• Lailaitul Qadar Lentera Masa Depan

    LAILAT AL QADR
    LENTERA MASA DEPAN
    By: Anas Mas’udi El Malawi


    Bulan Ramadhan merupakan bulan yang suci bagi umat Islam. Di dalamnya terkandung banyak cahaya yg bisa diraih oleh setiap orang yang mampu memanfaatkan moment tersebut dengan sebaik-baiknya. Di bulan inilah al Qur’an yg menjadi a way of life dalam kehidupan dunia dan akherat bagi semua insan diturunkan oleh Allah Sang Pencipta jagat raya. Di mana peristiwa tersebut kita kenal dengan istilah Nuzul al Qur’an (turunnya al Qur’an) yang terjadi pada malam 17 bulan Ramadhan. Namun al Qur’an menyebutnya dengan Lailat al Qadr. Lantas bagaimana kita memahami dua istilah bagi turunnya al Qur’an tersebut? Apakah Nuzul al Qur’an itu berarti Lailat al Qadar? atau masing-masing mempunyai arti dan maksud yang berbeda?.....
    Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus memahami masing-masing arti kedua istilah tadi. Kemudian kita coba gabungkan dua pengertian tersebut. Jika ternyata ada persamaan dan perbedaan dalam pengartiannya berarti di sana ada kemungkinan dua istilah tersebut mempunyai maksud yang sama, hanya saja istilahnya yg berbeda. Pun tidak menutup kemungkinan kedua istilah tadi memang benar-benar berbeda istilah dan maksudnya, hanya saja mungkin dalam sebagian pengertian harfiyahnya (etimologi) atau istilahiyahnya (terminologi) ada yg sama.

    Apa Makna Lailat Al Qadr?
    Untuk memahami makna Lailat al Qadar. kita tidak terlepas dari surah al-Qadr yang merupakan surah ke-97 menurut urutannya di dalam Mushaf (al qur’an). Ia ditempatkan sesudah surah Iqra'. Para ulama Al-Quran menyatakan bahwa ia turun jauh sesudah turunnya surah Iqra'. Bahkan, sebagian di antara mereka menyatakan bahwa surah Al-Qadr turun setelah Nabi Muhammad saw. berhijrah ke Madinah. Penempatan dan perurutan surah dalam Al-Quran dilakukan langsung atas perintah Allah SWT, dan dari urutannya ditemukan keserasian-keserasian yang mengagumkan.
    Kalau dalam surah Iqra', Nabi saw. diperintahkan (demikian pula kaum Muslim) untuk membaca dan yang dibaca itu antara lain adalah Al-Quran, maka wajarlah jika surah sesudahnya -yakni surah Al-Qadr ini- berbicara tentang turunnya Al-Quran dan kemuliaan malam yang terpilih sebagai malam Nuzul Al-Qur'an (turunnya Al-Quran).
    Kembali kepada pertanyaan semula, apa arti Lailat al-Qadr dan mengapa malam itu dinamai demikian? Di sana ditemukan berbagai jawaban. Kata al qadr sendiri paling tidak digunakan untuk tiga arti:
    Penetapan dan pengaturan, sehingga Lailat Al-Qadr dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia. Pendapat ini dikuatkan oleh penganutnya dengan firman Allah pada (QS. 44: 3) malam yang penuh berkah di mana dijelaskan atau ditetapkan segala urusan besar dengan penuh kebijaksanaan. Ada ulama yang memahami “penetapan” itu dalam batas setahun. Al-Quran yang turun pada malam Lailat Al-Qadr diartikan bahwa pada malam itu Allah SWT mengatur dan menetapkan khiththah (garis-garis besar haluan kehidupan) dan strategi bagi Nabi-Nya, Muhammad saw., guna mengajak manusia kepada agama yang benar yang pada akhirnya akan menetapkan perjalanan sejarah umat manusia, baik sebagai individu maupun kelompok.
    Kemuliaan, yakni malam tersebut adalah malam mulia yang tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya Al-Quran serta karena ia menjadi titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih. Kata al qadr yang berarti mulia ditemukan dalam ayat ke-91 surah Al-An'am yang berbicara tentang kaum musyrik: “Maa qadarullaha haqqa qadrihi idz qaalu maa anzalallahu 'alaa basyarin min syay'i” (Mereka itu tidak memuliakan Allah sebagaimana kemuliaan yang semestinya, tatkala mereka berkata bahwa Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia).
    Sempit, yakni malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surah Al-Qadr: “Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan”. Kata al qadr yang berarti sempit digunakan oleh Al-Quran antara lain dalam ayat ke-26 surah Al-Ra'd: “Allah yabsuthu al-rizqa liman yasya' wa yaqdiru” (Allah melapangkan rezeki bagi yang dikehendaki dan mempersempitnya [bagi yang dikehendaki-Nya).

    Ketiga arti tersebut -pada hakikatnya- dapat menjadi benar, karena bukankah malam tersebut adalah malam mulia, yang bila dapat diraih maka ia dapat menetapkan masa depan manusia, dan bahwa pada malam itu malaikat-malaikat turun ke bumi membawa kedamaian dan ketenangan?
    Adapun Nuzul al Quran, secara etimologi terdiri dari dua kata “Nuzul” dan “Al Qur’an” . Kata “Nuzul” diambil dari bahasa Arab “nazala-yanzilu-nuzuulan” yang artinya “turun” dan “Al Qur’an” berarti kalamullah yang diturunkan pada nabi Muhammad saw. Saat beliau beruasia 41 tahun.
    Jadi, “Nuzul al Qur’an” adalah turunnya al Qur’an, yakni hari ditrunkannya al Qur’an. Di mana telah diketahui bersama bahwa turunnya al Qur’an tersebut pada malam ke 17 dari bulan ramadhan secara berangsur-angsur selama 22 tahun, 2 bulan, 22 hari, mulai tanggal 17 Ramadhan tahun 1 kenabian sampai tanggal 9 Dzul Hijjah pada waktu haji akbar tahun 10 H., dengan wahyu pertama surat “Iqra’” (QS. Al ‘Alaq: 1-5) dan wahyu terahir surat al Ma’idah: 3. Dengan perincian 12 tahun, 5 bulan 13 hari diturunkan di Makkah al Mukarramah, dari tanggal 17 bulan Ramadhan tahun 1 kenabian (tahun ke 41 dari usia Rasul saw.) sampai awal Rabi’ul Awal tahun ke 13 kenabian, dan 9 tahun, 9 bulan, 9 hari diturunkan di Madinah al Munawwarah, dari awal R. Awal tahun ke 13 kenabian sampai 9 Dz. Hujjah tahun ke 10 H. (tahun ke 63 dari usia Rasul saw.). Dengan kata lain, kurang-lebih 63,33%-nya al Quran yg berjumlah 30 juz diturunkan di Makkah al Mukarramah dan 36,67%-nya diturunkan di Madinah al Munawwarah[1].
    Dari sini dapat dipahami bahwa Nuzul al Qur’an dan Lailat al Qadr merupakan dua istilah bagi satu rangkaian peristiwa bersejarah dalam dunia Islam, yakni malam agung diturunkannya kitab suci al Qur’an pada bulan ramadhan yang suci. Maka, sudah sepantasnya bagi mereka yang berpuasa di bulan Ramadhan dan memperbanyak membaca al Qur’an disebut orang yang kembali pada kesuciannya (fitrahnya) semula, setelah selesai dari puasanya sebulan, yakni ketika dating hara raya Ied al fitri (hari kembalinya kesucian). Hingga mereka berseru “Minal ‘Aidiin wal Faiziin” (semoga termasuk orang-orang yang kembali pada fitrahnya dan orang-orang yg beruntung dengan kesucian tersebut).

    Apa, Bagaimana dan Kapan Lailat al Qadr?
    Bulan Ramadhan memiliki sekian banyak keistimewaan. Salah satu di antaranya adalah Lailat al-Qadr. Tetapi, apa dan bagaimana malam itu? Apakah ia terjadi sekali saja, yakni pada malam ketika turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu? Atau terjadi setiap bulan Ramadhan sepanjang sejarah? Bagaimana pula kedatangannya? Apakah setiap orang yang menantinya pasti akan mendapatkannya? Benarkah ada tanda-tanda fisik material (yang bisa dipanca-indera) yang menyertai kehadirannya (seperti membekunya air, heningnya malam dan menunduknya pepohonan, dan lain sebagainya)? Masih banyak lagi pertanyaan yang dapat dan sering muncul berkaitan dengan Lailat al-Qadr itu.
    Yang pasti, dan ini harus diimani oleh setiap Muslim berdasarkan pernyataan Al-Quran, bahwa Ada suatu malam yang bernama Lailat al-Qadr (lihat QS 97:1) dan bahwa malam itu adalah malam yang penuh berkah di mana dijelaskan atau ditetapkan segala urusan besar dengan penuh kebijaksanaan (lihat QS 44:3). Di mana malam tersebut terjadi pada bulan Ramadhan, karena kitab suci al qur’an menginformasikan bahwa ia diturunkan oleh Allah pada bulan Ramadhan (QS 2:185) serta pada malam Al-Qadr (QS 97:1). Malam tersebut adalah malam mulia, tidak mudah diketahui betapa besar kemuliaannya. Ini diisyaratkan oleh adanya "pertanyaan" dalam bentuk pengagungan, yaitu “Wa maa adraaka maa lailat al-Qadr”.
    Sebanyak tiga belas kali kalimat “wa maa adraaka” terulang dalam Al-Quran. Sepuluh di antaranya mempertanyakan tentang kehebatan yang terkait dengan hari kemudian, seperti wa maa adraaka maa yaumul fashl, wa maa adraaka mal haaqqah, wa maa adraaka maa ‘illiyyun, dst. Kesemuanya itu merupakan hal yang tidak mudah dijangkau oleh akal pikiran manusia, kalau enggan berkata mustahil dijangkaunya. Dari ketiga belas kali wa maa adraaka itu terdapat ayat yang mengatakan: wa maa adraaka math thaariq, wa maa adraaka mal ‘aqabah, dan wa maa adraaka maa lailat al-qadr.
    Kalau dilihat, pemakaian Al-Quran tentang hal-hal yang menjadi objek pertanyaan, maka kesemuanya adalah hal-hal yang sangat hebat dan sulit dijangkau hakikatnya secara sempurna oleh akal pikiran manusia. Hal ini tentunya termasuk Lailat Al-Qadr yang menjadi pokok bahasan kita, kali ini.
    Walaupun demikian, sebagian ulama membedakan antara pertanyaan maa adraaka dan maa yudriika yang juga digunakan oleh Al-Quran dalam tiga ayat: “Wa maa yudriika la'allas saa'ata takunu qariban” (Al-Ahzab: 63), “Wa maa yudriika la'allas sa'ata qariib ...” (Al-Syura:17), “Wa maa yudriika la‘allahuu yazzakkaa” (‘Abasa: 3). Ada dua hal yang dipertanyakan dari ungkapan wa maa yudriika adalah pertama menyangkut waktu kedatangan hari kiamat dan kedua apa yang berkaitan dengan kesucian jiwa manusia.
    Secara gamblang, Al-Quran -demikian pula Al-Sunnah- menyatakan bahwa Nabi saw. tidak mengetahui kapan datangnya hari kiamat dan tidak pula mengetahui tentang yang gaib. Ini berarti bahwa wa maa yudriika digunakan oleh Al-Quran untuk hal-hal yang tidak mungkin diketahui walaupun oleh Nabi saw. sendiri. Sedangkan wa maa adraaka, walaupun berupa pertanyaan, namun pada akhirnya Allah SWT menyampaikannya kepada Nabi saw., sehingga informasi lanjutannya dapat diperoleh dari beliau. Itu semua berarti bahwa persoalan Lailat al-Qadr harus dirujuk kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw., karena di sanalah dapat diperoleh informasinya
    Dari Al-Quran kita menemukan penjelasan bahwa wahyu-wahyu Allah itu diturunkan pada Lailat al-Qadr, tetapi karena umat sepakat mempercayai bahwa Al-Quran telah sempurna dan tidak ada lagi wahyu setelah wafatnya Nabi Muhammad saw., maka atas dasar logika itu, ada yang berpendapat bahwa malam mulia itu sudah tidak akan hadir lagi. Kemuliaan yang diperoleh oleh malam tersebut adalah karena ia terpilih menjadi waktu turunnya Al-Quran. Pakar hadis, Ibnu Hajar, menyebutkan satu riwayat dari penganut paham di atas yang menyatakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda bahwa malam qadr sudah tidak akan datang lagi.
    Pendapat tersebut ditolak oleh mayoritas ulama dengan berpegang pada teks ayat Al-Quran serta sekian banyak teks hadis yang menunjukkan bahwa Lailat al-Qadr terjadi pada setiap bulan Ramadhan. Bahkan, Rasul saw. menganjurkan umatnya untuk mempersiapkan jiwanya masing-masing untuk menyambut malam mulia itu secara khusus pada malam-malam ganjil setelah berlalu dua puluh hari Ramadhan. Sebagaimana sabda beliau: “.....maka barang siapa yang ingin memperolehnya (lailat al qadr), hendaklah ia mencarinya di tujuh hari terahir (bulan Ramadhan)”. (HR. Bukhari-Muslim) dan dalam hadits lain, ‘Aisyah ra. menceritakan perihal Rasul saw. Ia berkata: “(dulu) Rasulullah saw jika masuk 10 hari –yg terahir dari Ramadhan- beliau mengencangkan mi’zarnya (pakaian penutup badan bagian bawah/ sejenis sarung;sekarang), menghidupi malamnya (tidak tidur untuk ibadah) dan membangunkan isterinya”. (HR. Bukhari-Muslim)
    Memang, turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu terjadi pada malam Lailat Al-Qadr, tetapi itu bukan berarti bahwa malam mulia itu hadir pada saat itu saja. Ini juga berarti bahwa kemuliaannya bukan hanya disebabkan karena Al-Quran ketika itu turun, tetapi karena adanya faktor intern pada malam itu sendiri. Pendapat tersebut dikuatkan juga dengan penggunaan bentuk kata kerja mudhari' (present tense) pada ayat, “Tanazzalul mala'ikatu wa al-ruh”, kata “Tanazzau[2]l” adalah bentuk yang mengandung arti kesinambungan, atau terjadinya sesuatu pada masa kini dan masa datang.
    Namun, apakah jika Lailat al Qadr hadir, ia akan menemui setiap orang yang terjaga (tidak tidur) pada malam kehadirannya itu? Tidak sedikit umat Islam yang menduganya demikian. Akan tetapi, dugaan itu -hemat penulis- kurang tepat, karena itu dapat berarti bahwa yang memperoleh keistimewaan adalah yang terjaga baik mereka yang terjaga karena untuk menyambutnya maupun tidak. Di sisi lain, kehadirannya ditandai oleh hal-hal yang bersifat fisik material. Sedangkan riwayat-riwayat demikian tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya. Dan seandainya, ada tanda-tanda fisik material, maka itu pun tidak akan ditemui oleh orang-orang yang tidak mempersiapkan diri dan menyucikan jiwa guna menyambutnya. Sebagaimana Air dan minyak tidak mungkin akan menyatu dan bertemu. Pun Kebaikan dan kemuliaan yang dihadirkan oleh Lailat al-Qadr tidak mungkin akan diraih kecuali oleh orang-orang tertentu saja. Sebagaimana tamu agung yang berkunjung ke satu tempat, tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun setiap orang di tempat itu mendambakannya. Bukankah ada orang yang sangat rindu atas kedatangan kekasih, namun ternyata sang kekasih tidak sudi mampir menemuinya?
    Demikian juga dengan Lailat al-Qadr. Itulah sebabnya bulan Ramadhan menjadi bulan kehadirannya, karena bulan ini adalah bulan penyucian jiwa dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga oleh Rasul datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Karena, ketika itu, diharapkan jiwa manusia yang berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai satu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu berkenan mampir menemuinya. Dan itu pula sebabnya Rasul saw. menganjurkan sekaligus mempraktekkan i'tikaf (berdiam diri dan merenung di masjid) pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan.
    Apabila jiwa telah siap, kesadaran telah mulai bersemi, dan Lailat al-Qadr datang menemui seseorang, ketika itu malam kehadirannya menjadi “malam qadr” baginya, yakni saat yang menentukan bagi perjalanan sejarah hidupnya pada masa-masa mendatang. Saat itu, bagi yang bersangkutan adalah saat yang sangat urgent dan interest guna meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan di akhirat kelak, dan sejak saat itu, malaikat akan turun guna menyertai dan membimbingnya menuju kebaikan sampai terbit fajar kehidupannya yang baru kelak di hari kemudian. (Perhatikan kembali makna-makna Al-Qadr yang dikemukakan di atas!).
    Syaikh Muhammad 'Abduh pernah menjelaskan pandangan Imam al-Ghazali tentang kehadiran malaikat dalam diri manusia..Ia memberikan ilustrasi berikut: "Setiap orang dapat merasakan bahwa dalam jiwanya ada dua macam bisikan, yaitu bisikan baik dan buruk. Manusia seringkali merasakan pertarungan antara keduanya, seakan apa yang terlintas dalam pikirannya ketika itu sedang diajukan ke satu sidang pengadilan. Yang ini menerima dan yang itu menolak, atau yang ini berkata lakukan dan yang itu mencegah, demikian halnya sampai pada akhirnya sidang memutuskan sesuatu. Yang membisikkan kebaikan adalah malaikat, sedangkan yang membisikkan keburukan adalah setan atau paling tidak penyebab adanya bisikan tersebut adalah malaikat atau setan. Nah, turunnya malaikat, pada malam Lailat Al-Qadr, menemui orang yang mempersiapkan diri menyambutnya berarti bahwa ia akan selalu disertai oleh malaikat sehingga jiwanya selalu terdorong untuk melakukan kebaikan-kebaikan. Jiwanya akan selalu merasakan salam (rasa aman dan damai) yang tidak terbatas sampai fajar malam Lailat Al-Qadr, tetapi sampai akhir hayat menuju fajar kehidupan baru di hari kemudian kelak.".

    Apa dan Bagaimana Menyambut Lailat al Qadr?
    Di atas telah dikemukakan bahwa Nabi saw., menganjurkan sambil mengamalkan i 'tikaf (berdiam untuk ibadah) di masjid dalam rangka perenungan dan penyucian jiwa. Di mana masjid merupakan tempat suci, tempat segala aktivitas kebajikan bermula. Di masjid, seseorang diharapkan merenung tentang diri dan masyarakatnya. Pun di masjid, seseorang dapat menghindar dari hiruk-pikuk yang menyesakkan jiwa dan pikiran guna memperoleh tambahan pengetahuan dan pengayaan iman. Itulah sebabnya ketika melakukan i'tikaf, seseorang dianjurkan untuk memperbanyak doa dan bacaan Al-Quran, atau bahkan bacaan-bacaan lain yang dapat memperkaya iman dan ketakwaan.
    Malam Al-Qadr, yang ditemui atau yang menemui Nabi pertama kali adalah ketika beliau menyendiri di Gua Hira, merenung tentang diri beliau dan masyarakat. Ketika jiwa beliau telah mencapai kesuciannya, turunlah Al-Ruh (Jibril) membawa ajaran dan membimbing beliau sehingga terjadilah perubahan total dalam perjalanan hidup beliau bahkan perjalanan hidup umat manusia.
    Dalam rangka menyambut kehadiran Lailat Al-Qadr yang beliau ajarkan kepada umatnya, antara lain, adalah melakukan i'tikaf. Walaupun i'tikaf dapat dilakukan kapan saja dan dalam waktu berapa lama saja, -bahkan dalam pandangan Imam Syafi'I; walaupun hanya sesaat asal dibarengi oleh niat yang suci-. Namun, Nabi saw. selalu melakukannya pada sepuluh hari dan malam terakhir bulan puasa. Di sanalah beliau bertadarus dan merenung sambil berdoa. Sebagaiamana dalam hadis yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra.: “Sesungguhnya Nabi saw. (pernah) beri’tikaf pada sepuluh hari terahir dari bulan Ramadhan sampai Allah ‘Azza wa Jalla menjemput ajalnya. Kemudian setelah itu para isterinya (juga) beri’tikaf”. (HR. Bukhari-Muslim).
    Salah satu doa yang paling sering beliau baca dan hayati maknanya adalah: “Rabbanaa Aatinaa fid Dunyaa Hasanah, wa fil Aakhirati Hasanah wa Qinaa 'Adzaaban Naar” (Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka). Doa ini bukan sekedar berarti permohonan untuk memperoleh kebajikan dunia dan kebajikan akhirat, tetapi lebih-lebih lagi bertujuan untuk memantapkan langkah dalam berupaya meraih kebajikan yang dimaksud, karena doa ini mengandung arti permohonan yang disertai usaha. Permohonan itu juga berarti upaya untuk menjadikan kebajikan dan kebahagiaan yang diperoleh dalam kehidupan dunia ini, tidak hanya terbatas dampaknya di dunia, tetapi berlanjut hingga hari kemudian kelak.
    Diriwayatkan dari ‘Aisyah. Ia berkata: “Saya bertanya: Ya Rasulallah! Apa pendapat baginda jika saya tahu kapan malam Lailat al Qadr itu? Apa yang akan saya baca di dalamnya? Beliau menjawab: Bacalah! Allahumma Innaka ‘Afuwwun Tuhibbul ‘Afwa Fa’fu ‘Anni”. (HR. Lima Perawi kecuali Abi Dawud dan disahihkan oleh turmudzi dan al hakim).

    Apa Faktor Kemuliaan Lailat al Qadr?
    Kalau ada yang mempertanyakan, kenapa "Lailatal Qadr" itu lebih baik dari seribu bulan? Apa dasar dan alasannya? Apakah ada kwalitas yang dimiliki secara khusus tanpa malam yang lain? Apakah "khairiyah / imtiyaz" (kebaikan / keistimewaan) malam tersebut karena malam (sebuah potongan masa) itu sendiri? Ataukah karena Muslimnya yang sedang beribadah pada malam itu? Atau sebenarnya karena apa?
    Beragam respon yang diberikan oleh kaum Muslimin. Sebagian besar, diantaranya, menilai bahwa "keistimewaan" malam itu adalah karena malamnya tersebut. Sehingga malam itu dijadikan (seolah) malam yang disucikan secara khusus, yang memiliki tanda-tanda lahir misalnya malamnya sejuk dengan terpahan angin lembut, langit di malam itu hampir tidak berawan dengan bulan yang terang benderang. Demikian juga di pagi harinya, tiba-tiba saja mentari terang benderang hampir tak terhalangi oleh sedikit awan pun.
    Sebagian lain menilai, keistimewaan malam itu dikarenakan bahwa beribadah pada malamnya akan menghasilkan pahala senilai ibadah selama seribu bulan lebih (83 tahun, 3 bulan lebih sedikit) dibanding ibadah pada malam-malam yang lain. Oleh karena itu, sebagian umat yang menafsirkan demikian, berusaha untuk beribadah sebanyak-banyaknya dan sekaligus cenderung mengkalkulasi secara matematis "nilai" pahala yang dijanjikan oleh Allah SWT. Dengan kata lain, sebagian umat ini cenderung bersikap materialistis dalam menyikapi malam al Qadr ini. Akibatnya, dengan merasa telah mendapatkan "Lailaat al Qadr", cukuplah kiranya ibadah perbekalan untuk menuju akherat. Toh, kalau dihitung-hitung ke depan tidak mungkin lagi hidup seribu bulan untuk menyamai satu malam tersebut. Maka selepas Ramadhan, ia merasa ringan untuk meninggalkan kewajiban dan itu tidak menjadi masalah baginya, karena semua itu telah tertutupi oleh ibadah semalam (lailatul Qadr) tadi.
    Bukanlah masalah jika memang cenderung dinilai demikian (secara matematis). Bukankah disunnahkannya "I'tikaf" di sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan juga memang terkait dengan upaya mengoptimalkan ibadah pada malam-malam yang dianggap kemungkinan besar jatuhnya "Malam Besar" itu. Seorang Muslim termotivasi untuk melakukan ibadah sebanyak-banyaknya merupakan hidayah tersendiri. Sebab memang aneh, jika di awal-awal Ramadhan masjid pada ramai, tapi di penghujung Ramadhan justeru yang datang hanya segelintir orang. Padahal, sebaik-baik nilai amalan itu adalah "khawatimuha" (penutupnya). Beribadah secara maksimal di akhir-akhir Ramadan bisa jadi merupakan indikasi "Husnul Khaatimah" Ramadhan itu sendiri bagi seseorang.
    Hanya saja, sangat disayangkan kalau kehebatan malam itu hanya terbatas pada jumlah dan bentuk ibadah-ibadah yang kita persembahkan. Apalagi kalau penilaian kita dibatasi oleh malam, dalam arti sepotong masa dari bulan ini sendiri. Demikian karena sesungguhnya Allah Maha Adil, tidak pernah membedakan antara waktu-waktu yang ada, semuanya tergantung pemanfaatannya saja.
    Dan yang perlu diingat adalah bahwa setiap hari masing-masing Muslim mempunyai kewajiban sendiri, baik kewajiban syar’I maupun non syar’I (norma & social). Kewajiban kemarin, bukanlah kewajiban hari ini. Kewajiban hari ini tidak pula kewajiban hari esok. Hari esok ada kewajiban tersendiri yang tidak bisa diganti dengan satu amalan lain, sekalipun ia mempunyai nilai kebaikan yang melebihi ketetapan batas usianya, sperti amalan di Lailat al Qadr.
    Untuk itu, maksimalisasi "Lailat al Qadr", justeru tidak terletak pada jumlah dan bentuk ibadah-ibadah yang kita lakukan. Maksimalisasi "Kekuatan Malam" itu justeru terletak pada ayat pertama dari surah Al Qadr: "Sungguh Kami telah turunkan pada malam Al Qadr".
    Sebenarnya, kalau dikembalikan pada urutan-urutan pertanyaan tadi: "Dan tahukah kamu apa Lailat al Qadr itu? Lailat al Qadr itu lebih baik dari seribu bulan". Lalu pertanyaan yang timbul kemudian: "kenapa kiranya malam itu lebih baik dari seribu bulan?". Jawaban yang –insyaallah- tepat adalah karena "Sungguh Kami menurunkan al Qur'an pada Malam Al Qadr itu". Artinya, keistimewaan malam itu sangat erat terkait dengan diturunkannya sebuah Kitab yang sangat istimewa (Al Qur'an). Itulah sebabnya, Allah menyebutkan: "Sungguh Kami turunkan (al Qur'an) pada malam yang diberkahi" (Ad-Dukhaan: 3). Sekali lagi, Allah mengaitkan "keberkahan" malam itu dengan diturunkannya Kitab yang membawa berkah (al Qur'an).
    Dengan demikian, kehebatan / kekuatan / keunikan / keistimewaan / kelebihan Lailat al Qadr tidak lain karena terkait dengan kehebatan / kekuatan / keunikan / keistimewaan / kelebihan yang ada pada "al munazzal" (yang diturunkan; al Qur'an) pada malam itu.
    Dengan demikian, sesungguhnya kalaulah kita ingin meraih malam yang jauh lebih baik dari seribu bulan itu, sebaiknya selain diperbanyak amalan-amalan ibadah, juga sangat penting untuk dipergunakan untuk "mentadabburi" (merenungi) ayat-ayat Ilahi yang datang pada malam itu dan menjadikan malam itu menjadi malam yang sangat istimewa. Satu malam yang dipergunakan untuk merefleksikan "hidayah" Allah, dihayati, dimengerti dengan komitmen diamalkan. Demikian itu tentu jauh lebih baik dari sekedar shalat-shalat sunnah yang terkadang bertujuan menghitung-hitung pahala semata. Kehidupan semalam dengan naungan "petunjuk" sebagai bekal dalam menggapai sisa-sisa kehidupan ke depan, jauh lebih baik dari kehidupan seribu bulan lagi atau sekitar 84 tahun, namun jauh dari hidayah-Nya Allah SWT. Karena nilai hidup manusia bukan pendek dan panjangnya, tapi ditentukan oleh nilai "kesadaran” akan kebesaran Ilahi (taqwa) yang dimiliki seseorang.

    Penutup
    Demikianlah yg dapat penulis uraikan. Suatu kajian ilmiah yang dapat memotivasi kita untuk senantiasa berusaha meningkatkan keimanan dan ketaqwaan dalam hati dengan men-tadabbur-i ayat-ayat Allah yang tersurat. Kemudian berupaya memahami pesan-pesanNya lewat ayat-ayat keaguanganNya yang tersirat untuk kemudian diaplikasikan dalam perjalanan hidup di dunia yang fana menuju aherat yang baka.
    Semoga Allah swt. senantiasa memberi hidayah dan kekuataan dhahir-batin pada kita untuk menjalankan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya, kususnya di bulan Ramadhan yang suci penuh dengan barakah, rahmah dan ampunan ini. Hingga kita bisa menjalankan ibadah puasa dengan sebaik-sebaiknya sesuai dengan ajaran dan tuntunan Rasulullah saw dan bisa mempersiapkan diri (dhahir-batin) untuk menyambut datangnya “Lailat al Qadr”, suatu malam yang sangat mulia yang hanya ditemui oleh orang-orang yg bersih nan suci jiwa dan raganya. Mudah-mudahan kita termasuk golongan orang-orang tersebut, amiiin.
    .
    Refrensi.
    1. Al Qur’an al Karim.
    2. Subulus Salam, Syarkh Bulugh al Maram min Jam’I Adillat al Ahkam. Al Imam Muhammad Ibn Ismail al Amir al Yamani al Shan’ani. Jld 1. Kuliah Dakwah Islamiah. Tripoli-Libya.
    3. Tarikh al Tasyri’ al Islami. Al Syekh Muhammad al Khudhari Biek. Kuliah dakwah Islamiah. Tripoli-Tripoli.
    4. Syarkh Ibn Aqil ‘ala Alfiyat Ibn Malik. Jld II. Kuliah Dakwak Islamiah. Tripoloi-Libya.
    5. Kumpulan artikel tentang puasa Ramadhan dan Lailat al Qadr.
    [1] Tarikh al Tasyri’ al Islami. Al Syekh Muhammad al Khudhari Bik. Kuliah dakwah Islamiah. Tripoli-Libya
    [2] “Tanazzalu” asalnya adalah “tatanazzalu”. Salah satu huruf ta’-nya dibuang untuk meringankan bacaan. Lihat “Syarkh ibn Aqil ‘Ala Alfiyat Ibn Malik”. Jld 2. hlm 260.Kuliah Dakwah Islamiah. Trip0li-Libya

2 comments:

  1. El Malawi says:

    mas...emangnya lailatul qadr tu sama dengan nuzul al qur'an? sengetahuan saya dua istilah tu serupa namun tak sama. Maksudnya serupa adalah sama2 sebagai malam turunnya al qur'an dan tak sama adalah kalau nuzulul al qur'an tu kusus untuk istilah pertama kali turunnya al qur'an dan bisa juga disebut lailatul qadr. namun Lailatul qadr tidak bisa disebut nuzul al qur'an

  1. El Malawi says:

    memang yang aku maksud dalam tulisnku ya sebenarnya sepertu tu. Hanya saja tulisan tersebut keburu aku publikasikan dan belum sempat ngedit ulang lagi

Leave a Reply

Monggo dikomentari ...