• Kisah Ahir Ramadhan; MEMBURU FAKIR-MISKIN Tripoli-Libya

    Kisah Ahir Ramadhan

    MEMBURU FAKIR-MISKIN Tripoli-libya

    Di Malam Hari Raya

    Layaknya pemburu binatang rusa di hutan belantara yang penuh dengan bermacam binatang, tapi tidak semua menjadi buruannya. Begitulah nasib kaum fakir-miskin, seperti rusa yang selalu diburu, baik oleh manusia maupun si raja hutan. Orang fakir-miskin, nasibnya selalu terpojok di manapun mereka berada. Namun sebenarnya mereka menyimpan harumnya doa yang mustajab (mudah terkabul) jika mereka tetap mau berusaha dan berdoa yang disertai sabar dan tawakkal dalam usahanya. Sebagaimana rusa menyimpan minyak wangi, misik di dalam tubuhnya. Saya pun menempati posisi bak pemburu rusa dalam hutan tersebut saat membagikan zakat fitrah kepada Fakir-Miskin Libya di malam hari raya atau lebaran kemarin (sengaja saya sebut malam lebaran, bukan malam takbiran, karena memang malam itu suasana kota Tripoli yang saya kelilingi ramai sesak dengan orang-orang yang sibuk berbelanja di mana-mana. Suasananya berubah seolah menjadi pasar senggol semalam. Tidak ada satupun suara yang saya dengar meneriakkan lantunan gema takbir Allahu Akbar walillahi al Hamd di kota malam itu).

    Menjadi anggota LAZIS KKMI (Lajnah Amil Zakat, Infaq dan Shadaqoh, Kesatuan Keluarga Mahasiswa Indonesia) Tripoli-Libya, merupakan pengalaman pertama kali bagi saya. Amanat tersebut yang mengharuskan saya untuk bergerilya memburu Fakir-Miskin masyarakat Libya malam itu.

    Setelah tiga hari sebelumnya, dengan sedikit permasalahan tentang nominal zakat fitrah yang harus dikeluarkan, saya dan kawan-kawan berhasil mengumpulkan zakat fitrah dari masyarakat dan mahasiswa Indonesia-Libya, yang kurang lebih mencapai 750 LD.

    Permaslahannya berawal dari pemahaman yang baru didengar oleh masyarakat dan sebagian mahasiswa dalam suatu seminar tentang nominal wajib zakat fitrah tadi. Entah dikarenakan oleh penjelasan pemateri yang kurang detil atau penangkapan pemahaman masyarakat terhadap apa yang didengar dalam seminar tersebut, hingga muncul pemahaman bahwa zakat fitrah itu dikeluarkan sesuai dengan standart makanan sehari-hari muzakki (pembayar zakat). Padahal tidak seperti itu sebenarnya.

    Pemerintah.Libya menentukan zakat fitrah sebesar 1.75 LD (Libyan Dinar) kurang-lebih senilai harga gandum satu kilo gram. Hal ini sebagaimana ketentuan dalam kitab-kitab fikih. Di mana zakat fitrah dikeluarkan dari makanan pokok daerah setempat dan boleh diuangkan karena melihat adanya kemaslahatan di dalamnya. Di Indonesia zakat fitrah dengan mengeluarkan beras 2.5Kg, walaupun sebenarnya 2,2Kg sudah mencukupi fitrah satu orang. Kita mengeluarkan fitrah dengan beras karena ia bahan pokok untuk makanan pokok. Begitu juga di Libya. Bahan pokok makanan pokok penduduk Libya adalah gandum, yang darinya bisa diolah menjadi makanan kus-kusi, roti, pizza dan kue-kue lainnya. Secara otomatis zakat fitrah penduduk Libya dan orang asing yang berdomisili di Libya, berupa gandum satu kilo gram atau uang senilai harga gandum tersebut.

    Di sini, zakat fitrah tidak diukur dari makanan pokok dan lauk-pauknya, tapi hanya makanan pokok, bahkan bukan makanan pokoknya, tapi bahan pokok dari makanan pokok (jika makanan pokok tadi tidak bisa bertahan lama, seperti nasi, roti, kus-kusi dll, makanya diambil bahan pokok dari makan-makan pokok tersebut). Kalau toh zakat fitrah itu dipahami sebagai ganti makanan satu orang dalam satu hari, bukan berarti penetapan zakat fitrah itu diambil dari kebiasaan makanan muzakki (yg mengeluarkan zakat) sehari-hari, tapi diukur dengan kebiasaan makanan mustahiq (yg berhak menerima zakat) sehari-hari. Bisa saja diukur dengan makanan standart sehari-hari muzakki, dengan catatan itu tidak dijadikan patokan untuk standart wajib fitrah, akan tetapi hanya sebatas anjuran. Batas wajib fitrah tetap diukur dari kebiasaan atau standart makanan mustahiq sehari-hari. Demikian itu dipahami dari pemberian gandum (dalam zakat fitrah) yang hanya satu kilo gram, tanpa ada makanan lainnya. Dengan pemahaman seperti ini, akan ditemukan suatu hikmah di dalamnya.

    Di antara hikmah tersebut, meringankan beban orang untuk mengeluarkan fitrah. Karena sudah dimaklumi, suatu pengorbanan sangat berat untuk dilakukan, apalagi yang dikorbankan adalah harta. Jika standart wajib fitrah diukur dengan kebiasaan makanan si muzakki, sudah pasti akan ditemukan perbedaan nominal dan tidak adanya nominal baku untuk batas wajib fitrah. Di mana perbedaan pendapat seperti ini, jika dialami oleh golongan yang berbeda dan sama-sama fanatic buta pada golongan masing-masing, akan menimbulkan keretakan dalam hubungan social antar sesama. Dar-ul mafasid muqoddamun ‘ala jalbil masholih (mencegah terjadinya bahaya atau kerusakan lebih baik didahulukan daripada mengajak kebaikan). Di mana hal ini tentu berseberangan dengan tujuan diwajibkannya membayar fitrah. Dan jika diukur dengan kebiasaan makanan muzakki, ini juga bisa memperberat dirinya, yang pada ahirnya akan timbul ungkapan “agama, ternyata mempersulit umatnya”. Sebagaimana sering kita dengar dari “mereka” yang separo-separo memahami agama, suatu ungkapan “agama menjadi penghalang kemajuan bangsa”. Padahal, justeru sebaliknya. Agama itu sebenarnya mudah, tapi tidak boleh dipermudah sendiri, dan agama itu sendiri bisa mempermudah urusan kehidupan umatnya jika dipahami dengan benar. Hanya saja kadang umatnya sendiri yang karena dari pemahamannya, membuat seolah agama mempersulit kelangsungan hidup dunia.

    Kembali pada kisah pemburuan fakir-miskin di Tripoli. Dari 700 LD (belum diketahui jumlah pastinya, karena data-datanya belum terkumpul semua saat nulin kisah ini), oleh LAZIS dibagi menjadi dua, sebagian disalurkan kepada fakir-miskin di bumi pertiwi, sebagian lagi disalurkan di Tripoli. LAZIS pun membagi tugas pada anggotanya. Kebetulan saya memegang uang 268.25 LD yang harus saya bagikan kepada fakir-miskin Tripoli.

    Sore itu, merupakan hari ahir bulan Ramadhan untuk Libya, saya ada janji mau pergi ke rumah salah seorang masyarakat Indonesia yang mau membayar zakat, ditemani dengan seorang yang kebetulan salah satu anggota divisi Humas KKMI. Rencananya saya mau berangkat habis shalat ashar di masjid kuliah. Tidak tahunya ada sesuatu yang menunda keberangkatan tersebut. Shalat tidak jadi berjamaah di masjid dan keberangkatan tertunda satu jam dari rencana. Entah apa yang membuat saya tergesa-gesa dalam bertindak sore itu, padahal tidak biasa saya bertindak tergesa-gesa. Hingga saya harus bolak-balik ke kamar sampai tiga kali karena ada barang yang tertinggal sore itu.

    Setelah permisi dan bilang kepada my roommate (soalnya tiap kali saya keluar kamar, harus bilang padanya ke mana dan di mana saya akan pergi, serta kapan akan kembali, Demikian itu merupakan etika persahabatan saya dengan my roommate tadi untuk jaga-jaga jika ada yang menanyakan keberadaan saya atau dia, agar masing-masing dari kita bisa menjawab orang yang mencarinya dan tidak membuat dia kecewa), saya pun pergi melangkahkan kaki keluar kamar. Namun baru sampai lantai kedua (karena saya tinggal di apartement lantai paling atas, lantai empat), saya teringat ada sesuatu yang tertinggal. Habis itu, jalan lagi, tapi baru sampai lantai paling bawah, teringat lagi ada sesuatu yang masih tertinggal. Balik lagi ke kamar. Setelah merasa yakin, ahirnya kembali melangkah keluar meninggalkan kamar. Namun, baru sampai di lapangan voly (+ 300m dari apartment), ternyata masih ada juga barang yang tertinggal, dan ternyata barang ini lebih penting dari yang dua tertinggal tadi. Saya berusaha nelpon kedua nomornya my roommate, tapi ada jawaban (karena dia sedang keluar kamar tanpa membawa hpnya). Terpaksa saya pun kembali lagi ke kamar. Benar-benar melelahkan sore itu. Setelah semuanya saya rasa beres dan tidak ada yang tertinggal lagi, saya pun berangkat keluar yang ternyata sudah ditunggu teman saya di bawwabah (pintu gerbang utama masuk kampus). Memang benar kata orang ‘’tergesa dalam berbuat, bisa berakibat kecewa”, karena tergesa-gesa itu timbul dari keinginan nafsu atau setan.

    Sebelum berangkat ke rumah masyarakat yang saya tuju, saya menelpon salah seorang yang bisa dihubungi di dalam rumah tersebut, karena itu merupakan kebiasaan saya sebelum berkunjung ke rumah orang. Demikian agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, seperti tidak adanya si empunya rumah yang akan dikunjungi, atau mungkin si empunya rumah lagi kurang suka dikunjungi atau kedatangan tersebut akan mengagetkan yang punya rumah dst.

    Setelah saya telpon dan orangnya ada di rumah, saya pun berangkat ke kota Janzur (tempat orang yang saya tuju, + 15Km dari kampus, masih di dalam Tripoli) bersama teman yang baru saja pulang dari nyantri Ramadhan di kota sufi, Zletin (konon kota ini berasal dari kata ظلال التين dhilaluttin (naungan pohon Tin). Diberi nama tersebut, karena saat itu kebanyakan kota di Libya sedang musim banyak-banyaknya pohon korma yang berbuah, hanya daerah tersebut saja sendiri yang pohon tinnya berbuah dalam jumlah yang sangat banyak, luar dari kebiasaan. Ahirnya, kota tersebut diberi nama ظلال التين. Namun, seiring berjalannya waktu, ucapan nama kota tersebut berubah menjadi Zletin).

    Kurang lebih, kami berangkat dari kampus jam 17.45, sampai di rumah yang dituju sekitar jam 19.05. perjalanan yang biasanya hanya ditempuh dalam waktu setengah jam. Namun, karena kami berdua naik kendaraan umum, yang harus dua kali naik, maka wajar jika perjalanan bertambah lama.

    Sampai di Janzur, ketemu dengan si penghuni rumah. Kemudian ngobrol sebentar, penghuni rumah pamit keluar mendatangi acara temannya. Kami berdua ahirnya berdiam di rumahnya hingga bedug (tp di Libya tidak ada bedug lho) maghrib pun terdengar. Makanan lebaran, lontong lengkap dengan lauk dan sayurnya, ternyata sudah menunggu perut kami di dapur, yang sedari tadi kerucukan karena lapar. Hidangan itu pun kami santap bertiga (yang satu, mahasiswa yang tenaganya sering diperbantukan oleh penghuni rumah). Setelah makan, shalat Maghrib bersambung isyak sekalian, kami pun pergi meninggalkan rumah tersebut menuju KBRI dengan mobil peugeot hitam milik perusahaan yang dibawahi oleh orang yang kami kaunjungi tadi. Baru kemudian kami berdua (karena yang satu ada tugas di KBRI) meneruskan perjalanan ke madinah (jantung kota) dengan naik angkutan umum, bus mini iveco.

    Subhanallah, malam itu benar-benar beda dengan malam sebelumnya. Macet terjadi dimana-mana. Suasana di kota waktu itu, kepadatannya hampir seperti suasana sehari-hari di Jakarta. Perjalanan yang biasa ditempuh dalam waktu 20 menit, malam itu bisa sampai satu setengah jam baru sampai tujuan. Mobil iveco yang kami naiki hanya bisa berjalan merayap menelusuri malam terahir Ramdhan. Setelah kurang lebih satu setengah jam, kami pun sampai di Dzatul Imad.(lima bangunan gedung kembar berbentuk seperti tiang-tiang pencakar langit, berada di jantung kota Tripoli).

    Dari sana, kami berdua pun mulai menyapu suasana, mencari tempat di mana bisa ditemukan orang fakir-miskin. Menoleh ke kanan dan k e kiri hanya karena mencari mereka. Bukan untuk dipukuli atau untuk dibui, tapi untuk memberikan hak-hak mereka yang selama ini tersimpan dalam saku dan kantong-kantong orang kaya.

    Mulai dari Dzatul Imad, setiap jalan kami telusuri menuju ke pusat keramaian (pasar suwaihili) yang penuh sesak dengan lalu-lalang orang. Di sepanjang jalan jika melihat masjid, kami pun mendekati dan menyapu pandangan di sekitarnya, tapi ternyata tidak satu pun dari mereka yang kami temukan.

    Dari pasar Suwaihili, menuju pasar Rasyid, baru kemudian ketemu sekolompok pengemis yang mayoritas perempuan di jalan Majinah atau Sahah Khadhra’, jalan dekat musium. Di sana ada empat ibu-ibu yang masing-masing bersama anak kecil. Entah itu anak sendiri atau anak orang lain, yang jelas mereka berkelompok. Satu ibu dengan dua orang anak dan ada juga dengan seorang anak.

    Tiga orang bernama Fatimah dengan dua dan satu anak berada di sampingnya. Seorang lagi bernama Laila Ibrahim. Keempat orang bersama anak-anak tersebut jika dilihat dari pakaiannya, tampak seperti tidak pantas melakukan pekerjaan meminta-minta. Namun, kenapa mereka melakukannya?

    Setelah itu, kami berjalan terus menuju Sahah Khadlra’. Di sudut jalan, kami bertemu tiga anak kecil, yang ternyata mereka adalah anak-anak yatim. Kami hanya bisa mendekati seorang saja dari mereka. Namanya adalah Sari, seorang gadis kecil berusia 10 tahun yang telah ditinggal mati bapaknya beberapa tahun yang silam. Ibunya sedang sakit dan butuh pengobatan, ceritanya. Kami pun terenyuh mendengar ceritanya. Ia masih kecil, harus bekerja mencari nafkah sendiri. Sedangkan kami hanya bisa berdoa dan memberikan uang secukupnya pada gadis kecil tersebut. Gadis yang masih relative kecil, sudah putus dari sekolah. Semoga urusannya dimudahkan oleh Allah swt.

    Perjalanan kami lanjutkan ke suq Turki atau madinah qodimah (kota lama). Kami “obok-obok” pasar tersebut, dari ujung sampai pangkalnya, hanya menemukan empat orang. Inipun yang tiga perempuan semua, kami dapati di dekat pintu masuk pasar agak ke dalam sedikit (+ 20m ke dalam). Mereka berkumpul di satu tempat dengan berdiri dan kelihatannya mereka satu keluarga. Setelah kami beri uang secukupnya, kami mulai masuk ke dalam pasar. Di sana ketemu orang muda (35 tahunan) dengan cacat kaki (mungkin karena kecelakaan) meminta-minta. Setelah nngobrol beberapa menit dan memberikan uang secukupnya, kami mencoba menerobos dalam pasar. Namun, ternyata semakin ke dalam, makin bertambah sulit orang berjalan. Kami pun balik ke luar pasar melalui pintu yang kami lewati waktu masuk tadi.

    Dari suuq Turki, kami berjalan menuju Maidan Jazair, tempat di mana masjid agung kota Tripoli berada. Suatu bangunan masjid yang dulunya berupa gereja dan sekarang menjadi pusat kegiatan dakwah masyarakat kota Tripoli dan sekitarnya. Sepanjang jalan, kami hanya menemukan seorang nenek yang duduk memelas di Jl. M. Muarif, dekat masjid jami’ Agung. Kami Tanya-tanya sebentar tentang keluarganya dan kehidupannya, kemudian kami beri uang secukupnya. Menurut cerutanya, perempuan tua yang bernama Sa’diyah ini masih mempunyai enam orang anak yang semuanya masih sekolah dan sudah ada yang duduk di perguruan tinggi. Kenapa anak-anaknya membiarkan sang ibu yang sudah tua meminta-minta seperti itu dan itu pun sampai larut malam? Apakah sang ibu bekerja sebagai pengemis ini tanpa sepengetahuan anak-anaknya?

    Dari Maidan Jazair, perjalanan berlanjut ke arah Jl. Haiti. Di tengah perjalanan, tepatnya di Jl. 11 September, kami bertemu dengan seorang kakek bersama seorang anak kecil. Baru saja kami duduk sebentar dan saya ngobrol sebentar dengannya, tiba-tiba kakek tersebut marah, yang ternyata disebabkan oleh ulah teman saya yang sedang memotretnya. Kami pun berabjak berdiri dan meninggalkannya tanpa memberikan apa-apa. Namun, baru beberapa langkah, saya berpikir bahwa tujuan kami bukan untuk mencari simpati atau mencari tahu kondisi orang-orang fakir-miskin Libya, tapi hanyalah bertugs untuk menyalurkan zakat fitrah yang menjadi amanat kami. Ahirnya, saya kembali sendirian menemuhi kakek tadi dan minta maaf atas ulah teman saya tadi, sekalian memberikan uang (zakat fitrah) secukupnya.

    Sampai di Jl. Haiti, kami hanya bertemu seorang nenek tua, kemudian di Jl. Mizran juga hanya seorang nenek tua yang kami temui. Mereka kami temui, langsung kami berikan haknya, lantas kami langsung pergi.

    Dari sana, menuju Jl. Umar Mukhtar dan hanya ketemu seorang pengemis bercadar. Kemudian berlanjut ke suq Rasyid, bertemu ibu tua. Berjalan terus sampai ke suq Dibagh. Di sana ketemu seorang peminta-minta yang masih gadis bernama Hannan. Namun, saat saya tanyakan namanya dia rada sinis sembari nyeletuk: “mau ngasih ya kasih ja langsung, gak usah tanya-tanya nama segala”.

    Ddari suq Dibagh, jalan terus. Terunyata tembus ke suq Turki. Di sana ketemu si buta tua bertongkat di pintu masuk lokasi jualan emas. Langsung saja saya rogoh kantong, amil uang secukupnya untuk dia. Kami masuk terus, menelusuri lorong took-toko emas, tapi tidak menemukan seorang pun dari “mereka”.

    Dari suq Turki, muter lagi ke Jl. Umar Mukhtar. Di sana ketemu seorang kakek tua, pemjual tasbih keliling di jalanan sembari menawarkan dagangannya ke mobil-mobil yang kebetulan berhenti menunggu lampu hijau nyala. Kami hampiri dia, langsung kami bilang kalau kami ada zakat fitrah yang akan diberikan padanya. Dia pun menerimanya dan memaksa saya untuk menerima hadiah berupa tasbih, jualannya tersebut.

    Kemudian muter lagi ke suq Rasyid, ketemu dua orang, perempuan tua dan wanita bercadar. Jalan ke suq Suwaihili, ketemu dua ibu-ibu dan anaknya. Bailk lagi ke Jl. Umar Mukhtar sambil mencari taxi. Dan di sana ketemu dua orang ibu, penjual kaos kaki kecil-kecilan. Pada mulanya mereka berdua tidak mau kami kasih uang, karena melihat teman saya menulis sesuatu di kertas putih. Namun, setelah saya jelaaskan kalau kami dari lajnah zakat, baru keduanya menerima pemberian kami. Kemudian jalan terus, sambil nyari taxi, tidak ketemu-ketemu, karena ada penumpangnya semua dan mulai jarang taxi yang berlalu-lalang di Jl. Umar Mukhtar tersebut. Maklum, waktu sudah lumayan larut malam.

    Di perjalanan mencari taxi, kami ketemu seorang kakek dan snak kecil di dekat ma’radh dauli (tempat pameran internasional). Kami pun memberikan sisa uang yang ada padanya. Setelah itu jalan terus sampai ke tempat pasar malam berada, kami berhenti sejenak, karena kecapekan jalan. Dan ahirnya, kami menemukan taxi yang mau mengantarkan kami pulang ke kampus. Dan alhamdulillah, tepat pukul 02.05, (menurut jarum jam di hpku), kami sampai di pintu gerbang masuk utama the Internasional Islamic Call College (IICC) atau dengan bahasa kita Kuliah Dakwah Islamiah (KDI) yang kami tempati dengan aman. .

0 comments:

Leave a Reply