• Mei Thuesday, 15 May 2008 nulibya

    Suatu sore, di musim, langit Kota Tripoli berwarna indah nan mempesona. Udaranya sejuk. Musim yang bersahabat bagi mahasiswa Asia, khususnya Indonesia. Sangat mendukung untuk beraktifitas. Dari selatan enam kaki berjalan penuh semangat. Di persimpangan jalan tampak tiga kepala tampak sudah menunggu. Ketiga kepala dan enam kaki itu bersama-sama menuju kampus Mahad At Ta’hili, yang terletak di ibu kota Libya, Tripoli.

    Oups…parade kaki dan kepala itu bukan monster-monster dalam film Spiderman atau prajurit yang akan menggelar sidang untuk mengkudeta atasannya. Melainkan kader muda NU angkatan 2007 yang sedang menempuh study di International Islamic Call College Tripoli, Libya. Mereka berkumpul untuk mengadakan kajian kaidah fikih.

    ”Saya mengajak teman-teman berpikir kritis dan memahami teks warisan para ulama salaf sebelum menerapkanya dalam keseharian. Saya kira salah dan dosa besar bagi kita jika terus taklid buta. Yakni, menelan mentah-mentah hasil pemikiran ulama terdahulu (turats, red). Menurut hmat saya, jangan menerima ajaran sebelum melakukan uji kebenaran atau bahasa yang sedikit santunnya: terjamin relevansinya dengan konteks temporer,” kata A. Muntaha Afandie, koordinator kelompok diskusi yang bernama Kajian Tahili (KT) itu.

    Lebih lanjut, kata alumnus Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur itu, jika umat Islam terus mengamalkan peninggalan masa lalu secara buta, maka selamanya mereka terus berada di belakang panggung sementara berbagai bengsa sudah bergantian menjadi pemeran utama percaturan laju dunia. Oleh karena itu, lanjut Pemred Al Ukhuwwah itu, kajian terhadap teks-teks masa lalu sangat perlu dilakukan. Tidak bisa ditawar. Hal itu apabila ummat Islam mau melestarikan kehidupan yang ilmiah.

    ”Kita terima pemikiran mereka yang masih relevan dengan konteks kekinian dan mampu menjawab problematika kontemporer. Sebaliknya, apabila sudah tidak berkutik dibenturkan pada problematika keseharian kita yang semakin kompleks, maka buat apa kita malu-malu meninggalkannya. Seperti kaidah yang sangat familiar di kalangan nahdliyyin, ’Al muhafadlatu ala qadim al shalih wa al akhdu bi al jadid al ashlah, kita terima peninggalan masa lalu yang masih relevan dan tinggalkan yang sudah usang. Kemudian, ambil produk-produk pemikiran kontemporer yang lebih baik,” tegas mantan redaktur Misykat.

    Tentatif acara pada sore itu cukup padat. Namun, karena keterbatasan waktu akhirnya acara inti, kajian kaidah fikih yang pertama, ditunda minggu berikutnya. Pasalnya, menurut Hardiyatullah, wakil koordinator KT, hal itu disebabkan pemaparan perbedaan antara fikih, ushul fikih, dan kaidahnya oleh Anas Masudi Al Malawy, memakan waktu yang tidak diprediksikan sebelumnya.

    ”Sebelumnya kami memprediksikan pemaparan Kang Anas cuma tiga puluh sampai empat puluh menit. Ternyata perbedaan antara ketiga disiplin ilmu itu cukup luas dan perlu kajian komprehensip dan intens. Sehingga, sebagai konsekwensinya, kami mengambil keputusan mengundur kajian kaidah yang pertama oleh saudara A. Muntaha Afandie,” ujar alumnus Ponpes Ploso Kediri, Jawa Timur itu.

    Walaupun baru sebatas pemaparan sejarah dan perbedaan antara tiga disiplin ilmu tersebut, kajian pada Sabtu (19/04) berjalan ”panas.” Maka, tidak berlebihan jika penyelenggara merasa puas. ”Saya sangat senang acara ini bisa berjalan mulus dan sukses. Semoga kajian ini bisa langgeng di Tanah Hijau. Selain itu, harapan saya, semoga kajian ini benar-benar ilmiah dan jauh dari prasangka negatif. Baik negatif pada pendapat sesama peserta maupun terhadap teks yang kita kaji,” lanjut pria yang akrab disapa Hardyboy diplomatis.

    Rasa senang dan bangga tidak hanya dirasakan oleh anggota kajian dan penyelenggara. Kang Anas— sapaan akrab Anas Masudi Al Malawi— juga menyatakan hal sama. ”Saya bangga dengan gebrakan yang dilakukan oleh teman-teman mahasiswa baru. Kalian harus menjaga acara ini agar tetap berjalan. Jangan sampai berhenti ditengah jalan,” kata mahasiswa tahun terakhir International Islamic Call College, spesifikasi syariah.

    Peserta kajian keluar ruangan setelah mengamini doa yang dipimpin Wasi’ Hilmi. Senandung adzan menyambut langkah mereka, ketika kaki menginjak halaman perpustakaan yang memisahkan kampus Mahad Tahili dan Masjid.

    betty el naviah

0 comments:

Leave a Reply

Monggo dikomentari ...