• SABAR VS EGOIS
    By: Afy Fuady

    Pada umumnya setiap insan memiliki sifat ego. Hanya saja kadang ada yang mampu mengendalikannya dengan baik, hingga jarang sekali tampak di muka umum sifat egoisnya. Ada pula yang kurang mampu bahkan cenderung terbawa egonya yang tinggi, hingga seringkali perilakunya mengundang amarah dirinya dan kadang orang lain juga.

    Suatu malam di kamarku tanpa sengaja ada obrolan kecil bersama teman roommate dan flatmate yang keduanya sama-sama berasal dari Nigeria. My roommate terkenal di kampus sebagai penyair yang lumayan tenar di kalangan mahasiswa. Menurut dia sendiri, namanya sebagai penyair melambung di kampus setelah ia membawakan sebuah siir Arab tentang “al Qoid Muammar Qadhaafi”, pahlawan revolusioner Libya, dalam suatu acara peringatan hari revolusi Libya pada bulan September di aula kampus Kuliah Dakwah Islamiah. Siir itu memang sangat indah dan mengagumkan. Di sana menggunakan qafiyyah (istilah untuk ahir setiap bait siir Arab) ya’iyyah yang semuanya berbunyi “Qadhdhafy”. Aku pun sempat diberi olehnya copian siir tersebut.


    Sedangkan my flatmate adalah mahasiswa yang sangat aktif dalam banyak kegiatan. Konon kabarnya ia mempunyai perkumpulan anak muda-anak muda di daerahnya. Dalam perkumpulan itu ia terkenal dengan sebutan “syekh”, begitu cerita yang sempat disampaikannya sendiri padaku. Di kampus KDI sendiri, keaktifannya terbukti dalam andilnya di beberapa perkumpulan. Di Mu’tamar Thullaby (badan ekskutif mahasiswa;BEM), ia dipercaya menangani bidang informatika. Di kelas, ia menjabat sebagai Raidul fasl (ketua). Begitu juga di lajnah tahun empat kuliah, ia dipercaya di bidang tsaqofah wal tarbiyah.


    Adapun obrolan itu terjadi saat aku makan malam dengan menu nasgor (nasi goreng) bersama roommate. Kemudian flatemate datang dengan membawa makanan sendiri. Awalnya mereke basa-basi dan banyak “mujamalah” (menyanjung yang berlebihan tidak pada tempatnya) kepadaku.


    Lantas aku mulai bercerita tentang sedikit pengalamanku waktu bertemu dengan beberapa orang sufi. Bahwasannya di antara sebagian paham sufy dalam jenjang pendidikannya itu ada jenjang yang namanya khumul. Suatu jenjang di mana sufy menyembunyikan kehidupannya dari khalayak ramai. Demikian bertujuan menguji kemampuan hati untuk bisa menerima dengan mudah suatu pujian dan celaan dari orang lain. Dalam kata lain, dengan jenjang ini seorang sufy tidak akan goyah pendiriannya untuk selalu menyandarkan amaliahnya hanya kepada Allah semata saat dipuji orang atau dicelanya. Sebab amal tanpa ikhlas bagaikan jasad tanpa nyawa.

    Begitu juga aku ceritakan sekilas kehidupan sebagian pelacur yang dulunya mantan pengajar TPQ (taman pendidikan al Qur’an). Mereka sempat terheran mendengar cerita ini. Masa sih, seorang pengjar al Qur’an sampai terjerumus ke lembah hitam pelacuran? tanya sang “syekh” (flatmate). Kalian jangan keburu kaget dan heran, jawabku. Bahkan ada juga anak seorang kiyai yang hampir terjerumus ke dalam lembah setan tersebut. Semua itu -menurut pencermatanku selama ini- kebanyakan disebabkan oleh faktor finansial, lebih tepatnya faktor kemiskinan.

    Ada juga seorang kiyai yang bercerita bahwa ulama itu dibagi menjadi tiga, yaitu ulama silha (bersila; para pendidik dan pengajar umat), ulama silat (politikus dan dai) dan ulama silem (para sufy dan auliya; Allah). Begitu juga penuntut ilmu dibagi menjadi tiga, yaitu pembaca ilmu (buku), pengamal ilmu dan pembaca dan pengamal ilmu.

    Selain itu aku juga sempat mengutaran suatu ide teori dakwah yang aku ambil dari permainan sepak bola. Di mana dalam permainan sepak bola umumnya ada 11 pemain. Masing-masing pemain mempunyai posisi dan tugas tersendiri, namun semuanya bersatu-padu dalam menggiring bola ke satu tujuan yaitu gawang lawan. Demikian juga dalam berdakwah, seharusnya ada yang menjadi keeper, back kanan, back kiri, penyerang tengah dan penyerang depan.


    Keeper bisa disamakan dengan para kiayi, ustadz dan tokoh masyarakat yang mempunyai yayasan, sekolah atau pesantren. Mereka bertugas melindungi anak didiknya dari bola pemikiran Barat yang merusak dan menghancurkan umat agar tidak bisa menembus masuk ke dalam gawang pemikiran para santri/siswa/mahasiwa.


    Bagian back kanan, dapat diartikan sebagai seorang hartawan yang dermawan yang siap membantu berjalannya dakwah sepenuhnya dengan harta kekayaannya. Sedangkan back kiri, bisa diartikan sebagai para politikus yang mengatur jalannya dakwah dan mencari informasi aktual tentang perkembangan politik-sosial di lapangan.


    Sedangkan penyerang tengah, dapat diartikan sebagai para dai lokal (daerah & nasional) yang bertugas menyampaikan ajaran-ajaran agama yang benar kepada masyarakat sekitar. Dan penyerang depan, dapat diartikan sebagai para dai kelas iternasional dan multi-fungsional yang bertugas menopang serangan-serang ghazwul fikri (perang pemikiran) dari Barat dan non Muslim serta bertugas melebarkan sayap dakwah menembus dinding pertahanan “lawan” hingga nantinya mampu menaklukkan lawan dan pada ahirnya mau bergabung dengan kita dalam satu bendera (Islam) dengan tulus. Demikianlah obrolanku malam itu bersama dua mahasiswa dari Nigeria. Kira-kira hampir dua jam obrolan tersebut berlangsung. Baru setelah itu sang “syekh” mohon diri karena ada acara muhadharah dan ia pun sudah ditunggu temannya. Sedangkan sang penyair tadi, kembali melakukan aktivitasny membeca dan membaca terus.


    Keesokan harinya, aku sahur bersama sang penyair tadi untuk berpuasa di hari ‘arafah. Itung-itung ittiba’ (mengikuti) sunnat Rasul saw. Setelah sahur, tidak lama kemudian terdengar adzan subuh dikumandangkan. Kami pun shalat berjamaah di kamar. Dalam shalat berjamaah, pasti sang penyair meminta aku yang jadi imam. Setelah shalat subuh, ia tidur. Sedangkan aku eada sibuk menulis makalh buat persiapan nadwah (semacam seminar) yang akan diselenggarakan oleh tahun empat kuliah setelah Ied al Adha.

    Begitu sang penyair bangun, ia lantas ke kamar mandi, kemudian shalat sunnat (mungkin shalat dhuha) empat rakaat. Setelah itu aku perhatikan ia rada sibuk dengan suatu pekerjaan. Sedang aku masih menghadap laptopku, melototi tulisan-tulisan arab, mencari data tentang tema yang akan sampaikan pada seminar nanti (kalau jadi), yaitu tentang pemuda dan tantangan zaman atau dalam bahasa Arab “Al Syabab Abnaa’uz Zaman, Fakaifa Taro?” (pemuda adalah anak zaman, bagaimana pendapat anda?).

    Sang penyair aku perhatikan rada kerepotan dengan pekerjaan. Aku sengaja membiarkannya menyelesaikan sendiri, karena aku cermati apa yang dilakukannya itu hanya bermanfaat pada dirinya sendiri.. Bagaimana tidak? Pasalnya, dalam flat kami terdapat empat kamar. Masing-masing kamar biasanya dihuni tiga orang mahasiswa. Namun untuk tahun ini kebetulan jenjang kami tahun empat diperkenankan menggunakan satu kamar untuk dua orang saja.


    Sedangkan di flat kami, hanya ada empat penghuni tetap. Namun, dari empat kamar tadi yang kami pakai Cuma tiga kamar. Sedangkan yang satu, kami biarkan kosong tidak terpakai. Nah, melihat ada kamar kosong, sang penyair punya iniasif untuk memanfaatkannya. Ahirnya dia sendirian membersihkan kamar kosong itu, sampai kelihatan rapi. Setelah selesai ia tutup pintunya. Sesekali ia menggunakannya untuk membaca dan rebahan. Kadang aku pun turut menggunakannya saat ada adik kelas datang minta tolong belajar bersama.

    Pagi itu, ia lagi membenahi pintu kamar tadi dan memasanginya dengan tirai. Setelah selesai, ia bilang padaku. Nas, aku ingin mengganti kunci kamar kita ini dengan kunci kamarku yang lama. Soalnya kunci yang ada sekarang ini tidak bisa kita kunci dari dalam. Aku sebel dengan orang yang kadang-kadang di malam hari waktu tidur datang nyelonong masuk ke kamar kita, katanya. Ok, nanti aku bantu. Tapi, sebntar…kamu punya anak kunci berapa? Tanyaku. Aku hanya punya satu. Memangnya kenapa, ia balik tanya. Kalau begitu nanti saja, jawabku. Aku tidak sabar Nas. Aku ingin kunci ini segera diganti, biar bisa kita kunci dari dalam, katanya.


    Aku diam tidak komentar apa-apa. Aku lihat ia berusaha membuka kunci pintu yang terpasang dan kemudian menggantinya dengan yang baru ia ambil dari kamar lamanya. Naumn, ia merasa kesulitan dan tidak bisa menggantinya. Ahirnya ia bilang “kenapa kamu biarkan aku bekerja sendirian?”. Sengaja aku biarkan kamu sendirian, karena seperti yang aku katakan tadi, baiknya kita ganti kunci itu setelah ada dua anak kunci (digandakan). Jika kamu ganti sekarang, sedangkan kuncinya hanya satu, lantas siapa yang pergi ke “madinah” (kota) untuk menggandakan kunci tadi? Aku menyanggahnya. Kamu kan mau keluar beberapa hari! Ia menimpali perkataanku. Benar, tapi kalau aku pulang dan aku menemukan pintu terkunci sedangkan kamu tidak ada di kamar, bagaimana? Jawabku dengan nada rada tinggi. Ya, sudah! Katanya.


    Aku lihat ia masih bersikeras untuk mengganti kunci pintu kamar tadi, naumn tidak membuahkan hasil yang diinginkan. Aku tidak mau jika nanti pulang menemui pintu kamar terkunci sedang aku tidak mempunyai kunci. Perlu kamu ketahui juga, tempat penggandaan kunci di “madinah” yang aku ketahui Cuma satu. Itupun kadang-kadang tutup, hardikku padanya. Aku sengaja tidak mau membantu kamu karena aku lihat hal itu hanya untuk kepentingan kamu saja, bukan untuk kepentingan bersama, tambahku menghardiknya. Dan hampir saja emosiku naik. Namun, bisa aku tahan dengan sabar. Ahirnya, ia pun terpaksa menyerah dan mengembalikan kembali seperti semula kunci pintu yang sempat dilepas sebagiannya itu.


    Setelah itu, ia lantas keluar entah ke mana. Tampak di wajahnya guratan kecewa dan sedikit domgkol. Mungkin dikarenakan ucapanku tadi. Memang, “egois itu hanya bisa dilawan dengan sabar”.

0 comments:

Leave a Reply

Monggo dikomentari ...