• Di hadapan Tukul, secantik atau setampan apapun selebritis kita, pasti mati kutu dengan kata itu. Tukul yang sebenarnya lebih ndeso punya alasan hingga berani berkata seperti itu. “Meskipun anjing menggonggong, timpuk saja!” katanya.

    Melihat polah Tukul, tentu saja, sontak penonton tertawa. Tukul adalah obat dari beragam terpaan bencana. Kedatangan Tukul di layar kaca tepat waktu. Ia datang di saat negeri ini butuh senyum dan hiburan.

    Tingkah Tukul yang belagu, lugu, dan sok tahu kadang bikin geli atau bahkan tawa. Pun tatkala ia mengironikan dirinya sendiri. Tukul seolah mengajak para penggemarnya menertawakan dirinya sendiri. Bisa jadi kita lebih ndeso dan katro dibanding Tukul. Hanya saja kita gengsi dan malu mengakui.Maret lalu, kurang lebih sudah sepuluh bulan Empat Mata digelar.

    Bulan Maret kebetulan dalam catatan republik ada peristiwa besar terjadi. Tepat 11 Maret 1965 silam, Pak Harto menerima Surat Perintah Sebelas Maret. Surat sakti yang menjadi modal baginya untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia.

    Surat perintah itu, sebagaimana publik ketahui, sampai detik ini belum diketahui keberadaannya. Sebuah surat penting yang luput dari kejelian dan ketelitian pendokumentasian dan pengarsiapan negara. Lantas kita pun bertanya, sebegitu parahkah pengarsipan di negeri ini? Mungkin Supersemar disimpan jin dari negeri antah berantah? Banyolan apa lagi ini.Yang pasti surat itu tak mungkin disimpan Thukul. Sebab ketika surat perintah itu ditandatangani di Bogor, Tukul baru berusia 2,5 tahun. Mungkinkah anak sekecil itu menyimpan surat sakti? Bisa jadi mungkin. Tapi kemungkinannya 0,09%. Jikapun dia membawa surat itu, tentu, nasib tak menjadikannya sebagai pelawak. Mungkin jadi Jendral, direktur BUMN, atau pejabat.Tak pernah tercantum dalam sumber manapun ada keterkaitan antara Tukul dan Pak Harto.

    Satu-satunya keterkaitan Pak Harto dan Tukul adalah sama-sama dari ndeso. Meski keduanya berasal dari desa tetap saja ada perbedaan. Pak Harto dalam buku Anak Desa, Biografi Presiden Soeharto karangan O.G. Roeder (1976) terang-terangan menyebut dirinya anak desa. Tapi Tukul beda, ia belagu menyebut dirinya ndeso saat laptop-nya dimatikan.

    Kesamaan sekaligus perbedaan kedua, kedua-duanya pernah tinggal di Semarang. Pak Harto jadi Panglima Divisi Diponegoro. Sementara Tukul, lahir di Semarang dan pernah jadi Juara Lawak tingkat Jawa Tengah. Perbedaan mencolok lain, Pak Harto tak pernah jadi juara lawak, pun Tukul bukan tentara bermuka seram.

    Penggemar Tukul tak bisa bayangkan andai wajah idolanya itu bermuka garang. Sebab senyum, yang membuat Tukul lekat di hati penggemar fanatiknya. Senyum Tukul yang memberi kesan seolah dia tak punya utang dan dosa.

    Senyumnya yang menawan membuat penonton tergoda. Kalau penonton ribut, Tukul akan bilang, “silent please...” Anehnya penonton pun diam. Jika ada yang berani menyelutuk, sontak Tukul berkata, “Sobek...sobek...mulutmu!”.Tak ada yang marah dengan perkataanya. Sebab penonton tahu Tukul cuma bercanda. Ia tak sungguh-sungguh menyobek mulut dari orang yang usul usil. Tapi ia sungguh-sungguh ketika bilang, “silent please.... Itu pun dengan gaya bercanda bukan pakai bedil dan mata melotot.

    Tapi Tukul juga punya kekuatan untuk mengendalikan keadaaan di studio Empat Mata. Jika suasana sudah melenceng, diskusi melantur, banyak celutukan tak “jelas” Tukul akan segera berkata, “kembali ke lap top...”

    Di layar kaca tampak sebagian besar pemirsa di studio ikut-ikutan menunjuk lap top. Beberapa yang lain diam. Sebagiannya lagi cuma tersenyum. Lap top tampaknya menjadi penopang utama kekuasaan Tukul. Lap top adalah istrinya. Matinya lap top menjadikan Tukul pincang dalam membawakan dagelan ala Empat Mata. Ia bahkan tak berdaya jika lap topnya mati atau dimatikan. Saat lap top nya mati, ia kehilangan visi. Bicara ngelantur. Ia pun tampak sedih.Sebab lap top yang mengusulkan kepada Tukul untuk menjalankan “negara” Empat Mata. Kertas yang seperti pengganti lap top, terkadang tak bisa diandalkan. Tidak semua pertanyaan ada di situ. Dari mana ia dapatkan jawaban sementara isterinya mati?Apalagi bersamaan dengan itu, pendukung acara ikut-ikutan meledek. Pemirsa di studio meledek. Semua meledek. Tinggalah Tukul sendiri bersama kertas pembantu yang tak bisa diandalkan. Ia pun akhirnya merengek. Bermuka kecut. Tak bisa lagi tersenyum, dan tampak serius. Itulah ujian terberat yang dihadapi Tukul.

    Kembali ke Pak Harto. Setelah lengser keprabon Mei 1998 silam, Pak Harto sakit-sakitan. Beberapa kali penyakitnya kambuh. Tiap kali dimintai keterangan pengadilan, ia dalam keadaan sakit. Sebagaimana diketahui, orang sakit seperti Pak Harto, kasihan untuk ditanya-tanya terus. Memangnya talk show?Kalau pengadilan seperti talk shaw sudah beres negeri ini. Tiap orang bebas bercerita. Tanpa takut dipenjara. Apalagi pembawa acaranya Tukul Arwana, pasti penuh canda. Apalagi pilihan bintang tamunya tepat. Benar-benar orang yang terlibat dan tahu. Pasti paradigmanya jelas.“Sok tahu..... ,“ kata Tukul.

    Tapi siapa yang diundang dan diwawancarai jika talk show mengambil tema Supersemar? Bukankah keempat jendral pembawa surat itu sudah meninggal. Tak mungkin agaknya surat itu jatuh di perjalanan Bogor-Jakarta. Sebab foto Supersemar masih ada di buku 30 tahun Indonesia Merdeka. Hanya saja di situ tertulis kota Jakarta, bukan Bogor.Saya bayangkan, seadainya Pak Harto sehat, diundang Empat Mata membahas Supersemar. Apa jadinya jika dua orang dari desa bertemu. Seperti apakah tingkah Tukul? Mungkinkah dia yang justru mati kutu seperti para selebritis yang sering diledeknya? Masihkah Tukul berani bilang , “ooo...ndeso! katro!...puas!?...puas!?...puas!? (baca dengan gaya Tukul).

0 comments:

Leave a Reply

Monggo dikomentari ...