• Chating Ramadhan; Seputar Puasa & Zakat 1


    Chating Ramadhan; 
    Seputar Puasa & Zakat 1

    Ada beberapa pertanyaan tentang puasa dan zakat yang diajukan oleh hamba Allah. Antara lain:
     
    1. Kalau kita punya tabungan lebih dari 9 juta rupiah, kena zakat g?

    Jawab: Tabungan uang merupakan uang atau kekayaan yg disimpan, maka ia terkena zakat. Adapun nishobnya (batas diwajibkan) zakat dalam uang tabungan disamakan dg harga 85gram emas di daerah orang yg bersangkutan. Misalkan harga emas 1gr = Rp. 300.000, maka batas diwajibkan zakat untuk tabungan seseorang adalah 300ribu x 85gram = Rp. 25.500.000. Sedangkan zakat yg harus dikeluarkan adalah 2,5% dari nishob. Demikian itu jika sudah mencapai satu tahun ditabung. Jadi jika uang tabungan tersebut lebih dari 9juta, tapi belum mencapai Rp. 25.500.000 (jika harga emas 1gram = Rp. 300.000), maka si pemilik tabungan tidak berkewajiban mengeluarkan zakat tabungan. (baca; Peranan Zakat Terhadap HAM, dalam www.el-malawi.blogspot.com/ Kewajiban Zakat dari Uang Tabungan, dalam http://www.eramuslim.com/konsultasi/zakat/kewajiban-zakat-dari-uang tabungan.htm)
       
    2. Kalau sudah habis masa haid, teruz ikut sahur, tapi baru mandi besar setelah adzan shubuh,apakah puasanya sah?

    Jawab: Puasa wanita tersebut dihukumi sah. Tetapi dia diwajibkan mandi besar (mandi junub) sebelum matahari terbit, karena ia wajib mengerjakan shalat subuh. Begitu juga hukum puasa orang junub yang mandinya setelah adzan subuh, dihukumi sah. (baca QS. Albaqarah: 187 dan tafsirnya).

    3. Fidyah itu dibayarkan sebelum bulan Ramadhan. Nah kalau lupa bagaimana? Kemudian baru ingat ketika sudah masuk bulan Ramadhan berikutnya …

    Jawab: Seseorang dapat membayar fidyah, pada hari  dia tidak melaksanakan puasa, atau diakhirkan sampai hari terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana dilakukan oleh sahabat Anas radhiallahu’anhu ketika beliau telah tua.

    Jika dia lupa membayar fidyah sampai Ramadhan berikutnya, maka dia tetap harus membayarkan fidyah tersebut dan menambah satu mud (kadar makanan satu hari untuk satu orang dg standar umum di daerah setempat) sebagai tebusan dari kelalaiannya membayarkan fidyah tadi. Adapun cara pelaksanaan membayar fidyah dengan memberi makan kepada satu orang miskin untuk satu hari puasa yang ditinggalkan. Namun tetap diingat, sebagaimana Imam Nawawi rahimahullah katakan, “Tidak sah apabila membayar fidyah dengan tepung yang sangat halus (sawiq), biji-bijian yang telah rusak. Tidak sah pula membayar fidyah dengan uang. Demikian dapat diterapkan dengan dua cara:
    1.    Memasak atau membuat makanan, kemudian memanggil orang miskin sejumlah hari-hari yang ditinggalkan selama bulan Ramadhan.
    1. Memberikan kepada orang miskin berupa makanan yang belum dimasak. Alangkah lebih sempurna lagi jika juga diberikan sesuatu untuk dijadikan lauk.
    Adapun golongan yang dikenakan bayar Fidyah (memberi makan satu orang fakir/miskin utk setiap hari puasa yg ditinggalkan dg kadar satu mud/ kadar makanan pokok utk satu org dalam satu hari) antara lain:.
    1. Orang yang sangat tua dan uzur tidak mampu untuk berpuasa
    2. Orang sakit yang tidak ada harapan untuk sembuh dan disebabkan sakitnya itu dia tidak mampu untuk berpuasa.
    3. Wanita hamil dan yang menyusui kerana kuatir membahayakan dirinya dan anaknya.
    4. Orang yang meninggalkan puasa, kemudian ia melengahkan qadha puasanya sampai datang Ramadhan berikutnya, sedangkan dia mampu untuk mengqodhoinya sebelum tiba Ramadhan berikutnya. (lihat: Ramadhan; Qadha dan Fidyah, dalam http://ituakujiya.blogdrive.com/archive/48.html dan Pembayaran Fidyah, dalam http://muslimah.or.id/fiqh-muslimah/pembayaran-fidyah.html).
    4. Gaji itu juga wajib dizakati ?

    Jawab: Merujuk pada berbagai sumber fiqh, hukum zakat gaji atau jasa, penghasilan, profesi tidak bergeser dari dua macam pandangan ulama, yaitu antara wajib dan tidak wajib. Masing-masing golongan ulama memberi argumentasi yang berbeda. Jika ditelusuri yang menjadi puncak perbedaan pendapat pada zakat gaji, profesi, jasa atau penghasilan antara lain adalah pada syarat haul, apakah diqiyaskan  kepada zakat emas  atau diqiyaskan kepada  zakat pertanian atau diqiyaskan kepada keduanya.

    Para ulama mazhab bukan menolak adanya zakat gaji juga bukan membolehkan untuk dipungut. Hanya saja tak pernah membahasnya secara rinci dalam kitab-kitab mereka. Masalahya karea hal itu belum menjadi sumber penghasilan utama dan sektor rill ketika itu.
    Sebagian ulama sekarang yang tidak mewajibkan zakat gaji atau profesi, alasannya,  tidak pernah dipraktikkan pada masa Rasulullah atau masa-masa awal pemerintahan Islam dan tidak ditemukan nash yang jelas secara khusus. Namun pandangan ulama ini jarang ditemukan dalam literatur-literatur fiqh.

    Sebaliknya pandangan sebagian ulama yang lain lebih cenderung mewajibkan zakat gaji/profesi dalam karya-karya mereka dengan melakukan berbagai cara istimbath.
    Berdasarkan nash umum (ummumul ayyah). Firman Allah swt (Q.S, Al- Baqarah: 267, dan al-Zariyat: 19), dapat dipahami oleh sebagian ulama sebagai zakat dari berbagai sumber penghasilan. Sayyid Qutub menjelaskan dalam menafsiri ayat 267 surat al-Baqarah, bahwa Zakat diwajibkan  dari semua jenis pendapatan (Tafsir Fi  Dhilalil Qur’an),. Demikian juga Al-Qurtubi, menafsiri kalimat " haqqum ma’lum"  dalam surat al-zariat ayat 19 diartikan sebagai  zakat dari semua penghasilan, (Tafsir al-Jami’ liahkamil Qur’an).

    Landasan zakat profesi dianalogikan kepada dua sifat qiyas. Pertama. tentang waktu pembayaran diqiyaskan kepada zakat pertanian, yaitu dibayarkan ketika mendapatkan hasilnya (panen). Kedua, nishab dan kadar zakatnya dianalogikan kepada zakat emas yaitu seharga  94 gram emas sedangkan kadar zakatnya sebesar 2,5 %. (lihat: Wajibkah Zakat Gaji?, dalam http://www.serambinews.com/news/view/24510/wajibkah-zakat-gaji)

    5. Teruz kalau almarhum ortu atao family kita punya hutang puasa or sholat tapi g tahu jumlahnya berapa, bagaimana caea membayar/mengqadhainya? Teruz kalau kita kelupaan mengqadhai puasa tersebut bagaimana?

    Jawab: Dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa orang yang meninggal dunia dan masih mempunyai hutang shalat dan puasa, boleh diwakili orangtuanya, anaknya, saudaranya atau keluarganya untuk membayar hutang shalat dan puasa tersebut.

    Ada juga yg berpendapat, tidak ada kewajiban bagi keluarganya atau ahli warisnya untuk mengqadha' shalat atau puasa wajib yg pernah ditinggalkan oleh si mayit.
    Ada juga yg berpendapat dengan diperinci, dengan mengatakan bahwa barangsiapa yang wafat dan punya hutang shalat, maka walinya (apalagi orang lain) tidak bisa mengqadha'nya. Begitu pula orang yang tidak mampu puasa, tidak boleh dipuasakan oleh anaknya selama dia hidup, tapi dia harus mengeluarkan makanan setiap harinya untuk seorang miskin, sebagaimana yang dilakukan sahabat Anas dalam satu atsar (periwayatan yg bersumber dari Sahabat Nabi).

    Namun barangsiapa yang wafat dalam keadaan mempunyai hutang puasa nadzar (sebuah janji untuk melakukan suatu kebaikan yg dihubungkan dg akan keberhasian seseorang dalam meraih sesuatu yg direncanakan atau diharapkan), maka harus dipuasakan oleh walinya berdasarkan sabda Rasulullah SAW: "Barangsiapa yang wafat dan mempunyai hutang puasa nadzar hendaknya diganti oleh walinya" [Bukhari: 4/168, Muslim: 1147].

    Dan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata : "Datang seseorang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian berkata : "Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku wafat dan dia punya hutang puasa setahun, apakah aku harus membayarnya?" Rasulullah saw. menjawab : "iya, hutang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar" [Bukhari: 4/168, Muslim: 1148].

    Hadits-hadits umum ini menegaskan disyariatkannya seorang wali untuk puasa (mempuasakan) mayit dengan seluruh macam puasa, demikian pendapat sebagian Syafi'iyah dan madzhabnya Ibnu Hazm (7/2,8).

    Tetapi hadits-hadits umum ini dikhususkan, seorang wali tidak puasa untuk mayit kecuali dalam puasa nadzar, demikian pendapat Imam Ahmad seperti yang terdapat dalam Masa'il Imam Ahmad riwayat Abu Dawud hal. 96 dia berkata : Aku mendengar Ahmad bin Hambal berkata : "Tidak berpuasa atas mayit kecuali puasa nadzar". Abu Dawud berkata, "Puasa Ramadhan ?". Beliau menjawab, "Memberi makan".
     
    6. Nah,ini yg sering kejadian, ketika puasa, sudah berbuka, teruz baru ketahuan kalau dia haid, ya kira2 baru minum teruz dia m0 sholat,  pas habis buang air kecil dan bersuci, ternyata dia temui dirinya haidh dan sudah keluar lumayan banyak darahnya. Nah puasa hari itu sah g?

    Jawab: Jika permasalahan seperti tersebut di atas, maka dikembalikan pada keyakinan orang yg bersangkutan. Jika dia yakin darah yang keluar itu setelah adzan atau bertepatan dengan adzan maghrib, maka puasa hari itu dianggah sah. Tapi jika dia meyakini darahnya keluar sebelum adzan maghrib, maka puasa hari itu dihukumi tidak sah, karena dia sudah dihukumi sebagai orang yang sedang haid dalam waktu-waktu puasa (dari masuknya waktu subuh sampai masuknya waktu maghrib). Demikian itu didasarkan pada kaedah fikih "Al Yaqien la yuzaalu bil asysyakk" (keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan), atau kaedah fikih "al ashlu baqo-u ma kaana 'ala ma kaana" (asal hukum sesuatu itu tergantung pada asal keberadaan sebelumnya). Jika sebelumnya dalam kondisi suci dan puasa, kemudian dating darah haid, tapi tidak diketahui dengan pasti kapan keluarnya, sedangkan yg bersangkutan sudah dalam keadaan berbuka puasa, maka posisi dia dikembalikan pada sebelum darah haid keluar, yakni dalam kondisi suci dan berpuasa. Dengan kata lain puasanya masih dihukumi puasa yg sah. (lihat: Al Asybah wa al nadhoir. Karya al Imam al Suyuthi).
    Demikian yg bias saya sampaikan. Bagi setiap pembaca jika menemukan jawaban yg salah, atau mempunyai jawaban or komentar, dipersilahkan untuk sharing di sini. Semoga bermanfaatd dan dijadikan catatan amal ibadah.

0 comments:

Leave a Reply

Monggo dikomentari ...