• Pernikahan Rasul saw & Aisyah ra

    PERNIKAHAN RASULULLAH
    DG A’ISYAH BINTI ABU BAKAR
    Telaah – Kritik – Komentar
    By : Anas Mas’udi El Malawi


    Pendahuluan


    Islam datang seperti orang asing yg tidak kenal dan tidak dikenal oleh siapaun juga. Namun dengan keluesan dan keuletan sang Pembawa risalahnya yg dihiasi dengan al akhlaq al karimah Islam bisa tersebar luas seantero dunia dalam waktu yg relative singkat. Keberhasilan Islam yg telah mendunia rupanya mendatangkan kecemburuan pada bebera kelompok di luar Islam. Hingga menimbulkan beberapa gerakan dan aktifitas dari mereka (non muslim) yg intinya ingin merongrong kekuasaan Islam dan ingin membumi-hanguskannya dari muka bumi ini. Mereka yg memusuhi Islam bukan hanya satu kelompok saja melainkan ada beberapa kelompok yg sangat terkordinir gerakannya.

    Berbagai upaya dilakukan oleh mereka untuk menghancurkan umat Islam. Mereka melakukan segala cara untuk memecah-belah umat Islam. Mereka mempelajari banyak pengetahuan tentang ke-islam-an. Kemudian setelah mengetahuinya mereka berusaha memutar-balikkan pemahaman sebenarnya yg ada dalam Islam agar umat Islam menjadi bingung. Di antara sekian usaha mereka dalam menghancurkan umat Islam adalah adalah mengangkat setiap permasalahan keagamaan yg sering dipertentangkan oleh kebanyakan umat Islam itu sendiri. Seperti mengangkat permasalahan-permasalahan ayat musyabbihat (ayat al Qura’an yg pemahamannya masih samara dan menimbulkan banyak persepsi), seputar alam gaib (seperti perjalanan Isro’ & Mi’raj Rasul saw), kepribadian nabi Muhammad saw yg menikahi perempuan lebih dari batas-batas yg dibolehkan Islam (4 orang isteri saja) dll..

    Banyak hujatan-hujatan yg mereka arahkan pada Islam kususnya keperibadian Rasul saw yg mereka tulis dalam bentuk artikel, buku, makalah dsb. Kemudian mereka masukkan dalam kolom kajian keislaman. Hingga banyak orang mengira bahwa tulisan-tulisan tersebut adalah tulisan orang Islam. Semuanya mereka tulis berdasarkan argument-argument yg kuat –menurut sebagian orang-. Setiap orang yg membacanya pun jadi mudah percaya terhadap tulisan-tullisan tersebut. Padahal sebenarnya apa yg dilakukan mereka itu tidak lain hanyalah untuk mengkaburkan pemahaman umat Islam terhadap ajaran-ajarannya yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.

    Jika kita –umat Islam- tidak benar-benar jeli dalam memilah dan memilih setiap informasi tentang keislaman yg sampai di telinga kita, maka sangat mungkin sekali kita akan terjerumus ke dalam jurang kesesatan (karena salah dalam memahami ajaran Islam). Hingga sering kita dengar orang mengatakan –kususnya dalam masalah agama- amalan ini salah dan amalan itu adalah bid’ah. Perkara ini tidak boleh dan perkara itu tidak ada dalam ajaran Islam. Polygami itu boleh lebih dari empat sebagaimana yg dilakukan Muhammad, dsb.

    Belakangan ini kita dengar ada beberapa penulis muslim yg menulis sebuah artikel dengan mengangkat tema seputar keluarga nabi Muhammad tepatnya tentang pernikahan beliau dengan Aisyah puteri Abu Bakar. Tema ini ditulis dan diangkat –sepengetahuan saya- sebagai respon dari hujatan sekelompok orang yg tidak senang terhadap keberadaan Islam di muka bumi ini. Mereka mengatakan bahwa Muhammad itu orangnya Hypersex. Dia kawin hanya mengikuti keinginan hawa nafsunya dan demi kenikmatan semata. Tidak cukup satu perempuan yg dia nikahi atau empat saja sebagaimana yg perbolehkan Islam. Namun ia kawin dengan sepuluh wanita lebih. Satu di antara isterinya ada yg masih relative kecil (umur 6-7 tahun). Apakah orang seperti ini bukan hypersex? Bagaimana umat Islam mempercayai Muhammad sebagai orang suci yg membawa risalah Tuhan sedangkan dia sendiri tergila-gila dengan birahinya?

    Dari hujatan itu tergeraklah hati kaum muslimin untuk menjawabnya dengan melakukan beberapa telaah dan kajian terhadap sejarah pernikahan Rasulullah dan kehidupan rumahtangganya. Kemudian diuraikan hasilnya dalam bentuk tulisan (artikel). Hingga timbullah sebuah artikel yg membahas secara kusus tentang pernikahan Rasulullah saw dengan A’isyah binti Abu Bakar. Di mana di antara tulisan-tulisan tersebut ad yg menyimpulkan bahwa hadis dan beberapa buku sejarah yg mengatakan bahwa A’isyah dinikahi Rasullah saw pada usia 6 atau 7 tahun itu tidak bisa dijadikan argument. Demikian itu dilihat dari pembawa cerita atau perawi hadisnya yg ternyata –menurut sebagian penulis muslim tadi- orangnya plin-plan dalam memberikan statemen. Hingga menimbulkan kerancauan dalam pemahaman. Dan mengatakan bahwa A’isyah dinikahi oleh Rasul saw itu pada usia 10 tahun lebih.

    Dari tulisan tersebut saya juga tergerak untuk bergabung dalam menelaah dan mengkaji ulang sejarah pernikahan Rasul saw kususnya dengan Aisyah puteri Abu Bakar tadi. Dengan sedikit pengetahuan -yg saya miliki- saya berusaha memaparkan apa-apa yg pernah saya baca (baik buku-buku hadis atau buku-buku yg menerangkan tentang masalah ini) dalam bentuk tulisan yg sekarang ada di tangan anda ini.

    Telaah Hadis Tentang Pernikahan Rasul saw dengan A’isyah Binti Abu Bakar

    Pertama yg harus kita pahami adalah setiap perbuatan, ucapan dan ketetapan Rasul saw bukan semata-mata timbul dari dirinya sendiri, tapi semuanya datang dari Allah swt, yakni semuanya berdasarkan wahyu Allah swt. Dalam al Quran surat al Najm [53] ayat 3-4 Allah swt berfirman : “Dan tidaklah dia (Muhammad) berkata dari hawa nafsunya. (setiap apa yg diucapkan) itu tiada lain hanyalah wahyu yg diturunkan (padanya)”. Jika setiap gerak-gerik Rasul saw adalah wahyu dari Allah, maka apa yg dilakukan olehnya pasti benar. Namun karena beliau juga manusia, pasti sesekali pernah melakukan kesalahan. Hanya saja saja kesalahan yg pernah dilakukan oleh beliau semuanya mengandung hikmah dan pendidikan bagi umatnya.

    Mengenahi pernikahan beliau dengan A’isyah binti Abu Bakar telah dijelaskan oleh beberapa hadis. Dalam menelaah dan mengkaji sebuah hadis harus ditelaah secara keseluruhan, karena satu hadis itu sangat memungkinkan sekali diriwayatkan oleh satu atau dua orang lebih, bahkan ada juga satu hadis yg diriwayatkan dengan 100 lebih jalur periwayatan, seperti hadis Innama al A’malu Bi al Niyyat (sesungguhnya amal-amal perbuatan itu tergantung pada niatnya), Man Kadzaba Alayya Fal Yatabawwa’ Maq’adahu Min al Nar (Barang siapa yg mendustakan aku, maka dia benar-benar akan mempersiapkan tempatnya di neraka) dll. Hingga dalam ilmu hadis terdapat istilah hadis gharib (diriwayatkan satu orang saja), hadis masyhur (diriwayatkan dua orang lebih) dan hadis mutawatir (diriwayatkan oleh sepuluh orang ke atas, bahkan sampai 100 orang lebih yg meriwayatkannya).

    Adanya banyak jalur dalam periwayatan satu hadis berfungsi untuk saling menguatkan satu dengan lainnya. Jika satu hadis dari satu jalur (sanad) ditemukan dhaif (lemah), kita tidak boleh menghukumi hadis itu lemah begitu saja hingga tidak bisa dijadikan argument. Namun kita harus melihat hadis tersebut dari jalur yg lain, karena di sana sangat memungkinkan ada jalur lain –sekalipun dengan redaksi berbeda tapi sama arti- yg bisa mengangkat statusnya menjadi sahih (valid) hingga bisa dijadikan argument.

    Hadis tentang pernikahan Rasul saw dan A’isyah yg terbilang sahih dan bisa dijadikan argument adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (seorang perawi hadis yg diakui oleh mayoritas ulama’ hadis akan kevalidan bukunya, bahkan mereka mengatakan buku Shahih Bukhari adalah buku atau kitab yg paling benar setelah Al Quran).

    Dalam kitabnya, Imam Bukhari berkata diriwayatkan dari A’isyah R.A berkata : “Sesungguhnya Nabi saw berkata padaku : Aku diperlihatkan dirimu (oleh Allah; mimpi) dua kali. Aku lihat (dalam mimpi) kamu (terbungkus ; berpakaian rapat) dalam kain sutera putih. Dan Dia ( Allah) berkata: ini adalah isterimu. Kemudian aku buka (sutera tadi), ternyata itu adalah kamu. Kemudian aku (A’isyah) berkata : Jika ini dari Allah, niscaya akan menjadi nyata”. (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim).

    Di samping itu Imam Bukhari juga berkata diriwayatkan dari A’isyah R.A berkata : Aku dinikahi Nabi saw dan aku berusia 6 tahun. Kemudian kami (A’isyah, Rasul saw dan kelaurganya) pergi ke Madinah, kemudian singgah di kabilah Bani al harist Ibn Khazraj. Aku lelah dan rambutku acak-acakkan ………kemudian ibuku (ummu Ruman) mendatangiku ketika aku berada dalam urjujah (sejenis dipan terbuat dari tumpukan pelepah kurma) bersama dengan miananku. Kemudian ibuku berteriak memanggilku, maka aku mendatanginya. Aku tidak tahu apa yg dia inginkan dariku. Kemudian ia menggandengku dan membiarkan aku di dekat pintu rumah……. Kemudian ibuku mengambil sedikit air dan membasuhkannya ke muka dan kepalaku, kemudian membawaku kembali masuk ke dalam rumah. Ternyata di dalam rumah sudah banyak perempuan-perempuan Anshor seraya memberikan ucapan selamat padaku “Alal Khoir wal Barakah wa Ala Khoirin Tho’irin” (Semoga bahagia dan diberkahi serta mendapat kebaikan yg berkesinambungan). Lantas ibuku menyerahkan aku pada mereka, kemudian mereka memperindah penampilanku (meriasnya). Dan kemudian Rasul saw datang padaku di waktu dhuha (antara jam 8-1 siang waktu Libya sekarang). Ibuku lantas meyerahkan aku pada beliau. Dan aku ketika itu gadis berusia 9 tahun”. (HR. Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam al Darimy, Imam al Nasa’I, Abu Ya’la dan Ibn Hiban)

    Hadis tersebut di atas sudah cukup sebenarnya –menurut saya- untuk dijadikan hujjah (argument) atas pernikahan Rasul saw dengan A’isyah puteri Abu baker. Di mana di sana dikatakan bahwa A’isyah saat dinikah berusia 6 tahun, bukan 10 tahun ke atas. Kemudian Rasul saw baru berkumpul dengannya pada usia 9 tahun.

    Hadis tersebut diriwayatkan oleh beberapa imam hadis yg menurut mayoritas ulama’ hadis mereka adalah orang-orang yg berkompeten di bidang hadis dan ilmu hadis karena keadilan, kejujuran, kesalihan dan keilmuannya. Maka kesahihan (kevalidan dan keotentakan) hadis tersebut di atas bisa diterima untuk dijadikan argument dalam masalah ini.

    Adapun hadis tentang pernikahan Rasul saw yg diriwayatkan oleh Hisyam Ibn Urwah jika dikatakan lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah karena dia pernah terjangkit penyakit lupa ingatan sebelum meriwayatkan hadis tersebut –sebagaimana yg dikutip oleh Mr. Akbar Faizal (Mudir Syarikah Hot-Hed far’ Tharabulus) dalam artikelnya “Apakah Benar A’isyah Pengantin Berumur 7 tahun?”, maka hadis yg diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam-imam lainnya tersebut di atas sudah sangat cukup sebagai pengganti hadis yg diriwayatkan oleh Hisyam tadi.
    Dalam hadis sahih lain yg diriwayatkan oleh A’isyah diterangkan bahwa Nabi saw menikahi A’isyah saat usianya 6 tahun, dan baru hidup bersama (dalam satu rumah) setelah A’isyah usia 9 tahun, dan A’isyah hidup berumahtangga dengan Rasul saw selama 9 tahun. Dari hadis ini dipahami bahwa ketika Rasulullah saw wafat A’isyah baru berusia 18 tahun

    Kapan A’isyah Lahir?
    Pernyataan Imam al Thabari -sebagaimana yg dikutip oleh Mr. Akbar juga dalam artikelnya- yg mengatakan bahwa semua anak Abu Bakar dari dua isterinya lahir sebelum wahyu pertama, itu bisa dijawab oleh kitab yg berjudul Zaujatun Nabi wa Auladu (Isteri-isteri Nabi saw dan Anak-Anaknya) yg mengatakan bahwa A’isyah dilahirkan di kota Makah 8 atau 9 tahun sebelum hijrah (tahun ke 5 atau ke 4 kenabian) dan dinikahi Rasulullah saw pada tahun ke 10 kenabian pada bulan Syawal. Ia saat itu berusi 6 tahun. Pernikahan tersebut terjadi satu bulan setelah nikah dengan Saudah Binti Zam’ah (janda tua dari al Sakran Ibn ‘Amr al Anshory) dan 3 tahun setelah wafatnya Khadijah Binti Khuwailid (isteri pertama Rasul saw). Mungkin yg dimaksud dalam pernyataan Ath Thabari tadi adalah semua anak Abu Bakar lahir sebelum hijrah, bukan sebelum wahyu pertama. Sebenarnya dalam kitab tersebut ada beberapa hadis sahih yg mendukung pernyataannya, namun penulis tidak sempat mengutipnya.

    A’isyah Dalam Perang Badar dan Perang Uhud

    Dalam narasi tentang A’isyah yg ikut dalam perang Badar dan perang uhud yg diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan imam Muslim memang ada dan shahih. Namun bukan berarti A’isyah saat itu sudah usia 15 tahun, sebagaimana Ibn Umar –dalam riwayat Bukhari- dilarang Rasul saw ikut perang karena baru usia 14 tahun, baru kemudian diperbolehkan ikut dalam perang Khandaq karena sudah berusia 15 tahun. Ketentuan usia 15 tahun tersebut diperuntukkan orang laki-laki untuk boleh ikut peperangan, bukan untuk perempuan. Dalam beberapa hadis dan sejarah dijelaskan behwa perempuan-perempuan muslimah yg ikut perang (turun langsung di medan pertempuran) mayoritas sudah di atas usia 20 tahun.

    Sedangkan A’isyah dan Ummu Sulaim (kalau tidak salah) –sebagaimana dalam narasi Bukhari- ikut serta dalam perang Uhud dan Badar bukanlah untuk perang dengan ikut terjun langsung ke medan peperangan. Namun mereka berdua hanyalah untuk membantu melayani kebutuhan para prajurit Muslim dalam peperangan tadi. Ketika itu mereka berdua berada di bawah pohon melayani para prajurit Muslim yg sedang istirahat. Jadi usia 15 tahun di atas tidak bisa dijadikan patokan dalam masalah ini. Lagi pula usia 15 tahun itu juga bukan menjadi syarat mutlak bagi laki-laki untuk bisa mengikuti peperangan. Bisa jadi Ibn Umar yg dilarang Rasul saw ikut perang karena baru umur 14 tahun dan dibolehkan setelah usia 15 tahun tadi ada sebab-sebab lain (sababul wurud; sebab-sebab timbulnya hadis). Mungkin juga itu kusus untuk Ibn Umar saja.

    Terminologi Lafadh Al Jariyah

    Dalam kamus Al Shihah fi al Lughah wa al Ulum, kata al Jariyah mempunyai banyak arti. Secara etimologi berarti sesuatu yg berjalan. Jika saat surat al Qamar turun a’isyah adalah Jariyah bisa jadi maksudnya adalah A’isyah saat itu baru saja bisa berjalan. Jariyah juga bisa diartikan perempuan muda.

    Namun istilah Jariyah dengan arti perempuan muda ini -kebanyakan- ditendensikan pada pembantu perempuan atau dayang-dayang kerajaan, bukan untuk perempuan muda secara umum. Sedangkan A’isyah bukanlah seorang pembantu atau dayang kerajaan. Jariyah bisa berarti al Syams (Matahari) dan al Safinah (Perahu) jika dalam susukan kalimat yg ada sebelumnya terdapat kata Matahari atau Perahu.


    Terminologi Lafadh Al Bikr

    Sebagaimana lafadh al Jariyah, lafadh al Bikr juga mempunyai arti banyak. Demikian itu ditendensikan pada susunan kalimat yg ada. Al Bikr ada yg berarti Perempuan yg belum pernah haid. Ada juga yg berarti perempuan yg belum pernah dijamah laki-laki. Pun bisa berarti laki-laki yg belum pernah mendekati (berhubungan) perempuan. Bahkan ada pula yg berarti unta betina yg belum pernah hamil. Semua arti dari lafadz al Bikr tersebut tergantung pada susunan kalimatnya.

    Jadi mungkin juga narasi yg diriwayatkan Ahmad Ibn Hambal yg mengatakan bahwa Rasul saw pernah ditawari nikah –setelah Khadijah wafat- oleh salah seorang sahabatnya untuk memilih antara tsayyib (janda) dan al Bikr (gadis) yang ahirnya beliau menyebut bikr, itu bisa berarti gadis yg belum haid. Pemahaman seperti ini didukung dengan hadis pernikahan Rasul denga A’isyah yg diriwayatkan oleh Imam-imam hadis tersebut di atas.

    Penutup

    Demikian uraian singkat tentang pernikahan Rasulullah saw dengan A’isyah Binti Abu Bakar yg bisa saya jelaskan. Mudah-mudahan bisa dimaklumi dan dipahami. Semoga kajian ini merupakan awal diskusi yg akan terus berkesinambungan di hari-hari berikutnya.. Semoga Allah senantiasa memberikan taufiq dan hidayah pada kita semua untuk mengerjakan perintah-perintahNya dan menjahui larangan-laranganNya di manapun kita berada, amiin.

    Refrensi
    Al Qura’an al Karim.
    Zaujatun Nabi wa Auladuhu.
    Nisa’un fi Dhilli Rasulillah saw. Asy Syekh Irfanul Asya al Damsyiky.
    Al Thabaqat al Kubra. Ibn Sa’ad.
    Lisan al Arab.
    Al Shihah fi al Lughah wa al Ulum.
    Tafsir Ayat al Ahkam. Syekh Aly al Shabuni.

    more
  • Hikmah Dari Kisah Nabi Yusuf A.S.

    Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari Kisah Nabi Yusuf yang penuh dengan pengalaman hidup yang kontriversi ini. Di antaranya ialah: Penderitaan seseorang yang nampaknya merupakan suatu musibah dan bencana, ternyata pada hakekatnya merupakan rahmat dan barakah yang terselubung dalam penderitaannya.
    Karena penderitaan yang selalu dianggap suatu musibah merupakan permulaan dari kebahagiaan dan kesejahteraan yang tidak diduga sebelumnya. Demikianlah apa yang telah dialami oleh Nabi Yusuf dengan pelemparan dirinya ke dalam sebuah sumur oleh saudara-saudaranya sendiri, disusul dengan pemenjaraannya oleh penguasa Mesir.
    Semuanya itu merupakan jalan yang harus ditempuh oleh beliau untuk mencapai puncak kebesaran dan kemuliaan sebagai nabi serta tingkat hidup yang mewah dan sejahtera sebagai seorang penguasa dalam sebuah kerajaan yang besar dengan kekuasaannya sebagai wakil raja, dapat menghimpun kembali seluruh anggota keluarganya setelah sekian lama berpisah dan bercerai-berai.

    Maka seseorang mukmin yang percaya kepada takdir, tidak sepatutnya merasa kecewa dan berkecil hati bila tertimpa suatu musibah dalam harta kekayaannya, kesehatan jasmaninya atau keadaan keluarganya. Ia harus menerima cobaan Allah itu dengan penuh kesabaran dan tawakkal seraya memohon kepada Yang Maha Kuasa agar melindunginya dan mengampuni segala dosanya, kalau-kalau musibah yang ditimpakan kepadanya itu merupakan peringatan dari Allah kepadanya untuk bertaubat.

    Dan sebaliknya bila seorang mukmin memperoleh nikmat dan karunia Allah berupa perluasan rezeki, kesempurnaan kesehatan dan kesejahteraan keluarga, ia tidak sepatutnya memperlihatkan suka-cita dan kegembiraan yang berlebih-lebihan. Ia bahkan harus bersyukur kepada Allah dengan menambah amal solehnya sambil menyadarkan diri bahwa apa yang diperolehnya itu bias saja dicabut kembali jika Allah menghendakinya.
    Lihatlah bagaimana teladan Nabi Yusuf yang telah kehilangan iman dan tawakkalnya kepada Allah sewaktu berada di dalam sumur seorang diri maupun sewaktu meringkuk di dalam penjara, demikian pula sewaktu dia berada dalam suasana kebesarannya sebagai Penguasa Kerajaan Mesir, ia tidak disilaukan oleh kenikmatan duniawinya dan kekuasaan besar yang berada di tangannya. Dalam kedua keadaan itu ia tidak melupakan harapan, syukur dan pujaan kepada Allah dan sedar bahwa dirinya sebagai makhluk yang lemah tidak berkuasa mempertahankan segala kenikmatan yang diperolehnya atau menghindarkan diri dari musibah dan penderitaan yang Allah limpahkan kepadanya. Ia mengembalikan semuanya itu kepada takdir dan kehendak Allah Yang Maha Kuasa.

    Nabi Yusuf telah memberi contoh dan teladan bagi kemurnian jiwanya dan keteguhan hatinya tatkala menghadapi godaan Zulaikha, isteri ketua Polisi Mesir, majikannya. Ia diajak berbuat maksiat oleh Zulaikha, seorang isteri Pembesar Mesir yang masih muda belia, cantik nan mempesona. Sedang ia sendiri berada dalam puncak kemudaannya, di mana biasanya saat seperti itu nafsu birahi seseorang berada pada puncaknya. Akan tetapi ia dapat menguasai dirinya dan dapat mengawal nafsu kemudaannya, menolak ajakan isteri yang menjadi majikannya itu. Hal itu karena pancaran keimanan dalam hatinya yang senantiasa membuatnya takut kepada Allah dan tidak mahu mengkhianati majikannya yang telah berbuat baik kepadanya dan memperlakukannya seolah-olah anggota keluarganya sendiri. Sebagai akibat penolakannnya itu ia rela dipenjara demi mempertahankan keluhuran budinya, keteguhan imannya dan kemurnian jiwanya.

    Nabi Yusuf memberi contoh tentang sifat seorang kesatria yang enggan dikeluarkan dari penjara sebelum persoalannya dengan Zulaikha dijernihkan. Ia tidak mau dikeluarkan dari penjara kerana memperoleh pengampunan dari Raja, tetapi ia ingin dikeluarkan sebagai orang yang bersih, suci dan tidak berdosa. Karenanya ia sebelum menerima undangan raja kepadanya untuk datang ke istana, ia menuntut agar diselidiki lebih dahulu tuduhan-tuduhan palsu dan fitnahan-fitnahan yang diarahkan orang kepada dirinya dan dijadikannya alasan untuk memenjarakannya. Terpaksalah raja Mesir yang memerlukan Yusuf sebagai penasehatnya, memerintahkan pengusutan kembali peristiwa Yusuf dengan Zulaikha yang akhirnya dengan terungkapnya kejadian yang sebenarnya, di mana mereka bersalah dan memfitnah mengakui bahwa Yusuf adalah seorang yang bersih suci dan tidak berdosa dan bahwa apa yang dituduhkan kepadanya itu adalah palsu belaka.

    Suatu sifat utama pembawaan jiwa besar Nabi Yusuf menonjol tatkala ia menerima saudara-saudaranya yang datang ke Mesir untuk memperoleh hak pembelian gandum dari gudang pemerintah karajaan Mesir. Nabi Yusuf pada saat seperti itu, kalau ia mau ia dapat melakukan pembalasan terhadap saudara-saudaranya yang telah melemparkannya ke dalam sebuah sumur dan memisahkannya dari ayahnya yang sangat dicintai. Namun sebaliknya ia bahkan menerima mereka dengan ramah-tamah dan melayani keperluan mereka dengan penuh kasih sayang, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa yang telah dialami akibat tindakan saudara-saudaranya yang kejam dan tidak berperikemanusiaan.

    Demikianlah Nabi Yusuf dengan jiwa besarnya telah melupakan semua penderitaan pahit yang telah dialaminya akibat tindakan saudara-saudaranya itu dengan memberi pengampunan kepada mereka, padahal ia berada dalam keadaan yang memungkinkan ia melakukan pembalasan yang setimpal. Dan pengampunan yang demikian itulah yang akan berkesan kepada orang yang diampuni dan yang telah dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya dalam beberapa ayat Al-Quran dan beberapa hadis nabawi.
    *Hikmah cerita ini disarikan dari "Menelisik Rayuan Setan Dalam Kisah Nabi Yusuf as" yang diambil dari beberapa kitab berbahasa Arab


    more
  • KIBLAT UMAT SEJAGAT
    KIBLAT UMAT SEJAGAT
    (Manusia, Jin & Malaikat)
    By: Anas El Malawy

    Pendahuluan



    "Sungguh kami (sering) melihat mukamu (Muhammad) menengadah ke langit, maka kami sungguh akan memalingkan kamu ke kiblat yg kamu sukai. Palingkanlah muka kamu ke arah Masjidl Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah muka kamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi & Nasrani) yg diberi al Kitab (Taurat & Injil) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yg mereka kerjakan" (QS. 2: 144)


    "Hidup adalah bergerak. Siapa yg tidak bergerak, dia tidak ada kehidupan. Siapa yg menggerakkan tangannya, akan meraih kuasa. Siapa yg kakinya digerakkan, akan sampai pada tujuan. Siapa menggerakkan akalnya, akan ditemukan rahasia alam sekitarnya. Siapa yg menggerakkan hatinya dengan dzikir dan waspada, akan menemukan ketenangan jiwa. Siapa yg mau bergerak, semua problematika akan terkuak".


    Manusia hidup pasti punya tujuan. Hidup tanpa tujuan akan berantakan. Islam datang memberikan petunjuk terhadap tujuan yg telah dicanangkan. Sebagaimana dikatakan dalam kitab sucinya (al Quran) "Dan tidak aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali untuk mengabdi pada-Ku". Oleh karena manusia tercipta dalam bentuk yg paling sempurna (karena punya akal dan hawa nafsu) daripada makhluq lainnya, Allah menjadikan ia sebagai wakil-Nya (Khalifah) di bumi untuk melestarikan, mengelola dan menjaga apa-apa yg ada di atas maupun di dalam perut bumi.Namun amanat yg diemban manusia sebagai khalifah tidaklah mudah.


    Manusia yg diistemewakan dengan akal dan dihiasi dengan nafsu serta dikendalikan oleh hati, harus berperang mengendalikan jiwanya menuju jalan yg telah digariskan Tuhannya. Nafsu yg berteman dengan syetan cenderung mengelabui si empunya yg lemah imannya, hingga tergelincir dari jalan yg telah dicanangkan untuk dituju sejak fitrahnya (asal wujudnya). Dan hati yg bersahabat dengan malaikat cenderung memberikan mandate pada akal untuk mengarahkan seluruh anggota tubuhnya agar selalu bergerak demi kebaikan jiwa dan raganya sesuai dengan jalan yg akan dituju.


    Perjalanan hidup di dunia tidaklah lama. Dunia hanyalah tempat bersinggah untuk sementara seperti pengembara kemalaman yg singgah di sebuah penginapan atau seperti angkutan umum yg singgah di terminal atau halte untuk mengangkut penumpang mengantarkan mereka pada tujuannya. Namun, karena kehidupan penuh dengan aneka ragam pergulatan dan problematika, waktu yg begitu singkat laksana tempo kontrakan penginapan yg hanya semalam cenderung diabaikan oleh manusia, bahkan terlupakan atau justeru sengaja melupakannya, hingga ia lupa akan tujuan awal diciptakannaya. Ia lupa jalan yg harus ditempuhnya, lebih parah lagi jika ia lupa jalannya dan kehilangan kompas kehidupan hingga peta untuk melangkahkan kaki ke arah yg sebenarnya tidak terbaca olehnya. Semakin lama ia semakin menjauh dari jalan yg sebenarnya. Jalan yg telah digariskan mengarah ke kanan, namun justeru ia mengarah ke kiri.


    Demi menyelamatkan pemeluknya, Islam memberikan peta dan kompas kehidupan mereka yg semuanya tercover dalam al Quran. Pertama yg harus dijalani adalah men-tauhid-kan sang Pencipta alam semesta (Allah swt). Di mana semua ajaran Islam pada dasarnya berpusat pada peng-esa-an Allah swt "Dan Tuhan kamu adalah Tuhan yg Esa. Tiada tuhan selaian Dia yg Maha Pengasih lagi Maha Penyayang". Dari peng-esa-an ini bercabang membuahkan keimanan terhadap keberadaan para maliakt Allah, para Rasul, kitab-kitab suci-Nya, hari kiamat dan Qadha Qadar-Nya. Di mana kesemuanya tersebut lazim kita katakan sebagai rukun iman.


    Perintah kedua adalah mendirikan sholat. Kemudian dilanjutkan dengan amalan ibadah sosisal wajib yg berbentuk zakat. Lantas Allah membantu hamba-Nya dalam mengendalikan nafsu durjananya dengan mewajibkan ibadah puasa. Dan diahiri dengan amal ibadah yg multi fungsi, yakni berfungsi untuk mengingat Sang Pencipta, mengendalikan nafsu dan ibadah sosial, yaitu ibadah haji.Manusia yg disibukkan dengan urusan kehidupannya sehari-hari cenderung melupakan sang Penciptanya, yakni Allah swt.


    Untuk itu Allah mewajibkan mereka selalu mengingat-Nya dalam waktu-waktu tertentu (sholat lima waktu) agar mereka selalu sadar dan ingat akan tujuan terciptanya di dunia yg fana ini. Karena hanya dengan sholat manusia bisa konsentrasi dan sadar betul mengingat Tuhannya. Dengan ingat terhadap Tuhan, ia akan ingat pula akan tujuan hidup sebenarnya.


    Hanya dengan sholat manusia bisa bertemu langsung menghadap Tuhannya, mengadu dan memohon petunjuk hidup dari-Nya.Kemudian Allah menunjukkan pada mereka ke mana harus menghadap dalam sholat? Andai tidak ada petunjuk, mereka akan bingung ke mana harus menghadap. Hingga kemudian membuat mereka enggan menjalankannya karena merasa seolah-olah sholat tidak ada guna dan tujuannya.


    Di samping itu dengan adanya petunjuk arah yg satu ke mana manusia harus menghadap dalam sholatnya, hal itu bisa bearti pula akan kebersamaan dan persatuan umat dalam beragama serta berarti pula bahwa Tuhan itu satu. Sangat jauh dari kemungkinan arah untuk menghadap itu hanya satu jika tuhan lebih dari satu. Karena bisa jadi kalau tuhan lebih dari satu, yg pertama menyuruh menghadap Mekah, yg satunya minta menghadap Palestina, yg lainnya mengharuskan menghadap India atau Amerika dll. Demi menghilangkan semua persepsi tersebut dan menjaga kesatuan serta persaruan umat di dunia agar dkehidupan bisa tentram dan teratur, Allah menetapkan satu arah saja bagi hamba untuk menghadap kepada-Nya yg lazim kita sebut dengan KIBLAT.


    Makna Kiblat


    Kiblat berasal dari bahasa Arab Qiblat. Dalam kamus bahasa Arab-Arab kontemporer Al Munjid Qiblat berarti arah untuk menghadap. Dalam kitab (buku) Al Bujairami Aly al Khathib Qiblat disebut kiblat karena tempat untuk menghadap bagi orang yg sedang shalat. Dalam situs www.ensiklopedia.com Kiblat adalah kata Arab yang merujuk arah yang dituju saat seorang Muslim mendirikan sholat.Pengertian pertama merupakan makna etimologis dan pengertian berikutnya merupakan makna terminologis.Dari makna etimologi setiap tempat yg dijadikan arah untuk menghadap bisa disebut kiblat.


    Sedangkan dari makna terminologinya kiblat merupakan tempat tertentu untuk menghadap bagi seseorang yg sedang menjalan ibadah (shalat).Sejarah KiblatDalam sebagian buku sejarah Islam diriwayatkan bahwa kurang lebih 2000 tahun sebelum nabi Adam diciptakan, Allah swt telah membangun pondasi sebuah bagungan persegi empat di muka bumi.


    Kemudian para makhluq yg telah tercipta (Jin -termasuk Iblis- dan malikat) melakukan ibadah (mengabdi) dengan berthawaf (berkeliling) memutari pondasi tersebut.Namun ada juga yg mengakatakan bahwa pondasi tersebut terbangun 8000 tahun sebelum Adam tercipta.


    Hal itu terbukti pada ucapan Iblis (dari golongan Jin; pimpinannya syetan) ketika diperintah Allah untuk sujud (tunduk) pada Adam (setelah tercipta) yg kemudian menolak dengan congkak dan sombong (karena merasa sebagai hamba Allah yg paling baik dan berbakti) berkata: Aku lebih darinya (Adam) Engkau ciptalkan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah. Aku juga telah beribadah kepada-Mu di bumi seribu tahun, di langit pertama 1000 tahun, langit kedua 1000 tahun, langit ketiga 1000 tahun, langit keempat 1000 tahun, kelima 1000 tahun, keenam 1000 tahun dan ke tujuh 1000 tahun. Keterangan tersebut terdapat dalam sebagian buku tafsir yg menafsiri firman Allah yg artinya:"Sesungguhnya Aku telah menciptakan kamu (Adam), kemudian Aku bentuk tubuhmu dan Aku katakan kepada para malaikat : Bersujudlah kamu kepada Adam, maka mereka pun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yg bersujud. Allah berfirman (pada Iblis): Apakah yg menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyurmu? Iblis menjawab: Saya lebik darinya. Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah" (QS. 7:11-12).


    Diriwayatkan pula bahwa nabi Adam setelah diturunkan ke bumi dalam keadaan berpisah dari Hawa (isterinya), kemudian bertemu di bukit Arafah dan beranak-pinak di sekitar bukit tadi (Mekah;sekarang) diperintahkan Allah untuk membangun sebuah bangunan di atas pondasi tersebut. Kemudian bangunan tadi kita kenal dengan Ka'bah.


    Di bangunan tersebut nabi Adam mengumpulkan dan menyatukan semua anak turunnya untuk dinasehati dan diberi pendidikan tauhid (mengesakan Allah) serta syareat yg diembannya dari Allah.Seiring berjalannya waktu dan sejarah kehidupan di bumi yg penuh dengan peristiwa, ka'bah sirna tenggelam oleh banjir topan pada masa nabi Nuh as. Kemudian diperbaruhi kembali bangunannya oleh nabi Ibrahim dan Ismail atas perintah Allah swt dan dijadikan sebagai kiblatnya dalam beribadah.


    Pada masa Nabi Muhammad SAW berusia 30 tahun (Kira kira 600 M dan belum diangkat menjadi Rasul pada saat itu), bangunan ini direnovasi kembali akibat bajir bandang yang melanda kota Mekkah pada saat itu.Bangunan Ka'bahKa'bah secara etimologi berasal dari bahasa Arab ka'aba-ya'kubu-ka'ban-muka'aban-ka'batan, yg berarti persegi empat.


    Disebut ka'bah karena berbentuk persegi empat. Dalam buku fikih Islam al Bujairami, tingginya ka'bah = 27 dzira' (1 dzira' = 60cm;27x60=1600cm=16m). Tinggi pintunya =6 dzra' 10 jari (3,75m) dan lebarnya 4 dzira' (2,4m). Bangunan ka'bah dibuat dari batu-batu pegunungan yg diceritakan dari 5 gunung (G. Thur Saina', G. Al Joudi, G. Hero, G. Abil Qubais dan G. Tsubair)


    Dalam sejarahnya dikatakan pula bahwa Pada awalnya bangunan Ka'bah yang juga dinamakan Baitul Atiq atau rumah tua terdiri atas dua pintu serta pintu ka'bah terletak diatas tanah , tidak seperti sekarang yang pintunya terletak agak tinggi sebagaimana pondasi yang dibuat Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.


    Namun ketika Renovasi Ka'bah akibat bencana banjir pada saat Muhammad SAW berusia 30 tahun dan sebelum diangkat menjadi rasul -di mana dalam hal tersebut membutuhkan biaya yg halal dan bersih- mengalami kekurangan biaya. Hingga ahirnya bangunan ka'bah dibuat hanya satu pintu serta ada bagian ka'bah yang tidak dimasukkan ke dalam bangunan ka'bah yang dinamakan Hijir Ismail yang diberi tanda setengah lingkaran pada salah satu sisi ka'bah.Pada saat menjelang Muhammad SAW diangkat menjadi Nabi sampai kepindahannya ke kota Madinah.


    Lingkungan Ka'bah penuh dengan patung yang merupakan perwujudan Tuhan bangsa Arab ketika masa kegelapan pemikiran (jahilliyah) padahal sebagaimana ajaran Nabi Ibrahim yang merupakan nenek moyang bangsa Arab dan bangsa Yahudi serta ajaran Nabi Musa terhadap kaum Yahudi, Tuhan tidak boleh disembah dengan diserupakan dengan benda atau makhluk apapun dan tidak memiliki perantara untuk menyembahnya serta tunggal tidak ada yang menyerupainya dan tidak beranak dan diperanakkan (Surat Al Ikhlas dalam Al-Qur'an) .


    Ka'bah akhirnya dibersihkan dari patung patung ketika Nabi Muhammad mebebaskan kota Mekkah tanpa pertumpahan darah.Saat itu pintu ka'bah dibuat tinggi agar hanya pemuka suku Quraisy yang bisa memasukinya. Karena suku Quraisy merupakan suku atau kabilah yang sangat dimuliakan oleh bangsa Arab. Namun karena kaumnya baru saja masuk Islam, maka Nabi Muhammad SAW mengurungkan niatnya untuk merenovasi kembali ka'bah sehingga diriwayatkan dalam sebuah hadits beliau berkata: "Andaikata kaumku bukan baru saja meninggalkan kekafiran, akan Aku turunkan pintu ka'bah dan dibuat dua pintunya serta dimasukkan Hijir Ismail kedalam Ka'bah", sebagaimana pondasi yang dibangun oleh Nabi Ibrahim.


    Ketika masa Abdurrahman bin Zubair memerintah daerah Hijaz, bangunan itu dibuat sebagaimana perkataan Nabi Muhammad SAW atas pondasi Nabi Ibrahim. Namun karena terjadi peperangan dengan Abdul Malik bin Marwan, penguasa daerah Syam (Suriah,Yordania dan Lebanon sekarang) dan Palestina, terjadi kebakaran pada Ka'bah akibat tembakan peluru pelontar (onager) yang dimiliki pasukan Syam. Sehingga Abdul Malik bin Marwan yang kemudian menjadi khalifah, melakukan renovasi kembali Ka'bah berdasarkan bangunan hasil renovasi Nabi Muhammad SAW pada usia 30 tahun bukan berdasarkan pondasi yang dibangun Nabi Ibrahim.


    Dalam sejarahnya Ka'bah beberapa kali mengalami kerusakan sebagai akibat dari peperangan dan umur bangunan.Ketika masa pemerintahan khalifah Harun Al Rasyid pada masa kekhalifahan Abbasiyyah, khalifah berencana untuk merenovasi kembali ka'bah sesuai pondasi Nabi Ibrahim dan yang diinginkan Nabi Muhammad SAW. Namun segera dicegah oleh salah seorang ulama terkemuka yakni Imam Malik karena dikhawatirkan nanti bangunan suci itu dijadikan ajang bongkar pasang para penguasa sesudah beliau. Sehingga bangunan Ka'bah tetap sesuai masa renovasi khalifah Abdul Malik bin Marwan sampai sekarang.


    Ringkasnya adalah bangunan ka'bah saat itu diurus dan dipelihara oleh Bani Sya'ibah sebagai pemegang kunci ka'bah dan administrasi serta pelayanan haji diatur oleh pemerintahan baik pemerintahan khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Muawwiyah bin Abu Sufyan, Dinasti Ummayyah, Dinasti Abbasiyyah, Dinasti Usmaniyah Turki, sampai saat ini yakni pemerintah kerajaan Arab Saudi yang bertindak sebagai pelayan dua kota suci, Mekkah dan Madinah.Mekah Sebagai Tempat Ka'bah Mekkah atau Makkah Al Mukarromah, bahasa Arab: ( مكة المكرمة) atau juga dikenal dengan nama Makkah adalah kota utama di Arab Saudi yang merupakan kota tujuan utama kaum Muslimin dalam menunaikan ibadah haji.


    Di sana terdapat bangunan utama Ka'bah yang merupakan patokan arah kiblat untuk sholat kaum muslimin di seluruh dunia serta prosesi Ibadah haji. Keutamaan kota Mekkah selain tempat lahirnya Nabi Muhammad SAW juga terdapat Masjidil Haram dengan Ka'bah di dalamnya di mana sabda Nabi: "Shalat di masjidil Haram memiliki pahala 100000 x".Kota Mekkah terletak sekitar 600 km sebelah selatan kota Madinah, kurang lebih 200 km sebelah timur laut kota Jeddah tepatnya pada koordinat 21°25′24″LU, 39°49′24″BT . Kotanya merupakan lembah sempit yang dikelilingi gunung gunung dengan bangunan Ka'bah sebagai pusatnya.


    Dengan demikian, pada masa dahulu kota ini rawan banjir bila di musim hujan sebelum akhirnya pemerintah Arab Saudi memperbaiki kota ini dan merenovasi kota ini. Seperti pada umumnya kota kota di wilayah Arab Saudi, kota ini beriklim gurun.Kota Mekkah dikenal sebagai kota dagang, pada masa lalu dikenal dengan jalur perdagangan antara Yaman-Mekkah-Madinah-Damsyiq (Damaskus) dengan penghasilan sekali pemberangkatan kafilah mencapai 600.000 pound. Selain dikenal kota dagang, ekonomi juga bertumpu dengan pertanian dan peternakan serta pelayanan jasa untuk jemaah haji diantaranya usaha perhotelan dan penginapan. Di samping sebagai pusat agama Islam kota Mekah juga sebagai pusat pendidikan dan pengajaran agama Islam.Perkembangan kota Mekkah tidak terlepas dari keberadaan Nabi Ismail dan Hajar sebagai penduduk pertama kota ini yang ditempatkan oleh Nabi Ibrahim atas perintah Allah. Pada perkembangannya muncul orang orang Jurhum yang akhirnya tinggal di sana.


    Pada masa berikutnya kota ini dipimpin oleh Quraisy yang merupakan kabilah atau suku yang utama di Jazirah Arab karena memiliki hak pemeliharaan terhadap Ka'bah. Suku ini terkenal dalam bidang perdagangan bahkan pada pasa itu aktivitas dagang mereka dikenal hingga Damaskus, Palestina dan Afrika.Tokoh sebagai kepala kabilah Quraisy adalah Qussai yang dilanjutkan oleh Abdul Muthalib. Nabi Muhammad adalah keturunan langsung dari Nabi Ismail serta Qussai. Pada tahun 571 M, Nabi Muhammad lahir di kota ini dan tumbuh dewasa.


    Pertama kali menerima wahyu dari Allah saat kaumnya masih berada dalam kegelapan pemikiran (Jahilliyah) sehingga berpindah ke Madinah. Setelah Madinah berkembang, akhirnya nabi Muhammad kembali ke Mekkah dalam misi membebaskan kota mekkah tanpa pertumpahan darah.Pada masa selanjutnya Mekkah berada di bawah administrasi khalifah yang berpusat di Madinah, serta para raja yang saat itu berkuasa di Damaskus (Dinasti Ummayyah), Baghadad (Dinasti Abbasiyah) dan Turki (Usmaniyah) yang ketika itu di bawah Syarif Hussein.


    Kemudian disatukan di bawah pemerintahan Arab Saudi oleh Abdul Aziz ibnu Saud sampai sekarang yang merupakan pelayan kedua kota suci.Sejarah Arah KiblatPada mulanya, kiblat mengarah ke Yerusalem. Menurut Ibnu Katsir,[1] Rasulullah SAW dan para sahabat shalat dengan menghadap Baitul Maqdis. Namun, Rasulullah lebih suka shalat menghadap kiblatnya Nabi Ibrahim, yaitu Ka'bah.


    Oleh karena itu beliau sering shalat di antara dua sudut Ka'bah sehingga Ka'bah berada di antara diri beliau dan Baitul Maqdis. Dengan demikian beliau shalat sekaligus menghadap Ka'bah dan Baitul Maqdis.Setelah hijrah ke Madinah, hal tersebut tidak mungkin lagi. Beliau shalat dengan menghadap Baitul Maqdis. Beliau sering menengadahkan kepalanya ke langit menanti wahyu turun agar Ka'bah dijadikan kiblat shalat. Allah pun mengabulkan keinginan beliau dengan menurunkan ayat 144 dari Surat al-Baqarah:"Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan"(Maksudnya ialah Nabi Muhammad SAW sering melihat ke langit mendoa dan menunggu-nunggu turunnya wahyu yang memerintahkan beliau menghadap ke Baitullah).


    Juga diceritakan dalam suatu hadits riwayat Imam Bukhari, dari al-Bara bin Azib, bahwasanya : Nabi SAW pertama tiba di Madinah beliau turun di rumah kakek-kakek atau paman-paman dari Anshar. Dan bahwasanya beliau shalat menghadap Baitul Maqdis enam belas atau tujuh belas bulan. Dan beliau senang kiblatnya dijadikan menghadap Baitullah. Dan shalat pertama beliau dengan menghadap Baitullah adalah shalat Ashar dimana orang-orang turut shalat (bermakmum) bersama beliau. Seusai shalat, seorang lelaki yang ikut shalat bersama beliau pergi kemudian melewati orang-orang di suatu masjid sedang ruku. Lantas dia berkata: "Aku bersaksi kepada Allah, sungguh aku telah shalat bersama Rasulullah SAW dengan menghadap Makkah." Merekapun dalam keadaan demikian (ruku) merubah kiblat menghadap Baitullah. Dan orang-orang Yahudi dan Ahli Kitab senang beliau shalat menghadap Baitul Maqdis.


    Setelah beliau memalingkan wajahnya ke Baitullah, mereka mengingkari hal itu. Sesungguhnya sementara orang meninggal dan terbunuh sebelum berpindahnya kiblat, sehingga kami tidak tahu apa yang akan kami katakan tentang mereka. Kemudian Allah yang Maha Tinggi menurunkan ayat "dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu" (al-Baqarah, 2:143).Hal itu terjadi pada tahun 624.


    Dengan turunnya ayat tersebut, kiblat diganti menjadi mengarah ke Ka'bah di Mekkah. Selain arah shalat, kiblat juga merupakan arah kepala hewan yang disembelih, juga arah kepala jenazah yang ada dalam kubur.Rahasia Ka'bahBaitullah Ka'bah adalah pusat segala wujud semesta dan manusia sebagai wujud-wujud yang lain berasal dari Allah SWT dan tak ada orientasi kecuali Allah SWT.


    Para tamu Allah dengan semangat cinta yang luar biasa di sekitar Baitullah telah mejadi ibarat laron-laron (kalkatu) yang mengelilingi lilin. Dan dengan gelora jiwa yang tak dapat dilukiskan mereka menyampaikan munajatnya kepada Allah SWT.Ka'bah, dari tempat yang tertinggi di Masjidil Haram bisa diketahui rahasia diamnya. Di sini, bukanlah tempat atau bangunan yang menjadi tempat mencurahkan cinta.


    Lautan manusia ini bukanlah karena tradisi atau kebiasaan memutari fokus tauhid melainkan karena dorongan logika akal dan kehendak untuk bertawaf kepada Tuhan Sang Pencipta alam. Seorang pelaksana ibadah haji harus tahu untuk apa mereka mengelilingi Ka'bah. Dengan kehendaknya, ia harus berdiri di atas kaki sendiri agar ia berada dalam orientasi tauhid.Dewasa ini dimana berbagai negara berusaha membangun istana-istana dan bangunan-bangunan termegah serta dengan kekerasan dan penipuan berusaha memperoleh popularitas dan untuk masalah terkecil pun mereka menggelar konferensi dan seminar, akan tetapi mereka sama sekali tidak melontarkan sedikitpun kata-kata untuk mengungkapkan kesan-kesan ibadah besar haji yang mengandung nuansa pengabdian, politik dan sosial umat Islam ini. Sebab mereka tahu betul betapa dalamnya pengaruh ibadah ini dalam menentukan garis nasib manusia.Rahasia Ka'bah tidak bisa dilukiskan dengan lidah melainkan dengan hati.


    Pada saat dimana lautan manusia, baik yang berkulit hitam maupun putih dan memiliki aneka ragam bahasa mendirikan solat di depan Baitullah dan engkau pun dapat menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, engkau hanya bisa khusu' dan merendah diri di depan Sang Pemilik rumah ini, kemudian engaku ambil cahaya yang tertinggi dan bertasbihlah.


    Keagungan dan kemuliaan Ka'bah ada pada keagungan dan kebesaran Sang Pencipta dan yang mengatur segala wujud semesta, sebagaimana yang ditegaskan oleh Al-Quranul Karim di bagian terakhir surah Al-Hasyr yang artinya:"Dialah Allah yang menciptakan, yang mengadakan, Yang membentuk rupa, Yang mempunyai nama-nama yang paling baik. Bertasbih kepadaNya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."Berkumpulnya manusia mengelilingi Ka'bah menunjukkan bahwa selain Allah dilarang mengelilinginya.


    Tawaf memutari Ka'bah yang menunjukkan cinta kepada Yang Hak, mengajarkan kepada kita untuk membersihkan hati kita dari selain-Nya, dan tidak takut kepada apapun selain-Nya. Sa'i antara Safa dan Marwa mengajarkan agar kita berusaha menuju ke arah kekasih yang kita cintai, yaitu Allah SWT, dengan ketulusan dan kebersihan hati. Karena dengan menuju dan memperoleh kedekatan kepada-Nya, maka segala macam persoalan duniawi akan hilang sirna. Segala keraguan dan kebimbangan pun akan musnah.


    Demikian pula segala bentuk ketergantungan kepada hal-hal yang bersifat materi.PenutupDari penjelasan tersebut di atas bisa diambil kesimpulan bahwa Ka'bah merupakan Kiblat Umat Sejagat. Terbukti bahwa dari awal terbangunnya, ka'bah dijadikan pusat peribadatan oleh makhluq sebelum manusia, yakni malaikat dan jin. Pada masa nabi Adam dijadikan tepat pemersatu anak turunnya dan pengajaran risalahnya. Pada masa nabi Ibrahim, barulah dijadikan sebagai kiblat peribadatan umat Manusia.


    Hingga sampai pada masa nabi Muhammad saw dan sampai sekarang ka'bah masih tetap dan terus sampai hari terahir kehidupan dunia, dijadikan kiblat umat sejagat.Adapun mereka yg tidak mengkui Ka'bah sebagai kiblatnya itu semata-mata karena hawa nafsunya. Pada mulanya umat manusia adalah satu. Umat Islam dan semua sektenya, Yahudi dan semua alirannya, Nasrani dan semua pecahannya, Kristiani dan semua sektenya, Hindu dan semua kastanya, Budha dan semua alirannya, Sintho, Syikh, dan semua agama yg ada dipermukaan bumi pertiwi adalah satu.Namun karena banyak yg menyimpang dari ajaran para Pembawa risalah Ilahi, umat menjadi terpecah dan bahkan saling bermusuhan.


    Padahal semua nabi dan Rasul pun ajarannya satu dan sama, yakni agama Tauhid. Agama yg menyatakan Tuhan itu satu. Pencipta alam semesta dan Pemiliknya adalah satu dan tiada sekutu bagi-Nya. Allah berfirman:"Manusia adalah umat yg satu. Kemudian Allah mengutus para Nabi sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan dan Allah menurunkan kitab bersama mereka dengan benar untuk memberi keputusan di antar mereka tentang perkara yg mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang kitab itu selain orang yg telah didatangkan kitab pada mereka, yakni setelah datang pada mereka keterangan-keterangan yg nyata karena dengki antara mereka sendiri.


    Lantas Allah memberi petunjuk orang-orang yg beriman atas kebenaran perkara yg mereka selisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk jalan yg lurus pada orang-orang yg dikehendaki-Nya" (QS. 2: 212).Adapun hukum masuk ke dalam bangunan ka'bah adalah boleh. Sebab Rasul saw pernah melakukan hal tersebut, bahkan diriwayatkan beliau sempat shalat di dalamnya. Dalam sebuah hadis yg diriwayatkan oleh Ibn Umar bahwa:" Sesungguhnya Rasul saw pernah masuk ka'bah barsama Bilal, Usamah dan Utsman Ibn Thalhah. Ibn Umar berkata: Kemudian aku bertanya pada Bilal "Apa yg telah dilakukan Rasul saw di dalam ka'bah?" Bilal menjawab: Ada satu tiang di samping kirinya dan satu tiang lagi di samping kanannya dan tiga tiang lainnya berada di belakangnya, kemudian beliau shalat. Ibn Umar berkata: Di dalam Ka'bah saat itu ada enam tiang" (HR. Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Malik, Imam Syafi\i dan Imam Abu Dawud).


    Demikian yg bisa penulis uraikan. Dengan segala kekurangan yg ada penulis berharap tulisan sederhana ini dapat memantapkan para pembaca akan keimanannya dan mampu memotivasi orang yg belum pernah berkunjung ke Mekah untuk melihat langsung keajaiban Ka'bah dan sudah berkemampuan untuk segera mencobanya jika ada kesempatan. Jika banyak kekurangan dalam tulisan ini harap dimaklumi karena boleh dikatakan ini sebagai sarana latihan menulis bagi penulis. Ahirnya penulis ucapkan Hadaanallahu wa Iyyakum Daaiman Ila Sabilil Haq.


    Refrensi

    1. Al Quran al Karim (Terjemah).

    2. Al Munjid fi al Lughah al Arabiyyah al Mu'ashirah (kamus Arab-Arab).

    3. Al Bujairami Ali al Khathib. Ibn Umar al Bujairami.

    4. Al Irtibath al Zamani wa al Aqoidy Bain al Anbiya' wa al Rusu. Dr. HM. Washfi. Dar bn Hazm.

    5. Al Umm. Imam Syafi'i.

    6. www.ensiklopedia.com

    more
  • Bukti Bahwa Bible Adalah Kitab Suci Editan Gereja

    BAB I
    APA KATA MEREKA

    Pengakuan Umat Kristen
    Dr.W.Graham Scroggie The Moody Bible Institut Chicago, salah satu lembaga penginjilan yang paling berpengaruh didunia dalam menjawab pertanyaan : Is The Bible Word Of God? (Apakah Bibel Itu Firman Tuhan) pada sub bab bukunya yang berjudul : It is Human, Yet Divine ( Bible bersifat manusiawi, sekaligus bersifat Ilahiyah) halaman 17 mengatakan : “Yes, the Bible is human, thougt some, out of a zeal which is not according to knowledge, have denied this. Those books have passed through minds of men, are written in the language of men, were penned by the hand of men, and bear in the style the caracteristic of men” ( Ya, Bibel bersifat manusiawi, walaupun beberapa orang telah menyangkalnya, karena kebutaan pengetahuannya. Kitab-kitab tersebut telah berkembang melalui alam pikiran manusia, ditulis oleh tangan manusia dan dalam bahasa manusia, serta menurut gaya yang khas manusiawi). Tokoh kristen lainnya, Kenneth Cragg , seorang uskup Gereja Anglikan di Yerusalem, dalam bukunya The Call Of Minaret halaman 277 mengatakan: Not so the New Testament...there in condensation and editing: there is choice, reproduction and witness. The Gospel has come through the mind of Church behind the authors. The represent experience and history.” ( tidak demikian halnya dengan kitab perjanjian baru...pada kitab ini terdapat pemenggalan-pemenggalan dan editing, terdapat penyeleksiam, reproduksi dan kesaksian. Dengan demikian ajaran injil telah muncul dalam alam pikiran gereja melalui para pengarangnya. Mereka menulis pengalaman dan sejarah).

    Dengan adanya pernyataan-pernyataan diatas masih perlukah kita menambah argumentasi yang membuktikan kebenaran pendapat kita bahwa bibel itu bukan firman Tuhan. Tetapi para misionaris yang profesional-bahkan setelah mengetahui kebusukan ajaran agamanya terkuak –dengan bertopeng tembok tebal dan berada ditengah bayang-bayang keraguan, mereka tanpa malu berusaha meyakinkan para pendengarnya bahwa Bible itu firman Tuhan yang tak diragukan lagi. Cara mereka memutar kata-kata sungguh hebat.

    Dengan bahasa manusia yang paling jelas, kedua doktor ahli teologi ini menyatakan bahwa Bible itu hasil karya manusia. Sementara umat Kristen tetap bertahan untuk mengatakan yang sebaliknya. Dengan omong kosong seperti itu, para penginjil merasa mendapat ilham untuk menghukum orang-orang yang tidak mempercayainya. Seorang mahasiswa teologi yang termasuk misionaris yunior dari Universitas Witwatersrand berulang kali mengunjungi masjid Newtown di Johanesburg. Tujuannya adalah untuk menyaksikan kegiatan umat Islam di masjid itu. Pengertian kata “menyaksikan” ialah melakukan perembesan, perambatan sebagai usaha untuk mendapat simpati, dan akhirnya menarik umat lain masuk agama Kristen.

    Ketika saya diperkenalkan kepada misionaris muda ini, dan setelah mempelajari tujuannya, dia saya undang untuk makan siang bersama dirumah saudara saya yang letaknya dekat masjid itu. Setelah makan siang, kami terlibat dalam diskusi mengenai keabsahan Bibel sebagai kitab suci. “Guru besarmu, Prof. Geyser, dekan Fakultas Teologi, tidak percaya kalau Bibel itu firman Tuhan." Pancing saya. “Saya tahu.” Dia menjawab dengan suara datar tanpa mengekspresikan kekagetan sama sekali.

    Sebenarnya saya sendiri belum mengetahui pendirian Prof. Geyser mengenai bibel. Saya mengasumsikannya berkenaan dengan pendapat beliau yang sangat kontroversial tentang ketuhanan Yesus. “Dosenmu tidak percaya kalau Bibel itu firman tuhan.” Pancing saya lagi. “Saya tahu” Jawab pemuda itu, kemudian melanjutkan jawabannya: “Tetapi saya percaya bahwa Bibel itu firman Tuhan. Rupanya, pemuda itu sudah mengidap penyakit kejiwaan yang sangat parah. Tak ada lagi obat yang bisa menyembuhkan orang sakit seperti ini. Bahkan Yesus pun mengutuknya, sebagai mana yang termaktub dalam Injil Matius: “ Sekalipun melihat, mereka tidak melihat. Sekalipun mendengar, mereka tidak mendengar dan tidak mengerti ”. (Matius 13:13)

    Kitab suci Al-Qur'an juga mensinyalir penyakit mental seperti ini: “ Mereka tuli, bisu dan buta. Maka tidaklah mereka kembali (kejalan yang benar ).” (QS Al-Baqarah:18) Buku kecil ini saya persembahkan hanya bagi mereka yang sungguh-sungguh ingin mencari cahaya kebenaran dari Ilahi dan yang menghargai bimbingannya. Sementara bagi mereka yang menderita penyakit mental dan kejiwaan sebagaimana yang telah disitir oleh Matius dan Al-Qur'an diatas, bukti-bukti yang diungkap dalam buku ini hanya akan menambah parah penyakitnya.



    BAB II
    PANDANGAN ISLAM

    Bualan Mereka
    Baik dalam agama Kristen Katholik, Protestan, ataupun sekte-sekte lainnya, Anda tidak akan menemukan seorang pendeta, pastur maupun misionaris yang berani mengatakan bahwa pemeluknya yang taat, percaya kepada Bible sebagai kitab suci terakhir yang menghapus dan mengalahkan ajaran-ajaran agama lainnya. Satu-satunya cara yang mereka tempuh adalah dengan mengutip ayat-ayat Bible yang bertentangan dengan ajaran agama lain, atau ayat-ayat yang menyangkal penafsiran mereka.
    Pertanyaan Untuk Mengelak

    Ketika orang-orang Islam membuktikan kepalsuan Bible berdasarkan ayat-ayat Bible sendiri, dan ketika para pendeta atau tokoh mereka sudah tidak mampu menyanggahnya lagi, maka satu-satunya jalan yang mereka tempuh untuk mengelak ialah dengan melontarkan pertanyaan: “Apakah Anda mempercayai Bible sebagai firman Tuhan?” Pertanyaan seperti ini memang mudah dijawab. Tetapi jawaban sederhana “Ya” atau “Tidak” bukanlah jawaban yang tepat.

    Pertama kali seorang harus menjelaskan pendapatnya dulu. Tetapi mereka tidak akan memberinya kesempatan untuk itu. Mereka selalu tidak sabar dan mendesak agar segera mendapatkan jawaban dari anda “Ya” atau “Tidak." Persis seperti apa yang dilakukan oleh orang Yahudi terhadap Yesus dua ribu tahun yang lalu. Anda pasti sependapat dengan saya, bahwa sesuatu itu tidaklah selalu tepat hitam atau putih. Diantara keduanya pasti ada beraneka bayang-bayang kelabu. Jika pertanyaan mereka anda jawab “Ya”, berarti anda harus membenarkan semua yang tertulis dalam Bible mulai dari kitab “Kejadian” sampai “Wahyu kepada Yohanes.” Jika anda menjawab “Tidak,” maka pendeta kristen itu akan mengalihkan jawaban anda, dan akan meminta dukungan kepada sahabat-sahabat mereka dengan mengatakan: “Saudara telah menyaksikan, bahwa orang ini tidak mempercayai kebenaran Bible. Lalu mengapa dia mengajukan pendapatnya berdasarkan ayat-ayat kitab suci kita itu?”
    Tiga Tingkatan Kebenaran

    Kita orang-orang Muslim sama sekali tidak mempunyai keraguan untuk mengakui bahwa didalam Bible terdapat tiga jenis penyaksian yang secara mudah dapat kita lihat, tanpa membutuhkan keahlian khusus, yaitu:

    Dengan mudah anda dapat melihat dalam Bible apa yang dinyatakan sebagai firman Tuhan.
    Dengan mudah anda dapat melihat apa yang dinyatakan sebagai Sabda Nabi Allah.
    Dan yang terakhir, anda akan benar-benar menyadari bahwa hampir seluruh isi Bible merupakan catatan dari para saksi mata atau saksi telinga, atau catatan orang-orang dari kabar burung yang mereka dengar. Kelompok ketiga ini kita sebut saja ucapan-ucapan para ahli sejarah.

    Kelompok Pertama

    Seorang Nabi akan Ku bangkitkan bagi mereka dari antara saudara mereka, seperti engkau ini. Aku akan menaruh firmanKu dimulutnya, dan ia akan mengatakan kepada mereka segala yang kuperintahkan kepadanya.(Ulangan 18:18)
    Aku lah Tuhanmu dan tidak ada juru selamat daripada Ku .(Yesaya 43:11)
    Berpalinglah Kepada Ku dan biarkanlah dirimu diselamatkan, hai ujung-ujung bumi! sebab Aku lah Allah dan tidak ada yang lain. (Yesaya 45:22)
    Perhatikan kata ganti orang pertama yang tercetak tebal diatas. Tanpa mengalami kesulitan anda akan memahami bahwa pernyataan tersebut merupakan kalimat-kalimat yang menurut Bible diucapkan oleh Allah.

    Kelompok Kedua

    Berserulah Yesus dengan suara nyaring “Eli, Eli lama Sabakhtani? (Matius 27:46)
    Jawab Yesus,”Hukum yang terutama ialah, dengarlah hai orang-orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu Esa”. (Markus 12:29)
    Jawab Yesus,”Mengapa kau katakan aku baik? Tak seorang pun yang baik selain daripada allah saja. (Markus 10:18)
    Bahkan seorang anak kecil pun dengan mudah akan mengerti bahwa kalimat-kalimat dalam tanda kutip diatas diyakini sebagai ucapan Yesus.

    Kelompok Ketiga

    Dan dari jauh ia (Yesus) melihat pohon ara yang sudah berdaun. Ia mendekatinya untuk melihat kalau Ia mendapatkan apa-apa dari pohon itu. Tetapi waktu ia tiba disitu, ia tidak mendapatkan apa-apa selain daun-daun saja, sebab memang bukan musim buah ara. (Markus 11:13) Hampir seluruh Bible dipenuhi oleh Kelompok Ketiga ini. Ia merupakan cerita yang ditulis oleh pihak ketiga, bukan firman Allah maupun sabda nabiNya.

    Bagi orang Islam sangat mudah membedakan tiga tingkat kebenaran diatas, karena hal demikian itu juga terdapat dalam Islam. Tetapi dibandingkan dengan pemeluk agam-agama lainnya, orang Islam jauh lebih beruntung, karena ketiga tingkat kebenaran itu tertulis dalam kitab-kitab yang berlainan, bukan campur baur dalam satu kitab. Pertama : Jenis pertama adalah firman Allah SWT yang tertulis secara lengkap dalam kitab suci Al-Qur'an . Kedua : Jenis kedua adalah sabda Nabi Muhammad SAW yang tercatat dalam kitab Hadits. Ketiga : Jenis ketiga tercantum dalam berbagai buku-buku sejarah Islam yang ditulis oleh sejarawan Islam. Umat Islam menyimpan ketiga jenis kebenaran diatas dalam kitab-kitab yang benar-benar terpisah menurut tingkatnya masing-masing. Mereka tidak mencampuradukkan ketiganya. Sedangkan kitab Bible mencampurbaurkan ketiganya.



    BAB III
    VERSI BIBLE YANG BERANEKA RAGAM
    Mudah sekali bagi kita untuk menganalisa pengakuan umat Kristen terhadap kitab sucinya.

    Pisahkan Gandum Dari Dedaknya


    Sebelum kita meneliti secara cermat versi Bibel yang beraneka itu, marilah terlebih dahulu kita jelaskan keyakinan kita terhadap kitab-kitab Allah. Disaat mengatakan bahwa kita mengimani Taurat, Zabur, Injil dan al-Qur'an, apa sebenarnya maksud kita? Kita telah menyadari bahwa al-Qur'an adalah wahyu Allah yang paling sempurna. disampaikan kepada nabi akhir zaman Muhammad SAW. Kata demi kata dengan perantaraan malaikat Jibril, dan dijaga serta dijamin kemurniannya dari segala campur tangan (penambahan, penguranagn aatu perubahan) manusia selamanya. Bahkan Sir William Muir, seorang pengkritik Islam yang paling gigih pun berdecak kagum atas kemurnian al-Qur'an dengan menyatakan : “There is probably in the world no other book which has remined twelve centuries with so pure a text”.(Mungkin tidak ada kitab lain di dunia ini yang tetap murni selam dua belas abad)-sekarang sudah berusia 14 abad.

    Kitab Taurat yang diimani oleh orang Islam bukanlah Taurat yang dipegang oleh orang Yahudi dan Kristen sekarang. Kita percaya bahwa segala yang diajarakan oleh nabi Musa as kepada uamtnya (bangsa Israel) adalah wahyu Allah yang Maha Besar. Tetapi nabi Musa bukanlah penulis kitab Taurat yang diajarkan oleh orang Yahudi dan Kristen sekarang ini. Begitu pula, kita percaya bahwa kitab Zabur itu wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Daud as. Tetapi Mazmur (Psalm) yang terdapat dalam Biblr dewasa ini bukanlah kitab Zabur wahyu Allah. Umat Kristen sendiri tidak yakin kalau yang menulis Mazmur itu nabi Daud.

    Bagaimana dengan Injil atau Bible? Injil mempunyai makna “ berita bahagia atau kabar gembira” yang diajarkan oleh Yesus selama hidupnya yang singkat. Para penulis Injil menyatakan bahwa Yesus berkeliling mengajarkan Injil. “Demikianlah Yesus berkeliling kesemua kota dan desa mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil kerajaan sorga serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan”. (Matius 9:35)

    Karena barang siapa yang mau menyelamatkan nyawanya ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barang siapa yang kehilangan nyawanya karena Aku dan Injil, Ia akan menyelamatkannya”. (Markus 8:45) Pada suatu hari ketika Yesus menagajar orang-orang banyak di Bait Allah dan memberitakan Injil, datanglah Imam-Imam kepala dan ahli-ahli Taurat serta tua-tua ke situ”. (Lukas 20:1)

    Injil merupakn kata-kata yang berulang kali disebutkan dalam Bible. Tetapi Injil Manakah yang diajarkn oleh Yesus? Dalam ke-27 kitab Perjanjian Baru, hanya terdapat sedikit kutipan yang dapat diterima sebagai ucapan Yesus. Umat Kristen membanggakan Injil karangan Matius, Markus, Lukas, dan Yohannes. Tetapi kita belum pernah menemukan sebuah kitab Injil karangan Yesus. Kita semua percaya bahwa segala yang diajarkan oleh Yesus berasal dari Allah. Itulah Injil, berita gembira dan petunjuk Allah bagi bangsa Israel. Selama hidupnya Yesus tidak pernah menuliskan ajarannya, juga tidak pernah menyuruh orang lain untuk menulisnya. Kitab Injil yang beredar sekarang ini hanyalah hasil karya orang yang tidak dikenal. Pertanyaan yang menghadang kita adalah: “ Apakah anda mempercayai Bible sebagai firman Allah?” Pertanyaan ini terlontar dengan nada penuh tantangan. Sang penanya tersebut bukanlah bermaksud untuk mencari kebenaran. Pertanyaan itu muncul dalam suatu perdebatan. Dengan demikian kita juga berhak untuk balik bertanya, “Bible manakah yang anda maksudkan?” Sang penanya dengan ngotot akan menjawab: “Mengapa? kan hanya ada satu Bible?”.

    Bible Katholik

    Sambil memegang Douay, Bible versi Katholik Roma, saya bertanya “Apakah anda mempercayai Bible ini?” Perlu anda ketahui, The Catholik Truth Society menerbitkan Bible ini dalam versi sangat pendek dan singkat. Versi ini isinya sangat sedikit bila dibanding dengan versi-versi lainnya.
    “ Bible apa itu ?” Penanya Kristen balik bertanya. “ Mengapa? Kan tadi anda bilang bahwa hanya ada satu Bible!” Saya mengingatkan di, sambil tersenyum mendengarkan pertanyaan yang lucu itu?”. “ y..a..” Gumamnya ragu-ragu. Lalu dia bertanya : “ Tetapi versi apa Bible yang anda pegang itu ?” “ Mengapa, apa Bible ini ada bedanya bagi saudara ?” Tanya saya. "Ya...!tentu saja ada bedanya". Para pendeta pun menyadari hal ini. Ternyata, pernyataan mereka tentang “ satu Bible ” hanyalah omong kosong dan bualan murahan.

    Bible Katholik Roma diterbitkan di Rheims tahun 1582 berasal dari terjemahan Bible Jerome, dan diterbitkan di Douay tahun1 1609. dengan demikian, Bible RCV (Roman Catholic Version) adalah versi tertua yang dapat kita beli sekarang ini. Lucunya, Bible ini ditolak oleh seluruh gereja Protestan dan sekte-sekte lainnya seperti Advent hari Ketujuh, saksi Yehovah dan lain-lain. Bible ini dianggap oleh mereka mengandung tujuh kitab yang sangat diragukan kebenarannya.

    Walaupun peringatan keras telah ditulis dalam kitab suci mereka yang berbunyi : “Aku bersaksi kepada setiap orang yang mendengarkan nubuat dari kitab ini. Jika seorang menambahkan sesuatau kepada perkataan-perkataan ini, maka Allah akan menambahkan kepadanya malapetaka-malapetaka yang tertulis didalam kitab ini. Dan jikalau seseorang mengurangkan sesuatu dari perkataan-perkataan dari kitab nubuat ini, maka Allah akan mengambil bagianya dari pohon kehidupan dan dari kota kudus, seperti yang tertulis di dalam kitab ini”. (Wahyu 22:18-19)

    Tetapi siapa yang perduli! Toh mereka tidak benar-benar meyakininya. Orang-orang Protestan dengan sangat berani telah membuang tujuh kitab yang dianggap suci oleh orang Katolik. Kitab yang ditolak itu adalah : Kitab Yudit, Kitab Tobias, Kitab Barukh, Kitab Ester, dan lain-lain.
    Bible Protestan

    Sir Winston Churchill pernah mengkritik Bible milik Protestan The Authorished Version (AV) atau lebih dikenal dengan sebutan King James Version (KJV) sebagai berikut : “The Authorised version of the Bible was published in 1611 by the will and command of his majesty king James the 1st whose name it bears till today”. (Bible The Authorised Version diterbitkan yahun 1611 atas kemauan dan perintah yang mulia Raja James I yang namanya tetap dikenang sampai sekarang).

    Setelah penerbitannya yang pertama tahun 1611, pada tahun 1881 Bible ini direvisi ulang dan diberi nama The Revised Version (RV). Tahun 1952 Bible ini direvisi ulang dan diberi nama The Revised Standard Version (RSV), yang kemudian direvisi ulang tahun 1971. Marilah kita lihat bagaiman sikap dunia Kristen terhadap Bible Revised Standard Version ini: “The finest version which has been produced in the present century”. ( Church of England Newspaper)- Versi terbaik yang dihasilkan abad ini.
    “A completely fresh translation by scholars of the highest eminence”. (Time Library Supplement) -Sebuah terjemahan yang benar-benar segar dan hidup yang ditulis oleh para ilmuwan.
    “The well-loved characteristics of the Authorised Version combined with a new accuracy of translation”. (Life and work) -Karakter yang sangat baik dari Authorised Version digabung denagn terjemahan yang sangat akurat. “The most accurate and close rendering of the original”. (The Times) -Bible yang paling akurat dan mendekati keasliannya. Penerbitnya sendiri (Collins) pada pengantarnya dihalaman 10 mengatakan:”This Bible (RSV) is the product of thirtytwo scholars, asisted by an advisory committe representing fifty cooperating denomination”. (Bible ini-RSV-merupaakn hasil karya 32 ahli yang dibantu oleh dewan penasehat beranggotakan wakil-wakil dari 50 sekte kristen lainnya. Untuk apa bualan seperti ini? Apa untuk memikat agar masyarakat yang mudah tertipu berbondong-bondong membelinya? Semua pernyataan diatas bertujuan untuk meyakinkan para pembelinya, bahwa mereka telah mengambil kuda tunggangan yang paling tepat, dengan menumbuhkan sedikit keyakinan bahwa mereka akan diikutsertakan dalam pacuan kuda.

    The Best Seller Bible (Bible Terlaris)

    Lalu bagaimana pula dengan The Auhthorised Version yang merupakan the best seller book?. Para perevisinya (salesman-salesman profesional) pada kata pengantarnya dihalaman iii paragraf keenam mengatakan : “The King James Version has with good reason been termed the Noblest Monument Of English Prose. Its revisers in 1881 expressed admiration for its simplicity, its dignity, its power, its happy turns of expression......the music of its cadences, and the felicities of its rhythm. It entered, as no other book has, into the making of the personal character and the public institutions of the English speaking peoples. We owe to it an inalculable debt”. (The King James Version berdasarkan alasan-alasan yang baik, telah dinobatkan menjadi karya monumental kesusasteraan Inggris. Pada tahun 1881 para perevisinya telah mengundang kekaguman atas kesederhanaannya, kedalamannya, kekuatannya, ekspresinya yang segar...dan logat iramanya. Itu semua telah membawanya kedalam pembentukan pribadi dan lembaga sosial yang berbahasa Inggris).

    Para pembaca yang budiman dapatkah anda menyusun suatu pujian melebihi semua yang tertulis diatas?. Saya sendiri tidak mampu. Namun sungguh mengherankan, setelah memuji setinggi langit, pada halaman yang sama mereka berbalik menyerang The King James Version pada paragraf berikutnya sebagai berikut:
    “Yet The King James Version has grave defects. And that these defects are so many and so seriosly as to call for revision”. (Namun The King James Version ternyata mengandung banyak kesalahan yang sangat mendasar. Kesalahan itu jumlahnya amat banyak dan sangat serius, sehingga perlu adanya revisi). Dapatkah anda mengikuti jalan pikiran seperti itu? Sekarang sejumlah doktor Teologi sedang dikumpulkan untuk menyusun ensiklopedi yang akan menjelaskan penyebab timbulnya kesalahan yang besar dan serius itu, dan alasan mengapa mereka harus memperbaiki kesalahan itu. (bersambung)

    more
  • SABAR VS EGOIS
    By: Afy Fuady

    Pada umumnya setiap insan memiliki sifat ego. Hanya saja kadang ada yang mampu mengendalikannya dengan baik, hingga jarang sekali tampak di muka umum sifat egoisnya. Ada pula yang kurang mampu bahkan cenderung terbawa egonya yang tinggi, hingga seringkali perilakunya mengundang amarah dirinya dan kadang orang lain juga.

    Suatu malam di kamarku tanpa sengaja ada obrolan kecil bersama teman roommate dan flatmate yang keduanya sama-sama berasal dari Nigeria. My roommate terkenal di kampus sebagai penyair yang lumayan tenar di kalangan mahasiswa. Menurut dia sendiri, namanya sebagai penyair melambung di kampus setelah ia membawakan sebuah siir Arab tentang “al Qoid Muammar Qadhaafi”, pahlawan revolusioner Libya, dalam suatu acara peringatan hari revolusi Libya pada bulan September di aula kampus Kuliah Dakwah Islamiah. Siir itu memang sangat indah dan mengagumkan. Di sana menggunakan qafiyyah (istilah untuk ahir setiap bait siir Arab) ya’iyyah yang semuanya berbunyi “Qadhdhafy”. Aku pun sempat diberi olehnya copian siir tersebut.


    Sedangkan my flatmate adalah mahasiswa yang sangat aktif dalam banyak kegiatan. Konon kabarnya ia mempunyai perkumpulan anak muda-anak muda di daerahnya. Dalam perkumpulan itu ia terkenal dengan sebutan “syekh”, begitu cerita yang sempat disampaikannya sendiri padaku. Di kampus KDI sendiri, keaktifannya terbukti dalam andilnya di beberapa perkumpulan. Di Mu’tamar Thullaby (badan ekskutif mahasiswa;BEM), ia dipercaya menangani bidang informatika. Di kelas, ia menjabat sebagai Raidul fasl (ketua). Begitu juga di lajnah tahun empat kuliah, ia dipercaya di bidang tsaqofah wal tarbiyah.


    Adapun obrolan itu terjadi saat aku makan malam dengan menu nasgor (nasi goreng) bersama roommate. Kemudian flatemate datang dengan membawa makanan sendiri. Awalnya mereke basa-basi dan banyak “mujamalah” (menyanjung yang berlebihan tidak pada tempatnya) kepadaku.


    Lantas aku mulai bercerita tentang sedikit pengalamanku waktu bertemu dengan beberapa orang sufi. Bahwasannya di antara sebagian paham sufy dalam jenjang pendidikannya itu ada jenjang yang namanya khumul. Suatu jenjang di mana sufy menyembunyikan kehidupannya dari khalayak ramai. Demikian bertujuan menguji kemampuan hati untuk bisa menerima dengan mudah suatu pujian dan celaan dari orang lain. Dalam kata lain, dengan jenjang ini seorang sufy tidak akan goyah pendiriannya untuk selalu menyandarkan amaliahnya hanya kepada Allah semata saat dipuji orang atau dicelanya. Sebab amal tanpa ikhlas bagaikan jasad tanpa nyawa.

    Begitu juga aku ceritakan sekilas kehidupan sebagian pelacur yang dulunya mantan pengajar TPQ (taman pendidikan al Qur’an). Mereka sempat terheran mendengar cerita ini. Masa sih, seorang pengjar al Qur’an sampai terjerumus ke lembah hitam pelacuran? tanya sang “syekh” (flatmate). Kalian jangan keburu kaget dan heran, jawabku. Bahkan ada juga anak seorang kiyai yang hampir terjerumus ke dalam lembah setan tersebut. Semua itu -menurut pencermatanku selama ini- kebanyakan disebabkan oleh faktor finansial, lebih tepatnya faktor kemiskinan.

    Ada juga seorang kiyai yang bercerita bahwa ulama itu dibagi menjadi tiga, yaitu ulama silha (bersila; para pendidik dan pengajar umat), ulama silat (politikus dan dai) dan ulama silem (para sufy dan auliya; Allah). Begitu juga penuntut ilmu dibagi menjadi tiga, yaitu pembaca ilmu (buku), pengamal ilmu dan pembaca dan pengamal ilmu.

    Selain itu aku juga sempat mengutaran suatu ide teori dakwah yang aku ambil dari permainan sepak bola. Di mana dalam permainan sepak bola umumnya ada 11 pemain. Masing-masing pemain mempunyai posisi dan tugas tersendiri, namun semuanya bersatu-padu dalam menggiring bola ke satu tujuan yaitu gawang lawan. Demikian juga dalam berdakwah, seharusnya ada yang menjadi keeper, back kanan, back kiri, penyerang tengah dan penyerang depan.


    Keeper bisa disamakan dengan para kiayi, ustadz dan tokoh masyarakat yang mempunyai yayasan, sekolah atau pesantren. Mereka bertugas melindungi anak didiknya dari bola pemikiran Barat yang merusak dan menghancurkan umat agar tidak bisa menembus masuk ke dalam gawang pemikiran para santri/siswa/mahasiwa.


    Bagian back kanan, dapat diartikan sebagai seorang hartawan yang dermawan yang siap membantu berjalannya dakwah sepenuhnya dengan harta kekayaannya. Sedangkan back kiri, bisa diartikan sebagai para politikus yang mengatur jalannya dakwah dan mencari informasi aktual tentang perkembangan politik-sosial di lapangan.


    Sedangkan penyerang tengah, dapat diartikan sebagai para dai lokal (daerah & nasional) yang bertugas menyampaikan ajaran-ajaran agama yang benar kepada masyarakat sekitar. Dan penyerang depan, dapat diartikan sebagai para dai kelas iternasional dan multi-fungsional yang bertugas menopang serangan-serang ghazwul fikri (perang pemikiran) dari Barat dan non Muslim serta bertugas melebarkan sayap dakwah menembus dinding pertahanan “lawan” hingga nantinya mampu menaklukkan lawan dan pada ahirnya mau bergabung dengan kita dalam satu bendera (Islam) dengan tulus. Demikianlah obrolanku malam itu bersama dua mahasiswa dari Nigeria. Kira-kira hampir dua jam obrolan tersebut berlangsung. Baru setelah itu sang “syekh” mohon diri karena ada acara muhadharah dan ia pun sudah ditunggu temannya. Sedangkan sang penyair tadi, kembali melakukan aktivitasny membeca dan membaca terus.


    Keesokan harinya, aku sahur bersama sang penyair tadi untuk berpuasa di hari ‘arafah. Itung-itung ittiba’ (mengikuti) sunnat Rasul saw. Setelah sahur, tidak lama kemudian terdengar adzan subuh dikumandangkan. Kami pun shalat berjamaah di kamar. Dalam shalat berjamaah, pasti sang penyair meminta aku yang jadi imam. Setelah shalat subuh, ia tidur. Sedangkan aku eada sibuk menulis makalh buat persiapan nadwah (semacam seminar) yang akan diselenggarakan oleh tahun empat kuliah setelah Ied al Adha.

    Begitu sang penyair bangun, ia lantas ke kamar mandi, kemudian shalat sunnat (mungkin shalat dhuha) empat rakaat. Setelah itu aku perhatikan ia rada sibuk dengan suatu pekerjaan. Sedang aku masih menghadap laptopku, melototi tulisan-tulisan arab, mencari data tentang tema yang akan sampaikan pada seminar nanti (kalau jadi), yaitu tentang pemuda dan tantangan zaman atau dalam bahasa Arab “Al Syabab Abnaa’uz Zaman, Fakaifa Taro?” (pemuda adalah anak zaman, bagaimana pendapat anda?).

    Sang penyair aku perhatikan rada kerepotan dengan pekerjaan. Aku sengaja membiarkannya menyelesaikan sendiri, karena aku cermati apa yang dilakukannya itu hanya bermanfaat pada dirinya sendiri.. Bagaimana tidak? Pasalnya, dalam flat kami terdapat empat kamar. Masing-masing kamar biasanya dihuni tiga orang mahasiswa. Namun untuk tahun ini kebetulan jenjang kami tahun empat diperkenankan menggunakan satu kamar untuk dua orang saja.


    Sedangkan di flat kami, hanya ada empat penghuni tetap. Namun, dari empat kamar tadi yang kami pakai Cuma tiga kamar. Sedangkan yang satu, kami biarkan kosong tidak terpakai. Nah, melihat ada kamar kosong, sang penyair punya iniasif untuk memanfaatkannya. Ahirnya dia sendirian membersihkan kamar kosong itu, sampai kelihatan rapi. Setelah selesai ia tutup pintunya. Sesekali ia menggunakannya untuk membaca dan rebahan. Kadang aku pun turut menggunakannya saat ada adik kelas datang minta tolong belajar bersama.

    Pagi itu, ia lagi membenahi pintu kamar tadi dan memasanginya dengan tirai. Setelah selesai, ia bilang padaku. Nas, aku ingin mengganti kunci kamar kita ini dengan kunci kamarku yang lama. Soalnya kunci yang ada sekarang ini tidak bisa kita kunci dari dalam. Aku sebel dengan orang yang kadang-kadang di malam hari waktu tidur datang nyelonong masuk ke kamar kita, katanya. Ok, nanti aku bantu. Tapi, sebntar…kamu punya anak kunci berapa? Tanyaku. Aku hanya punya satu. Memangnya kenapa, ia balik tanya. Kalau begitu nanti saja, jawabku. Aku tidak sabar Nas. Aku ingin kunci ini segera diganti, biar bisa kita kunci dari dalam, katanya.


    Aku diam tidak komentar apa-apa. Aku lihat ia berusaha membuka kunci pintu yang terpasang dan kemudian menggantinya dengan yang baru ia ambil dari kamar lamanya. Naumn, ia merasa kesulitan dan tidak bisa menggantinya. Ahirnya ia bilang “kenapa kamu biarkan aku bekerja sendirian?”. Sengaja aku biarkan kamu sendirian, karena seperti yang aku katakan tadi, baiknya kita ganti kunci itu setelah ada dua anak kunci (digandakan). Jika kamu ganti sekarang, sedangkan kuncinya hanya satu, lantas siapa yang pergi ke “madinah” (kota) untuk menggandakan kunci tadi? Aku menyanggahnya. Kamu kan mau keluar beberapa hari! Ia menimpali perkataanku. Benar, tapi kalau aku pulang dan aku menemukan pintu terkunci sedangkan kamu tidak ada di kamar, bagaimana? Jawabku dengan nada rada tinggi. Ya, sudah! Katanya.


    Aku lihat ia masih bersikeras untuk mengganti kunci pintu kamar tadi, naumn tidak membuahkan hasil yang diinginkan. Aku tidak mau jika nanti pulang menemui pintu kamar terkunci sedang aku tidak mempunyai kunci. Perlu kamu ketahui juga, tempat penggandaan kunci di “madinah” yang aku ketahui Cuma satu. Itupun kadang-kadang tutup, hardikku padanya. Aku sengaja tidak mau membantu kamu karena aku lihat hal itu hanya untuk kepentingan kamu saja, bukan untuk kepentingan bersama, tambahku menghardiknya. Dan hampir saja emosiku naik. Namun, bisa aku tahan dengan sabar. Ahirnya, ia pun terpaksa menyerah dan mengembalikan kembali seperti semula kunci pintu yang sempat dilepas sebagiannya itu.


    Setelah itu, ia lantas keluar entah ke mana. Tampak di wajahnya guratan kecewa dan sedikit domgkol. Mungkin dikarenakan ucapanku tadi. Memang, “egois itu hanya bisa dilawan dengan sabar”.

    more
  • BERJABAT TANGAN ANTARA LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN
    Dr. Yusuf Qardhawi

    PERTANYAAN:
    Sebuah persoalan yang sedang saya hadapi, dan sudah barang tentu juga dihadapi orang lain, yaitu masalah berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita, khususnya terhadap kerabat yang bukan mahram saya, seperti anak paman atau anak bibi, atau istri saudara ayah atau istri saudara ibu, atau saudara wanita istri saya, atau wanita-wanita lainnya yang ada hubungan kekerabatan atau persemendaan dengan saya. Lebih-lebih dalam momen-momen tertentu, seperti datang dari bepergian, sembuh dari sakit, datang dari haji atau umrah, atau saat-saat lainnya yang biasanya para kerabat, semenda, tetangga, dan teman-teman lantas menemuinya dan bertahni'ah (mengucapkan selamat atasnya) dan berjabat tangan antara yang satu dengan yang lain.

    Pertanyaan saya, apakah ada nash Al-Qur'an atau As-Sunnah yang mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita, sementara sudah saya sebutkan banyak motivasi kemasyarakatan atau kekeluargaan yang melatarinya, disamping ada rasa saling percaya. aman dari fitnah, dan jauh dari rangsangan syahwat.

    Sedangkan kalau kita tidak mau berjabat tangan, maka mereka memandang kita orang-orang beragama ini kuno dan terlalu ketat, merendahkan wanita, selalu berprasangka buruk kepadanya, dan sebagainya. Apabila ada dalil syar'inya, maka kami akan menghormatinya dengan tidak ragu-ragu lagi, dan tidak ada yang kami lakukan kecuali mendengar dan mematuhi, sebagai konsekuensi keimanan kami kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan jika hanya semata-mata hasil ijtihad fuqaha-fuqaha kita terdahulu, maka adakalanya fuqaha-fuqaha kita sekarang boleh berbeda pendapat dengannya, apabila mereka mempunyai ijtihad yang benar, dengan didasarkan pada tuntutan peraturan yang senantiasa berubah dan kondisi kehidupan yang selalu berkembang. Karena itu, saya menulis surat ini kepada Ustadz dengan harapan Ustadz berkenan membahasnya sampai ke akar-akarnya berdasarkan Al-Qur'anul Karim dan Al-Hadits asy-Syarif.

    Kalau ada dalil yang melarang sudah tentu kami akan berhenti; tetapi jika dalam hal ini terdapat kelapangan, maka kami tidak mempersempit kelapangan-kelapangan yang diberikan Allah kepada kami, lebih-lebih sangat diperlukan dan bisa menimbulkan "bencana" kalau tidak dipenuhi. Saya berharap kesibukan-kesibukan Ustadz yang banyak itu tidak menghalangi Ustadz untuk menjawab surat saya ini, sebab - sebagaimana saya katakan di muka - persoalan ini bukan persoalan saya seorang, tetapi mungkin persoalan berjuta-juta orang seperti saya. Semoga Allah melapangkan dada Ustadz untuk menjawab, dan memudahkan kesempatan bagi Ustadz untuk menahkik masalah, dan mudah-mudahan Dia menjadikan Ustadz bermanfaat.

    JAWABAN
    Tidak perlu saya sembunyikan kepada saudara penanya bahwa masalah hukum berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan - yang saudara tanyakan itu - merupakan masalah yang amat penting, dan untuk menahkik hukumnya tidak bisa dilakukan dengan seenaknya. Ia memerlukan kesungguhan dan pemikiran yang optimal dan ilmiah sehingga si mufti harus bebas dari tekanan pikiran orang lain atau pikiran yang telah diwarisi dari masa-masa lalu, apabila tidak didapati acuannya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah sehingga argumentasi-argumentasinya dapat didiskusikan untuk memperoleh pendapat yang lebih kuat dan lebih mendekati kebenaran menurut pandangan seorang faqih, yang didalam pembahasannya hanya mencari ridha Allah, bukan memperturutkan hawa nafsu.

    Sebelum memasuki pembahasan dan diskusi ini, saya ingin mengeluarkan dua buah gambaran dari lapangan perbedaan pendapat ini, yang saya percaya bahwa hukum kedua gambaran itu tidak diperselisihkan oleh fuqaha-fuqaha terdahulu, menurut pengetahuan saya.

    Kedua gambaran itu ialah:
    Pertama, diharamkan berjabat tangan dengan wanita apabila disertai dengan syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satu pihak, laki-laki atau wanita (kalau keduanya dengan syahwat sudah barang tentu lebih terlarang lagi; penj.) atau dibelakang itu dikhawatirkan terjadinya fitnah, menurut dugaan yang kuat. Ketetapan diambil berdasarkan pada hipotesis bahwa menutup jalan menuju kerusakan itu adalah wajib, lebih-lebih jika telah tampak tanda-tandanya dan tersedia sarananya. Hal ini diperkuat lagi oleh apa yang dikemukakan para ulama bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dengannya - yang pada asalnya mubah itu - bisa berubah menjadi haram apabila disertai dengan syahwat atau dikhawatirkan terjadinya fitnah,1 khususnya dengan anak perempuan si istri (anak tiri), atau saudara sepersusuan, yang perasaan hatinya sudah barang tentu tidak sama dengan perasaan hati ibu kandung, anak kandung, saudara wanita sendiri, bibi dari ayah atau ibu, dan sebagainya.

    Kedua, kemurahan (diperbolehkan) berjabat tangan dengan wanita tua yang sudah tidak punya gairah terhadap laki-laki, demikian pula dengan anak-anak kecil yang belum mempunyai syahwat terhadap laki-laki, karena berjabat tangan dengan mereka itu aman dari sebab-sebab fitnah. Begitu pula bila si laki-laki sudah tua dan tidak punya gairah terhadap wanita. Hal ini didasarkan pada riwayat dari Abu Bakar r.a. bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan beberapa orang wanita tua, dan Abdullah bin Zubair mengambil pembantu wanita tua untuk merawatnya, maka wanita itu mengusapnya dengan tangannya dan membersihkan kepalanya dari kutu.2 Hal ini sudah ditunjukkan Al-Qur'an dalam membicarakan perempuan-perempuan tua yang sudah berhenti (dari haid dan mengandung), dan tiada gairah terhadap laki-laki, dimana mereka diberi keringanan dalam beberapa masalah pakaian yang tidak diberikan kepada yang lain:

    "Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". (an-Nur: 60)

    Dikecualikan pula laki-laki yang tidak memiliki gairah terhadap wanita dan anak-anak kecil yang belum muncul hasrat seksualnya. Mereka dikecualikan dari sasaran larangan terhadap wanita-wanita mukminah dalam hal menampakkan perhiasannya.

    "... Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita ..."(an-Nur: 31)

    Selain dua kelompok yang disebutkan itulah yang menjadi tema pembicaraan dan pembahasan serta memerlukan pengkajian dan tahkik. Golongan yang mewajibkan wanita menutup seluruh tubuhnya hingga wajah dan telapak tangannya, dan tidak menjadikan wajah dan tangan ini sebagai yang dikecualikan oleh ayat:

    "... Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak daripadanya ..." (an-Nur: 31)

    Bahkan mereka menganggap bahwa perhiasan yang biasa tampak itu adalah pakaian luar seperti baju panjang, mantel, dan sebagainya, atau yang tampak karena darurat seperti tersingkap karena ditiup angin kencang dan sebagainya. Maka tidak mengherankan lagi bahwa berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita menurut mereka adalah haram. Sebab, apabila kedua telapak tangan itu wajib ditutup maka melihatnya adalah haram; dan apabila melihatnya saja haram, apa lagi menyentuhnya. Sebab, menyentuh itu lebih berat daripada melihat, karena ia lebih merangsang, sedangkan tidak ada jabat tangan tanpa bersentuhan kulit.

    Tetapi sudah dikenal bahwa mereka yang berpendapat demikian adalah golongan minoritas, sedangkan mayoritas fuqaha dari kalangan sahabat, tabi'in, dan orang-orang sesudah mereka berpendapat bahwa yang dikecualikan dalam ayat "kecuali yang biasa tampak daripadanya" adalah wajah dan kedua (telapak) tangan.

    Maka apakah dalil mereka untuk mengharamkan berjabat tangan yang tidak disertai syahwat? Sebenarnya saya telah berusaha mencari dalil yang memuaskan yang secara tegas menetapkan demikian, tetapi tidak saya temukan. Dalil yang terkuat dalam hal ini ialah menutup pintu fitnah (saddudz-dzari'ah), dan alasan ini dapat diterima tanpa ragu-ragu lagi ketika syahwat tergerak, atau karena takut fitnah bila telah tampak tanda-tandanya.

    Tetapi dalam kondisi aman - dan ini sering terjadi - maka dimanakah letak keharamannya? Sebagian ulama ada yang berdalil dengan sikap Nabi saw. yang tidak berjabat tangan dengan perempuan ketika beliau membai'at mereka pada waktu penaklukan Mekah yang terkenal itu, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Mumtahanah. Tetapi ada satu muqarrar (ketetapan) bahwa apabila Nabi saw. meninggalkan suatu urusan, maka hal itu tidak menunjukkan - secara pasti - akan keharamannya.

    Adakalanya beliau meninggalkan sesuatu karena haram, adakalanya karena makruh, adakalanya hal itu kurang utama, dan adakalanya hanya semata-mata karena beliau tidak berhasrat kepadanya, seperti beliau tidak memakan daging biawak padahal daging itu mubah. Kalau begitu, sikap Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan wanita itu tidak dapat dijadikan dalil untuk menetapkan keharamannya, oleh karena itu harus ada dalil lain bagi orang yang berpendapat demikian. Lebih dari itu, bahwa masalah Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan kaum wanita pada waktu bai'at itu belum disepakati, karena menurut riwayat Ummu Athiyah al-Anshariyah r.a. bahwa Nabi saw. pernah berjabat tangan dengan wanita pada waktu bai'at, berbeda dengan riwayat dari Ummul Mukminin Aisyah r.a. dimana beliau mengingkari hal itu dan bersumpah menyatakan tidak terjadinya jabat tangan itu.

    Imam Bukhari meriwayatkan dalam sahihnya dari Aisyah bahwa Rasulullah saw. menguji wanita-wanita mukminah yang berhijrah dengan ayat ini, yaitu firman Allah: "Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dengan kaki mereka3 dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (al-Mumtahanah: 12)

    Aisyah berkata, "Maka barangsiapa diantara wanita-wanita beriman itu yang menerima syarat tersebut, Rasulullah saw. berkata kepadanya, "Aku telah membai'atmu - dengan perkataan saja - dan demi Allah tangan beliau sama sekali tidak menyentuh tangan wanita dalam bai'at itu; beliau tidak membai'at mereka melainkan dengan mengucapkan, 'Aku telah membai'atmu tentang hal itu.'" 4 Dalam mensyarah perkataan Aisyah "Tidak, demi Allah ...," al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari sebagai berikut: Perkataan itu berupa sumpah untuk menguatkan berita, dan dengan perkataannya itu seakan-akan Aisyah hendak menyangkal berita yang diriwayatkan dari Ummu Athiyah.

    Menurut riwayat Ibnu Hibban, al-Bazzar, ath-Thabari, dan Ibnu Mardawaih, dari (jalan) Ismail bin Abdurrahman dari neneknya, Ummu Athiyah, mengenai kisah bai'at, Ummu Athiyah berkata: "Lalu Rasulullah saw. mengulurkan tangannya dari luar rumah dan kami mengulurkan tangan kami dari dalam rumah, kemudian beliau berucap, 'Ya Allah, saksikanlah.'" Demikian pula hadits sesudahnya - yakni sesudah hadits yang tersebut dalam al-Bukhari - dimana Aisyah mengatakan: "Seorang wanita menahan tangannya" Memberi kesan seolah-olah mereka melakukan bai'at dengan tangan mereka. Al-Hafizh (Ibnu Hajar) berkata: "Untuk yang pertama itu dapat diberi jawaban bahwa mengulurkan tangan dari balik hijab mengisyaratkan telah terjadinya bai'at meskipun tidak sampai berjabat tangan...

    Adapun untuk yang kedua, yang dimaksud dengan menggenggam tangan itu ialah menariknya sebelum bersentuhan... Atau bai'at itu terjadi dengan menggunakan lapis tangan. Abu Daud meriwayatkan dalam al-Marasil dari asy-Sya'bi bahwa Nabi saw. ketika membai'at kaum wanita beliau membawa kain selimut bergaris dari Qatar lalu beliau meletakkannya di atas tangan beliau, seraya berkata, "Aku tidak berjabat dengan wanita." Dalam Maghazi Ibnu Ishaq disebutkan bahwa Nabi saw. memasukkan tangannya ke dalam bejana dan wanita itu juga memasukkan tangannya bersama beliau.

    Ibnu Hajar berkata: "Dan boleh jadi berulang-ulang, yakni peristiwa bai'at itu terjadi lebih dari satu kali, diantaranya ialah bai'at yang terjadi di mana beliau tidak menyentuh tangan wanita sama sekali, baik dengan menggunakan lapis maupun tidak, beliau membai'at hanya dengan perkataan saja, dan inilah yang diriwayatkan oleh Aisyah. Dan pada kesempatan yang lain beliau tidak berjabat tangan dengan wanita dengan menggunakan lapis, dan inilah yang diriwayatkan oleh asy-Sya'bi."

    Diantaranya lagi ialah dalam bentuk seperti yang disebutkan Ibnu Ishaq, yaitu memasukkan tangan kedalam bejana. Dan ada lagi dalam bentuk seperti yang ditunjukkan oleh perkataan Ummu Athiyah, yaitu berjabat tangan secara langsung. Diantara alasan yang memperkuat kemungkinan berulang-ulangnya bai'at itu ialah bahwa Aisyah membicarakan bai'at wanita-wanita mukminah yang berhijrah setelah terjadinya peristiwa Perjanjian Hudaibiyah, sedangkan Ummu Athiyah - secara lahiriah - membicarakan yang lebih umum daripada itu dan meliputi bai'at wanita mukminah secara umum, termasuk didalamnya wanita-wanita Anshar seperti Ummu Athiyah si perawi hadits. Karena itu, Imam Bukhari memasukkan hadits Aisyah di bawah bab "Idzaa Jaa aka al-Mu'minaat Muhaajiraat," sedangkan hadits Ummu Athiyah dimasukkan dalam bab "Idzaa Jaa aka al- Mu'minaat Yubaayi'naka."

    Maksud pengutipan semua ini ialah bahwa apa yang dijadikan acuan oleh kebanyakan orang yang mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan - yaitu bahwa Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan wanita - belumlah disepakati. Tidak seperti sangkaan orang-orang yang tidak merujuk kepada sumber-sumber aslinya.

    Masalah ini bahkan masih diperselisihkan sebagaimana yang telah saya kemukakan. Sebagian ulama sekarang ada yang mengharamkan berjabat tangan dengan wanita dengan mengambil dalil riwayat Thabrani dan Baihaqi dari Ma'qil bin Yasar dari Nabi saw., beliau bersabda: "Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang diantara kamu dengan jarum besi itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya."

    Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan pengambilan hadits di atas sebagai dalil:
    1. Bahwa imam-imam ahli hadits tidak menyatakan secara jelas akan kesahihan hadits tersebut, hanya orang-orang seperti al-Mundziri dan al-Haitsami yang mengatakan, "Perawi-perawinya adalah perawi-perawi kepercayaan atau perawi-perawi sahih." Perkataan seperti ini saja tidak cukup untuk menetapkan kesahihan hadits tersebut, karena masih ada kemungkinan terputus jalan periwayatannya (inqitha') atau terdapat 'illat (cacat) yang samar. Karena itu, hadits ini tidak diriwayatkan oleh seorang pun dari penyusun kitab-kitab yang masyhur, sebagaimana tidak ada seorang pun fuqaha terdahulu yang menjadikannya sebagai dasar untuk mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan dan sebagainya.
    2. Fuqaha Hanafiyah dan sebagian fuqaha Malikiyah mengatakan bahwa pengharaman itu tidak dapat ditetapkan kecuali dengan dalil qath'i yang tidak ada kesamaran padanya, seperti Al-Qur'anul Karim serta hadits-hadits mutawatir dan masyhur. Adapun jika ketetapan atau kesahihannya sendiri masih ada kesamaran, maka hal itu tidak lain hanyalah menunjukkan hukum makruh, seperti hadits-hadits ahad yang sahih. Maka bagaimana lagi dengan hadits yang diragukan kesahihannya?
    3. Andaikata kita terima bahwa hadits itu sahih dan dapat digunakan untuk mengharamkan suatu masalah, maka saya dapati petunjuknya tidak jelas. Kalimat "menyentuh kulit wanita yang tidak halal baginya" itu tidak dimaksudkan semata-mata bersentuhan kulit dengan kulit tanpa syahwat, sebagaimana yang biasa terjadi dalam berjabat tangan. Bahkan kata-kata al-mass (massa - yamassu - mass: menyentuh) cukup digunakan dalam nash-nash syar'iyah seperti Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan salah satu dari dua pengertian, yaitu: a. Bahwa ia merupakan kinayah (kiasan) dari hubungan biologis (jima') sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abbas dalam menafsirkan firman Allah: "Laamastum an-Nisat" (Kamu menyentuh wanita).
    Ibnu Abbas berkata, "Lafal al-lams, al-mulaamasah, dan al-mass dalam Al-Qur'an dipakai sebagai kiasan untuk jima' (hubungan seksual). Secara umum, ayat-ayat Al-Qur'an yang menggunakan kata al-mass menunjukkan arti seperti itu dengan jelas, seperti firman Allah yang diucapkan Maryam: "Betapa mungkin aku akan mempunyai anak padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-laki pun ..." (Ali Imran: 47) "Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka..." (al-Baqarah: 237) Dalam hadits diceritakan bahwa Nabi saw. mendekati istri-istrinya tanpa menyentuhnya ....
    b. Bahwa yang dimaksud ialah tindakan-tindakan dibawah kategori jima', seperti mencium, memeluk, merangkul, dan lain-lain yang merupakan pendahuluan bagi jima' (hubungan seksual). Ini diriwayatkan oleh sebagian ulama salaf dalam menafsirkan makna kata mulaamasah.

    Al-Hakim mengatakan dalam "Kitab ath-Thaharah" dalam al-Mustadrak 'al a ash-Shahihaini sebagai berikut : Imam Bukhari dan Muslim telah sepakat mengeluarkan hadits-hadits yang berserakan dalam dua musnad yang sahih yang menunjukkan bahwa al-mass itu berarti sesuatu (tindakan) dibawah jima':
    (1) Diantaranya hadits Abu Hurairah: "Tangan, zinanya ialah menyentuh..."
    (2) Hadits Ibnu Abbas: "Barangkali engkau menyentuhnya...?"
    (3) Hadits lbnu Mas'ud: "Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang)..." Al-Hakim berkata, "Dan masih ada beberapa hadits sahih pada mereka (Bukhari dan Muslim) mengenai tafsir dan lainnya ..." Kemudian al-Hakim menyebutkan diantaranya:
    (4) Dari Aisyah, ia berkata: "Sedikit sekali hari (berlalu) kecuali Rasulullah saw. mengelilingi kami semua - yakni istri-istrinya - lalu beliau mencium dan menyentuh yang derajatnya dibawah jima'. Maka apabila beliau tiba di rumah istri yang waktu giliran beliau di situ, beliau menetap di situ."
    (5) Dari Abdullah bin Mas'ud, ia berkata, "Au laamastum an-nisa" (atau kamu menyentuh wanita) ialah tindakan dibawah jima', dan untuk ini wajib wudhu".
    (6) Dan dari Umar, ia berkata, "Sesungguhnya mencium itu termasuk al-lams, oleh sebab itu berwudhulah karenanya."

    Berdasarkan nash-nash yang telah disebutkan itu, maka mazhab Maliki dan mazhab Ahmad berpendapat bahwa menyentuh wanita yang membatalkan wudhu itu ialah yang disertai dengan syahwat. Dan dengan pengertian seperti inilah mereka menafsirkan firman Allah, "au laamastum an-nisa'" (atau kamu menyentuh wanita).

    Karena itu, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Fatawa-nya melemahkan pendapat orang yang menafsirkan lafal "mulaamasah" atau "al-lams" dalam ayat tersebut dengan semata-mata bersentuhan kulit walaupun tanpa syahwat. Diantara yang beliau katakan mengenai masalah ini seperti berikut: Adapun menggantungkan batalnya wudhu dengan menyentuh semata-mata (persentuhan kulit, tanpa syahwat), maka hal ini bertentangan dengan ushul, bertentangan dengan ijma' sahabat, bertentangan dengan atsar, serta tidak ada nash dan qiyas bagi yang berpendapat begitu.

    Apabila lafal al-lams (menyentuh) dalam firman Allah (atau jika kamu menyentuh wanita ...) itu dimaksudkan untuk menyentuh dengan tangan atau mencium dan sebagainya - seperti yang dikatakan Ibnu Umar dan lainnya - maka sudah dimengerti bahwa ketika hal itu disebutkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, yang dimaksud ialah yang dilakukan dengan bersyahwat, seperti firman Allah dalam ayat i'tikaf: "... Dan janganlah kamu me-mubasyarah mereka ketika kamu sedang i'tikaf dalam masjid..." (al-Baqarah: 187)

    Mubasyarah (memeluk) bagi orang yang sedang i'tikaf dengan tidak bersyahwat itu tidak diharamkan, berbeda dengan memeluk yang disertai syahwat. Demikian pula firman Allah: "Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka ..." (al-Baqarah: 237). Atau dalam ayat sebelumnya disebutkan: "Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka ..." (al-Baqarah: 236).

    Karena seandainya si suami hanya menyentuhnya dengan sentuhan biasa tanpa syahwat, maka tidak wajib iddah dan tidak wajib membayar mahar secara utuh serta tidak menjadikan mahram karena persemendaan menurut kesepakatan ulama. Barangsiapa menganggap bahwa lafal au laamastum an-nisa' mencakup sentuhan biasa meskipun tidak dengan bersyahwat, maka ia telah menyimpang dari bahasa Al-Qur'an, bahkan menyimpang dari bahasa manusia sebagaimana yang sudah dikenal.

    Sebab, jika disebutkan lafal al-mass (menyentuh) yang diiringi dengan laki-laki dan perempuan, maka tahulah dia bahwa yang dimaksud ialah menyentuh dengan bersyahwat, sebagaimana bila disebutkan lafal al-wath'u (yang asal artinya "menginjak") yang diikuti dengan kata-kata laki-laki dan perempuan, maka tahulah ia bahwa yang dimaksud ialah al-wath'u dengan kemaluan (yakni bersetubuh), bukan menginjak dengan kaki".

    Di tempat lain lbnu Taimiyah menyebutkan bahwa para sahabat berbeda pendapat mengenai maksud firman Allah au laamastum annisa'. Ibnu Abbas dan segolongan sahabat berpendapat bahwa yang dimaksud ialah jima'. dan mereka berkata, "Allah itu Pemalu dan Maha Mulia. Ia membuat kinayah untuk sesuatu sesuai dengan yang Ia kehendaki." Beliau berkata, "Ini yang lebih tepat diantara kedua pendapat tersebut." Bangsa Arab dan Mawali juga berbeda pendapat mengenai makna kata al-lams, apakah ia berarti jima' atau tindakan dibawah jima'. Bangsa Arab mengatakan, yang dimaksud adalah jima'.

    Sedangkan Mawali (bekas-bekas budak yang telah dimerdekakan) berkata: yang dimaksud ialah tindakan di bawah jima' (pra-hubungan biologis). Lalu mereka meminta keputusan kepada Ibnu Abbas, lantas Ibnu Abbas membenarkan bangsa Arab dan menyalahkan Mawali.9 Maksud dikutipnya semua ini ialah untuk kita ketahui bahwa kata-kata al-mass atau al-lams ketika digunakan dalam konteks laki-laki dan perempuan tidaklah dimaksudkan dengan semata-mata bersentuhan kulit biasa, tetapi yang dimaksud ialah mungkin jima' (hubungan seks) atau pendahuluannya seperti mencium, memeluk, dan sebagainya yang merupakan sentuhan disertai syahwat dan kelezatan.

    Kalau kita perhatikan riwayat yang sahih dari Rasulullah saw., niscaya kita jumpai sesuatu yang menunjukkan bahwa semata-mata bersentuhan tangan antara laki-laki dengan perempuan tanpa disertai syahwat dan tidak dikhawatirkan terjadinya fitnah tidaklah terlarang, bahkan pernah dilakukan oleh Rasulullah saw., sedangkan pada dasarnya perbuatan Nabi saw. itu adalah tasyri' dan untuk diteladani: "Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah saw. itu suri teladan yang baik bagimu..." (al-Ahzab: 21) Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya pada "Kitab al-Adab" dari Anas bin Malik r.a., ia berkata: "Sesungguhnya seorang budak wanita diantara budak-budak penduduk Madinah memegang tangan Rasulullah saw., lalu membawanya pergi ke mana ia suka".

    Dalam riwayat Imam Ahmad dari Anas juga, ia berkata: "Sesungguhnya seorang budak perempuan dari budak-budak penduduk Madinah datang, lalu ia memegang tangan Rasulullah saw., maka beliau tidak melepaskan tangan beliau dari tangannya sehingga dia membawanya perg ke mana ia suka." Ibnu Majah juga meriwayatkan hal demikian. Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Fathul Bari: "Yang dimaksud dengan memegang tangan disini ialah kelazimannya, yaitu kasih sayang dan ketundukan, dan ini meliputi bermacam-macam kesungguhan dalam tawadhu', karena disebutkannya perempuan bukan laki-laki, dan disebutkannya budak bukan orang merdeka, digunakannya kata-kata umum dengan lafal al-imaa' (budak-budak perempuan), yakni budak perempuan yang mana pun, dan dengan perkataan haitsu syaa'at (kemana saja ia suka), yakni ke tempat mana saja.

    Dan ungkapan dengan "mengambil/memegang tangannya" itu menunjukkan apa saja yang dilakukannya, sehingga meskipun si budak perempuan itu ingin pergi ke luar kota Madinah dan dia meminta kepada beliau untuk membantu memenuhi keperluannya itu niscaya beliau akan membantunya. Ini merupakan dalil yang menunjukkan betapa tawadhu'nya Rasulullah saw. dan betapa bersihnya beliau dari sikap sombong".

    Apa yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar itu secara garis besar dapat diterima, tetapi beliau memalingkan makna memegang tangan dari makna lahiriahnya kepada kelazimannya yang berupa kasih sayang dan ketundukan, tidak dapat diterima, karena makna lahir dan kelaziman itu adalah dua hal yang dimaksudkan secara bersama-sama, dan pada asalnya perkataan itu harus diartikan menurut lahirnya, kecuali jika ada dalil atau indikasi tertentu yang memalingkannya dari makna lahir. Sedangkan dalam hal ini saya tidak menjumpai faktor yang mencegah atau melarang dipakainya makna lahir itu, bahkan riwayat Imam Ahmad yang menyebutkan "maka beliau tidak melepaskan tangan beliau dari tangannya sehingga ia membawa beliau pergi kemana saja ia suka" menunjukkan dengan jelas bahwa makna lahir itulah yang dimaksud.

    Sungguh termasuk memberat-beratkan diri dan perbuatan serampangan jika keluar dari makna lahir ini. Lebih banyak dan lebih mengena lagi apa yang diriwayatkan dalam Shahihain dan kitab-kitab Sunan dari Anas "bahwa Nabi saw. tidur siang hari di rumah bibi Anas yang bernama Ummu Haram binti Milhan istri Ubadah bin Shamit, dan beliau tidur di sisi Ummu Haram dengan meletakkan kepala beliau di pangkuan Ummu Haram, dan Ummu Haram membersihkan kepala beliau dari kutu ..."

    Ibnu Hajar dalam menjelaskan hadits ini mengatakan, "Hadits ini memperbolehkan tamu tidur siang di rumah orang lain (yakni tuan rumah) dengan memenuhi persyaratannya, seperti dengan adanya izin dan aman dari fitnah, dan bolehnya wanita asing (bukan istri) melayani tamu dengan menghidangkan makanan, menyediakan keperluannya, dan sebagainya. Hadits ini juga memperbolehkan wanita melayani tamunya dengan membersihkan kutu kepalanya. Tetapi hal ini menimbulkan kemusykilan bagi sejumlah orang. Maka Ibnu Abdil Barr berkata, "Saya kira Ummu Haram itu dahulunya menyusui Rasulullah saw. (waktu kecil), atau saudaranya yaitu Ummu Sulaim, sehingga masing-masing berkedudukan "sebagai ibu susuan" atau bibi susuan bagi Rasulullah saw.. Karena itu, beliau tidur di sisinya, dan dia lakukan terhadap Rasulullah apa yang layak dilakukan oleh mahram."

    Selanjutnya Ibnu Abdil Barr membawakan riwayat dengan sanadnya yang menunjukkan bahwa Ummu Haram mempunyai hubungan mahram dengan Rasul dari jurusan bibi (saudara ibunya), sebab ibu Abdul Muthalib, kakek Nabi, adalah dari Bani Najjar ... Yang lain lagi berkata, "Nabi saw. itu maksum (terpelihara dari dosa dan kesalahan). Beliau mampu mengendalikan hasratnya terhadap istrinya, maka betapa lagi terhadap wanita lain mengenai hal-hal yang beliau disucikan daripadanya? Beliau suci dari perbuatan-perbuatan buruk dan perkataan-perkataan kotor, dan ini termasuk kekhususan beliau."

    Tetapi pendapat ini disangkal oleh al-Qadhi 'Iyadh dengan argumentasi bahwa kekhususan itu tidak dapat ditetapkan dengan sesuatu yang bersifat kemungkinan. Tetapnya kemaksuman beliau memang dapat diterima, tetapi pada dasarnya tidak ada kekhususan dan boleh meneladani beliau dalam semua tindakan beliau, sehingga ada dalil yang menunjukkan kekhususannya.

    Al-Hafizh ad-Dimyati mengemukakan sanggahan yang lebih keras lagi terhadap orang yang mengatakan kemungkinan pertama, yaitu anggapan tentang adanya hubungan kemahraman antara Nabi saw. dengan Ummu Haram. Beliau berkata: "Mengigau orang yang menganggap Ummu Haram sebagai salah seorang bibi Nabi saw., baik bibi susuan maupun bibi nasab. Sudah dimaklumi, orang-orang yang menyusukan beliau tidak ada seorang pun di antara mereka yang berasal dari wanita Anshar selain Ummu Abdil Muthalib, yaitu Salma binti Amr bin Zaid bin Lubaid bin Hirasy bin Amir bin Ghanam bin Adi bin an-Najjar; dan Ummu Haram adalah binti Milhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir tersebut. Maka nasab Ummu Haram tidak bertemu dengan nasab Salma kecuali pada Amir bin Ghanam, kakek mereka yang sudah jauh ke atas. Dan hubungan bibi (yang jauh) ini tidak menetapkan kemahraman, sebab ini adalah bibi majazi, seperti perkataan Nabi saw. terhadap Sa'ad bin Abi Waqash, "Ini pamanku" karena Sa'ad dari Bani Zahrah, kerabat ibu beliau Aminah, sedangkan Sa'ad bukan saudara Aminah, baik nasab maupun susuan."

    Selanjutnya beliau (Dimyati) berkata, "Apabila sudah tetap yang demikian, maka terdapat riwayat dalam ash-Shahlh yang menceritakan bahwa Nabi saw. tidak pernah masuk ke tempat wanita selain istri-istri beliau, kecuali kepada Ummu Sulaim. Lalu beliau ditanya mengenai masalah itu, dan beliau menjawab, 'Saya kasihan kepadanya, saudaranya terbunuh dalam peperangan bersama saya.' Yakni Haram bin Milhan, yang terbunuh pada waktu peperangan Bi'r Ma'unah." Apabila hadits ini mengkhususkan pengecualian untuk Ummu Sulaim, maka demikian pula halnya dengan Ummu Haram tersebut. Karena keduanya adalah bersaudara dan hidup didalam satu rumah, sedangkan Haram bin Milhan adalah saudara mereka berdua. Maka 'illat (hukumnya) adalah sama diantara keduanya, sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Hajar. Dan ditambahkan pula kepada 'illat tersebut bahwa Ummu Sulaim adalah ibu Anas, pelayan Nabi saw., sedangkan telah berlaku kebiasaan pergaulan antara pelayan, yang dilayani, serta keluarganya, serta ditiadakan kekhawatiran yang terjadi diantara orang-orang luar.

    Kemudian ad-Dimyati berkata, "Tetapi hadits itu tidak menunjukkan terjadinya khalwat antara Nabi saw. dengan Ummu Haram, kemungkinan pada waktu itu disertai oleh anak, pembantu, suami, atau pendamping." Ibnu Hajar berkata, "Ini merupakan kemungkinan yang kuat, tetapi masih belum dapat menghilangkan kemusykilan dari asalnya, karena masih adanya mulamasah (persentuhan) dalam membersihkan kutu kepala, demikian pula tidur di pangkuan." Al-Hafizh berkata, "Sebaik-baik jawaban mengenai masalah ini ialah dengan menganggapnya sebagai kekhususan, dan hal ini tidak dapat ditolak oleh keberadaanya yang tidak ditetapkan kecuali dengan dalil, karena dalil mengenai hal ini sudah jelas."11

    Tetapi saya tidak tahu mana dalilnya ini, samar-samar ataukah jelas? Setelah memperhatikan riwayat-riwayat tersebut, maka yang mantap dalam hati saya adalah bahwa semata-mata bersentuhan kulit tidaklah haram. Apabila didapati sebab-sebab yang menjadikan percampuran (pergaulan) seperti yang terjadi antara Nabi saw. dengan Ummu Haram dan Ummu Sulaim serta aman dari fitnah bagi kedua belah pihak, maka tidak mengapalah berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan ketika diperlukan, seperti ketika datang dari perjalanan jauh, seorang kerabat laki-laki berkunjung kepada kerabat wanita yang bukan mahramnya atau sebaliknya, seperti anak perempuan paman atau anak perempuan bibi baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, atau istri paman, dan sebagainya, lebih-lebih jika pertemuan itu setelah lama tidak berjumpa.

    Dalam menutup pembahasan ini ada dua hal yang perlu saya tekankan: Pertama, bahwa berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan itu hanya diperbolehkan apabila tidak disertai dengan syahwat serta aman dari fitnah. Apabila dikhawatirkan terjadi fitnah terhadap salah satunya, atau disertai syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satunya (apa lagi keduanya; penj.) maka keharaman berjabat tangan tidak diragukan lagi.

    Bahkan seandainya kedua syarat ini tidak terpenuhi - yaitu tiadanya syahwat dan aman dari fitnah - meskipun jabatan tangan itu antara seseorang dengan mahramnya seperti bibinya, saudara sesusuan, anak tirinya, ibu tirinya, mertuanya, atau lainnya, maka berjabat tangan pada kondisi seperti itu adalah haram.

    Bahkan berjabat tangan dengan anak yang masih kecil pun haram hukumnya jika kedua syarat itu tidak terpenuhi. Kedua, hendaklah berjabat tangan itu sebatas ada kebutuhan saja, seperti yang disebutkan dalam pertanyaan di atas, yaitu dengan kerabat atau semenda (besan) yang terjadi hubungan yang erat dan akrab diantara mereka; dan tidak baik hal ini diperluas kepada orang lain, demi membendung pintu kerusakan, menjauhi syubhat, mengambil sikap hati-hati, dan meneladani Nabi saw. - tidak ada riwayat kuat yang menyebutkan bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan wanita lain (bukan kerabat atau tidak mempunyai hubungan yang erat).

    Dan yang lebih utama bagi seorang muslim atau muslimah - yang komitmen pada agamanya - ialah tidak memulai berjabat tangan dengan lain jenis. Tetapi, apabila diajak berjabat tangan barulah ia menjabat tangannya. Saya tetapkan keputusan ini untuk dilaksanakan oleh orang yang memerlukannya tanpa merasa telah mengabaikan agamanya, dan bagi orang yang telah mengetahui tidak usah mengingkarinya selama masih ada kemungkinan untuk berijtihad. Wallahu a'lam.

    Catatan kaki:
    1. Lihat al-Ikhtiar li Mukhtar fi Fiqhil Hanafyah, 4: 155.
    2. Ibid., 4: 156-157
    3. Perbuatan yang mereka ada-adakan antara tangan dengan kaki mereka itu maksudnya ialah mengadakan pengakuan-pengakuan palsu mengenai hubungan antara laki-laki dengan wanita seperti tuduhan berzina, tuduhan bahwa anak si Fulan bukan anak suaminya, dan sebagainya. (Al-Qur'an dan Terjemahannya, catatan kaki nomor 1473; penj.)
    4. HR Bukhari dalam sahihnya, dalam "Kitab Tafsir Surat al-Mumtahanah," Bab "Idzaa Jaa'aka al-Mu'minaatu Muhaajiraat."
    5. Al-Mundziri berkata dalam at-Targhib: "Perawi-perawi Thabrani adalah orang-orang tepercaya, perawi-perawi yang sahih."
    6. Beliau (al-Hakim) mengisyaratkan kepada riwayat asy-Syaikhani dan lainnya dan hadits Ibnu Maswud, dan dalam sebagian riwayat-riwayatnya: Bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi saw. Lalu dia mengatakan bahwa dia telah berbuat sesuatu terhadap wanita, mungkin menciumnya, menyentuh dengan tangannya, atau perbuatan lainnya, seakan-akan ia menanyakan kafaratnya. Lalu Allah menurunkan ayat (yang artinya), "Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan dari malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan dosa perbuatan-perbuatan yang buruk..." (Hud: 114) (HR Muslim dengan lafal ini dalam "Kitab at-Taubah," nomor 40)
    7. Lihat, al-Mustadrak, 1: 135.
    8. Majmu' Fatawa, Ibnu Taimiyah, terbitan ar-Riyadh, jilid 21, hlm. 223-224.
    9. Ibid.
    10. Fathul Bari, juz 13.
    11. Fathul Bari 13: 230-231. dengan beberapa perubahan susunan redaksional

    more