• MENYIKAPI PERMASALAHAN DAN MUSIBAH DENGAN AKIDAH

    MENYIKAPI PERMASALAHAN DAN MUSIBAH DENGAN AKIDAH

    Dalam Persepsi Paham Asy’ariyah

    By: Anas El Malawy

    "Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun, Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?" (QS. Al Mulk: 1-4)

    Prolog

    Musibah dan bencana diberikan oleh Allah agar manusia kembali sadar dari segala kelalaian-nya sebagaimana dalam firmanNya: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka bermohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri”. (QS. 6:42) dan firmanNya juga: “Kami tidaklah mengutus seseorang Nabipun kepada suatu negeri, (lalu penduduknya mendustakan nabi itu), melainkan Kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya mereka tunduk dan merendahkan diri”. (QS. 7:94)

    Musibah Dalam Realita

    Sejak tahun 1997 hingga hari ini, bangsa kita merasakan bertubi-tubi. Ujian, derita dan cobaan menimpa bumi negara kita. Hampir semua orang ingat dengan program pembangunan lima tahun (PELITA) para pemimpin bangsa yang memprediksikan bahwa setelah 6 tahap pelita kita sudah TINGGAL LANDAS, setidaknya kita memiliki fondasi untuk membangun diri sebagai bangsa yang memiliki kemampuan yang sejajar dengan negara-negara maju.

    Namun tiba-tiba musibah dan bencana, baik yang bersifat bencana moral-sosial dan bencana alam tiba-tiba bertubi-tubi mendera bangsa. Walhasil cita-cita yang telah dicanangkan dengan begitu rapi dan bagus telah sia-sia, bagaikan peribahasa “hujan sehari menghapus panas setahun”. (lihat articel: Usaha Batin Menghentikan Musibah di Negriku Indonesia. By: Abdullah)
    Kita perlu mengingat ulang bahwa di awal-awal tahap Pelita, kita sering mendengar kebijaksanaan para pemimpin, dengan melarang siaran-siaran iklan di media TV, dengan tujuan agar rakyat Indonesia tidak terjerumus pada kehidupan konsumerisme. Demikian pula sering terdengar kata-kata bijak pemimpin, yang menghimbau rakyat agar mau mengencangkan ikat pinggang.

    Di jaman-jaman awal-awal tahap Pelita, sering sekali masyarakat awam dilibatkan secara langsung untuk mengeluarkan dari sakunya sendiri-sendiri dan kemudian mengumpulkan dana untuk membantu berbagai musibah yang terjadi, baik dalam skala nasional atau bahkan dalam skala internasional. Sifat kepedulian sosial dan kebersamaan terasa lebih menyentuh dan lebih wujud dalam nafas berbangsa.
    Musibah-musibah moral-sosial lebih sulit dirasakan dibandingkan dengan musibah alam. Dan sebenarnya musibah-musibah alam sering didatangkan Allah ke dalam kehidupan umat manusia untuk menjadi sarana memperbaiki kerusakan moral-sosial umat manusia.

    Dengan musibah yang terjadi secara beruntun, dan berturut-turut sejak th 1997, Allah memberi kepada kita peringatan agar kita mau melihat kesalahan-kesalahan yang kita perbuat, dan segera mengoreksi diri dan memperbaiki diri.
    Namun sayang dengan banyaknya pemancar televisi hiburan di negeri kita, berbagai musibah timbul hanya sebatas komoditi berita, peran siaran televisi sangat besar dalam membantu para korban, namun sayang di satu pemancar memberitakan penderitaan, sedang pemancar yang lain penyiarkan tentang hiburan hingar-bingar.

    Sehingga kesedihan yang seharusnya dihayati untuk memperbaiki moral diri, segera terhapus dengan hiburan hangar-bingar yang membuat manusia melupakan penderitaan, serta melupakan dosa-dosa yang telah menyebabkan diturunkannya musibah. Sungguh suatu hal yang sangat kontra-produktip dari sisi perbaikan moral bangsa.

    Namun kita perlu berhati-hati, jangan sampai kita terus menerus melupakan peringatan-peringatan yang Allah timpakan kepada bangsa kita. Bila kita tidak mau mengindahkan peringatan Allah, maka kejadian yang lebih besar lagi akan muncul, sebagaimana firman Allah:
    “Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras dan syaitanpun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan”. (QS. 6:43)

    “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka gembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa”. (QS. 6:44)


    “Dan sesungguhnya Kami telah pernah menimpakan azab kepada mereka, maka mereka tidak tunduk kepada Tuhan mereka, dan (juga) tidak memohon (kepada-Nya) dengan merendahkan diri”. (QS. 23:76)

    “Hingga apabila Kami bukakan untuk mereka suatu pintu yang ada azab yang amat sangat (di waktu itulah) tiba-tiba mereka menjadi putus-asa”. (QS. 23:77)

    Sebagaimana peristiwa banjir besar yang pernah terjadi di wisata alam Bukit Lawang, Bohorok, Langkat, Sumatera Utara, hari Minggu (2/11) malam. Alam sebenarnya sudah memperingatkan penduduk yang tinggal di sepanjang sungai akan terjadinya bencana alam. Air mulai masuk ke dalam rumah penduduk secara perlahan. Namun, pertanda alam itu sering kali tidak kita pedulikan lagi.

    Sewaktu malapetaka yang sesungguhnya tiba, semua sudah terlambat. Hanya dalam waktu 20 menit banjir bandang menyapu Bukit Lawang dan membawa sedikitnya 87 orang, yang sebagian mungkin sedang terlelap.

    Berulang kali musibah alam seperti ini terjadi. Menurut data yang dikumpulkan Litbang Kompas, sepanjang tahun 2003 saja, paling tidak ada 13 musibah terjadi di seluruh Indonesia. Apa yang terjadi di Langkat pastilah bukan yang terakhir. Masih banyak kemungkinan terjadinya musibah alam dan pasti akan banyak lagi korban yang jatuh. (lihat ; Kompas Jawa Tengah, Rabu, 12 September 2007.)

    Hal itu terutama terjadi kalau kita selalu melihat musibah hanya sebagai takdir. Sebab, itu hanya akan membuat kita pasrah menerima keadaan, tanpa kita mau berbuat sesuatu untuk menghindarkan terjadinya musibah.. Padahal, jelas musibah alam yang terjadi ini bukan semata-mata karena takdir. Ini merupakan akibat dari ulah kita untuk tidak mau lagi bersahabat dengan alam

    Bangsa Indonesia adalah anak turun orang sholih. Allah tidak ridho bila anak-anak orang sholih ini merusak diri dan mencelakakan diri. Allah menghendaki dengan musibah dan bencana serta berbagai kesulitan yang menimpa bangsa ini atau menimpa diri manusia masing-masing agar manusia mau kembali kepada jalan Allah, kembali ke jalan yang benar dan lurus, kembali menjadi kekasih-kekasih Allah. Menjadi manusia yang bahagia di dunia dan di akherat. Dan memiliki kesempatan masuk surga Allah senagaimana firman-Nya: “Hai jiwa yang tenang”. (QS. 89:27), “Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya”. (QS. 89:28), “Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku” (QS. 89:29), “dan masuklah ke dalam surga-Ku”. (QS. 89:30)


    Makna Akidah

    Akidah adalah keyakinan seseorang yang tidak bisa dimasuki keraguan, baik keyakinan tersebut bisa diterima oleh akal maupun tidak, baik benar menurut syariat Islam maupun salah.
    Dalam istilah, akidah terbagi menjadi dua pemahaman, pemahaman agama dan pemahaman filsafat. Akidah dalam pemahaman suatu agama adalah segala sesuatu yang diataati oleh seseorang atau sekelompok orang yang dianggap keluar dari agama jika ia atau mereka berusaha merubahnya atau bahkan menentangnya. Sementara, jika itu dilakukan akan mendapat siksaan yang sangat pedih. Adapun pemahaman dalam filsafat, akidah berarti suatu ideologi yang terkait dengan paham-paham sosial tertentu, seperti ideologi Marxisme, liberalisme, kapitalisme, Sosialisme, dll.
    Akidah, apapun tujuannya ia dapat diterima sebagaimana mestinya oleh setiap orang yang meyakininya, tidak akan dibantah dan ditentang. Ia akan dipatuhi olehnya jika diketahui dengan jelas sumbernya oleh pemeluk tadi, baik dari syariat, kekuasaan (akidah yang menjadi aturan suatu pemerintahan), tradisi, maupun hasil pemikiran akal. (Al Aqidah Bainal Wahyi wal Falsafah wal Ilm. Hal. 24-26)


    Paham Akidah Asy’ariyah
    Paham ini merupakan salah satu paham akidah yang diakui oleh Ahlussnnah wal Jama’ah. Di Indonesia, paham ini diikuti oleh kebanyakan anggota Ormas-Ormas Islamiyyah di indonesia, kususnya para anggota Ormas Islamiyyah terbesar, Nahdhatul Ulama. Ia mempunyai paham akidah yang disebut dengan “akidah khamsin“ (lima puluh akidah). Akidah lima puluh tersebut terperinci dalam sifat wajib Allah 20, sifat mustahil/muhal Allah dan sifat jaiz Allah satu, serta sifat wajib bagi para Rusul empat, sifat mustahilnya empat dan sifat jaiznya satu. (lihat; “Aqidatul ‘Awam”. Syekh Ahmad Marzuqy)

    Sejarah Singkat Akidah Asy’ariyah

    Semenjak negara tauhid berdiri di bawah pimpinan Rasulullah saw. keadaan akidah masih tetap dalam kesuciannya, berasal dari wahyu Ilahi dan ajaran-ajaran yang diberikan dari langit. Dasar utama yang digunakan sebagai pedoman adalah Alquran dan sunah. Pada tingkat permulaan arah yang dituju ialah mendidik watak dan tabiat, meluhurkan sifat-sifat yang bersangkutan dengan instink kalbu dan cara pendidikan yang harus dilalui dan ditempuh. Maksudnya ialah agar setiap anggota masyarakat dapat memperoleh keluhuran yang sesuai dengan kehormatan dan kemuliaan dirinya, dengan demikian akan tumbuh suatu kekuatan secara otomatik yang amat kokoh dalam kehidupan.

    Setelah datang masa khilafah yang banyak diwarnai oleh siasat dan politik, apalagi setelah ada hubungannya dengan cara-cara pemikiran yang ditimbulkan berbagai aliran filsafat atau yang dibawa oleh agama-agama lain yang memaksa otak manusia supaya menyelami sesuatu yang ia tidak kuasa mencapainya, itulah yang menjadi sebab pokok terjadinya pergantian atau penyelewengan dari jalan yang biasa ditempuh oleh para nabi dan rasul. Ini pula yang merupakan sebab utama mengapa keimanan yang asalnya cukup luas dan mudah diterima, menjadi berbagai macam pemikiran yang berisikan filsafat atau menjadi bahan kiasan yang banyak diperselisihkan yang terjadi akibat ketentuan logika atau ilmu bahasanya.

    Ajaran keimanan yang sudah berubah itu akhirnya tidak lagi mencerminkan keimanan yang dapat menyucikan jiwa, memuliakan dan memperbaiki amal perbuatan, memberi semangat gerak pada perorangan atau yang memberikan semangat hidup pada umat dan bangsa, melainkan suatu corak pemikiran tersendiri. Masing-masing pihak menganggap bahwa apa yang dia miliki dan pegangi itulah yang benar, sedang yang tidak cocok dengan pendapatnya adalah salah.

    Demikianlah anggapan setiap golongan, malah ada anggapan yang lebih kejam lagi dari itu yakni siapa saja yang tidak masuk dalam golongan kelompoknya, maka menurut pandangannya sudah keluar dari Islam. Oleh karena itu, timbullah aliran ahli hadis dan aliran Asyariah.

    Di tempat lain timbul pula aliran kaum Maturidiah. Ada pula aliran untuk kaum Muktazilah, Syiah, kaum Jahmiah dan masih banyak lagi aliran dan mazhab yang berlainan dan berbeda-beda, malah pendapat antara satu segolongan dengan golongan lain berbeda pula.

    Seorang ahli syair berkata: “Setiap orang mengaku ia mempunyai hubungan dengan putri Laila Tetapi Laila sendiri membisu, tidak ikut di sini atau pun sana. Di kala air mata sudah bertimbun membasahi seluruh pelupuk mata Nyatalah nanti siapa sebenarnya yang menangis dan siapa pula yang berpura-pura”. (Al Aqoid al Islamiyyah. Sayyid Sabiq. Hal: 14)

    Sebagai akibat dari adanya perselisihan dalam persoalan politik itu dan adanya penyelewengan dari jalan yang lazim ditempuh oleh para rasul sebagai fitrah, ditambah pula dengan kesan-kesan pemikiran secara mazhab dan aliran yang baru datang dan dilanjutkan pula oleh pemaksaan akal untuk menyelidiki yang bukan semestinya, akhirnya para penganjur akidah tersebut berpecah-belah menjadi beberapa golongan yang memberikan pengajaran yang berlain-lainan, berbeda antara satu dengan lainnya. Setiap ajaran atau aliran mencer mencerminkan suatu corak pemikiran tersendiri. Masing-masing pihak menganggap bahwa apa yang dia miliki dan pegang itulah yang benar, sedang yang tidak cocok dengan pendapatnya adalah salah.

    Di antara perselisihan yang tersohor yang memperluas jurang antara umat Muhammad satu dengan lainnya ialah yang terjadi antara kaum Asyariah dan kaum Muktazilah. Adapun penyebab timbulnya pertengkaran dan perbedaan pendapat itu berkisar dalam hal-hal di bawah ini:

    1. Apakah keimanan, sebagai kepercayaan saja ataukah kepercayaan dan amal perbuatan?

    2. Apakah sifat-sifat zatiah Allah Taala kekal pada-Nya ataukah dapat lenyap daripada-Nya?

    3. Manusia bersifat fatalis ataukah memiliki ikhtiar? Untuk masalah ini silakan baca bab Takdir.

    4. Apakah wajib atas Allah Taala mengerjakan yang baik, yang terbaik, ataukah tidak?

    5. Apakah baik atau buruk dapat dikenal dengan akal atau dengan syariat?

    6. Apakah Allah Taala wajib memberi pahala kepada orang yang taat dan menyiksa orang yang maksiat ataukah tidak?

    7. Apakah Allah Taala dapat dilihat di akhirat nanti ataukah hal itu mustahil sama sekali?

    8. Bagaimana hukumnya seseorang yang menumpuk-numpuk dosa besar dan mati sebelum bertobat? (Al Aqoid al Islamiyyah. Sayyid Sabiq. Hal: 15)

    Masih banyak lagi di sana persoalan yang merupakan bahan perselisihan antara berbagai golongan kaum muslimin dan itu pula yang menyebabkan tersobek-sobeknya umat Islam menjadi berbagai golongan dan partai. Benar-benar menyedihkan, sebab sebagai hasil daripada pertengkaran yang tidak berujung pangkal ini juga sebagai bekas dari perpecahan itu lalu kaum muslimin membuat suatu kesalahan yang amat besar sekali, suatu kekeliruan yang amat berbahaya.


    Mengenal Ajaran Akidah Asy’ariyah

    Asy`ariyah adalah sebuah paham aqidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ariy. Beliau lahir di Bashrah tahun 260 Hijriyah bertepatan dengan tahun 935 Masehi. Beliau wafat di Bashrah pada tahun 324 H / 975-6 M. (lihat; www.wordpress.com/2007/04/16/salafiyah-asyairah-dan-maturidi)

    Pada awalnya, Al-Asy`ari pernah belajar kepada Al-Jubba`i, seorang tokoh dan guru dari kalangan Mu`tazilah. Sehingga untuk sementara waktu, Al-Asy`ari menjadi penganut Mu`tazilah, sampai tahun 300 H. Namun setelah beliau mendalami paham Mu`tazilah hingga berusia 40 tahun, terjadilah debat panjang antara dia dan gurunya, Al-Jubba`i dalam berbagai masalah terutama masalah Kalam. Debat itu membuatnya tidak puas dengan konsep Mu`tazilah dan dia pun keluar dari paham itu kembali ke pemahanan Ahli Sunnah Wal Jamaah. (baca artikel; Paham Asy’ariyah dan Maturidiyah)

    Al-Asy`ariyah membuat sistem hujjah yang dibangun berdasarkan perpaduan antara dalil nash (naql) dan dalil logika (`aql). Dengan itu belaiu berhasil memukul telak hujjah para pendukung Mu`tazilah yang selama ini mengacak-acak eksistensi Ahlus Sunnah. Bisa dikatakan, sejak berdirinya aliran Asy`ariyah inilah Mu`tazilah berhasil dilemahkan dan dijauhkan dari kekuasaan. Setelah sebelumnya sangat berkuasa dan melakukan penindasan terhadap lawan-lawan debatnya termasuk di dalamnya Imam Ahmad bin Hanbal.

    Kemampuan Asy`ariyah dalam memukul Mu`tazilah bisa dimaklumi karena sebelumnya Al-Asy`ari pernah berguru kepada mereka. Beliau paham betul lika-liku logika Mu`tazilah dan dengan mudah menguasai titik-titik lemahnya. Meski awalnya kalangan Ahlussunnah sempat menaruh curiga kepada beliau dan pahamnya, namun setelah keberhasilannya memukul Mu`tazilah dan komitmennya, ia kembali pada aqidah ahlus sunnah wal jamaah.

    Al-Asy`ari mencoba menangkis semua argumen kelompok rasionalis dengan menggunakan bahasa dan logika lawannya. Karena kalau dijawab dengan dalil nash (naql), jelas tidak akan efektif untuk menangkal argumen lawan. Karena lawannya sejak awal sudah menafikan nash. Sehingga kita memang melihat adanya kombinasi antara dalil aqli dan naqli yang digunakan oleh Al-Asy-`ari. Pada masanya, metode penangkisan itu sangat efektif untuk meredam argumen lawan.

    Tentu tidak tepat untuk membandingkannya dengan zaman yang berbeda. Karena bila hal itu dilakukan, memang di sana sini barangkali kita akan temukan hal-hal yang agak janggal secara konsep aqidah yang manhajiyah. Sayangnya, oleh mereka yang kurang mengerti duduk permasalahan, kejanggalan inilah yang sering dijadikan bahan tuduhan bahwa mazhab aqidah ini sesat.

    Padahal di masanya, banyak sekali para ulama yang secara otomatis berada di pihak al-Asy`ari bila melihat tarik menarik antar kedua kelompok. Namun bukan berarti semua ulama saat itu 100 % menerima / setuju dengan detail mazhabnya. Dan hal itu adalah sesuatu yang lumrah sifatnya. (baca; Menyoroti Teologi Asy'ariyah. Afifuddin Haritsah))

    Secara defacto, mazhab aqidah Asy`ariyah ini memang mazhab yang paling banyak dipeluk umat Islam secara tradisional dan turun temurun di dunia Islam. Di dalamnya terdapat banyak ulama, fuqoha, imam-imam dan sebagainya. Meski bila masing-masing imam itu dikonfrontir satu persatudengan detail pemikiran asy`ari, belum tentu semuanya sepakat 100 %. Bahkan sejarah mencatat bahwa hampir semua imam besar dan fuqoha dalam Islam adalah pemeluk mazhab aqidah al-As-`ari. Antara lain Al-Baqillani, Imam Haramain Al-Juwaini, Al-Ghazali, Al-Fakhrurrazi, Al-Baidhawi, Al-Amidi,Asy-Syahrastani, Al-Baghdadi, Ibnu Abdissalam, Ibnud Daqiq Al-`Id, Ibu Sayyidinnas, Al-Balqini, al-`Iraqi, An-Nawawi, Ar-Rafi`I, Ibnu Hajar Al-`Asqallani dan As-Suyuti.

    Sedangkan dari wilayah barat khilafat Islamiyah ada Ath-Tharthusi, Al-Maziri, Al-Baji, Ibnu Rusyd (aljad), Ibnul Arabi, Al-Qadhi `Iyyadh, Al-Qurthubi dan Asy-Syatibi. Jangan lupa juga bahwa universitas Islam terkemuka di dunia dan legendaris menganut paham al-Asy`ariah dan Maturidiyah seperti Al-Azhar di Mesir, Az-Zaitun di Tunis, Al-Qayruwan di Marokko, Deoban di India. Dan masih banyak lagi universitas dan madrasah yang menganutnya. (baca; Sketsa Tokoh & Literatur Turats)

    Imam Abu Hassan al Asy’ari adalah seorang mujaddid (orang yang memperbaharui agama atau reformis). Masalah utama yang dihadapi di zamannya adalah masalah kerusakan aqidah umat Islam. Aqidah umat Islam ketika itu rata-rata telah dilanda, dirusak dan diselewengkan oleh berbagai unsur dan faham yang ada saat itu. Termasuk faham Jabariah, Qadariah dan berbagai faham yang dibawa oleh kelompok Muktazilah yang banyak bersandar kepada hujah akal. Ia sudah sampai ke tahap krisis yang besar dan umat Islam ketika itu berhadapan dengan wabah kerusakan dan penyelewengan aqidah yang mengenaskan.

    Di waktu itu, soal penghayatan aqidah sudah menjadi perkara kecil dan orang yang mau terlibat dengan usaha penghayatan aqidah ini tidaklah banyak. Soal utama ketika itu adalah memelihara dan menyelamatkan aqidah masyarakat yang ada supaya tidak tergelincir dan tidak terpengaruh oleh faham-faham Muktazilah yang dianggap kurang sesuai dengan paham ahlussunnah, bahkan dianggap -menurut sebagian ulama- sesat. Inilah yang menjadi permasalahan utama saat itu. Dari sinilah munculnya paham sifat wajib 20, sifat mustahil 20 dan sifat jaiz satu (1) bagi Allah swt. Begitu juga meunculnya paham sifat wajib empat (4), sifat mustahih empat (4) dan sifat jaiz sastu (1) bagi para Rasul Allah shalawatullah wasalamuhu ‘alaihim. Dan terkenal dengan istilah “Aqoid Lima Puluh”.


    Memahami Aqoid 50

    Sebagaimana yang tersebut di atas bahwa aqoid 50 secara garis besar terbagi menjadi dua. Pertama berhubungan dengan sifat-sifat Allah swt yang jumlahnya ada 41 dan kedua berhubungan dengan sifat-sifat para Rasul yang jumlahnya ada sembilan (9) sebagaimana teerperinci di atas.


    Sifat Wajib, Mustahil & Jaiz Bagi Allah
    Sifat-sifat wajib tersebut antara lain:

    1. Wujud
    2. Qidam
    3. Baqo’
    4. Mukhalafun lil hawaditsi
    5. Qiyamuhu binafsihi

    6. Wahdaniyyah
    7. Qudroh
    8. Irodah
    9. Ilmu
    10. Hayat
    11. Sama’
    12. Bashor
    13. Kalam
    14. Qodiran
    15. Muridan

    16. ‘Aliman
    17. Hayyan

    18. Sami’an

    19. Bashiran

    20. Mutakalliman

    Dalam sifat wajib ini, ulama ilmu kalam membagi menjadi lima kelompok, yaitu:

    1. al Nafsiyyah;
    Adalah suatu sifat ketetapan yang menunjukkan pada suatu dzat tertentu. (lihat; “Kubral Yaqiniyyat al Kauniyyah”. Dr. M. Said Ramdhan al buthy. Hal. 108). Misalkan kita melihat sebuah apel. kita menyebut buah tersebut apel karena ia mempunyai sifat-sifat tertentu (warna, bentuk, rasa dst) yang menyebabkan kita menyebutnya apel. Dalam sifat nafsiyyah ini hanya terdapat satu sifat, yaitu “wujud”, yang berarti “ada”. Yakni, Allah swt wajib kita imani keberadaanNya di manapun dan kapanpun kita berada. Dengan kata lain, wujud adalah sifat yang selalu menyatu dan melekat pada dzat Allah swt dan tidak akan pernah terpisah darinya, karena dzat Allah selamanya “wujud” dan “wujud” selamanya ada pada dzatNya. Hanya Allah swt yang disebut “wujud”. Sedangkan selain Allah disebut “maujud” (yang diwujudkan) atau “makhluq” (yang diciptakan). Adapun keberadaan Allah swt tidak bisa diraba oleh indera kita. Di mana hakekat tempat keberadaanNya? Bagaimana wujudNya? Di sana tidak ada yang bisa memastikan hakekatnya.. Namun, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa Allah swt bertempat di atas langit, dengan bukti peristiwa mikraj Rasul saw yang bertemu langsung dengan Allah swt di “Sidrotul Muntaha”. “Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha” (tempat yang paling tinggi, di atas langit ke-7, yang telah dikunjungi Nabi ketika Mi'raj), QS. Al Najm: 13-14. Di mana dalam ayat tersebut tersirat makna bahwa Jibril saat itu menemani Nabi Muhammad saw dalam perjalanan mi’raj untuk bertemu Allah di Sidratul Muntaha. Ada juga yang mengatakan Allah ada di ‘arsy, dengan dalil “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam (maksudnya kekuasaanNya meliputi segala sesuatu yang ada) di atas 'Arsy....”(QS. Al A’raf: 54). Ada juga yang mengatakan Allah berada di hati setiap Mukmin atau Allah itu berada di mana-mana, dengan dalil: “Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu” (QS. Al Mujadalah: 7). Namun, menurut hemat penulis baiknya kita jangan terlalu daqiq (detil) membahas tentang dzat Allah di mana hakekat keberadaanNya. Bagi kita cukup meyakini bahwa Allah itu benar-benar ada dan tidak perlu mencari tahu di mana tempat Allah sebenarnya. Sebab, menurut paham asy’ariyyah, Allah swt tidak membutuhkan tempat sebagaimana manusia membutuhkan tempat untuk ditempati. Jika Allah bertempat di ‘arsy, atau di atas langit atau di hati masing-masing orang mukmin atau berada di mana-mana, berarti Allah membutuhkan tempat untuk ditempati, dan itu berarti sama seperti makhluq. Sedangkan serupanya Allah dengan makhluq merupakan hal yang mustahil. Pemahaman bahwa Allah di atas langit atau di ‘arsy, menurut penulis bisa diartikan bahwa Allah swt itu Maha Tinggi sebagaimana ketinggian langit yang sampai sekarang masih belum bisa dijangkau dan ditemukan oleh akal manusia. Pun bisa diartikan bahwa kekuasaan Allah itu meliputi segala yang ada di langit tanpa terkecuali. Pemahaman ini diambil dari makna tersirat yang terdapat pada Surat al A’raf: 54 di atas, yang menerangkan tentang penciptaan langit dan bumi, kemudian Allah “bersemayam” di ‘arsy. Allah. Kata “Istawa” yang diartikan “bersemayam” bukan bermaksud Allah berbentuk jasad atau sesuatu yang bertempat di ‘arsy. Namun, di sana ada penekanan makna atas kekuasaan Allah dan ilmuNya terhadap hakekat segala sesuatu yang ada di sana. Hingga, dalam ayat digambarkan seolah-olah Allah itu seperti seorang Raja yang bersemayam di tahta ‘arsy memantau segala yang ada di sana. Begitu juga, Allah ada di setiap hati Mukmin atau bersama dengan setiap hambaNya, itu berarti bahwa keberadaan Allah yang selalu dirasa oleh hati setiap mukmin yang bertaqwa dan taat pada perintahNya serta menjauhi semua laranganNya, atau juga bisa diartikan bahwa sifat “Ilmu Allah” (Maha Mengetahui) selalu memantau setiap gerak-gerik hambaNya di manapun dan kapanpun ia berada.Adapun bukti wujudnya Allah swt selain dapat dibuktikan dengan dalil-dalil qath’i (al Qur’an & Hadits) seperti dalam surat al Mukminun: ”Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur. Dan Dialah yang menciptakan serta mengembang biakkan kamu di bumi ini dan kepada-Nyalah kamu akan dihimpunkan. Dan Dialah yang menghidupkan dan mematikan, dan Dialah yang (mengatur) pertukaran malam dan siang. Maka apakah kamu tidak memahaminya?” (QS. Al mukminun: 78-80), dapat juga dibuktikan dengan akal manusia. Demikian itu dengan merenungi dan menganalisa ciptaan-ciptaanNya, baik yang ada di sekitar kita maupun yang ada dalam tubuh kita sesuai dengan kemampuan akal kita. Allah berffirman: “Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz Dzariyat: 20-21), dalam ayat lain disebutkan: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” (QS. Al Ghasyiyah: 17-20)

    2. al Salbiyyah;
    Adalah sifat mengeluarkan/menghilangkan sifat-sifat lain yang tidak pantas bagi Allah yang Maha Sempurna. (al Aqoid al Islamiyyah. Sayyid Sabiq. Hal. 53). Sifat-sifat tersebut ada lima (5), antara lain: Qidam, Baqo’, Mukholafatun lil hawaditsi, Qiyamuhu binafsihi dan Wahdaniyyat. 1). Qidam artinya dahulu, yakni Allah Maha Dahulu. Tidak ada yang mendahului Allah sebelumnya.(Kubra al Yaqiniyyat al Kauniyyah. Dr. M. Said Ramadhan al Buthi. Hal.112). Jika Allah ada yang mendahului, berarti Allah termasuk benda “baru” (huduts) yang diciptakan (makhluq), dan berarti bukan Khaliq. Namun, seperti itu mustahil terjadi pada Allah. 2). Baqo’, yakni Allah Maha Kekal abadi selamanya. Kekal dan abadinya Allah selamanya tidak akan pernah bertemu dengan kata “sirna” (fana’) atau rusak. Jika ada yang menyamai kekekalanNya, berarti Allah akan “binasa”. Dan itu mustahil bagi Allah. 3). Mukholafatun lil hawaditsi, yakni Allah itu beda dengan makhluq dan tidak sama dengan mereka dalam segalanya. Makhluq tercipta, tapi Allah Pencipta. Makhluq berjasad yang terdiri dari beberapa organ, tapi Allah dzatnya tidak tersusun sebagaimana organ tubuh para makhluq. Dan setiap benda yang tampak dan dapat terindra oleh panca indera pasti membutuhkan suatu tempat untuk ditempati, tapi Allah tidak butuh tempat untuk di tempati sebagaimana butuhnya makhluq pada tempat tertentu. Karena mustahil bagi Allah ‘sama dengan makhluq” (mumatsalatun lil hawaditsi). 4). Qiyamuhu binafsihi, yakni Allah dalam berbuat dan menciptakan semua makhluq, dari yang paling terkecil sampai yang paling besar, baik yang bersifat konkrit (kasat mata) maupun yang abstrak (gaib), baik benda mati atau yang hidup, semuanya dilakukan sendiri tanpa ada pembantu atau teman yang membantu dalam menciptakan semuanya. Sebab mustahil bagi Allah ada teman dalam berbuat. Jika Allah ada teman, berarti Allah butuh pada yang lain. Jika Allah “butuh pada yang lain” (ihtiyajun lighoirihi), berarti kekuasaan Allah tidak sempurna atau lemah. Namun, itu tidak mungkin terjadi bagi Allah. Dan ke 5). Wahdaniyyah, yakni Allah Maha Esa, Maha Satu. Satu dalam DzatNya, satu dalam perbuatanNya dan satu dalam sifatNya. Artinya, dzat Allah hanya satu, tidak dapat diketahui oleh manusia selama hidup di dunia. Oleh karenanya, tidak ada satu bendapun yang menyerupai dzat Allah. Sifatnya satu artinya sifat-sifat Allah hanya dimilki olahNya sendiri. Sekalipun di dalam sebagian sifat-sifat wajibNya terdapat sifat-sifat yang sama istilahnya dengan sifat-sifat makhluq, seperti qudrot, irodat, ilmu, hayat, sama’, bashar dan kalam, semua itu pada hakekatnya tidak sama atau semua sifat-sifat tersebut yang dimiliki oleh makhluq pada hakekatnya merupakan pengejawantahan dari secuil sifat-sifat Allah tadi. Oleh karenanya mustahil bagi Allah ada teman (‘adadun; terbilang). (al Aqoid al Islamiyyah. Sayyid Sabiq. Hal. 59)

    3. al Ma’ani,
    Adalah sifat-sifat Allah yang dapat membuahkan makna yang dapat dijangkau oleh akal, atau sifat-sifat Allah yang pengertian atau pemahamannya dapat dibuktikan oleh akal dalam pengejawantahannya. Sifat-sifat tersebut ada tujuh, antara lain: Qudrot, Irodat, Ilmu, Hayat, Sama’, Bashar dan Kalam. 1-2). Qudrot (berkuasa) & Irodat (berkehendak), yakni Allah Maha Kuasa dan Maha Berkehendak terhadap segala sesuatu. Kuasa untuk menciptakan segala yang belum ada dan meniadakan semua yang sudah ada dalam waktu sekejap sesuai dengan kehendaknya. Tidak ada kata “lemah” (‘ajzun) dan “terpaksa” (karohah) bagi Allah. Wujud alam semesta dengan segala isinya merupakan bukti nyata akan sifat “Qudrat” dan “Irodat” Allah. (al Aqoid al Islamiyyah. Sayyid Sabiq. Hal. 65-67). 3). Ilmu (mengetahui), yakni Allah Maha Mengetahui atas segala gerak, diam dan suara dari tiap makhluq hidup, mulai yang paling besar sampai yang paling terkecil, baik yang tampak oleh panca indera maupun yang gaib, baik di tempat yang sangat terang oleh kuatnya cahaya dan sinar, maupun di tempat yang tergelap sekalipun. Semuanya tadi dapat diketahui oleh Allah. Tidak ada satupun atau sedikitpun yang “tidak diketahui” (jahlun) olehNya. 4). Hayat (hidup), yakni Allah Maha Hidup. Hidup Allah tidak ada awal dan ahirnya. Allah idup untuk selamanya dan tidak akan pernah “mati” (mautun), 5). Sama’ (mendengar), yakni Allah Maha Mendengar segalanya yang ada di alam semesta tanpa terkecuali. Mendeangarnya Allah sama seperti IlmuNya. Mustahil bagi Allah “tuli” (shomamun) dan tidak mendengar gerak-gerik makhluk yang merupakan ciptaanNya sendiri. 6). Bashor (melihat), yakni Allah Maha Melihat setiap gerak-gerik makhluqNya, sebagaimana Allah mengetahui & mendengarnya. Mustahil bagi Allah “tidak melihat” (‘umyun) apa yang telah diciptakanNya. 7). Kalam (bicara). Yakni Allah Maha Berfirman kepada setiap makhluq yang dikehendakiNya, baik makhluk hidup maupun benda mati, seperti firmanNya “wahai api, dinginlah! Dan selamatkan (nabi) Ibrahim”, baik yang berakal maupun yang tidak berakal. Dan mustahil bagi Allah” tidak dapat berbicara” (bukmun) dengan makhluq ciptaanNya. Ketujuh sifat tadi disebut “sifat ma’ani” karena pengejawantahannya dapat dicerna oleh akal manusia dan ketujuh sifat tersebut juga dimilki oleh manusia. Namun, persamaannya hanya terdapat pada makna dan istilah saja, bukan pada hakekat dan pengejawantahannya.

    4. al Ma’nawiyyah;
    Adalah sifat-sifat yang diumpamakan berwujud sebagi pelaku sifat tadi dikarenakan kesempurnaannya. Yakni, seperti sifat “kuat” pada seseoarang yang dibuktikan dalam melakukan suatu pekerjaan yang berat. Setelah terbukti, ia disebut sebagai “orang kuat”. Namun, ada perbedaan dengan sifat-sifat ma’nawiyyah Allah. Bedanya, sifat-sifat Allah itu qadim (terdahulu) sebagaimana dzatNya dan sifat-sifat makhluq itu baru muncul kemudian setelah beberapa lama ia diciptakan. Sifat ma’nawiyyah ini merupakan istilah bagi pelaku sifat-sifat ma’ani yang oleh madzhab Asy’ariyyah dijadikan sifat tersendiri. Adapun jumlahnya ada tujuh sebagaimana sifat ma’ani. Yaitu; Qaadirun, Muriidun, ‘Aalimun, Hayyun, Samii’un, Bashiirun dan Mutakallimun.

    Selain sifat-sifat tersebut di atas, Allah swt juga mempunyai sifat “Jaiz” (boleh; kebolehan) yang oleh Asy’ariyyah dipahamkan dalam ungkapan “Fi’lu Mumkinin au Tarkuhu” (boleh/bebas mengerjakan sesuatu dan meninggalkannya). Yakni, Allah tidak terikat oleh suatu apapun dan bebas dalam berbuat serta berkehendak. Tidak ada baginya kata “wajib berbuat” atau “dilarang berbuat”, seperti Allah wajib berbuat baik dan memperbaiki makhluqnya. Jika Allah berkewajiban mengerjakan sesuatu atau dilarang melakukan sesuatu, maka Allah terikat dengan kekuatan lain. Di mana hal itu menunjukkan sifat-sifat lemah, sedangkan Allah Maha Kuasa. Maka, semisal contoh tersebut tidak akan terjadi (mustahil) pada Allah. Dalam firmanNya : “Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Aly Imran: 26).

    Dari kesemua sifat-sifat tersebut yang jumlahnya ada 41 sifat, tercover dalam pemahaman kalimat tauhid “Laa Ilaaha illallah” (tiada Tuhan selain Allah). Dari kalimat tauhid tersebut, muncullah kalimat “Laa haula wa laa quwwata illa billah” (tiada daya untuk menghindar dari maksiat dan tidak kekuatan untuk berbuat taat kecuali dengan izin Allah swt). Jika makna tersirat dalam kalimat hauqalah (“Laa haula wa laa quwwata illa billah”) tadi telah tertanam subur dalam hati, bisa mengantarkan kita pada kalimat “Inna shalaati wa nusuki wa mahyaaya wa mamaati lillahi rabbil alamiin” (sesungguhnya shalat dan ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah swt. Dengan tiga dasar kalimat tersebut yang dapat dijadikan perinsip dalam hidup, maka manusia akan mampu mengarungi samudera kehidupannya dengan tenang dan tenteram.


    Sifat-Sifat Wajib, Mustahil & Jaiz Para Rasul
    Dalam kitab Aqidatul Awam, syekh Ahmad Marzuqi menjelaskan bahwa para Rasul itu mempunyai empat sifat wajib dan empat sifat mustahil yang merupakan perbandingannya, serta mempunya sifat jaiz satu. Di mana jika kesemua sifat tersebut dikumpulkan berjumlah sembilan sifat.

    Sifat-sifat tersebut antara lain; 1). al Sidqu (jujur) lawannya al Kadzibu (dusta). 2). Al Amaanah (terpercaya), lawannya al Khiyanat (khianat). 3). Al Tabligh (menyampaikan wahyu), lawannya al Kitman (menyembunyikan wahyu). 4). Al Fathonah (cerdas), lawannya al Balaadah (bodoh).

    Para Rasul harus bersifatan dengan empat sifat tersebut, karena keempatnya merupakan syarat muthlaq bagi seseorang yang diangkat menjadi Rasul (utusan) Allah tanpa mengenyampingkan adanya “pelantikan langsung” (yakni penegasan akan ke-rasul-annya dalam al Qur’an) dari Allah swt. Mereka harus “jujur” dalam segala perbuatan, ucapan, kebijakan, keputusan, dsb. Mereka harus mempunyai sifat “terpercaya” yang diketahui oleh masyarakat sekitarnya dan terbukti kepercayaan tersebut dalam pergaulannya dengan masyarakat sekitar. Mereka pun harus berani dan tegas dalam “menyampaikan wahyu” dengan segala tantangan dan bahaya yang ada. Pun, mereka harus “cerdas” dalam bersikap, bertindak dan memahami situasi-kondisi sosial-politik yang ada dan harus cerdas mencermati zaman. Jika mereka tidak jujur, tidak terpercaya, tidak menyampaikan wahyu dan tidak cerdas, maka tugas risalah tidak akan sampai pada tujuannya, yaitu memberi petunjuk manusia sebuah jalan menuju kebahagiaan dunia dan aherat.

    Di samping itu, para Rasul, mempunyai sifat jaiz “al A’radhul Basyariyyah” (kejadian-kejadian/peristiwa manusiawi). Yakni, kejadian-kejadian yang biasa terjadi atau menimpa seseorang, boleh juga terjadi pada para Rasul, seperti: makan, minum, tidur, menikah, punya anak, sakit dst. Demikian itu untuk menafikan sekelompok masyarakat yang mudah menkultuskan sesuatu yang dianggap dan diyakini bisa memberikan keuntungan dalam hidupnya. Yang pada ahirnya sampai pada titik menuhankan seseoarang (seperti kaum kristiani) atau menuhankan benda-benda tertentu, seperti aliran Konghucu, Sinto, Sikh, Hindu, budha dll.

    Dari kumpulan sembilan sifat bagi Rasul tersebut, pemahamannya tercover dalam kalimat syahadat “Wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah” (dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah). Jika kita meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, maka kita juga harus mempercayai apa-apa yang dibawa beliau berupa ajaran syari’at. Namun, seharusnya tidak cukup hanya dengan percaya saja, akan tetapi lebih semurna lagi jika perjalanan hidup beliau menjadi tauladan bagi setiap Mukmin dalam mengarungi zig-zag kehidupannya.

    Dengan demikian, jika kesemua sifat tersebut di atas dikumpulkan menjadi satu akan bejumlah 50 sifat, yang kemudian dikenal dengan “akidah lima puluh”. Dan ke 50 sifat tersebut, pemahamannya tercover dalam dua kalimat syahadat “Laa Ilaaha illallah-Muhammadun Rasulullah”.


    Pengejawantahan Akidah Dalam Kehidupan

    Ketika orang meyakini “Tiada Tuhan Selain Allah”, berarti ia telah berikrar bahwa hanya Allah-lah yang berhak untuk dikultuskan dan disembah serta dipuji. Ketika hanya Allah yang berhak di kultuskan dan disembah, maka Dia-lah yang paling berkuasa di alam semesta ini. Jika hanya Dia yang berkuasa di alam semesta ini, maka Dia punya hak prerogatif yang mutlak dalam mengatur alam semesta seisinya. Jika demikian, maka Dia wajib “wujud” dan wujudNya tidak didahului oleh “adam” (tidak ada) serta tidak ditemui oleh “fana’” (binasa) atau “maut” (mati) atau “intiha’” (berahir). Hanya Allah-lah yang “wujud” dan selain Allah “maujud”.

    Ketika orang berkeyakinan demikian, maka ia akan mudah menerima dan meyakini akan kebenaran setiap wahyu Allah (al Qur’an) yang telah sampai di telinganya. Hingga semua yang tertera dalam al Qur’an bisa diyakini dengan sepenuhnya. Yang kemudian ia akan berusaha mengaplikasikan dalam kelangsungan hidupnya. Jika masing-masing orang sadar dan sanggup serta berupaya keras untuk menerapkan isi kandungan Al Qur’an dalam kehidupannya sehari-hari, maka kedamaian, ketentraman, keamanan, kebahagiaan dan ketenangan akan terjamin di setiap lingkungan masyarakat.

    Namun, masalahnya di sana sangat jarang sekali ditemukan orang berfikir dan mendalami “tadabbur” dalam pemahaman akidah seperti ini. Hingga tidak sedikit ditemukan kekosongan dan kekeringan rohani dalam kalbu masing-masing anggota masyarakat sekitar. Yang kemudian hal itu cenderung mengantarkan mereka pada perbuatan yang anti hukum, baik hukum negara maupun hukum agama. Hingga jari pun tidak mampu menghitung banyaknya perbuatan asusila, abmoral, patalogi sosial, kriminal dan lain-lain sejenisnya yang telah merambah ketenangan masyarakat kita.

    Demikian pula, ketika orang meyakini bahwa Nabi Muhammad saw adalah utusan Allah, maka itu akan mengantarkannya pada pembenaran akan setiap ajaran yang disampaikan oleh beliau. Yang kemudian diambil dan berusaha dijalani serta diamalkan. Ia akan menjadikan Rasul saw sebagai satu-satunya “idola” dan “figur” dalam kehidupan dunia dan aherat. Setiap kelangsungan hidup yang dijalani akan dicerminkan pada jejak kehidupan Rasul saw. Jika ia dihadapka suatu permasalahan, langsung menggali pesan Allah swt yang tersurat dalam al qur’an dan berusaha mengeluarkan makna yang tersirat (hikmah) darinya. Jika dalam al Qur’an tidak ditemukan jawaban, ia akan melarikan permasalahan pada hadis Rasul saw dan sejarah hidupnya. Jika ia menemui jalan buntu, ia serahkan semua urusannya kepada Allah dengan memerbanyak upaya mendekatkan diri padaNya. Karena dengan banyak mendekatkan diri padaNya, semua permasalahan akan tersolusikan, karena sebenarnya tidak masalah yang tidak ada jalan keluarnya. Sebagaimana firman Allah : “Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari ahir, dan barang siapa yang bertaqwa pada Allah, niscaya Ia akan memberikan padanya jalan keluar (untuk segalanya), dan akan memberinya rejeki dari cara yang tidak terduga. Dan barang siapa yang bertawakkal ada Allah, niscaya Allah akan meberikan kecukupan padana”. (QS. Al Thalaq: 2-3)

    Namun, sebenarnya segala permasalaahan dan problematika yang telah atau sedang atau akan terjadi, jika dicermati dengan jeli dan teliti, semuanya akan bisa ditemukan jawabannya dalam al Qur’an. Hanya saja kemampuan akal manusia sangat terbatas –sekalipun mengalami perkembangan dan peningkatan dalam kemampuan-, hingga belum mampu mengupas semua makna tersirat dalam al Qur’an dan rahasia yang dikandungnya. Karena, Al Qur’an merupakan satu-satunya a way of life yang salih likulli zaman wa makaan (relevan dengan masa dan tempat, tanpa batas).


    Epilog

    Dalam menjalani kelangsungan kehidupan setiap orang pasti membutuhkan bimbingan. Bimbingan dan tuntunan hidup yang paling utama dan pertama adalah Al Qur’an, kemudian al Sunnah al Nabawiyyah dan al Sirah al Nabawiyyah. Untuk menciptakan agar aktivitas bisa berjalan sesuai dengan diinginkan, butuh sebuah perinsip untuk pedoman.
    Untuk mengahiri tulisan ini, penulis ingin menawarkan beberapa perinsip kehidupan yang diambil dari Al Qur’an dengan berlandaskan keyakinan.
    Pertama, perinsip “Inna al Diina ‘Indallahil Islam” (Hanya Islam agama yang benar di sisi Allah) QS. Aly Imran: 11. Sebuah perinsip yang mendorong kita untuk benar-benar meyakini kebenaran ajaran Islam. Jika keyakinan ini telah tertanam kuat dalam hati kita, maka kita akan mudah menerima ajaran syari’atnya.

    Kedua, perinsip “Qulillahumma Maalikal Mulki Tu’til Mulka Man Tasyaa’u wa Tanzi’ul Mulka Min Man Tasyaa’u, wa Tu’izzu Man Tasyaa’u wa Tudzillu Man Tasyaa’u, Biyadikal Khoiru, Innaka ‘Alaa Kulli Syai’in Qadiir” –(QS. Aly Imran: 26)- (Katakan (Muhammad)! Wahai Allah... Sang Raja Diraja, Engkau lah yang akan memberikan kekuasaan kepada orang yang engkau kehendaki, dan Engkaulah yang akan mencabut kekuasan dari orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau lah yang akan memuliakan orang yang Engkau kehendaki, dan engkau lah yang akan menghinakan orang yang Engkau kehendaki. Dalam genggamanMu segala kebaikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu). Perinsip ini akan mengantarkan kita untuk mudah menerima keputusan suratan taqdir yang telah digariskan oleh Allah pada kita.

    Jika kita ditaqdirkan memiliki suatu kekuasaan tertentu –dengan perinsip ini-, kita akan selalu ingat di sana ada yang lebih berkuasa, yang sewaktu-waktu akan mengambil kekuasaan itu dengan mudah. Dengan demikian, kita pun akan mudah bersyukur dan terhindar dari sifat takabbur dan tama’ alias rakus bin kikir. Jika kebetulan kita ditaqdirkan sebagai orang yang kurang mampu (tidak punya kekuasaan), maka kita tidak akan terlalu berharap yang berlebihan. Karena semua yang telah digariskan oleh Allah pada kita merupakan yang terbaik bagi kita. Hanya saja kadang kita belum bisa mengungkap kebaikan yang terkandung dalam nasib kita. Demikian juga, ketika kita ditaqdirkan menjadi orang yang mulia, kita akan banyak bersyukur dan menyanjung orang di bawah kita, atau ketika ditaqdirkan menjadi orang yang hina (na’udzu billah), kita akan berusaha untuk mengentaskan diri dari kehinaan tersebut dengan upaya dan usaha memperbaiki semua kesalahan dan kekhilafan yang telah berlalu. Kemudian merubahnya dengan perbuatan dan amalan yang terpuji.

    Ketiga, perinsip “Allahumma Laa Maani’a Limaa A’thoita, wa Laa Mu’thiya Limaa Mana’ta, wa Laa Raadda Limaa Qadhoita, wa Yanfa’u Dzal Jaddi Minka al Jaddu” (Wahai Allah, Tidak ada penghalang untuk segala sesuatu yang telah Engkau berikan, dan tidak ada pemberi bagi segala sesuatu yang telang Engkau halangi, dan tidak ada pencegah bagi segala sesuatu yang telah Engkau putuskan, dan tidak akan mampu memberikan suatu manfaat apapun orang yang mempunyai keagungan (kecuali dengan izinNya) karena keagungan itu hanya dari Engkau). Sebuah perinsip yang akan mendorong kita untuk meyakini akan keberadaan taqdir Allah dan meyakini bahwa semua taqdir yang telah ditetapkan Allah tidak ada yang mampu menghalangi kelangsungannya.

    Jika Allah telah menghendaki kita untuk mendapatkan sesuatu (harta, ilmu, isteri, kedudukan dll), pasti kita akan memperolehnya. Hanya saja cara sampainya kadang yang berbeda-beda. Ada yang sampainya dengan lancar tanpa hambatan dan ada pula yang sampainya dengan melewati berbagai rintangan. Begitu juga jika Allah telah mencegah sesuatu untuk kita peroleh, maka -sekalipun secara dhahir sesuatu yang akan diperoleh itu menurut hitungan akal pasti akan diperolehnya- sesuatu itu tidak akan bisa sampai pada kita. Sebagaiamana kadang kita menemukan suatu kejadian tentang pernikahan seseorang yang gagal menjelang hari “H” pernikahan karena maslah sepele. Semuanya itu ada dalam kekuasaan Allah.

    Keempat, perinsip “Inna Shalaatii wa Nusukii wa Mahyaaya wa Mamaatii Lillahi Rabbil ‘Alamiin” (sesungguhnya shalat dan ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah swt semata). Perinsip ini akan mensupport kita untuk selalu optimis beraktivitas dan bisa menjauhkan kita dari sifat-sifat penyakit hati, seperti riya’ (pamer), sum’ah (memperdengarkan amal), ‘ujub (merasa paling baik) dll. Pun dapat mengantarkan kita pada ketulusan niat dan gahyah dalam beramal. Hingga setiap amal yang kita perbuat akan membuahkan hasil yang bisa kita tuai kelak di aherat, karena “amal tanpa ikhlas laksana jasad tanpa nyawa”.

    Kelima, perinsip “Laa Haula wa Laa Quwwata Illa Billah” (tiada upaya untuk menjauhi maksiat dan tiada daya untuk berbuat taat kecuali dengan pertolongan Allah). Perinsip ini akan mengantarkan kita pada kepercayaan akan pertolongan Allah swt. Jika seseorang diberi amanat amanat dan dalam menjalankannya ia menerapkan perinsip ini, niscaya amanat ini akan terlaksana dengan lancar dan bagus. Karena setiap orang yang meyakini akan peranan pertolongan Allah dalam perbuatan baik, pasti Allah akan membantunya. Sebagiamana firman Allah dalam hadis Qudsy “Ana Inda Dhann Abdii bii” (Aku tergantung persangkaan hambaKu terhadapKu), dan sabda Nabi saw: “dan Allah akan selalu menolong hambaNya selama hamba tersebut selalu menolong saudaranya” .

    Dengan lima perinsip tersebut di atas -insyaallah- kita bisa menjalani hidup ini dengan tenang, santai, tenteram, damai, senang, bahagia dan bersemangat. Demikian uraian tentang akidah . Semoga bermanfat bagi setiap pembaca terlebih kusus bagi penulis sendiri.


    Refrensi

    Al Qur’an al Karim (terjemahan digital).

    Artikel; Usaha Batin Menghentikan Musibah di Negriku Indonesia. Abdullah.

    Koran Kompas Jawa Tengah, Rabu, 12 September 2007.

    Al Aqidah Bainal Wahyi wal Falsafah wal Ilm. Dr. Al Saih Aly Husain.

    Aqidatul ‘Awam. Syekh Ahmad Marzuqy.

    Al Aqoid al Islamiyyah. Sayyid Sabiq.

    Artikel; Sketsa Tokoh & Literatur Turats.

    Kubral Yaqiniyyat al Kauniyyah. Dr. M. Said Ramdhan al Buthy.




    .

0 comments:

Leave a Reply

Monggo dikomentari ...