• BERDAKWAH DI ERA MODERN
    BERDAKWAH DI ERA MODERN,
    NU Menuju Rahmatan Lil ‘Alamiin
    By: Anas El Malawi

    Muqaddimah

    Dalam beberapa ayat al Qur’an, Allah telah berjanji akan menjamin kelestarian dan keutuhan agama-Nya, Islam (QS. Al Hijr: 9). Namun, jaminan itu tidaklah berarti bahwa Islam berkembang tanpa ada rintangan, halangan, ancaman, hambatan dan bahaya-bahaya terhadap kemurniannya dan kelangsungan perkembangannya. Juga tidak berarti bahwa kaum Muslimin tidak perlu berjuang memelihara kemurnian agamanya dan tidak perlu bersusah payah mengembangkannya. Justeru di sanalah (berdakwah) kaum muslimin diwajibkan (tanpa menafikan kewajiban lainnya).

    Sebagaiamana Rasul SAW yg diwajibkan Allah SWT untuk berjuang mengembangkan risalah-Nya yang dijalani dengan susah-payah, penuh penderitaan, pengorbanan, ancaman dsb, kita pun -sebagai umatnya- diwajibkan untuk mengembangkan ajaran tersebut dengan semaksimal mungkin. Sebagaaimana termaktub dalam QS. Aly Imran: 20, 104 & Al Nahl:125. Sebagaimana sabda Rasul “Ballighuu ‘Anni walu Ayatan”.

    Realita Dakwah

    Da’wah secara de facto dan dejure akan berhadapan dengan dimensi masyarakat, yang dari kurun ke kurun berkembang dan memiliki karakternya masing-masing. Persoalan, tuntutan, kebutuhan dan kecenderungan masyarakat duapuluh tahun yang lalu tentu berbeda dengan masa sekarang.

    William Knoke, dalam bukunya "Bold New World" (Dunia Baru yg Berani/tegas) menggambarkan perkembangan kebudayaan manusia yang disebutnya dalam empat dimensi. The First ;Dimension Society yang terjadi selama sekitar lima ribu (5.000) tahun telah melahirkan umat manusia sejak hidup di gua-gua sampai manusia merintis perdagangan dunia; mencari rempah-rempah, perdagangan sutera dan sebagainya. The Second; Dimension Society yg terjadi selama kurun waktu lima ratus tahun (500th) dengan munculnya kerajaan-kerajaan besar yang kemudian melahirkan daerah-daerah koloni. Pada saat ini pula telah lahir kembali ilmu pengetahuan yang telah mendorong suatu bentuk masyarakat baru, yaitu masyarakat industri. The Third; Dimension Society yg terjadi hanya dalam masa 50 tahun yang ditandai oleh komersialisasi penerbangan, lahirnya corporation (badan hukum) multinasional, dan manufacture (menghasilkan) barang-barang perdagangan di seluruh dunia yang ditopang oleh aplikasi teknologi. The Fourth; Dimension Society yg merupakan kehidupan manusia abad XXI yang masih tanda tanya, dan terus berkembang (in progress), dengan kemajuan ilmu dan teknologi yang sangat mencengangkan, dan sekaligus mengubah tata kehidupan masyarakat.

    Kehidupan masyarakat di masa kita adalah masyarakat yang tata dan pola kehidupannya sangat complicated (rumit), baik dalam hal trend (kecenderungan), style (gaya), habit (kebiasaan), ataupun will and need (keinginan dan kebutuhan) mereka. Budaya global juga menjadi salah satu pemicu berubahnya secara signifikan pola dan tata kehidupan masyarakat

    Dari sisi lain, da’wah juga dihadapkan pada kenyataan munculnya ledakan penduduk di wilayah negara-negara miskin yang kebanyakan berpenduduk muslim (termasuk -jika boleh dikatakan- negeri kita), yang tidak dibarengi dengan kemajuan pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang memadai.

    Dengan kondisi demikian maka efek berikutnya yang muncul adalah lahirnya permasalahan kehidupan sosial, budaya, pendidikan, ekologis dan kesehatan. Daftar permasalahannya dapat berupa: Output pendidikan yang rendah, budaya yang lepas dari nilai-nilai santun, hukum yang tak mampu berbuat adil, angka kejahatan yang semakin tinggi (sehingga menurunkan rasa aman masyarakat), kemaksiatan yang semakin terbuka dan merajalela, kejahatan politik yang terang-terangan, sampai pada konflik-konflik horisontal yang terjadi maupun yang ‘diciptakan’. Kondisi yang demikian buruk kemudian diperparah dengan buruknya moral para pejabat negara, pemain industri/usaha, termasuk para aparat penegak hukum.

    Syaikh Muhammad Al Ghazali, seorang ulama dan pemikir kritis mengungkapkan bahwa kemunduran dan keterpurukan umat Islam disebabkan oleh hal-hal berikut:
    1. Pemahaman yang salah terhadap Islam.
    Kesalahan ini berupa: didahulukannya apa yang harus diahirkan, dan diahirkannya apa yang seharusnya didahulukan, berkembangnya berbagai khurafat berkedok agama.

    2. Bodohnya kaum muslimin terhadap dunia.
    Hal ini muncul karena adanya kekeliruan dalam masalah wawasan. Syaikh Al-Ghazali berkata, "Banyak sekali manusia yang telah berhasil melakukan pengkajian di bumi dan di langit. Keberhasilan ini membuat kekuatan mereka bertambah dan senjatanya makin dahsyat daya hancurnya. Lalu dimana posisi kaum muslimin dibanding mereka itu?" Al-Ghazali melanjutkan komentarnya: "Ketika saya membaca kisah penyerangan Perancis terhadap Mesir pada abad ketiga belas Hijriyah, otak saya mendidih karena marah melihat begitu banyak darah umat yang tumpah sia-sia. Para penunggang kuda yang berani jatuh berguguran di hadapan meriam-meriam modern. Pengalaman bangsa Perancis tentang kehidupan, ilmu, dan penemuan-penemuan sangat membantu mereka mencapai kemenangan. Mereka berhasil memaksa orang-orang memilih antara lari dari peperangan atau mati sia-sia! Kenapa kita begitu bodoh tentang dunia dan cara-cara mengkajinya? Pengetahuan yang luas tentang dunia dan kemampuan untuk mengelolanya adalah perkara biasa bagi generasi pertama umat ini”.

    3. Merebaknya paham Jabariyah (fatalisme) di dunia Islam.
    Paham ini mengakibatkan goyahnya kepribadian umat Islam karena sikap pasrah dan apatis mendominasi kehidupannya. Manusia dipaksa dan tidak memiliki hak ikhtiar (memilih). Ia tidak memiliki kekuatan maupun kemauan. Bagaimana ia bisa berkreasi sedang takdir tidak memberikan jalan kepadanya untuk bergerak bebas?. "Seperti bulu yang ditiup angin yang bergerak" Ia tidak pernah hinggap dan menetap di sebuah tempat. Kaya dan miskin, kebahagian dan kesengsaraan, keberhasilan dan kegagalan, semua ini telah ditentukan dan digariskan. Dan yang sudah digariskan tidak mungkin lagi dihindari! Dalam pandangan Al-Ghazali penyebab hal ini adalah ilmu kalam, ilmu tasawuf, dan karena ulah sebagian mufassir al-Qur’an dan pemberi syarah hadits. Selain itu, umat juga lemah dalam mengaitkan sebab dengan penyebab (hukum kausalitas), meluasnya pemikiran tentang karomah dan kejadian-kejadian aneh sehingga hukum-hukum Allah yang mengatur alam semesta ini hampir tidak tersentuh sama sekali.

    4. Tradisi-tradisi riya’ dalam masyarakat Islam.
    Generasi salaf adalah generasi yang fitrah dan tabiatnya lurus dan bersih. Tujuan hidup mereka adalah untuk mendapatkan keridhaan Allah. Perbuatan Rasul selalu menjadi teladan mereka.Tapi kaum muslimin akhir-akhir ini telah membuat berbagai macam tradisi yang sifatnya menonjolkan penampilan luar yang menipu. Tradisi itu berbeda jauh dengan fitrah Islam yang lurus dan mudah. Riya’ adalah syirik. Syirik telah menguasai kebiasaan-kebiasaan dan adat istiadat sehingga sesama kaum muslimin saling berjauhan.

    5. Kondisi wanita pada jaman kemunduran.
    Wanita dilarang menikmati pendidikan berdasarkan sebuah hadits bohong: "Jangan ajari mereka tulis menulis", dan juga sebuah hadits lemah: "Jangan sampai ia (wanita) melihat laki-laki, dan juga jangan sampai laki-laki melihatnya." Wanita dilarang pergi ke masjid berdasarkan riwayat yang jelas-jelas bertentangan dengan hadits mutawatir dan shahih. Rumah-rumah Allah dan dunia pendidikan kosong dari wanita. Wanita tidak boleh mengetahui al-Qur’an, hadits dan fiqih. Karena itulah, wanita muslimah tampil sebagai wanita dunia yang paling lemah ikatannya dengan agama dan masyarakat. Akibatnya dunia pendidikan Islam mengalami guncangan hebat.

    6. Menurunnya sastra Arab.
    Ketika kaum muslimin lemah, kemampuan sastra mereka juga mengalami krisis. Puisi dan prosa mengalami degradasi mutu, sastrawan-sastrawan berbakat menyusut, penulis-penulis dan pemikir-pemikir makin langka. Dengan memperhatikan perjalanan sejarah sastra sejak abad ke delapan kita akan merasakan kebenaran dari pernyataan ini. Sastra, puisi, dan prosa telah mengalami penurunan hebat yang mengundang rasa keprihatinan.

    7. Manajemen keuangan masyarakat.
    Manajemen dalam bidang ini mengalami keguncangan. Distribusinya sangat buruk, dan melahirkan kemiskinan yang memilukan serta kemewahan yang merusak. Meskipun Islam dikenal sebagai agama yang pertama kali menggerakkan pasukan untuk mengambil hak-hak orang miskin dari orang-orang kaya, tapi mayoritas penguasa muslim tidak memperhatikan bidang ini. Akibatnya, orang-orang miskin hidup dalam kondisi mengenaskan, sogok menyogok merebak - terutama di kalangan pejabat-, padahal Nabi SAW melaknat orang yang menyogok dan orang yang mau disogok. Pengangguran yang terang-terangan maupun yang terselubung meluas, lalu dalam wilayah Islam lahir manusia-manusia rakus terhadap harta; mereka tidak mengerti dari mana datangnya harta tersebut.

    Melihat rumitnya persoalan yang dihadapi umat, menuntut da’wah berfikir keras untuk merumuskan kebijakan strategis dan rancangan taktis yang jitu, serta kesiapan dan ketangguhan kader yang mumpuni.

    Tantangan Dakwah

    Sejak beberapa abad terahir ini, bahaya permanen yg selalu mengancam Islam dan selalu muncul pada setiap kesempatan adalah serangan musuh Islam yg digencarkan oleh kelompok tertentu yg senantiasa menekuni kajian-kajian Islami tanpa disertai hidayah ilahiyyah dengan tujuan menghancurkannya dari dalam, yang lazim disebut dengan Mustasyriq (orientalis).

    Mereka mempelajari Islam dengan seksama dan detil, belajar bahasa Arab dan bahasa-bahasa Timur lainnya dengan segala kelangkapannya, mulai dari sejarah, sosiologi, hukum dan adat-istiadat Islam. Dari sudut keilmuan mungkin mereka banyak mengerti atau bahkan melebihi beberapa ilmuwan Islam sendiri. Namun, sangat disayangkan semua itu hanya bertujuan satu; menghancurkan Islam, sebagai kelanjutan dari perjuangan golongan mereka dalam perang salib.

    Secara fisik, perang salib memang sudah lama berahir, tetapi secara ma’nawi (politik, ideologi dan budaya) berlangsung terus berabad-abad kemudian, sampai sekarang dan bahkan akan berlangsung seterusnya. Medan perjuangan mereka mengancam kelangsungan dan kemurnian sangat luas, tak terbatas. Senjata dan saluran perjuangan mereka yg teruatama adalah otak, pikiran dan ilmu, terutama ilmu tentang Islam dan ke-Islam-an. Hingga zaman sekarang permaslahan semakin lengkap. Bukan hanya permaslahan rebutan harta dan tahta yg menyebabkan peperangan di beberapa negara belahan dunia, atau bahkan di beberapa pelosok desa pedalaman sekalipun. Namun juga terjadi perang pemikiran (ghazwatul fikri).

    Dengan ilmu dan saluran akal yg menelorkan beberapa teori ilmiah dalam beberapa bidang dan menyusupkan beberapa paham-paham tertentu yg notabenenya bertentangan dengan syariat Islam, mereka (orientalis) berusaha untuk:

    1. Mengaburkan, kemudian menggoncangkan kevalidan dan keotentakan asas ajaran Islam kedua (hadis) yg merupakan jalur pemahaman utama menuju sumbernya yg awal (al Qur’an). Bermula dari mengangkat permasalahan yg diperselisihkan oleh para ulama muslim dengan melontarkan beberapa wacana yg menimbulkan keraguan atas teks-teks nushush (hadis2 shohih) yg berkenaan dengan permaslahan tersebut. Di antaranya dengan melemparkan pertanyaan-pertanyaan tentang perawi hadis, seperti Abu Hurairah; bagaimana mungkin ia mampu meriwayatkan hadis sekian banyaknya? Bagaimana mungkin seorang imam al Zuhri, Imam bukhari, imam Muslim mampu mengumpulkan hadis-hadis yg bertebaran sedenikian rupa di beberapa tempat yg saling berjauhan?

    2. menggunakan akal sebebas-bebasnya, dengan alas an Islam sendiri menghargai akal dan pikiran. Mereka beruapaya menumbuhkanpendapat bahwa akal manusia cukup untuk mengatur segalanya, tidak perlu adanya petunjuk kitab suci untuk menuntun jalannya. Dengan demikian kaum muslimin yg terpengaruh aka meninggalkan al Quran dan kemudian lari dari ajaran agama Islam yg dipeluknya. Hingga tidak jarang kita dapati orang yg mengaku muslim, tetapi amaliah sama sekali tidak mencerminkan ia seorang muslim. Jika saran itu tercapai, maka dengan mudah mereka memompa otak kaum Muslimin dengan teori-teori, paham-paham dan doktrin ciptaan mereka, antara lain:

    a. Intelektualisme, yg pada pokoknya mengajarkan bahwa cukup dengan akal manusia dapat mencapai segala tujuan hidupnya.

    b. Matrealisme, yg pada pokoknyamengajarkan bahwa yg paling menentukan hidup manusia adalah benda.

    c. Sekularisme, yg pada pokoknya mengajarkan bahwa manusia harus dapat memisahkan masalah duniawi -yg harus dijadikan urusan pokok- dari urusan ukhrawi yg masih diragukan kebenarannya.

    Demikian itu hanyalah sebagai sample dari beberapa tantangan yg datang dari luar Islam. Sudah tentu bahaya dan tantangan yg mengancam kelangsungan hidup dan kemurnia ajaran Islam tidak dating dari kaum orientalis saja. Di sana ada juga gerakan Yahudi dengan segala bentuk dan caranya, gerakan kristenisasi dengan segala bentuk dan caranya dsb.

    Di sisi lain, bahaya dan tantangan tersebut juga datang dari kaum Muslimin sendiri, yg tidak sedikit jumlahnya, antara lain :
    1. Al Ta’ashshub al A’ma (sikap memihak yg berlebihan kepada sesorang atau kelompok tertentu, baik karena motif kekeluargaan, kekuasaan atau motif lainnya, sehingga mencari-cari dalih dan dalil untuk membenarkan sikap sendiri. Hal ini tampak pada ahir masa kekhalifahan sahabat Utsman Ibn Affan ra., Aly Ibn Abi Thalib ra. Dan seterusnya dengan munculnya aliran Syiah dan Khawarij.

    2. Masuknya pengaruh filsafat Yunani yg memunculkan aliran Mu’tazilah dsb.

    3. Masih adanya sisa-sisa kepercayaan lama, seperti Israilyyat, Majusi, dsb. Sisa-sisa kepercayaan tersebut ditambah dan dikobarkan kembali dengan sengaja oleh unsur-unsur munafiqin. Di wilayah-wilayah baru yg didatangi oleh Islam sisa-sisa kepercyaan tadi pun merupakan sesuatu yg membahayakan kemurnian ajaran agama Islam, tidak terkecuali di negeri kita Indonesia.

    4. Sikap “menentang yg lama” secara berlebih-lebihan sehingga tergelincir pada sikap “serba anti yg lama”, anti madzhab, anti ziarah kubur dsb.

    5. Kurang adanya kesadaran dalam menerima perbedaan pendapat, baik pendapat antar individu maupun antar kelompok.

    6. Munculnya upaya Deislamisasi, pendangkalan akidah umat, pemurtadan, perusakan moral, dan pemiskinan. Salah satu bentuk dari deislamisasi itu adalah gerakan tasykik (memunculkan sikap keraguan dalam umat Islam, red), sekuralisme, pluralisme, dan sikap hedonisme.

    Kelima tersebut di atas hanya merupakan beberepa contoh tantangan dakwah yan ada. Namun, apapun bentuk tantangan yg dihadapi dan dari manapun ia datang, semuanya akan bisa dilalui dengan mulus tanpa risiko yg berarti jika gerakan dakwah mempunyai kader-kader yg “mumpuni”, “tahan banting”, cekatan, tegap, tanggap dan sabar serta tulusnya niat yang baik.

    Menghadapi Tantangan Dakwah

    Da’wah memerlukan dukungan kekuatan berbagai ilmu dan kemampuan yang akan menjadikannya konfigurasi kekuatan yang tangguh. Kekuatan da’wah harus ditopang oleh pemahaman yang utuh dan benar akan minhajul hayah (Al Qur’an dan AsSunnah) dan kekuatan amal yang efektif dan produktif sebagai wasailul hayah (ilmu pegetahuan dan teknologi). Da’wah memerlukan para kader yang memiliki kepakaran dan kemampuan `ulumul qauliyah (syari’ah, fiqh, da’wah, hadits, sirah, dsb.) dan `ulumul kauniyah (teknologi, pedagogi, antrpologi, sosiologi, psikologi, geologi, dsb.).

    Da’wah yang dibutuhkan untuk memperbaiki umat adalah suatu gerakan da’wah syamilah (da’wah yang menyeluruh), da’wah yang mampu mempersiapkan segala kekuatan untuk menghadapi segala medan yang berat dan rumit: Wa a’iduu lahum mastatho’tum min quwwah (dan persiapkan lah oleh kalian segala kekuatan ). Kekuatan utama da’wah adalah para kader da’wah itu sendiri. Da’wah harus mampu mencetak kader-kader yang handal dari berbagai latar belakang kemampuan dan kemahiran yang saling bertaut memberdayakan umat. Da’wah harus bisa membangun kekuatan SDM dalam suatu jaringan dan barisan, kesamaan fikrah, kesatuan gerak dan langkah, dan kejelasan visi dan misi yang diembannya melalui suatu kepemimpinan yang cerdas, tangguh dan amanah.

    Di samping itu dakwah harus mempunyai metode penyampaian yg tepat dengan situasi dan kondisi yang ada. Masalah metode dakwah, sebenarnya telah dipraktekkan Rasul SAW selama kurang lebih 23 tahun dan berhasil merekrut jutaan orang, bahkan sekarang jumlahnya sudah sampai milyaran. Metode yg beliau pakai dalam dakwah sangat tepat dan sesuai dengan situasi dan kondisi sepanjang masa sepanjang sejarah.

    Metode tersebut adalah metode yg mulia nan suci karena berasal dari Sang Pencipta alam semesta langsung. Metode yg termaktub dalam QS. Al Nahl: 125 yg menggambarkan bahwa hendaknya dakwah itu menggunakan tiga cara ini:
    a. Hikmah: adalah keterangan yg mantap, kokoh dan benar, dalil-dalil shahih yg benar untuk mengungkapkan kebenaran dan menghilangkan keraguan. Dengan arti luas, suatu kebijaksanaan yg terukir dalam setiap langkah, ucapan, sikap dan keputusan. Orang yg bijak ia akan selalu berhati-hati dalam mengolah kata, tidak asal keluar dari mulutnya. Setiap kata yg keluar diusahakan semaksimal mungkin ada guna dan manfaatnya dan tanpa menimbulkan risiko. Kalaupun akan menimbulkan risiko tidak terlalu berarti risikonya. Hingga lisannya benar-benar terjaga dari dusta, fitnah, cerca, dan sifat lain sejenisnya. Ringkasnya orang yg bijak akan selalu menimbang antara baik dan buruk sebelum berbuat sesuatu. “Al Tafakkur Qabla al Taammul Ahsanu Natijatan min al Amal Qabl al Tafakkur”. Cara hikmah ini lebih banyak terdapat dalam sikap dan perbuatan, tepatnya tercover dalam al akhlaq al karimah. Pepatah arab berkata “Lisan al Haal Afshahu min lisan al Maqaal”. Cara ini bisa digunakan untuk dakwah dalam segala jenis objek dakwah yg ada, baik untuk golongan yg awam maupun yg mengerti, baik untuk orang pedesaan maupun orang kota, baik untuk masyarakat konservatif maupun masyarakat modern. Demikian itu karena cara ini bisa menembus hati para Mad’uwwin (objek dakwah).

    b. Al Mauidhah al Hasanah (petuah yg berguna): adalah petunjuk yang menggairahkan utuk berbuat kebenaran / kebaikan (al targhib) dan menunjukkan bahaya / akibat suatu perbuatan buruk dengan cara yang mengesankan kasih sayang seorang perawat terhadap pasien. Dengan kata lain, ucapan-ucapan baik dan bermutu, menunjukkan dan mengatakan yg benar itu benar dan akan mendatangkan kebaikan di dunia dan aherat, dan yg salah itu salah dan akan mendatangkan kesengsaraan di dunia mapun aherat. Cara ini biasanya dipakai untuk menghadapi Mad’uwwin yg tergolong awam dan orang-orang mengerti yg lalai akan kewajibannya.

    c. Al Mujaadalah billati Hiya Ahsan; adalah diskusi, dialog atau debat dengan tata cara yang lebih baik menggunakan pendekatan dengan lemah lembut. Dengan arti lain, menggunakan argumentasi-argumentasi yg benar dan kuat untuk menghadapi orang-orang yg menentang kebenaran agama Islam dan ajarannya.
    Ketiga metode tersebut tidak berarti sudah cukup untuk mencapai keberhasilan dalam dakwah. Namun, ada beberapa hal yg sangat menunjang keberhasilan dakwah yg perlu diperhatikan dalam memeraktekkan ketiga metode tadi.

    Faktor-Faktor Penunjang Keberhasilan Dakwah
    Dalam masalah dakwah, Rasul SAW lah pakarnya. Oleh karenanya dakwah harus mencermati dengan seksama bagaimana beliau dalam kurun waktu yg relatif singkat mampu menundukkan juataan umat yg sebelumnya pada suka mengkultuskan benda-benda gaib, benda-benda mati, seperti arca, berhala, patung dan benda-benda alam yg bergerak (hidup), seperti Matahari, bulan, Bintang, Pepohonan serta tempat-tempat tertentu.
    Di sana dapat ditemukan beberapa factor yg dapat menunjang keberhasilan dakwah beliau, baik yg bersifat internal (berhubungan dengan beliau sendiri sebagai Da’I) maupun yg bersifat external (berhubungan dengan segala sesuatu di luar individu beliau).

    1. Faktor Internal. Dalam diri Rasul SAW -sebagai Da’I- ditemukan beberapa hal, antara lain:

    a. Niat baik. b. Kuatnya keimanan dan ketaqwaan. c. Yakin akan pertolongan Allah.

    d. Jujur. e. Al Akhlaq al Karimah. f. Sabar dan tabah dalam segala rintangan.

    g. Ikhlas. h. Adil dan bijaksana. i. Istiqamah.

    2. Faktor External, antara lain:

    a. Kepercayaan oarang lain terhadap beliau. b.Kedekatan beliau dengan orang lain.

    c. Dukungan orang-orang dekat. d. Tunduknya pemuka masyarakat pada beliau

    e. Tujuan yg jelas dan pasti. f. Doa.

    Di sana ada banyak persamaan dengan apa yg dijadikan perinsip dalam peregerakan oleh Jam’iyyah NU dan jika dicermati perinsip-perinsip tersebut sangat tepat dipakai untuk peraktek dalam dakwah. NU yg mempunyai cita-cita menjadikan dirinya sebagai “Rahmatan lil ‘Alamiin “ (organisasi yg moderat, mampu mengayomi semua umat) pun menjadikan perinsip-perinsip tersebut sebagai sarana untuk mencapai cita-cita mulianya itu. Perinsip-perinsip tadi antara lain:

    1. Al Muhafadhah ‘Ala al Qadim al Shalih wa al Akhdzu bi al Jadid al Ashlah (melestarikan tradisi lama yg laik dan mengikuti arus baru yg lebih baik menurut syariat). Yg pertama lebih condong pada masalah akidah, ideologi dan Ibadah. Sedangkan yg kedua lebih condong pada masalah seputar akal dan otak (pemikiran/pola pikir) serta sarana-sarana kasar (produc manusia) yg membantu. Keduanya harus berjalan bersama. Jika hanya “melestarikan”, maka akan tertinggal kereta dan jika hanya “mengikuti arus”, akan menyebabkan sembrana (acuh0tak acuh & sombong).

    2. Al Tawassuth (pertengahan antara dua hal), termasuk dalam pemahamannya juga adalah al I’tidal wa al tawazun. Al I’tidal berarti tegak dan lurus, tidak condong ke kanan-an dan ke kiri-an dan al Tawazun berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak kelebihan suatu unsure atau kekurangan unsure yang lain. Perinsip ini merupakan perinsip agama Islam dan karakternya. Kata al tawassuth terdapat dalam QS. Al Baqarah: 143. Kata al I’tidal termaktub dalam QS. Al Maidah: 9 dan kata al tawazun terukir dalam QS. Al Hadid: 25.

    Manifestasi dan karakter al Tawassuth ini tampak pada segala bidang ajaran agama Islam dan harus dipertahankan, terutama oleh Ahl Sunnah wal Jama’ah. Manifestasi tersebut ada dalam:

    a. Bidang Aqidah. Yaitu keseimbangan antara penggunaan dalil aqli dan dalil naqli dengan pengertian bahwa dalil aqli juga dipergunakan, tetapi ditempatkan di bawah dalil naqli, usaha memurnikan aqidah dari segala campuran aqidah di luar Islam, dan ridak tergesa memvonis musyrik, kufur dsb terhadap mereka yg hanya karena satu dan lain hal belum dapat memurnikan tauhid/aqidahnya semurni-murninya.

    b. Bidang Syariah. Yaitu berpegang teguh pad al qur’an dan Sunnah dengan menggunakan sistem dan metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan melalui jalur-jalur yang wajar. Pada masalah yg sudah ada dalil nash sharih dan qath’i (tegas dan pasti) tidak boleh ada campur tangan pendapat akal dan pada maslah dhanniyyat (tidak tegas dan tidak pasti) dapat ditoleransi adanya perbedaan pendapat selama masih tidak bertentangan dengan perinsip agama.

    c. Bidang tasawwuf/Akhlaq. Yaitu tidak mncegah seseorang, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam dengan cara riyadhah dan mujahadah menurut kaifiyyah yg tidak bertentangan dengan perinsip-perinsip hukum dan ajaran Islam. Mencegah extremisme dan berlebih-lebihan (al ghuluwwu)yang dapat menjerumuskan orang kepada penyelewengan aqidah dan syariat. Berpedoman bahwa akhlaq yg luhur selalu berada di antara dua ujung sikap yg extrem (al tatharruf), misalnya sikap berani berada di antara penakut dan sembrono, tawadhu’ (menempatkan diri secara tepat) merupakan sikap penengah antara takabbur (sombong) dan tadzallul , sifat dermawan berada antara sifat bakhil dan boros, dll.

    d. Bidang interaksi social. Yaitu mengakui watak manusia yg selalu senang berkelompok berdasarkan unsure pengikatnya masing-masing. Pergaulan antar golongan harus diusahakan berdasar atas saling mengerti dan saling menghormati. Permusuhan terhadap suatu golongan hanya boleh dilakukan terhadap golongan yang nyata memusuhi agama Islam dan Muslimin.

    e. Bidang kehidupan bernegara. Yaitu negara nasional (yg didirikan bersama oleh seluruh rakyat) wajib dipelihara dan dipertahankan eksisitensinya. Penguasa negara y sah harus ditempatkan pada kedudukan yg terhormat dan harus ditaati selama tidak menyeleweng, dan atau memerintah pada sesuatu yg bertentangan dengan hukum dan ketentuan Allah SWT. Jika terjadi kesalahan dari pihak pemerintah, cara memperingatkatnya dengan cara yg sebaik-baiknya.

    f. Bidang kebudayaan. Yaitu, kebudayaan -termasuk di dalamnya adat-istiadat, tata pakaian kesenian dsb- adalah hasil budi daya manusia yg harus ditempatkan pada kedudukan yg sewajarnya, dan bagi Muslimin, kebudayaan harus dinilai dan diukur dengan norma-norma hukum dan ajaran agama. Kebudayaan yg baik menurut agama dari manapun datangnya, dapat diterima dan dikembangkan dan senaliknya, yg tidak baik harus ditinggalkan. Kebuyaan lama yg baik dipelihara dan dikembangkan. Sedangkan budaya baru yg lebih baik dapat dicari dan dimanfaatkan. Tidak boleh ada sikap apriori, yakni selalu menerima yg lama dan menolak yg baru atau sebaliknya selalu menerima yg baru dan menolak yg lama.

    g. Bidang dakwah. Yaitu, berdakwah dengan mengajak masyarakat utnuk berbuat menciptakan keadaan yg lebih baik menurut ukuran agama. Harus dilakukakn dngan sasaran dan tujuan yg jelas. Harus dilaksanakan dengan keterangan yang jelas, petunjuk yg baik.

    3. Al Tasamuh (toleransi). Yaitu dakwah dengan mempertimbangkan kemaslahatan bersama demi meminimalisir risiko yg akan ditimbulkan. Dapat menerapkan metode dakwah dan menjalaninya selaras dengan sikon yang ada, seperti hal pengharaman khamr (narkotika) misalnya, tidak langsung mengatakan kepada para pecandu bahwa khamr itu haram, yg mengonsumsinya akan masuk neraka selamanya, tidak boleh membuka aurat sembarangan kepada mereka yg biasa membukanya, dll. Akan tetapi pelarangan dan perintah bias disampaikan secara step by step dengan melihat sikon mad’uwwin.

    Khatimah

    Dari beberapa uraian di atas bias disimpulkan bahwa keberhasilan dakwah itu intinya bersumber dari kader dakwah (dai) itu sendiri dan metode yg dipakai. Sebagaimana Rasul SAW yg telah berhasil merubah kehidupan yg maha gelap menjadi alam yg sangat terang benderang (Islam). Demikian itu beliau jalani dengan seorang diri di awal perjuangan dakwahnya.

    Jika boleh dikatakan penulis mencoba melemparkan satu wacana metode dakwah yg insyaallah akan bias membantu keberhasilannya menuju cita-cita yg diharapkan, yakni menciptakan masyarakat yg ber-IPTek dan ber-ImTaq tinggi, hingga masyarakat akan hidup dalam kedamaian dan ketentraman di bawah naungan ridha Ilahi.

    Metode tersebut adalah dakwah ala “sepak bola”, yakni dakwah yg teroganisir oleh suatu lembaga tertentu yg memilki beberapa team militan bersatu dalam satu tujuan. Di sana ada “keeper”, yg berarti para kiyai dan tokoh masyarakat yg mempunyai massa teretntu (pesantren/madrasah/sekolah). Di mana tugas utamanya adalah mendidik generasi dengan bekal-bekal Islami dan membentengi mereka dari serangan-serangan luar. Jangan sampai ada paham-pahm luar yg mengahncurkan masuk ke “gawang otak” mereka.

    Selain “keeper” ada “bek” yg terbagi menjadi dua, “bek kanan” dan “bek kiri”. “Bek kanan” berarti para “politikus” dan “negarawan” (orang-oarang pemerintahan) yg bertugas mengatur siasat jalannya dakwah di medan yg luas dengan mencari informasi dari luar kemudian menyampaikannya ke dalam serta membentengi pemahaman-pemahaman anak didik “keeper” dari serangan musuh, dan “bek kiri” berarti para “hartawan yg dermawan” yg bertugas menyuplai segala keperluan dan kebutuhan dakwah.

    Kemudian ada juga “penyerang tengah”, yg berarti para “dai local” yg bertugas menyampaikan dasar-dasar pemahaman agama yg benar, dan terarhir adalah “penyerang depan” yang berarti para “dai nasional” dan “dai internasional”, yg bertugas melawan serangan-serangan musuh dengan argumentasi yg benar dan mematikan. Sehingga musuh tidak berkutik dan tidak berani lagi mengusik ketenangan umat Islam karena merasa segan dan minder.

    Nah, semua itu akan membuahkan hasil yang gemilang dalam mencapai cita-cita dakwah jika kesebelasan tersebut bias menjalankan tugasnya masing-masing dengan tanpa mengenyampingkan lemparan bola dari teman seperjuangannya. Bukan saling berebut meng-goal-kan bola ke gawang musuh hanya demi ketenaran sesaat saja.

    Demikian yang penulis sampikan. Semoga tulisan yg dinuqil dari beberapa artikel yg diambil dari ineternet dan sedikit bacaan dari buku yg ada di tangan penulis, mampu membuka ckrawala jalan pikiran kita. Semoga menjadi tabungan amal shalih bagi penulis dan bermanfaat bagi setiap pembaca.

    more
  • BERINTERAKSI DENGAN AL QUR'AN
    BERINTERAKSI DENGAN AL QUR'AN
    By: Anas El Malawi

    “Tidak menyentuhnya (al Qur’an) kecuali orang-orang yang disucikan” (QS. Al Waqi’ah)
    “Sebaik-baik orang di antara kalian adalah orang yang mempelajari al Qur’an dan mengajarkannya” (Hadis)
    Al Qur'an merupakan Kitabullah yang Agung. Ia merupakan undang-undang dasar dan satu-satunya a way of life yang paling otentik dan valid bagi kehidupan manusia di muka bumi ini. Ia adalah wahyu Allah kepada RasulNya yang terahir, Muhammad saw. Ia adalah kitab samawi (kitab yang turun dari langit; wahyu Allah) yang terahir diturunkan di bumi. Meskipun paling ahir turunnya, ia merupakan kitab suci yang paling mulia kedudukan dan posisinya di sisi Allah swt. Ia diturunkan ke bumi ini guna untuk memberi petunjuk umat manusia, mengantarkan mereka pada kebahagiaan dunia dan aheratnya. Ia merupakan "cahaya dan sinar" dunia yang menerangi alam semesta.
    Oleh karena itu, sudah sepantasnya al Qur'an mendapat pengagungan dari pelaksana ajarannya. Di mana merupakan suatu kewajiban bagi kaum Muslimin untuk mengagungkannya dengan merealisasikan kandungannya dalam kehidupan sehari-hari semaksimal mungkin dengan cara yang benar. Agar bisa memperoleh kebahagiaan dunia dan aherat kelak -sebagaimana jalan yang ditempuh para pendahulunya-, kaum muslimin dianjurkan dengan sangat untuk senantiasa membaca, mempelajari dan menelaah kandungannya, kemudian berupaya untuk mempraktekannya dalam kehidupan nyata.
    Di antara cara memuliakan al Qur'an adalah tidak menyentuhnya kecuali dalam keadaan suci. Demikian itu karena al Qur'an merupakan Kalamullah yang mulia nan suci, sebab ia ditendensikan pada Allah Sang Pencipta Yang Maha Suci. Tidak dibenarkan bagi orang mukmin menganggap enteng masalah ini (menjaga kemuliaan al Qur'an) dan menyentuh al Qur'an dalam keadaan batal (tidak punya wudhu' atau punya hadas besar, seperti junub, haid, nifas dll), karena Rasul saw pernah menulis sebuah wasiat kepada 'Amr Ibn Jazm yang berbunyi: "Dan hendaknya al Qur'an itu tidak disentuh kecuali oleh orang yang suci" .
    Rasulullah saw yang merupakan penerima al Qur'an dan termasuk orang-orang yang paling dekat dengan Allah swt saja sangat begitu memuliakan al Qur'an, sampai-sampai beliau melarang orang yang tidak punya wudhu agar tidak menyentuhnya. Lantas bagaimana dengan kita yang penuh dengan noda dan dosa ini? Apakah kita akan mencoba tidak mengikuti perintah Rasul saw dalam hal ini? Apakah larangan menyentuh al Qur'an bagi orang-orang yang tidak punya wudhu itu larangan secara mutlaq ataukah hanya terbatas dalam keadaan-keadaan tertentu?

    Memahami Ayat Larangan Menyentuh Al Qur'an Bagi Yang Berhadats
    Dalam surat al Waqi'ah ayat 75-87, Allah swt berfirman: "Maka Aku bersumpah dengan masa turunnya bagian-bagian Al-Quran. Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar kalau kamu mengetahui. Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. Diturunkan dari Rabbil 'alamiin. Maka apakah kamu menganggap remeh saja Al-Quran ini? kamu mengganti rezki (yang Allah berikan) dengan mendustakan Allah. Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal kamu ketika itu melihat, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. Tetapi kamu tidak melihat, maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah)? Kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar?".
    Dalam ayat tersebut ada beberapa kata yang diperselisihkan artinya oleh ulama tafsir. Antara lain di sana terdapat kata "pada kitab yang terpelihara" yang dalam Arabnya berbunyi "fii kitaabin maknun". Para ulama tafsir berbeda-beda pendapatnya dalam memahami kalimat tersebut.
    Di sana ada yang menafsiri bahwa yang dimaksud dengan "kitaabin maknun" adalah "allauhul mahfudh" (papan yang terpelihara dan terjaga selalu), yakni al Qur'an itu tersimpan dan tidak terlihat oleh mata, karena berada dalam alam gaib, lauh mahfudh. Tidak ada seorang pun yang bisa melihatnya selain malaikat, itupun hanya sebagian mereka saja yang bisa melihat, yaitu malaikat Jibril dan Mikail. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Ibnu Abbas ra, salah seorang Sahabat Nabi yang terkenal ahli di bidang tafsir al Qur’an.
    Ada juga yang berpendapat bahwa yang di maksud al Qur'an dalam ayat tersebut adalah al Qur'an yang tertulis sebagaimana yang ada di sekeliling kita, bukan al Qur'an yang tersimpan dalam "allauhul mahfudh" tadi. Karena sebenarnya al Qur'an itu juga tersimpan dalam hati para penghafalnya, hingga seolah-olah al Qur'an itu tidak tampak oleh mata orang lain. Pendapat ini didukung oleh ulama pakar tafsir, antaranya Imam Mujahid dan Qatadah.
    Menurut pendapat kedua ini, kata "maknuun" di atas mempunyai arti "yang terjaga dari pergantian dan perubahan", sebagaimana yang difirmankan Allah: "Aku telah menurunkan "suatu pengingat" (al Qur'an), dan Aku lah yang Menjaganya" (QS. Al hijr: 9).
    Permasalahan kedua terdapat pada kalimat “Laa Yamassuhu Illa Muthahharuun” (tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan). Di sana terdapat dhamir (kata ganti) “hu” (nya), yang terdapat beberapa pendapat mengenahi kembalinya dhamir tadi. Apakah dhamir itu kembali pada Al Qur’an sebagaimana yang ada di sekeliling kita, hingga larangan menyentuhnya itu bisa ditetapkan dengan ayat di atas? Ataukah dhamir itu kembali kepada kitabullah (al Qur’an) yang ada di lauh mahfudh, hingga larangan menyentuh al Qur’an bagi orang yang berhadats itu tidak bisa ditetapkan dengan ayat di atas?
    Pendapat pertama yang disepakati oleh mayoritas (hampir keseluruhan) ulama syari’at (fikih) adalah haram menyentuh al Qur’an bagi orang yang berhadats, baik hadas kecil maupun hadats besar.
    Pendapat kedua memperbolehkan untuk menyentuh al Qur’an bagi orang yang berhadats, baik hadas kecil maupun hadas besar karena keadaan darurat, seperti untuk belajar & mengajar, menemukan al Qur’an jatuh di lantai / di sampah dll. Sebagaimana kaedah fikih mengatakan “Adldlaruratu Tubihul Mahdhuraat” (Keadaan darurat (demi kebaikan) membolehkan seseorang untuk melakukan yang dilarang).
    Permasalahan ketiga adalah pada kata “Illal Muthahharuun” (kecuali orang-orang yang disucikan). Di sana ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud “Muthahharun” adalah para malaikat yang disucikan dari segala jenis perbuatan maksiat, yang berarti sesuai dengan pemahaman yang mengartikan “fii kitaabin maknuun” dengan “al Qur’an yang berada di lauh mahfudh”. Dan ada pula yang menafsirinya dengan “orang-orang yang disucikan dari hadas kecil dan hadas besar”, yang berarti sesuai dengan pemahaman yang mengartikan “fii kitaabin maknuun” dengan “al Qur’an yang berada di dunia ini”.
    Jika yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah al Qur’an yang ada di lauh mahfudh dan Allah swt memerintahkan untuk memuliakannya dengan melarang orang yang berhadas untuk menyentuhnya, maka al Qur’an yang ada di dunia pun seyogyanya dimuliakan dengan cara tidak menyentuhnya dalam keadaan tidak suci.
    Sebenarnya hukum larangan menyentuh al Qur’an bagi orang yang mempunyai hadats itu telah disepakati oleh para ulama yang berkompeten. Hanya saja mereka berbeda pendapat dalam dalil yang melarangnya. Apakah dalil larangan tadi diambil dari ayat tersebut di atas? Ataukah larangan itu diambil dari hadis Nabi saw?
    Ringkasnya, ayat tersebut di atas dan beberapa hadis Rasul saw menjelaskan bahwa diwajibkan dalam keadaan suci untuk menyentuh al Qur’an. Sebagaiamana dikatakan dalam hadis Rasul saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Hiban dan Ashabussunan (Penyusun kumpulan-kumpulan hadis Rasul saw) bahwa Rasul saw pernah menulis surat pada penduduk Yaman, yang di dalamnya terdapat “…dan tidaklah boleh menyentuh al Qur’an kecuali orang yang suci”.
    Pendapat ini juga dikuatkan oleh perbuatan para sahabat Rasul. Di mana mereka senantiasa menyuruh anak-anaknya untuk berwudhu terlebih dahulu sebelum menyentuh al Qur’an.
    Pun juga kita dianjurkan untuk membawa al Qur’an dengan sopan, membacanya dengan benar sesuai dengan tajwidnya, mendengarkannya dengan seksama jika dibaca dan meletakkannya di tempat yang lebih tinggi dari lutut kaki kita. Karena tempat tinggi itu menggambar ketinggian derajat. Sebagaimana kita juga akan merasa senang jika karya kita dimuliakan orang lain seperti itu.

    Ayat-Ayat Tentang Al Qur’an & Interaksi Umat Manusia Terhadapnya

    “Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya mereka itu beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (Al Baqarah: 121)

    “Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus”. (Aly 1mran: 101)

    “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”. . (Aly 1mran: 103.)

    “Dan apabila kamu tidak membawa suatu ayat Al Quran kepada mereka, mereka berkata: "Mengapa tidak kamu buat sendiri ayat itu?" Katakanlah: "Sesungguhnya aku hanya mengikut apa yang diwahyukan dari Tuhanku kepadaku. Al Quran ini adalah bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman." (Al A’raf: 203)
    “Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat” (Al A’raf: 204). Maksudnya; : jika dibacakan Al Quran kita diwajibkan mendengar dan memperhatikan sambil berdiam diri, baik dalam sembahyang maupun di luar sembahyang, terkecuali dalam shalat berjamaah ma'mum boleh membaca Al Faatihah sendiri waktu imam membaca ayat-ayat Al Quran.

    “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (Al Anfal: 2)

    “(yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka” (Al Anfa: 3l)

    “Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk”. (Al Nahl: 98)

    “Dan apabila kamu membaca Al Quran niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup”, (Al 1sra’: 45)

    “Dan Kami adakan tutupan di atas hati mereka dan sumbatan di telinga mereka, agar mereka tidak dapat memahaminya. Dan apabila kamu menyebut Tuhanmu saja dalam Al Quran, niscaya mereka berpaling ke belakang karena bencinya” (Al 1sra’: 46.)

    “Katakanlah: "Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud,” (Al 1sra’: 107)
    Demikian kajian singkat dalam masalah berinteraksi dengan al Qur’an yang dapat disuguhkan. Semoga bermanfaat bagi kita semua dan semoga kita dijadikan orang-orang yang gemar membaca al Qur’an dengan bacaan yang benar, hingga kelak kita akan memperoleh syafaat (pertolongan) darinya, amiiin.

    * Tulisan ini disarikan dari kitab “Tafsir Ayat al Ahkam”. Syekh Aly al Shabuni. Juz 2. Bab “Haram Menyentuh Mushaf”. Hlm. 358-369




    more
  • MENCARI JALAN MENUJU TAQDIR TUHAN
    MENCARI JALAN
    MENUJU TAQDIR TUHAN

    By: Anas MAs’udi El Malawy



    Perjalanan hidup manusia di muka bumi ini, belum diketahui oleh siapapun kapan akan berarkhir. Rasul saw yang merupakan hamba suci dan yang paling dekat dengan Tuhan pencipta alam pun, tidak tahu dengan pasti kapan kehidupan manusia di muka bumi ini akan berarhir. Hanya saja beliau telah diajarkan oleh Sang Sutradara kehidupan akan tanda-tanda berahirnya kehidupan manusia itu, bahkan berahirnya kehidupan semua makhluq penghuni alam semesta ini.

    Tanda-tanda itupun disampaikan oleh Pemeran Utama dalam menjalankan scenario Tuhan (Rasul saw) kepada penghuni jagat raya melalui Ajudan PribadiNya (malaikat Jibril). Demikian itu tercover dalam suatu hadis yg diriwayatkan oleh Umar Ibn Khathab -yang juga merupakan actor berpengaruh pada kelangsungan scenario kehidupan di lapangan- melalui salah satu panji pemelihara kalam-kalam suci Atkor Utama (hadis Rasul) dalam sandiwara dunia ini. Ialah Imam Bukhari, yang telah berupaya keras dengan mengikuti petunjuk Sang Sutradara behasil mengumpulkan kalam-kalam tersebut, hingga keotentikannya dapat dijamin.

    Di mana dalam kalam tersebut dijelaskan bahwa “kehidupan di alam semesta ini akan segera berhenti total manakala ditemukan ada seorang anak memperbudak ibunya sendiri, ada seorang yang dulunya kere (miskin) yang tubuhnya tak tertutup oleh sehelai benang (telanjang), namun sekarang telah menjadi jutawan yang congkak nan sombong, ia lupa akan masa lalunya. Namun, kadang –dalam berpakaian- ia seolah-olah mengingat masa lalunya itu. Tapi, ironisnya, yang diingat hanya dari sisi pakaian saja. Dulu, ia hanya bisa menutupi kemaluannya saja, itu karena memang ia tidak punya apa-apa. Namun sekarang ia kadang berpenampilan sama, hanya saja bahan dan merk penutup kemaluannya itu yang berbeda. Dan itu dengan sengaja dilakukan dengan tanpa merasa ada noda dalam hati dan perbuatannya, karena pergaulannya yang telah mendunia bersama dengan orang-orang yang tidak kenal agamanya.

    Pun jika ada gedung-gedung pencakar langit mulai memenui hawa. Ditambah lagi jika gunung-gunung yang gagah perkasa sudah sering muntah akibat batuk-batuk asmanya, yang kadang menelan korban jiwa, jika genangan air dikolam raksasa (laut/samudera) mulai dikuras dan dikeluarkan dari tempatnya oleh Si Empunya (Allah swt), jika kemaksiatan sudah menjadi tradisi yang tidak ditakuti, jika minuman keras sudah menjadi suguhan tiap acara seremonial, jika pergaulan laki-perempuan sudah tak ada batas, jika semua itu sudah nyata di mata, maka Sang Sutradara pun tidak segan-segan untuk mengahiri sandiwaraNya untuk episode dunia, yang kemudian berpindah pada episode selanjutnya”. Kalau sandiwara sudah mau berahir, kira-kira apa yang akan kita dapatkan nanti pada episode berikutnya (aherat)? Kira-kira apa peran kita dalam episode berikut? Masih berkenankah Sang Sutradara menempatkan kita pada peranan yang terlintas dalam asa?

    Kita semua tidak akan bisa menjawabnya dengan pasti. Hanya saja dalam ikrar pertama sebelum kita menjadi pemeran dalam sandiwara dunia, Sang Sutradara telah menjelaskan pada kita bagaimana caranya untuk bisa menjadi Pemeran yang baik, bagaimana caranya untuk bisa terus meningkatkan karir kita dalam sandiwara ini, semuanya telah ditunjukkan oleh Sang Sutradara dalam buku scenario suciNya (Al Qur’an). Di mana jika kita beracting seseuai dengan scenario yang tertulis di dalamnya, maka pada episode berikutnya sangat memungkinkan sekali kita akan mendapat peranan yang layak. Dan setiap episode dari masing-masing sandiwara telah ditetapkan oleh Sang Sutradara (Allah) dalam scenario taqdirNya yang tidak bisa diketahui oleh pemeran biasa. Semuanya mengikuti taqdirNya.

    Sebagaimana yang dialami oleh Awy saat ia kebingungan mengenahi suratan hidupnya. Saat itu, Awy duduk di bangku ahir tingkat menengah atas di sebuah yayasan pendidikan agama (pesantren).

    Pada awal tahunnya, ia tidak begitu berpikir jauh. Ia hanya berpikir pada yang ada di depan matanya. Saat itu ia dipercaya oleh dewan kepengurusan yayasan untuk memegang kebendaharaan pusat utuk yayasan dan koperasi local. Jadi hari-harinya haya sibuk memikirkan tugas yang amanatkan padanya. Di samping itu ia juga hampir setiap hari dimintai menemani belajar putera-puteri sang Direktur yayasan. Pagi sekolah, pulang sekolah langsung masuk ke koperasi dan malam harinya masuk ke rumah sang Direktur untuk anak-anaknya tadi.

    Dari hari ke hari, kehidupan Awy dijalani dengan menjalankan amanat-amant tersebut. Hingga sama sekali tidak terlintas dalam benaknya untuk memkirkan bagaimana masa depannya nanti.
    Setengah tahun dilalui dengan aman, tentram damai nan sentosa. Hingga suatu hari, tiba-tiba Awy tampak murung, muka pucat, tubuhnya lunglai, pikirannya kalut, sampai-sampai ia batuk dan mengeluarkan darah segar dari mulutnya. Namun, demikian itu tidak seorang pun dari temannya yang tahu, karena itu terjadi waktu jam istirahat siang. Awy, berusaha menutupi kegelisahan hatinya yang selalu dihantui pikiran-pikiran yang menyusup pada otaknya.

    Tiba-tiba ia berpikir keras tentang masa depannya. Mungkin karena ia meliht usianya yang sudah lumayan dewasa, namun ia belum mempunyai bekal sedikit pun untuk meniti masa depan rumah tangganya. Sedangkan ijazah dari pesantrennya tidak mungkin bisa dipakai untuk pegangan dalam mencari bekal tadi. Ia selalu berpikir bagaimana nanti masa depannya? Ia merasa dirinya lahir dari kalangan keluarga yang sangat sederhana, tak punya banyak harta. Di usia yang mendekati masa-masa hidup di rumah tangga, ia masih duduk di bangku sekolah. Setelah lulus dari pesantren, tidak mungkin ia akan melanjutkan sekolah lainnya, karena tidak ada biaya. Benar-benar kacau pikiran Awy waktu itu.

    Ia sudah berusaha keras menghalau datangnya pikiran tersebut selalu saja gagal. Semakin hari pikiran itu semakin mengental di kepalanya, hingga sampai-sampai dirasa kepalanya akan pecah. Ia berusaha menyibukkan dirinya dengan berbagai aktifitas, namun tetap saja, tidak bisa.
    Ahirnya, suatu hari Awy mencoba merenungi ayat-ayat suci Al Quran yang dibacanya hampir tiap hari selesai shalat dhuhur. Saat itu ia membaca ayat “Qulillahumma Maalikal Mulki, Tu’til Mulka Man Tastaa’, wa Tanzi’ul Mulka Mimman Tasya’, wa Tu’izzu Man Tasya’, wa Tudzillu Man Tasya’, Biyadikal Khoir ….(sampai) wa Tarzuqu Man Tasyaa’u Bighoiri Hisaab”.

    Ia baca berulang-ulang ayat tersebut. Ia resapi maknanya, ia renungi kandungannya, “Katakanlah….Ya Allah, Rajanya para raja, Engkau berikan kekuasaan pada orang yang Engkau kehendaki, Engkau cabut kekuasaan itu dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Semua kebaikan ada dalam genggamanMu……dan Engkau akan memberi rejeki dengan tanpa hisab pada orang yang Engkau kehendaki” .

    Dengan merenungi ayat tersebut, ia bisa menemukan jawaban dari pikiran-pikiran yang selalu menghantuinya. Ia mulai bisa mahami arti hidup ini dengan landasab bahwa semua scenario kehidupan di dunia yang fana ini telah diatur dan ditetapkan oleh Allah swt sejak sebelum adanya alam semesta. Ia tidak akan membiarkan hambanya tersia-siakan dalam hidupnya, terlebih hambanya yang bertaqwa. Kehidupan hamba yang bertaqwa baik di dunia maupun di aherat akan dijamin oleh Allah swt “Wa Man Yattaqillaha, Yaj’al Lahuu Makhrojan, wa yarzuqhu Min Khaitsu Laa Yahtasib”. Dan karena Allah swt tidak akan membebani hambanya dengan amanat yang diluar kemampuannya, Awy berpikir segala sesuatu yang ada di depan mata-apapun bentuk dan permasalahannya- akan ia hadapi dengan penuh keyakinan bahwa jika hal itu memang tugasnya, atau kewajibannya, ia yakin akan bisa menjalankannya dengan baik. Hingga ahirnya, Awy dapat meneruskan hidupnya dengan penuh ketenangan dan kesabaran. Dan ahirnya ia bisa melanjutkan studynya di perguruan tinggi Malang tanpa ada perencanaan sebelumnya. Ia selalu berjalan mengalir apa adanya. Ia berperinsip “Man Yanshur, Yunshar” (barang siapa yang menolong, akan ditolong). Itu ia sandarkan pada hadis Nabi saw “Wallahu fii ‘Aunil 'Abdi Maa Kaanal Abdu fii ‘Auni Akhihi” (Allah slalu menolong hambaNya selama ia mau menolong saudaranya)..

    more