat yg harus dikeluarkan adalah 2,5% dari nishob. Demikian itu jika sudah mencapai satu tahun ditabung. Jadi jika uang tabungan tersebut lebih dari 9juta, tapi belum mencapai Rp. 25.500.000 (jika harga emas 1gram = Rp. 300.000), maka si pemilik tabungan tidak berkewajiban mengeluarkan zakat tabungan. (baca; Peranan Zakat Terhadap HAM, dalam www.el-malawi.blogspot.com/ Kewajiban Zakat dari Uang Tabungan, dalam http://www.eramuslim.com/konsultasi/zakat/kewajiban-zakat-dari-uang tabungan.htm)
       
    2. Kalau sudah habis masa haid, teruz ikut sahur, tapi baru mandi besar setelah adzan shubuh,apakah puasanya sah?

    Jawab: Puasa wanita tersebut dihukumi sah. Tetapi dia diwajibkan mandi besar (mandi junub) sebelum matahari terbit, karena ia wajib mengerjakan shalat subuh. Begitu juga hukum puasa orang junub yang mandinya setelah adzan subuh, dihukumi sah. (baca QS. Albaqarah: 187 dan tafsirnya).

    3. Fidyah itu dibayarkan sebelum bulan Ramadhan. Nah kalau lupa bagaimana? Kemudian baru ingat ketika sudah masuk bulan Ramadhan berikutnya …

    Jawab: Seseorang dapat membayar fidyah, pada hari  dia tidak melaksanakan puasa, atau diakhirkan sampai hari terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana dilakukan oleh sahabat Anas radhiallahu’anhu ketika beliau telah tua.

    Jika dia lupa membayar fidyah sampai Ramadhan berikutnya, maka dia tetap harus membayarkan fidyah tersebut dan menambah satu mud (kadar makanan satu hari untuk satu orang dg standar umum di daerah setempat) sebagai tebusan dari kelalaiannya membayarkan fidyah tadi. Adapun cara pelaksanaan membayar fidyah dengan memberi makan kepada satu orang miskin untuk satu hari puasa yang ditinggalkan. Namun tetap diingat, sebagaimana Imam Nawawi rahimahullah katakan, “Tidak sah apabila membayar fidyah dengan tepung yang sangat halus (sawiq), biji-bijian yang telah rusak. Tidak sah pula membayar fidyah dengan uang. Demikian dapat diterapkan dengan dua cara:
    1.    Memasak atau membuat makanan, kemudian memanggil orang miskin sejumlah hari-hari yang ditinggalkan selama bulan Ramadhan.
    1. Memberikan kepada orang miskin berupa makanan yang belum dimasak. Alangkah lebih sempurna lagi jika juga diberikan sesuatu untuk dijadikan lauk.
    Adapun golongan yang dikenakan bayar Fidyah (memberi makan satu orang fakir/miskin utk setiap hari puasa yg ditinggalkan dg kadar satu mud/ kadar makanan pokok utk satu org dalam satu hari) antara lain:.
    1. Orang yang sangat tua dan uzur tidak mampu untuk berpuasa
    2. Orang sakit yang tidak ada harapan untuk sembuh dan disebabkan sakitnya itu dia tidak mampu untuk berpuasa.
    3. Wanita hamil dan yang menyusui kerana kuatir membahayakan dirinya dan anaknya.
    4. Orang yang meninggalkan puasa, kemudian ia melengahkan qadha puasanya sampai datang Ramadhan berikutnya, sedangkan dia mampu untuk mengqodhoinya sebelum tiba Ramadhan berikutnya. (lihat: Ramadhan; Qadha dan Fidyah, dalam http://ituakujiya.blogdrive.com/archive/48.html dan Pembayaran Fidyah, dalam http://muslimah.or.id/fiqh-muslimah/pembayaran-fidyah.html).
    4. Gaji itu juga wajib dizakati ?

    Jawab: Merujuk pada berbagai sumber fiqh, hukum zakat gaji atau jasa, penghasilan, profesi tidak bergeser dari dua macam pandangan ulama, yaitu antara wajib dan tidak wajib. Masing-masing golongan ulama memberi argumentasi yang berbeda. Jika ditelusuri yang menjadi puncak perbedaan pendapat pada zakat gaji, profesi, jasa atau penghasilan antara lain adalah pada syarat haul, apakah diqiyaskan  kepada zakat emas  atau diqiyaskan kepada  zakat pertanian atau diqiyaskan kepada keduanya.

    Para ulama mazhab bukan menolak adanya zakat gaji juga bukan membolehkan untuk dipungut. Hanya saja tak pernah membahasnya secara rinci dalam kitab-kitab mereka. Masalahya karea hal itu belum menjadi sumber penghasilan utama dan sektor rill ketika itu.
    Sebagian ulama sekarang yang tidak mewajibkan zakat gaji atau profesi, alasannya,  tidak pernah dipraktikkan pada masa Rasulullah atau masa-masa awal pemerintahan Islam dan tidak ditemukan nash yang jelas secara khusus. Namun pandangan ulama ini jarang ditemukan dalam literatur-literatur fiqh.

    Sebaliknya pandangan sebagian ulama yang lain lebih cenderung mewajibkan zakat gaji/profesi dalam karya-karya mereka dengan melakukan berbagai cara istimbath.
    Berdasarkan nash umum (ummumul ayyah). Firman Allah swt (Q.S, Al- Baqarah: 267, dan al-Zariyat: 19), dapat dipahami oleh sebagian ulama sebagai zakat dari berbagai sumber penghasilan. Sayyid Qutub menjelaskan dalam menafsiri ayat 267 surat al-Baqarah, bahwa Zakat diwajibkan  dari semua jenis pendapatan (Tafsir Fi  Dhilalil Qur’an),. Demikian juga Al-Qurtubi, menafsiri kalimat " haqqum ma’lum"  dalam surat al-zariat ayat 19 diartikan sebagai  zakat dari semua penghasilan, (Tafsir al-Jami’ liahkamil Qur’an).

    Landasan zakat profesi dianalogikan kepada dua sifat qiyas. Pertama. tentang waktu pembayaran diqiyaskan kepada zakat pertanian, yaitu dibayarkan ketika mendapatkan hasilnya (panen). Kedua, nishab dan kadar zakatnya dianalogikan kepada zakat emas yaitu seharga  94 gram emas sedangkan kadar zakatnya sebesar 2,5 %. (lihat: Wajibkah Zakat Gaji?, dalam http://www.serambinews.com/news/view/24510/wajibkah-zakat-gaji)

    5. Teruz kalau almarhum ortu atao family kita punya hutang puasa or sholat tapi g tahu jumlahnya berapa, bagaimana caea membayar/mengqadhainya? Teruz kalau kita kelupaan mengqadhai puasa tersebut bagaimana?

    Jawab: Dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa orang yang meninggal dunia dan masih mempunyai hutang shalat dan puasa, boleh diwakili orangtuanya, anaknya, saudaranya atau keluarganya untuk membayar hutang shalat dan puasa tersebut.

    Ada juga yg berpendapat, tidak ada kewajiban bagi keluarganya atau ahli warisnya untuk mengqadha' shalat atau puasa wajib yg pernah ditinggalkan oleh si mayit.
    Ada juga yg berpendapat dengan diperinci, dengan mengatakan bahwa barangsiapa yang wafat dan punya hutang shalat, maka walinya (apalagi orang lain) tidak bisa mengqadha'nya. Begitu pula orang yang tidak mampu puasa, tidak boleh dipuasakan oleh anaknya selama dia hidup, tapi dia harus mengeluarkan makanan setiap harinya untuk seorang miskin, sebagaimana yang dilakukan sahabat Anas dalam satu atsar (periwayatan yg bersumber dari Sahabat Nabi).

    Namun barangsiapa yang wafat dalam keadaan mempunyai hutang puasa nadzar (sebuah janji untuk melakukan suatu kebaikan yg dihubungkan dg akan keberhasian seseorang dalam meraih sesuatu yg direncanakan atau diharapkan), maka harus dipuasakan oleh walinya berdasarkan sabda Rasulullah SAW: "Barangsiapa yang wafat dan mempunyai hutang puasa nadzar hendaknya diganti oleh walinya" [Bukhari: 4/168, Muslim: 1147].

    Dan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata : "Datang seseorang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian berkata : "Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku wafat dan dia punya hutang puasa setahun, apakah aku harus membayarnya?" Rasulullah saw. menjawab : "iya, hutang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar" [Bukhari: 4/168, Muslim: 1148].

    Hadits-hadits umum ini menegaskan disyariatkannya seorang wali untuk puasa (mempuasakan) mayit dengan seluruh macam puasa, demikian pendapat sebagian Syafi'iyah dan madzhabnya Ibnu Hazm (7/2,8).

    Tetapi hadits-hadits umum ini dikhususkan, seorang wali tidak puasa untuk mayit kecuali dalam puasa nadzar, demikian pendapat Imam Ahmad seperti yang terdapat dalam Masa'il Imam Ahmad riwayat Abu Dawud hal. 96 dia berkata : Aku mendengar Ahmad bin Hambal berkata : "Tidak berpuasa atas mayit kecuali puasa nadzar". Abu Dawud berkata, "Puasa Ramadhan ?". Beliau menjawab, "Memberi makan".
     
    6. Nah,ini yg sering kejadian, ketika puasa, sudah berbuka, teruz baru ketahuan kalau dia haid, ya kira2 baru minum teruz dia m0 sholat,  pas habis buang air kecil dan bersuci, ternyata dia temui dirinya haidh dan sudah keluar lumayan banyak darahnya. Nah puasa hari itu sah g?

    Jawab: Jika permasalahan seperti tersebut di atas, maka dikembalikan pada keyakinan orang yg bersangkutan. Jika dia yakin darah yang keluar itu setelah adzan atau bertepatan dengan adzan maghrib, maka puasa hari itu dianggah sah. Tapi jika dia meyakini darahnya keluar sebelum adzan maghrib, maka puasa hari itu dihukumi tidak sah, karena dia sudah dihukumi sebagai orang yang sedang haid dalam waktu-waktu puasa (dari masuknya waktu subuh sampai masuknya waktu maghrib). Demikian itu didasarkan pada kaedah fikih "Al Yaqien la yuzaalu bil asysyakk" (keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan), atau kaedah fikih "al ashlu baqo-u ma kaana 'ala ma kaana" (asal hukum sesuatu itu tergantung pada asal keberadaan sebelumnya). Jika sebelumnya dalam kondisi suci dan puasa, kemudian dating darah haid, tapi tidak diketahui dengan pasti kapan keluarnya, sedangkan yg bersangkutan sudah dalam keadaan berbuka puasa, maka posisi dia dikembalikan pada sebelum darah haid keluar, yakni dalam kondisi suci dan berpuasa. Dengan kata lain puasanya masih dihukumi puasa yg sah. (lihat: Al Asybah wa al nadhoir. Karya al Imam al Suyuthi).
    Demikian yg bias saya sampaikan. Bagi setiap pembaca jika menemukan jawaban yg salah, atau mempunyai jawaban or komentar, dipersilahkan untuk sharing di sini. Semoga bermanfaatd dan dijadikan catatan amal ibadah.

    more
  • Komentar Tentang Bid'ah dalam Artikel; Adakah Bid'ah Hasanah?
    Komentar Tentang Bid'ah dalam Artikel; 
    Reinterpretasi Bid'ah, 
    Adakah Bid'ah Hasanah?

    Menurutku artikel ini lumayan bagus, bahkan bisa saya katakan sesuai dg fikroh saya. Memang seperti itulah sebaiknya Bid'ah itu dipahami. Dalilnya pun juga sudah jelas. Kebanyakan Ulama syari'at pun membagi bid'ah menjadi dua seperti yg tertulis juga dalam artikel tersebut (artikel tentang bid'ah yang saya publikasikan sebelum ini). Namun di sana ada yg mengatakan bid'ah hasanah dan dhalalah, ada yg dg istilah bid'ah mahmdah dan bid'ah madzmumah.

    Kalau mau diteliti dan dicermati dengan seksama lagi, apa2 yg dicontohkan dalam artikel itu, yg dikatakan sbg bid'ah hasanah, itu merupakan bagian daripada "budaya", bukan bagian dari ibadah yg merupakan objek inti dari kajian "bid'ah". Katakanlah seperti pembukuan mushaf, adzan kedua sebelum khutbah jum'ah, jamaah tarawih sebulan penuh, pembukuan hadis dan kitab2 lain, saya lihat semua itu merupakan bagian budaya yg mereka ciptakan untuk menjaga "syari'at" yg telah diajarkan oleh baginda Rasul saw. Jika hal ini bisa ditrima, maka akan sesuai dg hadis yg juga ada dalam artikel di atas, "barang siapa yg membudayakan tradisi (sunnah) yg baik, dia akan mendapat pahalanya dan pahala orang yg mengikuti tradisi baik tsb ... dan sebaliknya ... (al hadis .. ).

    Demikianlah yg perlu kita pahami dg seksama dan yg perlu kita cermati, bahwa di sana ada perbedaan antara budaya dan agama (syari'at). Jika bid'ah itu dipahami sebagai ibadah/ajaran baru yg tdk ada pd zaman Rasul saw, maka setiap yg baru, jgn terburu diklaim sbg bid'ah terlebih dahulu, tp baiknya dicermati dan diteliti dg seksama terlebih dahulu. Jika ia termasuk suatu tradisi atau budaya, maka harus dilihat dg "kacamata akhlaq", kemudian dilihat dg "kacamata" syari'at, apakah ada dalil atau teks syar'i yg melarang tradisi or budaya tersebut, di samping melihat adanya manfaat atau mafsadah dalam tradisi or budaya tadi.

    Demikian sebagaimana Jibril mengajarkan agama pada para Sahabat Rasul saw di suatu hari, dalam sebuah hadis yg mutawatir (di mana diahir hadias rasul mengatakan; dia adalah Jibril, yg datang pada kalian (sahabat) utk mengajarkan agama kalian), di antaranya diriwayatkan oleh Umar bin al Khaththab tentang empat pertanyaan yg diajukan Jibril yg berwujud manusia (waktu itu) dg berpakaian serba putih.

    Empat pertanyaan tersebut adalah: 1. Ma al Islam (apakah Islam itu)?. 2. Ma al iman?. 3. Ma al ihsan. 4. mata al sa-'ah?. Dari empat pertanyaan ini, hanya tiga (tentang Islam, Iman dan Ihsan) yg bisa dijawab oleh Rasul saw. dengan tepat dan dibenarkan oleh Penanya (yakni Jibril). Sementara pertanyaan keempat, beliau tidak bisa mnjawabnya dg pasti kapan terjadinya dan mengatakannya dg bahasa diplomatis: "org yg ditanya tidak lah lebih tahu daripada org yg bertanya". Demikian itu menunjukkan bahwa Rasul saw pun, yg merupakan hamba paling dekat dg Rabbnya, tidak tahu dg pasti kapan hari kiamat itu akan terjadi. La qo' ahir2 ini banyak orang memprediksi terjadinya hari kiamat ... Apa bisa dipercaya ... ???

    Dari kisah dalam hadis tersebut pula, Islam -secara global- terbagi menjadi empat aspek, empat kajian,yakni aspek syari'at (dalam kandungan pertanyaan; ma al Islam), aspek aqidah (dalam kandungan pertanyaan; ma al Iman), aspek akhlaq (dalam kandungan pertanyaan; ma al ihsan) dan aspek keimanan terhadap alam ghaib (dalam kandungan pertanyaan; mata al sa-'ah). Sebenarnya yg keempat ini bisa dimasukkan dalam aspek kedua (aspek aqidah), hanya saja dalam hadis lebih ditekankan, dg penyebutan pertanyaan "mata al sa-'ah". Hal ini menunjukkan akan pentingnya perhatian terhadap masalah-masalah gaib yg kebanyakan orang sulit untuk mempercayainya atau mengimani keberadaannya, terlebih pada era sekarang ini, yg cenderung hanya menggunakan logika saja.

    Nah, dari keempatnya inilah semestinya setiap "hal yg baru" itu dilihat dan dicermati serta ditetapkan hukum keberadaanya. kita ambil contoh seperti pembukuan mushaf. Di sini kita lihat, pembukuan mushaf ini termasuk aspek yg mana. Katakanlah ia termasuk dalam aspek akhlaq (karena ia dianggap bagian dari budaya, dimana budaya timbul dari adanya interaksi antar sesama. Dan interaksi antar sesama merupakan kajian akhlaq), maka pembukuan mushaf harus dilihat dg "kacamata akhlaq", bagaimana akhlaq melihat pembukuan mushaf tsb, apakah ia membawa maslahat or madharrat pd umat? Jika membawa maslahat pada umat, kita lihat dari aspek syari'at (hukum), bagaimana syari'at melihat adanya pembukuan mushaf tadi, apakah ada dalil or teks syar'i yg melarang pembukuan mushaf tadi. Jika tidak ada larangan dan ternyata di sana ada maslahat bagi umat, maka budaya pembukuan mushaf dan buku2 Islam or keilmuan lainnya, bisa diterima dalam syari'at or agama.

    Demikianlah semestinya kita menyikapai setiap hal-hal yg baru muncul di tengah-tengah masyarakat kita, baik berupa bacaan, perbuatan atau keyakinan. Tidak boleh kita langsung mengklaim ini bid'ah, itu bid'ah, ini yg benar dan itu yg salah dg tanpa menelaah lebih dalam tentang kebenarannya terlebih dahulu. Hingga nantinya akan menimbulkan hasil hukum yg kurang (atau bahakan tidak) objektif. Inilah komentar saya untuk sementara atas artikel tentang bid'ah ini. Semoga saja bisa dipahami dengan mudah. Jika ada yg tidak sepaham or tidak bisa diterima, mohon disharingkan langsung di sini. Semoga bermanfaat dan bisa menjadi bahan renungan yg positif dan menghasilkan yg positif.

    Anas El Malawi

    more