• Pernikahan Rasul saw & Aisyah ra


    PERNIKAHAN RASULULLAH
    DG A’ISYAH BINTI ABU BAKAR
    Telaah – Kritik – Komentar
    By : Anas Mas’udi El Malawi


    Pendahuluan


    Islam datang seperti orang asing yg tidak kenal dan tidak dikenal oleh siapaun juga. Namun dengan keluesan dan keuletan sang Pembawa risalahnya yg dihiasi dengan al akhlaq al karimah Islam bisa tersebar luas seantero dunia dalam waktu yg relative singkat. Keberhasilan Islam yg telah mendunia rupanya mendatangkan kecemburuan pada bebera kelompok di luar Islam. Hingga menimbulkan beberapa gerakan dan aktifitas dari mereka (non muslim) yg intinya ingin merongrong kekuasaan Islam dan ingin membumi-hanguskannya dari muka bumi ini. Mereka yg memusuhi Islam bukan hanya satu kelompok saja melainkan ada beberapa kelompok yg sangat terkordinir gerakannya.

    Berbagai upaya dilakukan oleh mereka untuk menghancurkan umat Islam. Mereka melakukan segala cara untuk memecah-belah umat Islam. Mereka mempelajari banyak pengetahuan tentang ke-islam-an. Kemudian setelah mengetahuinya mereka berusaha memutar-balikkan pemahaman sebenarnya yg ada dalam Islam agar umat Islam menjadi bingung. Di antara sekian usaha mereka dalam menghancurkan umat Islam adalah adalah mengangkat setiap permasalahan keagamaan yg sering dipertentangkan oleh kebanyakan umat Islam itu sendiri. Seperti mengangkat permasalahan-permasalahan ayat musyabbihat (ayat al Qura’an yg pemahamannya masih samara dan menimbulkan banyak persepsi), seputar alam gaib (seperti perjalanan Isro’ & Mi’raj Rasul saw), kepribadian nabi Muhammad saw yg menikahi perempuan lebih dari batas-batas yg dibolehkan Islam (4 orang isteri saja) dll..

    Banyak hujatan-hujatan yg mereka arahkan pada Islam kususnya keperibadian Rasul saw yg mereka tulis dalam bentuk artikel, buku, makalah dsb. Kemudian mereka masukkan dalam kolom kajian keislaman. Hingga banyak orang mengira bahwa tulisan-tulisan tersebut adalah tulisan orang Islam. Semuanya mereka tulis berdasarkan argument-argument yg kuat –menurut sebagian orang-. Setiap orang yg membacanya pun jadi mudah percaya terhadap tulisan-tullisan tersebut. Padahal sebenarnya apa yg dilakukan mereka itu tidak lain hanyalah untuk mengkaburkan pemahaman umat Islam terhadap ajaran-ajarannya yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.

    Jika kita –umat Islam- tidak benar-benar jeli dalam memilah dan memilih setiap informasi tentang keislaman yg sampai di telinga kita, maka sangat mungkin sekali kita akan terjerumus ke dalam jurang kesesatan (karena salah dalam memahami ajaran Islam). Hingga sering kita dengar orang mengatakan –kususnya dalam masalah agama- amalan ini salah dan amalan itu adalah bid’ah. Perkara ini tidak boleh dan perkara itu tidak ada dalam ajaran Islam. Polygami itu boleh lebih dari empat sebagaimana yg dilakukan Muhammad, dsb.

    Belakangan ini kita dengar ada beberapa penulis muslim yg menulis sebuah artikel dengan mengangkat tema seputar keluarga nabi Muhammad tepatnya tentang pernikahan beliau dengan Aisyah puteri Abu Bakar. Tema ini ditulis dan diangkat –sepengetahuan saya- sebagai respon dari hujatan sekelompok orang yg tidak senang terhadap keberadaan Islam di muka bumi ini. Mereka mengatakan bahwa Muhammad itu orangnya Hypersex. Dia kawin hanya mengikuti keinginan hawa nafsunya dan demi kenikmatan semata. Tidak cukup satu perempuan yg dia nikahi atau empat saja sebagaimana yg perbolehkan Islam. Namun ia kawin dengan sepuluh wanita lebih. Satu di antara isterinya ada yg masih relative kecil (umur 6-7 tahun). Apakah orang seperti ini bukan hypersex? Bagaimana umat Islam mempercayai Muhammad sebagai orang suci yg membawa risalah Tuhan sedangkan dia sendiri tergila-gila dengan birahinya?

    Dari hujatan itu tergeraklah hati kaum muslimin untuk menjawabnya dengan melakukan beberapa telaah dan kajian terhadap sejarah pernikahan Rasulullah dan kehidupan rumahtangganya. Kemudian diuraikan hasilnya dalam bentuk tulisan (artikel). Hingga timbullah sebuah artikel yg membahas secara kusus tentang pernikahan Rasulullah saw dengan A’isyah binti Abu Bakar. Di mana di antara tulisan-tulisan tersebut ad yg menyimpulkan bahwa hadis dan beberapa buku sejarah yg mengatakan bahwa A’isyah dinikahi Rasullah saw pada usia 6 atau 7 tahun itu tidak bisa dijadikan argument. Demikian itu dilihat dari pembawa cerita atau perawi hadisnya yg ternyata –menurut sebagian penulis muslim tadi- orangnya plin-plan dalam memberikan statemen. Hingga menimbulkan kerancauan dalam pemahaman. Dan mengatakan bahwa A’isyah dinikahi oleh Rasul saw itu pada usia 10 tahun lebih.

    Dari tulisan tersebut saya juga tergerak untuk bergabung dalam menelaah dan mengkaji ulang sejarah pernikahan Rasul saw kususnya dengan Aisyah puteri Abu Bakar tadi. Dengan sedikit pengetahuan -yg saya miliki- saya berusaha memaparkan apa-apa yg pernah saya baca (baik buku-buku hadis atau buku-buku yg menerangkan tentang masalah ini) dalam bentuk tulisan yg sekarang ada di tangan anda ini.

    Telaah Hadis Tentang Pernikahan Rasul saw dengan A’isyah Binti Abu Bakar

    Pertama yg harus kita pahami adalah setiap perbuatan, ucapan dan ketetapan Rasul saw bukan semata-mata timbul dari dirinya sendiri, tapi semuanya datang dari Allah swt, yakni semuanya berdasarkan wahyu Allah swt. Dalam al Quran surat al Najm [53] ayat 3-4 Allah swt berfirman : “Dan tidaklah dia (Muhammad) berkata dari hawa nafsunya. (setiap apa yg diucapkan) itu tiada lain hanyalah wahyu yg diturunkan (padanya)”. Jika setiap gerak-gerik Rasul saw adalah wahyu dari Allah, maka apa yg dilakukan olehnya pasti benar. Namun karena beliau juga manusia, pasti sesekali pernah melakukan kesalahan. Hanya saja saja kesalahan yg pernah dilakukan oleh beliau semuanya mengandung hikmah dan pendidikan bagi umatnya.

    Mengenahi pernikahan beliau dengan A’isyah binti Abu Bakar telah dijelaskan oleh beberapa hadis. Dalam menelaah dan mengkaji sebuah hadis harus ditelaah secara keseluruhan, karena satu hadis itu sangat memungkinkan sekali diriwayatkan oleh satu atau dua orang lebih, bahkan ada juga satu hadis yg diriwayatkan dengan 100 lebih jalur periwayatan, seperti hadis Innama al A’malu Bi al Niyyat (sesungguhnya amal-amal perbuatan itu tergantung pada niatnya), Man Kadzaba Alayya Fal Yatabawwa’ Maq’adahu Min al Nar (Barang siapa yg mendustakan aku, maka dia benar-benar akan mempersiapkan tempatnya di neraka) dll. Hingga dalam ilmu hadis terdapat istilah hadis gharib (diriwayatkan satu orang saja), hadis masyhur (diriwayatkan dua orang lebih) dan hadis mutawatir (diriwayatkan oleh sepuluh orang ke atas, bahkan sampai 100 orang lebih yg meriwayatkannya).

    Adanya banyak jalur dalam periwayatan satu hadis berfungsi untuk saling menguatkan satu dengan lainnya. Jika satu hadis dari satu jalur (sanad) ditemukan dhaif (lemah), kita tidak boleh menghukumi hadis itu lemah begitu saja hingga tidak bisa dijadikan argument. Namun kita harus melihat hadis tersebut dari jalur yg lain, karena di sana sangat memungkinkan ada jalur lain –sekalipun dengan redaksi berbeda tapi sama arti- yg bisa mengangkat statusnya menjadi sahih (valid) hingga bisa dijadikan argument.

    Hadis tentang pernikahan Rasul saw dan A’isyah yg terbilang sahih dan bisa dijadikan argument adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (seorang perawi hadis yg diakui oleh mayoritas ulama’ hadis akan kevalidan bukunya, bahkan mereka mengatakan buku Shahih Bukhari adalah buku atau kitab yg paling benar setelah Al Quran).

    Dalam kitabnya, Imam Bukhari berkata diriwayatkan dari A’isyah R.A berkata : “Sesungguhnya Nabi saw berkata padaku : Aku diperlihatkan dirimu (oleh Allah; mimpi) dua kali. Aku lihat (dalam mimpi) kamu (terbungkus ; berpakaian rapat) dalam kain sutera putih. Dan Dia ( Allah) berkata: ini adalah isterimu. Kemudian aku buka (sutera tadi), ternyata itu adalah kamu. Kemudian aku (A’isyah) berkata : Jika ini dari Allah, niscaya akan menjadi nyata”. (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim).

    Di samping itu Imam Bukhari juga berkata diriwayatkan dari A’isyah R.A berkata : Aku dinikahi Nabi saw dan aku berusia 6 tahun. Kemudian kami (A’isyah, Rasul saw dan kelaurganya) pergi ke Madinah, kemudian singgah di kabilah Bani al harist Ibn Khazraj. Aku lelah dan rambutku acak-acakkan ………kemudian ibuku (ummu Ruman) mendatangiku ketika aku berada dalam urjujah (sejenis dipan terbuat dari tumpukan pelepah kurma) bersama dengan miananku. Kemudian ibuku berteriak memanggilku, maka aku mendatanginya. Aku tidak tahu apa yg dia inginkan dariku. Kemudian ia menggandengku dan membiarkan aku di dekat pintu rumah……. Kemudian ibuku mengambil sedikit air dan membasuhkannya ke muka dan kepalaku, kemudian membawaku kembali masuk ke dalam rumah. Ternyata di dalam rumah sudah banyak perempuan-perempuan Anshor seraya memberikan ucapan selamat padaku “Alal Khoir wal Barakah wa Ala Khoirin Tho’irin” (Semoga bahagia dan diberkahi serta mendapat kebaikan yg berkesinambungan). Lantas ibuku menyerahkan aku pada mereka, kemudian mereka memperindah penampilanku (meriasnya). Dan kemudian Rasul saw datang padaku di waktu dhuha (antara jam 8-1 siang waktu Libya sekarang). Ibuku lantas meyerahkan aku pada beliau. Dan aku ketika itu gadis berusia 9 tahun”. (HR. Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam al Darimy, Imam al Nasa’I, Abu Ya’la dan Ibn Hiban)

    Hadis tersebut di atas sudah cukup sebenarnya –menurut saya- untuk dijadikan hujjah (argument) atas pernikahan Rasul saw dengan A’isyah puteri Abu baker. Di mana di sana dikatakan bahwa A’isyah saat dinikah berusia 6 tahun, bukan 10 tahun ke atas. Kemudian Rasul saw baru berkumpul dengannya pada usia 9 tahun.

    Hadis tersebut diriwayatkan oleh beberapa imam hadis yg menurut mayoritas ulama’ hadis mereka adalah orang-orang yg berkompeten di bidang hadis dan ilmu hadis karena keadilan, kejujuran, kesalihan dan keilmuannya. Maka kesahihan (kevalidan dan keotentakan) hadis tersebut di atas bisa diterima untuk dijadikan argument dalam masalah ini.

    Adapun hadis tentang pernikahan Rasul saw yg diriwayatkan oleh Hisyam Ibn Urwah jika dikatakan lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah karena dia pernah terjangkit penyakit lupa ingatan sebelum meriwayatkan hadis tersebut –sebagaimana yg dikutip oleh Mr. Akbar Faizal (Mudir Syarikah Hot-Hed far’ Tharabulus) dalam artikelnya “Apakah Benar A’isyah Pengantin Berumur 7 tahun?”, maka hadis yg diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam-imam lainnya tersebut di atas sudah sangat cukup sebagai pengganti hadis yg diriwayatkan oleh Hisyam tadi.
    Dalam hadis sahih lain yg diriwayatkan oleh A’isyah diterangkan bahwa Nabi saw menikahi A’isyah saat usianya 6 tahun, dan baru hidup bersama (dalam satu rumah) setelah A’isyah usia 9 tahun, dan A’isyah hidup berumahtangga dengan Rasul saw selama 9 tahun. Dari hadis ini dipahami bahwa ketika Rasulullah saw wafat A’isyah baru berusia 18 tahun

    Kapan A’isyah Lahir?
    Pernyataan Imam al Thabari -sebagaimana yg dikutip oleh Mr. Akbar juga dalam artikelnya- yg mengatakan bahwa semua anak Abu Bakar dari dua isterinya lahir sebelum wahyu pertama, itu bisa dijawab oleh kitab yg berjudul Zaujatun Nabi wa Auladu (Isteri-isteri Nabi saw dan Anak-Anaknya) yg mengatakan bahwa A’isyah dilahirkan di kota Makah 8 atau 9 tahun sebelum hijrah (tahun ke 5 atau ke 4 kenabian) dan dinikahi Rasulullah saw pada tahun ke 10 kenabian pada bulan Syawal. Ia saat itu berusi 6 tahun. Pernikahan tersebut terjadi satu bulan setelah nikah dengan Saudah Binti Zam’ah (janda tua dari al Sakran Ibn ‘Amr al Anshory) dan 3 tahun setelah wafatnya Khadijah Binti Khuwailid (isteri pertama Rasul saw). Mungkin yg dimaksud dalam pernyataan Ath Thabari tadi adalah semua anak Abu Bakar lahir sebelum hijrah, bukan sebelum wahyu pertama. Sebenarnya dalam kitab tersebut ada beberapa hadis sahih yg mendukung pernyataannya, namun penulis tidak sempat mengutipnya.

    A’isyah Dalam Perang Badar dan Perang Uhud

    Dalam narasi tentang A’isyah yg ikut dalam perang Badar dan perang uhud yg diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan imam Muslim memang ada dan shahih. Namun bukan berarti A’isyah saat itu sudah usia 15 tahun, sebagaimana Ibn Umar –dalam riwayat Bukhari- dilarang Rasul saw ikut perang karena baru usia 14 tahun, baru kemudian diperbolehkan ikut dalam perang Khandaq karena sudah berusia 15 tahun. Ketentuan usia 15 tahun tersebut diperuntukkan orang laki-laki untuk boleh ikut peperangan, bukan untuk perempuan. Dalam beberapa hadis dan sejarah dijelaskan behwa perempuan-perempuan muslimah yg ikut perang (turun langsung di medan pertempuran) mayoritas sudah di atas usia 20 tahun.

    Sedangkan A’isyah dan Ummu Sulaim (kalau tidak salah) –sebagaimana dalam narasi Bukhari- ikut serta dalam perang Uhud dan Badar bukanlah untuk perang dengan ikut terjun langsung ke medan peperangan. Namun mereka berdua hanyalah untuk membantu melayani kebutuhan para prajurit Muslim dalam peperangan tadi. Ketika itu mereka berdua berada di bawah pohon melayani para prajurit Muslim yg sedang istirahat. Jadi usia 15 tahun di atas tidak bisa dijadikan patokan dalam masalah ini. Lagi pula usia 15 tahun itu juga bukan menjadi syarat mutlak bagi laki-laki untuk bisa mengikuti peperangan. Bisa jadi Ibn Umar yg dilarang Rasul saw ikut perang karena baru umur 14 tahun dan dibolehkan setelah usia 15 tahun tadi ada sebab-sebab lain (sababul wurud; sebab-sebab timbulnya hadis). Mungkin juga itu kusus untuk Ibn Umar saja.

    Terminologi Lafadh Al Jariyah

    Dalam kamus Al Shihah fi al Lughah wa al Ulum, kata al Jariyah mempunyai banyak arti. Secara etimologi berarti sesuatu yg berjalan. Jika saat surat al Qamar turun a’isyah adalah Jariyah bisa jadi maksudnya adalah A’isyah saat itu baru saja bisa berjalan. Jariyah juga bisa diartikan perempuan muda.

    Namun istilah Jariyah dengan arti perempuan muda ini -kebanyakan- ditendensikan pada pembantu perempuan atau dayang-dayang kerajaan, bukan untuk perempuan muda secara umum. Sedangkan A’isyah bukanlah seorang pembantu atau dayang kerajaan. Jariyah bisa berarti al Syams (Matahari) dan al Safinah (Perahu) jika dalam susukan kalimat yg ada sebelumnya terdapat kata Matahari atau Perahu.


    Terminologi Lafadh Al Bikr

    Sebagaimana lafadh al Jariyah, lafadh al Bikr juga mempunyai arti banyak. Demikian itu ditendensikan pada susunan kalimat yg ada. Al Bikr ada yg berarti Perempuan yg belum pernah haid. Ada juga yg berarti perempuan yg belum pernah dijamah laki-laki. Pun bisa berarti laki-laki yg belum pernah mendekati (berhubungan) perempuan. Bahkan ada pula yg berarti unta betina yg belum pernah hamil. Semua arti dari lafadz al Bikr tersebut tergantung pada susunan kalimatnya.

    Jadi mungkin juga narasi yg diriwayatkan Ahmad Ibn Hambal yg mengatakan bahwa Rasul saw pernah ditawari nikah –setelah Khadijah wafat- oleh salah seorang sahabatnya untuk memilih antara tsayyib (janda) dan al Bikr (gadis) yang ahirnya beliau menyebut bikr, itu bisa berarti gadis yg belum haid. Pemahaman seperti ini didukung dengan hadis pernikahan Rasul denga A’isyah yg diriwayatkan oleh Imam-imam hadis tersebut di atas.

    Penutup

    Demikian uraian singkat tentang pernikahan Rasulullah saw dengan A’isyah Binti Abu Bakar yg bisa saya jelaskan. Mudah-mudahan bisa dimaklumi dan dipahami. Semoga kajian ini merupakan awal diskusi yg akan terus berkesinambungan di hari-hari berikutnya.. Semoga Allah senantiasa memberikan taufiq dan hidayah pada kita semua untuk mengerjakan perintah-perintahNya dan menjahui larangan-laranganNya di manapun kita berada, amiin.

    Refrensi
    Al Qura’an al Karim.
    Zaujatun Nabi wa Auladuhu.
    Nisa’un fi Dhilli Rasulillah saw. Asy Syekh Irfanul Asya al Damsyiky.
    Al Thabaqat al Kubra. Ibn Sa’ad.
    Lisan al Arab.
    Al Shihah fi al Lughah wa al Ulum.
    Tafsir Ayat al Ahkam. Syekh Aly al Shabuni.

0 comments:

Leave a Reply

Monggo dikomentari ...