• Chating Ramadhan; Seputar Puasa & Zakat 1
    Chating Ramadhan; 
    Seputar Puasa & Zakat 1

    Ada beberapa pertanyaan tentang puasa dan zakat yang diajukan oleh hamba Allah. Antara lain:
     
    1. Kalau kita punya tabungan lebih dari 9 juta rupiah, kena zakat g?

    Jawab: Tabungan uang merupakan uang atau kekayaan yg disimpan, maka ia terkena zakat. Adapun nishobnya (batas diwajibkan) zakat dalam uang tabungan disamakan dg harga 85gram emas di daerah orang yg bersangkutan. Misalkan harga emas 1gr = Rp. 300.000, maka batas diwajibkan zakat untuk tabungan seseorang adalah 300ribu x 85gram = Rp. 25.500.000. Sedangkan zakat yg harus dikeluarkan adalah 2,5% dari nishob. Demikian itu jika sudah mencapai satu tahun ditabung. Jadi jika uang tabungan tersebut lebih dari 9juta, tapi belum mencapai Rp. 25.500.000 (jika harga emas 1gram = Rp. 300.000), maka si pemilik tabungan tidak berkewajiban mengeluarkan zakat tabungan. (baca; Peranan Zakat Terhadap HAM, dalam www.el-malawi.blogspot.com/ Kewajiban Zakat dari Uang Tabungan, dalam http://www.eramuslim.com/konsultasi/zakat/kewajiban-zakat-dari-uang tabungan.htm)
       
    2. Kalau sudah habis masa haid, teruz ikut sahur, tapi baru mandi besar setelah adzan shubuh,apakah puasanya sah?

    Jawab: Puasa wanita tersebut dihukumi sah. Tetapi dia diwajibkan mandi besar (mandi junub) sebelum matahari terbit, karena ia wajib mengerjakan shalat subuh. Begitu juga hukum puasa orang junub yang mandinya setelah adzan subuh, dihukumi sah. (baca QS. Albaqarah: 187 dan tafsirnya).

    3. Fidyah itu dibayarkan sebelum bulan Ramadhan. Nah kalau lupa bagaimana? Kemudian baru ingat ketika sudah masuk bulan Ramadhan berikutnya …

    Jawab: Seseorang dapat membayar fidyah, pada hari  dia tidak melaksanakan puasa, atau diakhirkan sampai hari terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana dilakukan oleh sahabat Anas radhiallahu’anhu ketika beliau telah tua.

    Jika dia lupa membayar fidyah sampai Ramadhan berikutnya, maka dia tetap harus membayarkan fidyah tersebut dan menambah satu mud (kadar makanan satu hari untuk satu orang dg standar umum di daerah setempat) sebagai tebusan dari kelalaiannya membayarkan fidyah tadi. Adapun cara pelaksanaan membayar fidyah dengan memberi makan kepada satu orang miskin untuk satu hari puasa yang ditinggalkan. Namun tetap diingat, sebagaimana Imam Nawawi rahimahullah katakan, “Tidak sah apabila membayar fidyah dengan tepung yang sangat halus (sawiq), biji-bijian yang telah rusak. Tidak sah pula membayar fidyah dengan uang. Demikian dapat diterapkan dengan dua cara:
    1.    Memasak atau membuat makanan, kemudian memanggil orang miskin sejumlah hari-hari yang ditinggalkan selama bulan Ramadhan.
    1. Memberikan kepada orang miskin berupa makanan yang belum dimasak. Alangkah lebih sempurna lagi jika juga diberikan sesuatu untuk dijadikan lauk.
    Adapun golongan yang dikenakan bayar Fidyah (memberi makan satu orang fakir/miskin utk setiap hari puasa yg ditinggalkan dg kadar satu mud/ kadar makanan pokok utk satu org dalam satu hari) antara lain:.
    1. Orang yang sangat tua dan uzur tidak mampu untuk berpuasa
    2. Orang sakit yang tidak ada harapan untuk sembuh dan disebabkan sakitnya itu dia tidak mampu untuk berpuasa.
    3. Wanita hamil dan yang menyusui kerana kuatir membahayakan dirinya dan anaknya.
    4. Orang yang meninggalkan puasa, kemudian ia melengahkan qadha puasanya sampai datang Ramadhan berikutnya, sedangkan dia mampu untuk mengqodhoinya sebelum tiba Ramadhan berikutnya. (lihat: Ramadhan; Qadha dan Fidyah, dalam http://ituakujiya.blogdrive.com/archive/48.html dan Pembayaran Fidyah, dalam http://muslimah.or.id/fiqh-muslimah/pembayaran-fidyah.html).
    4. Gaji itu juga wajib dizakati ?

    Jawab: Merujuk pada berbagai sumber fiqh, hukum zakat gaji atau jasa, penghasilan, profesi tidak bergeser dari dua macam pandangan ulama, yaitu antara wajib dan tidak wajib. Masing-masing golongan ulama memberi argumentasi yang berbeda. Jika ditelusuri yang menjadi puncak perbedaan pendapat pada zakat gaji, profesi, jasa atau penghasilan antara lain adalah pada syarat haul, apakah diqiyaskan  kepada zakat emas  atau diqiyaskan kepada  zakat pertanian atau diqiyaskan kepada keduanya.

    Para ulama mazhab bukan menolak adanya zakat gaji juga bukan membolehkan untuk dipungut. Hanya saja tak pernah membahasnya secara rinci dalam kitab-kitab mereka. Masalahya karea hal itu belum menjadi sumber penghasilan utama dan sektor rill ketika itu.
    Sebagian ulama sekarang yang tidak mewajibkan zakat gaji atau profesi, alasannya,  tidak pernah dipraktikkan pada masa Rasulullah atau masa-masa awal pemerintahan Islam dan tidak ditemukan nash yang jelas secara khusus. Namun pandangan ulama ini jarang ditemukan dalam literatur-literatur fiqh.

    Sebaliknya pandangan sebagian ulama yang lain lebih cenderung mewajibkan zakat gaji/profesi dalam karya-karya mereka dengan melakukan berbagai cara istimbath.
    Berdasarkan nash umum (ummumul ayyah). Firman Allah swt (Q.S, Al- Baqarah: 267, dan al-Zariyat: 19), dapat dipahami oleh sebagian ulama sebagai zakat dari berbagai sumber penghasilan. Sayyid Qutub menjelaskan dalam menafsiri ayat 267 surat al-Baqarah, bahwa Zakat diwajibkan  dari semua jenis pendapatan (Tafsir Fi  Dhilalil Qur’an),. Demikian juga Al-Qurtubi, menafsiri kalimat " haqqum ma’lum"  dalam surat al-zariat ayat 19 diartikan sebagai  zakat dari semua penghasilan, (Tafsir al-Jami’ liahkamil Qur’an).

    Landasan zakat profesi dianalogikan kepada dua sifat qiyas. Pertama. tentang waktu pembayaran diqiyaskan kepada zakat pertanian, yaitu dibayarkan ketika mendapatkan hasilnya (panen). Kedua, nishab dan kadar zakatnya dianalogikan kepada zakat emas yaitu seharga  94 gram emas sedangkan kadar zakatnya sebesar 2,5 %. (lihat: Wajibkah Zakat Gaji?, dalam http://www.serambinews.com/news/view/24510/wajibkah-zakat-gaji)

    5. Teruz kalau almarhum ortu atao family kita punya hutang puasa or sholat tapi g tahu jumlahnya berapa, bagaimana caea membayar/mengqadhainya? Teruz kalau kita kelupaan mengqadhai puasa tersebut bagaimana?

    Jawab: Dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa orang yang meninggal dunia dan masih mempunyai hutang shalat dan puasa, boleh diwakili orangtuanya, anaknya, saudaranya atau keluarganya untuk membayar hutang shalat dan puasa tersebut.

    Ada juga yg berpendapat, tidak ada kewajiban bagi keluarganya atau ahli warisnya untuk mengqadha' shalat atau puasa wajib yg pernah ditinggalkan oleh si mayit.
    Ada juga yg berpendapat dengan diperinci, dengan mengatakan bahwa barangsiapa yang wafat dan punya hutang shalat, maka walinya (apalagi orang lain) tidak bisa mengqadha'nya. Begitu pula orang yang tidak mampu puasa, tidak boleh dipuasakan oleh anaknya selama dia hidup, tapi dia harus mengeluarkan makanan setiap harinya untuk seorang miskin, sebagaimana yang dilakukan sahabat Anas dalam satu atsar (periwayatan yg bersumber dari Sahabat Nabi).

    Namun barangsiapa yang wafat dalam keadaan mempunyai hutang puasa nadzar (sebuah janji untuk melakukan suatu kebaikan yg dihubungkan dg akan keberhasian seseorang dalam meraih sesuatu yg direncanakan atau diharapkan), maka harus dipuasakan oleh walinya berdasarkan sabda Rasulullah SAW: "Barangsiapa yang wafat dan mempunyai hutang puasa nadzar hendaknya diganti oleh walinya" [Bukhari: 4/168, Muslim: 1147].

    Dan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata : "Datang seseorang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian berkata : "Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku wafat dan dia punya hutang puasa setahun, apakah aku harus membayarnya?" Rasulullah saw. menjawab : "iya, hutang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar" [Bukhari: 4/168, Muslim: 1148].

    Hadits-hadits umum ini menegaskan disyariatkannya seorang wali untuk puasa (mempuasakan) mayit dengan seluruh macam puasa, demikian pendapat sebagian Syafi'iyah dan madzhabnya Ibnu Hazm (7/2,8).

    Tetapi hadits-hadits umum ini dikhususkan, seorang wali tidak puasa untuk mayit kecuali dalam puasa nadzar, demikian pendapat Imam Ahmad seperti yang terdapat dalam Masa'il Imam Ahmad riwayat Abu Dawud hal. 96 dia berkata : Aku mendengar Ahmad bin Hambal berkata : "Tidak berpuasa atas mayit kecuali puasa nadzar". Abu Dawud berkata, "Puasa Ramadhan ?". Beliau menjawab, "Memberi makan".
     
    6. Nah,ini yg sering kejadian, ketika puasa, sudah berbuka, teruz baru ketahuan kalau dia haid, ya kira2 baru minum teruz dia m0 sholat,  pas habis buang air kecil dan bersuci, ternyata dia temui dirinya haidh dan sudah keluar lumayan banyak darahnya. Nah puasa hari itu sah g?

    Jawab: Jika permasalahan seperti tersebut di atas, maka dikembalikan pada keyakinan orang yg bersangkutan. Jika dia yakin darah yang keluar itu setelah adzan atau bertepatan dengan adzan maghrib, maka puasa hari itu dianggah sah. Tapi jika dia meyakini darahnya keluar sebelum adzan maghrib, maka puasa hari itu dihukumi tidak sah, karena dia sudah dihukumi sebagai orang yang sedang haid dalam waktu-waktu puasa (dari masuknya waktu subuh sampai masuknya waktu maghrib). Demikian itu didasarkan pada kaedah fikih "Al Yaqien la yuzaalu bil asysyakk" (keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan), atau kaedah fikih "al ashlu baqo-u ma kaana 'ala ma kaana" (asal hukum sesuatu itu tergantung pada asal keberadaan sebelumnya). Jika sebelumnya dalam kondisi suci dan puasa, kemudian dating darah haid, tapi tidak diketahui dengan pasti kapan keluarnya, sedangkan yg bersangkutan sudah dalam keadaan berbuka puasa, maka posisi dia dikembalikan pada sebelum darah haid keluar, yakni dalam kondisi suci dan berpuasa. Dengan kata lain puasanya masih dihukumi puasa yg sah. (lihat: Al Asybah wa al nadhoir. Karya al Imam al Suyuthi).
    Demikian yg bias saya sampaikan. Bagi setiap pembaca jika menemukan jawaban yg salah, atau mempunyai jawaban or komentar, dipersilahkan untuk sharing di sini. Semoga bermanfaatd dan dijadikan catatan amal ibadah.

    more
  • Komentar Tentang Bid'ah dalam Artikel; Adakah Bid'ah Hasanah?
    Komentar Tentang Bid'ah dalam Artikel; 
    Reinterpretasi Bid'ah, 
    Adakah Bid'ah Hasanah?

    Menurutku artikel ini lumayan bagus, bahkan bisa saya katakan sesuai dg fikroh saya. Memang seperti itulah sebaiknya Bid'ah itu dipahami. Dalilnya pun juga sudah jelas. Kebanyakan Ulama syari'at pun membagi bid'ah menjadi dua seperti yg tertulis juga dalam artikel tersebut (artikel tentang bid'ah yang saya publikasikan sebelum ini). Namun di sana ada yg mengatakan bid'ah hasanah dan dhalalah, ada yg dg istilah bid'ah mahmdah dan bid'ah madzmumah.

    Kalau mau diteliti dan dicermati dengan seksama lagi, apa2 yg dicontohkan dalam artikel itu, yg dikatakan sbg bid'ah hasanah, itu merupakan bagian daripada "budaya", bukan bagian dari ibadah yg merupakan objek inti dari kajian "bid'ah". Katakanlah seperti pembukuan mushaf, adzan kedua sebelum khutbah jum'ah, jamaah tarawih sebulan penuh, pembukuan hadis dan kitab2 lain, saya lihat semua itu merupakan bagian budaya yg mereka ciptakan untuk menjaga "syari'at" yg telah diajarkan oleh baginda Rasul saw. Jika hal ini bisa ditrima, maka akan sesuai dg hadis yg juga ada dalam artikel di atas, "barang siapa yg membudayakan tradisi (sunnah) yg baik, dia akan mendapat pahalanya dan pahala orang yg mengikuti tradisi baik tsb ... dan sebaliknya ... (al hadis .. ).

    Demikianlah yg perlu kita pahami dg seksama dan yg perlu kita cermati, bahwa di sana ada perbedaan antara budaya dan agama (syari'at). Jika bid'ah itu dipahami sebagai ibadah/ajaran baru yg tdk ada pd zaman Rasul saw, maka setiap yg baru, jgn terburu diklaim sbg bid'ah terlebih dahulu, tp baiknya dicermati dan diteliti dg seksama terlebih dahulu. Jika ia termasuk suatu tradisi atau budaya, maka harus dilihat dg "kacamata akhlaq", kemudian dilihat dg "kacamata" syari'at, apakah ada dalil atau teks syar'i yg melarang tradisi or budaya tersebut, di samping melihat adanya manfaat atau mafsadah dalam tradisi or budaya tadi.

    Demikian sebagaimana Jibril mengajarkan agama pada para Sahabat Rasul saw di suatu hari, dalam sebuah hadis yg mutawatir (di mana diahir hadias rasul mengatakan; dia adalah Jibril, yg datang pada kalian (sahabat) utk mengajarkan agama kalian), di antaranya diriwayatkan oleh Umar bin al Khaththab tentang empat pertanyaan yg diajukan Jibril yg berwujud manusia (waktu itu) dg berpakaian serba putih.

    Empat pertanyaan tersebut adalah: 1. Ma al Islam (apakah Islam itu)?. 2. Ma al iman?. 3. Ma al ihsan. 4. mata al sa-'ah?. Dari empat pertanyaan ini, hanya tiga (tentang Islam, Iman dan Ihsan) yg bisa dijawab oleh Rasul saw. dengan tepat dan dibenarkan oleh Penanya (yakni Jibril). Sementara pertanyaan keempat, beliau tidak bisa mnjawabnya dg pasti kapan terjadinya dan mengatakannya dg bahasa diplomatis: "org yg ditanya tidak lah lebih tahu daripada org yg bertanya". Demikian itu menunjukkan bahwa Rasul saw pun, yg merupakan hamba paling dekat dg Rabbnya, tidak tahu dg pasti kapan hari kiamat itu akan terjadi. La qo' ahir2 ini banyak orang memprediksi terjadinya hari kiamat ... Apa bisa dipercaya ... ???

    Dari kisah dalam hadis tersebut pula, Islam -secara global- terbagi menjadi empat aspek, empat kajian,yakni aspek syari'at (dalam kandungan pertanyaan; ma al Islam), aspek aqidah (dalam kandungan pertanyaan; ma al Iman), aspek akhlaq (dalam kandungan pertanyaan; ma al ihsan) dan aspek keimanan terhadap alam ghaib (dalam kandungan pertanyaan; mata al sa-'ah). Sebenarnya yg keempat ini bisa dimasukkan dalam aspek kedua (aspek aqidah), hanya saja dalam hadis lebih ditekankan, dg penyebutan pertanyaan "mata al sa-'ah". Hal ini menunjukkan akan pentingnya perhatian terhadap masalah-masalah gaib yg kebanyakan orang sulit untuk mempercayainya atau mengimani keberadaannya, terlebih pada era sekarang ini, yg cenderung hanya menggunakan logika saja.

    Nah, dari keempatnya inilah semestinya setiap "hal yg baru" itu dilihat dan dicermati serta ditetapkan hukum keberadaanya. kita ambil contoh seperti pembukuan mushaf. Di sini kita lihat, pembukuan mushaf ini termasuk aspek yg mana. Katakanlah ia termasuk dalam aspek akhlaq (karena ia dianggap bagian dari budaya, dimana budaya timbul dari adanya interaksi antar sesama. Dan interaksi antar sesama merupakan kajian akhlaq), maka pembukuan mushaf harus dilihat dg "kacamata akhlaq", bagaimana akhlaq melihat pembukuan mushaf tsb, apakah ia membawa maslahat or madharrat pd umat? Jika membawa maslahat pada umat, kita lihat dari aspek syari'at (hukum), bagaimana syari'at melihat adanya pembukuan mushaf tadi, apakah ada dalil or teks syar'i yg melarang pembukuan mushaf tadi. Jika tidak ada larangan dan ternyata di sana ada maslahat bagi umat, maka budaya pembukuan mushaf dan buku2 Islam or keilmuan lainnya, bisa diterima dalam syari'at or agama.

    Demikianlah semestinya kita menyikapai setiap hal-hal yg baru muncul di tengah-tengah masyarakat kita, baik berupa bacaan, perbuatan atau keyakinan. Tidak boleh kita langsung mengklaim ini bid'ah, itu bid'ah, ini yg benar dan itu yg salah dg tanpa menelaah lebih dalam tentang kebenarannya terlebih dahulu. Hingga nantinya akan menimbulkan hasil hukum yg kurang (atau bahakan tidak) objektif. Inilah komentar saya untuk sementara atas artikel tentang bid'ah ini. Semoga saja bisa dipahami dengan mudah. Jika ada yg tidak sepaham or tidak bisa diterima, mohon disharingkan langsung di sini. Semoga bermanfaat dan bisa menjadi bahan renungan yg positif dan menghasilkan yg positif.

    Anas El Malawi

    more
  • ADAKAH BID'AH HASANAH ???
    ADAKAH BID'AH HASANAH ???


    Bid’ah

    Nabi saw memperbolehkan berbuat bid’ah hasanah. Nabi saw memperbolehkan kita melakukan Bid’ah hasanah selama hal itu baik dan tidak menentang syariah, sebagaimana sabda beliau Saw : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi). Hadits ini menjelaskan makna Bid’ah hasanah dan Bid’ah dhalalah.

    Perhatikan hadits beliau Saw, bukankah beliau Saw menganjurkan?, maksudnya bila kalian mempunyai suatu pendapat atau gagasan baru yang membuat kebaikan atas islam maka perbuatlah.., alangkah indahnya bimbingan Nabi saw yang tidak mencekik ummat, beliau Saw tahu bahwa ummatnya bukan hidup untuk 10 atau 100 tahun, tapi ribuan tahun akan berlanjut dan akan muncul kemajuan zaman, modernisasi, kematian ulama, merajalela kemaksiatan, maka tentunya pastilah diperlukan hal-hal yang baru demi menjaga muslimin lebih terjaga dalam kemuliaan, demikianlah bentuk kesempurnaan agama ini, yang tetap akan bisa dipakai hingga akhir zaman, inilah makna ayat :

    “ALYAUMA AKMALTU LAKUM DIINUKUM…”, yang artinya: “hari ini Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, kusempurnakan pula kenikmatan bagi kalian, dan kuridhoi Islam sebagai agama kalian”,

    Maksudnya semua ajaran telah sempurna, tak perlu lagi ada pendapat lain demi memperbaiki agama ini, semua hal yang baru selama itu baik sudah masuk dalam kategori syariah dan sudah direstui oleh Allah dan Rasul Nya, alangkah sempurnanya Islam.

    Bila yang dimaksud adalah tidak ada lagi penambahan, maka pendapat itu salah, karena setelah ayat ini masih ada banyak ayat ayat lain turun, masalah hutang dll, berkata para Mufassirin bahwa ayat ini bermakna Makkah Al-mukarramah sebelumnya selalu masih dimasuki orang musyrik mengikuti hajinya orang muslim, mulai kejadian turunnya ayat ini maka Musyrikin tidak lagi masuk Masjidil Haram, maka membuat kebiasaan baru yang baik boleh boleh saja.

    Namun tentunya bukan membuat agama baru atau syariat baru yang bertentangan dengan syariah dan Sunnah Rasul Saw, atau menghalalkan apa-apa yang sudah diharamkan oleh Rasul Saw atau sebaliknya, inilah makna hadits beliau Saw
    “Barangsiapa yang membuat buat hal baru yang berupa keburukan...dst”, inilah yang disebut Bid’ah Dhalalah.

    Beliau saw telah memahami itu semua, bahwa kelak zaman akan berkembang, maka beliau saw memperbolehkannya (hal yang baru berupa kebaikan), menganjurkannya dan menyemangati kita untuk memperbuatnya, agar ummat tidak tercekik dengan hal yang ada dizaman kehidupan beliau Saw saja, dan beliau Saw telah pula mengingatkan agar jangan membuat buat hal yang buruk (Bid’ah dhalalah).

    Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa hadits ini adalah khusus untuk sedekah saja, maka tentu ini adalah pendapat mereka yang dangkal dalam pemahaman syariah, karena hadits diatas jelas-jelas tak menyebutkan pembatasan hanya untuk sedekah saja, terbukti dengan perbuatan bid’ah hasanah oleh para Sahabat dan Tabi’in.
    Siapakah yang pertama memulai Bid’ah hasanah setelah wafatnya Rasul saw?

    Ketika terjadi pembunuhan besar besaran atas para sahabat (Ahlul yamaamah) yang mereka itu para Huffadh (yang hafal) Alqur’an dan Ahli Alqur’an di zaman Khalifah Abubakar Asshiddiq ra, berkata Abubakar Ashiddiq ra kepada Zeyd bin Tsabit ra :

    “Sungguh Umar (ra) telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas Ahlul Yamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlulqur’an, lalu ia menyarankan agar Aku (Abubakar Asshiddiq ra) mengumpulkan dan menulis Alqur’an, aku berkata : Bagaimana aku berbuat suatu hal yang tidak diperbuat oleh Rasulullah..?, maka Umar berkata padaku bahwa Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan, dan ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar, dan engkau (zeyd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Alqur’an dan tulislah Alqur’an..!”

    Berkata Zeyd : “Demi Allah sungguh bagiku diperintah memindahkan sebuah gunung daripada gunung-gunung tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Alqur’an, bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah saw?”, maka Abu bakar ra. mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga ia pun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Alqur’an”. (Shahih Bukhari hadits no.4402 dan 6768).

    Nah saudaraku, bila kita perhatikan konteks diatas Abu bakar shiddiq ra mengakui dengan ucapannya : “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar”, hatinya jernih menerima hal yang baru (bid’ah hasanah) yaitu mengumpulkan Alqur’an, karena sebelumnya al-Qur’an belum dikumpulkan menjadi satu buku, tapi terpisah-pisah di hafalan sahabat, ada yang tertulis di kulit onta, di tembok, dihafal dll, ini adalah Bid’ah hasanah, justru mereka berdualah yang memulainya.

    Kita perhatikan hadits yang dijadikan dalil menafikan (menghilangkan) Bid’ah hasanah mengenai semua bid’ah adalah kesesatan, diriwayatkan bahwa Rasul saw selepas melakukan shalat subuh beliau Saw menghadap kami dan menyampaikan ceramah yang membuat hati berguncang, dan membuat airmata mengalir.., maka kami berkata : “Wahai Rasulullah..seakan-akan ini adalah wasiat untuk perpisahan…, maka beri wasiatlah kami..” maka Rasul saw bersabda : “Ku wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengarkan dan taatlah walaupun kalian dipimpin oleh seorang Budak Afrika, sungguh diantara kalian yang berumur panjang akan melihat sangat banyak ikhtilaf perbedaan pendapat, maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa’urrasyidin yang mereka itu pembawa petunjuk, gigitlah kuat kuat dengan geraham kalian (suatu kiasan untuk kesungguhan), dan hati-hatilah dengan hal-hal yang baru, sungguh semua yang Bid’ah itu adalah kesesatan”. (Mustadrak Alasshahihain hadits no.329).

    Jelaslah bahwa Rasul saw menjelaskan pada kita untuk mengikuti Sunnah beliau dan sunnah Khulafa’urrasyidin, dan sunnah beliau Saw telah memperbolehkan hal yang baru selama itu baik dan tak melanggar syariah, dan sunnah Khulafa’urrasyidin adalah anda lihat sendiri bagaimana Abu bakar shiddiq ra dan Umar bin Khattab ra menyetujui bahkan menganjurkan, bahkan memerintahkan hal yang baru, yang tidak dilakukan oleh Rasul saw yaitu pembukuan Alqur’an, lalu pula selesai penulisannya dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra, dengan persetujuan dan kehadiran Ali bin Abi Thalib kw.

    Nah.. sempurnalah sudah keempat makhluk termulia di ummat ini, khulafa’urrasyidin melakukan bid’ah hasanah, Abu baker shiddiq ra. Dimasa kekhalifahannya memerintahkan pengumpulan Alqur’an, lalu kemudian Umar bin Khattab ra. pula dimasa kekhalifahannya memerintahkan tarawih berjamaah dan seraya berkata :
    “Inilah sebaik baik Bid’ah!” (Shahih Bukhari hadits no.1906). lalu pula selesai penulisan Alqur’an dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra. hingga Alqur’an kini dikenal dengan nama Mushaf Utsmaniy, dan Ali bin Abi Thalib kw menghadiri dan menyetujui hal itu.

    Demikian pula hal yang dibuat-buat tanpa perintah Rasul saw adalah dua kali adzan di Shalat Jumat, tidak pernah dilakukan dimasa Rasul saw, tidak dimasa Khalifah Abu bakar shiddiq ra, tidak pula dimasa Umar bin khattab ra dan baru dilakukan dimasa Utsman bin Affan ra, dan diteruskan hingga kini (Shahih Bulkhari hadits no.873).

    Siapakah yang salah dan tertuduh?, siapakah yang lebih mengerti larangan Bid’ah?, adakah pendapat mengatakan bahwa keempat Khulafa’urrasyidin ini tak faham makna Bid’ah?

    Bid’ah Dhalalah

    Jelaslah sudah bahwa mereka yang menolak bid’ah hasanah inilah yang termasuk pada golongan Bid’ah dhalalah, dan Bid’ah dhalalah ini banyak jenisnya, seperti penafikan sunnah, penolakan ucapan sahabat, penolakan pendapat Khulafa’urrasyidin, nah…diantaranya adalah penolakan atas hal baru selama itu baik dan tak melanggar syariah, karena hal ini sudah diperbolehkan oleh Rasul saw dan dilakukan oleh Khulafa’urrasyidin, dan Rasul saw telah jelas-jelas memberitahukan bahwa akan muncul banyak ikhtilaf, berpeganglah pada Sunnahku dan Sunnah Khulafa’urrasyidin, bagaimana Sunnah Rasul saw?, beliau Saw membolehkan Bid’ah hasanah, bagaimana sunnah Khulafa’urrasyidin?, mereka melakukan Bid’ah hasanah, maka penolakan atas hal inilah yang merupakan Bid’ah dhalalah, hal yang telah diperingatkan oleh Rasul saw.

    Bila kita menafikan (meniadakan) adanya Bid’ah hasanah, maka kita telah menafikan dan membid’ahkan Kitab Al-Quran dan Kitab Hadits yang menjadi panduan ajaran pokok Agama Islam karena kedua kitab tersebut (Al-Quran dan Hadits) tidak ada perintah Rasulullah saw untuk membukukannya dalam satu kitab masing-masing, melainkan hal itu merupakan ijma (kesepakatan) pendapat para Sahabat Radhiyallahu’anhum dan hal ini dilakukan setelah Rasulullah saw wafat.

    Buku hadits seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim dll inipun tak pernah ada perintah Rasul saw untuk membukukannya, tak pula Khulafa’urrasyidin memerintahkan menulisnya, namun para tabi’in mulai menulis hadits Rasul saw.

    Begitu pula Ilmu Musthalahulhadits, Nahwu, Sharaf, dan lain-lain sehingga kita dapat memahami kedudukan derajat hadits, ini semua adalah perbuatan Bid’ah namun Bid’ah Hasanah.

    Demikian pula ucapan “Radhiyallahu’anhu” atas sahabat, tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah saw, tidak pula oleh sahabat, walaupun itu di sebut dalam Al-Quran bahwa mereka para sahabat itu diridhoi Allah, namun tak ada dalam Ayat atau hadits Rasul saw memerintahkan untuk mengucapkan ucapan itu untuk sahabatnya, namun karena kecintaan para Tabi’in pada Sahabat, maka mereka menambahinya dengan ucapan tersebut. Dan ini merupakan Bid’ah Hasanah dengan dalil Hadits di atas, Lalu muncul pula kini Al-Quran yang di kasetkan, di CD kan, Program Al-Quran di handphone, Al- Quran yang diterjemahkan, ini semua adalah Bid’ah hasanah.

    Bid’ah yang baik yang berfaedah dan untuk tujuan kemaslahatan muslimin, karena dengan adanya Bid’ah hasanah di atas maka semakin mudah bagi kita untuk mempelajari Al-Quran, untuk selalu membaca Al-Quran, bahkan untuk menghafal Al- Quran dan tidak ada yang memungkirinya.

    Sekarang kalau kita menarik mundur kebelakang sejarah Islam, bila Al-Quran tidak dibukukan oleh para Sahabat ra, apa sekiranya yang terjadi pada perkembangan sejarah Islam ?

    Al-Quran masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para Sahabat ra yang hanya sebagian dituliskan, maka akan muncul beribu-ribu Versi Al-Quran di zaman sekarang, karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya, yang masing-masing dengan riwayatnya sendiri, maka hancurlah Al-Quran dan hancurlah Islam. Namun dengan adanya Bid’ah Hasanah, sekarang kita masih mengenal Al-Quran secara utuh dan dengan adanya Bid’ah Hasanah ini pula kita masih mengenal Hadits-hadits Rasulullah saw, maka jadilah Islam ini kokoh dan Abadi, jelaslah sudah sabda Rasul saw yang telah membolehkannya, beliau saw telah mengetahui dengan jelas bahwa hal-hal baru yang berupa kebaikan (Bid’ah hasanah), mesti dimunculkan kelak, dan beliau Saw telah melarang hal-hal baru yang berupa keburukan (Bid’ah dhalalah).

    Saudara-saudaraku, jernihkan hatimu menerima ini semua, ingatlah ucapan Amirul Mukminin pertama ini, ketahuilah ucapan-ucapannya adalah Mutiara Alqur’an, sosok agung Abu bakar Ashiddiq ra berkata mengenai Bid’ah hasanah : “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar”.

    Lalu berkata pula Zeyd bin haritsah ra :”..bagaimana kalian berdua (Abubakar dan Umar) berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah saw?, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun (Abu Bakar ra) meyakinkanku (Zeyd) sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua”.

    Maka kuhimbau saudara-saudaraku muslimin yang kumuliakan, hati yang jernih menerima hal-hal baru yang baik adalah hati yang sehati dengan Abu Bakar shiddiq ra, hati Umar bin Khattab ra, hati Zeyd bin haritsah ra, hati para sahabat, yaitu hati yang dijernihkan Allah swt,

    Dan curigalah pada dirimu bila kau temukan dirimu mengingkari hal ini, maka barangkali hatimu belum dijernihkan Allah, karena tak mau sependapat dengan mereka, belum setuju dengan pendapat mereka, masih menolak bid’ah hasanah, dan Rasul saw sudah mengingatkanmu bahwa akan terjadi banyak ikhtilaf, dan peganglah perbuatanku dan perbuatan Khulafa’urrasyidin, gigit dengan geraham yang maksudnya berpeganglah erat-erat pada tuntunanku dan tuntunan mereka.

    Semoga Allah menjernihkan sanubariku dan sanubari kalian hingga sehati dan sependapat dengan Abu bakar Asshiddiq ra, Umar bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra, Ali bin Abi Thalib kw dan seluruh sahabat.. amiin

    Pendapat para Imam dan Muhadditsin mengenai Bid’ah

    1. Al-Hafidh Al-Muhaddits Al-Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i rahimahullah (Imam Syafii). Berkata Imam Syafii bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih : “inilah sebaik baik bid’ah”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87)

    2. Al-Imam Al-Hafidh Muhammad bin Ahmad Al-Qurtubiy rahimahullah
    “Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yang berbunyi : “seburuk buruk permasalahan adalah hal yang baru, dan semua Bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal hal yang tidak sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya” (Shahih Muslim hadits no.1017).
    Dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)

    3. Al -Muhaddits Al-Hafidh Al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawiy rahimahullah (Imam Nawawi).
    “Penjelasan mengenai hadits : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yang dosanya”, hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan-kebiasaan yang baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau saw : “semua yang baru adalah Bid’ah, dan semua yang Bid’ah adalah sesat”, sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru yang buruk dan Bid’ah yang tercela”. (Syarh An-Nawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)

    Dan berkata pula Imam Nawawi bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi 5, yaitu Bid’ah yang wajib, Bid’ah yang mandub, bid’ah yang mubah, bid’ah yang makruh dan bid’ah yang haram.

    Bid’ah yang wajib contohnya adalah mencantumkan dalil-dalil pada ucapan-ucapan yang menentang kemungkaran, contoh bid’ah yang mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku-buku ilmu syariah, membangun majelis taklim dan pesantren, dan Bid’ah yang Mubah adalah bermacam- macam dari jenis makanan, dan Bid’ah makruh dan haram sudah jelas diketahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa inilah sebaik-baik bid’ah”.
    (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)

    Al-Hafidh Al-Muhaddits Al-Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthiy rahimahullah

    Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah” ini bermakna “Aammun makhsush”, (sesuatu yang umum yang ada pengecualiannya), seperti firman Allah : “… yang Menghancurkan segala sesuatu” (QS Al Ahqaf 25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur, (*atau pula ayat : “Sungguh telah Ku pastikan ketentuan-Ku untuk memenuhi jahannam dengan Jin dan manusia keseluruhannya”. (QS. As-Sajdah : 13), dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim.pen) atau hadits : “aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini” (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul saw) (Syarh As-Suyuthiy Juz 3 hal 189).

    Maka bila muncul pemahaman di akhir zaman yang bertentangan dengan pemahaman para Muhaddits maka mestilah kita berhati-hati dari manakah ilmu mereka??, berdasarkan apa pemahaman mereka??, atau seorang yang disebut imam padahal ia tak mencapai derajat hafidh atau muhaddits??, atau hanya ucapan orang yang tak punya sanad, hanya menukil-menukil hadits dan mentakwilkan semaunya tanpa memperdulikan fatwa-fatwa para Imam??

    Walillahittaufiq
    Majelis Rasulullah.org

    more
  • Nahdliyin di Libya Juga Peringati Nishfu Sya’ban
    Nahdliyin di Libya Juga Peringati Nishfu Sya’ban
    Kamis, 29 Juli 2010 15:39


    Tripoli,
     NU Online

    Tradisi nisfu sya’ban yang telah lama membudaya di Indonesia juga diperingati oleh warga Indonesia yang berdomisili di Libya dan dimotori oleh warga Nahdlatul Ulama (Nahdliyin). Selasa (27/6) malam kemarin warga Indonesia menghidupkankan tradisi ini di salah satu kediaman masyarakat Indonesia di Tripoli,  Ardi Wibisono.

    Seperti dilaporkan Faisal Hakim dari Tripoli, acara dimulai dengan shalat maghrib berjama’ah dilanjutkan dengan pembacaan surat yasin bersama. Setelah pembacaan surat yasin, acara dilanjutkan doa langsung dipimpin oleh salah satu jama’ah dengan khusuk dan khidmat yang diamini seluruh jama’ah.

    Acara dilanjutkan dengan sambutan dari tuan rumah dan diakhiri dengan ceramah singkat yang disampaikan oleh salah satu senior Nahdliyin Libya , H. Anas Mas’udi Lc. Ceramah yang membahas keutamaan bulan Ssya’ban ini dihidangkan dengan begitu sederhana, namun mampu membawa pendengar memahami isi ceramah. 

    Antara Ritual dan Budaya

    Seperti yang dipaparkan oleh penceramah, bulan Sya’ban adalah bulan yang mulia.  Beberapa hadits mengenai keutamaan bulan inipun tak luput dari penjelasan. Diantara hadist-hadits tersebut adalah hadits yang diriwayatkan Aisyah R.A yang menjelaskan bahwa tidak ada bulan yang paling banyak Rasulullah SAW berpuasa sunnah didalamnya selain bulan Sya’ban.

    Ceramah dilanjutkan dengan beberapa ulasan ulama mengenai rahasia keutamaan bulan sya’ban diantara bulan-bulan lainnya.

    Di sela-sela ceramah, tradisi Nishfu Sya’ban yang sudah mengakar saat ini di Indonesia juga sempat disinggung. Menurutm Anas Mas’udi, Islam datang tidak memberantas semua budaya yang ada dalam sebuah masyarakat. Namun, perlu dilakukan penelitian apakah budaya tersebut bertentangan atau tidak dengan syariat Islam. Apabila tidak berlawanan maka islam akan tetap melestarikannya dan atau sebaliknya, maka  islam tidak akan segan-segan untuk melarangnya.

    Menurutnya, Islam juga melahirkan budaya-budaya yang sebelumnya sama  sekali tidak ada di zaman Rasulullah SAW seperti Maulid Nabi SAW, isra mi’raj,  tahun baru hijryah, nisfu sya’ban dan lain sebagainya. Budaya- budaya yang  seperti  inilah yang dilestarikan dan dikembangkan ulama-ulama di Indonesia semenjak dahulu hingga saat ini.

    Budaya – budaya ini muncul sebagai sarana dakwah agar islam tetap eksis di tengah-tengah masyarakat disamping menambah  nilai-nilai religius dalam kehidupan mereka. “Inilah alasan mengapa para ulama melestarikan budaya ini,” lanjutnya.

    more
  • Menjawab Pertanyaan Seputar Ramadhan di FB
    Menjawab Pertanyaan Seputar Ramadhan di FB
    dari Ibu Iin Wibisono (Nur Alawiyyatul Hasanii)
    Anas Mas'udi

                Di sini saya mencoba menguraikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang pernah dilontarkan oleh bu Iin Wibisono di FB yang sempat saya baca. Jawaban ini sebatas apa yang saya pahami dari beberapa teks yang sempat saya baca dan pelajari. Jika ada kesalahan atau kekeliruan, mohon dikritik dan disharekan di sini juga. Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara laian:

    1.      Apakah Rasulullah tetap shalat tahajjud dalam bulan Ramadhan.
    Jawab. Di sini perlu dipahami terlebih dahulu istilah "qiyam al lail". Dari sisi bahasa diartikan menjalankan ibadah (shalat sunnah) di malam hari. Sementara waktu malam adalah dari maghrib (atau isya') sampai fajar (subuh). Semua shalat2 sunnah selain sunnah rowatib (qobliyah dan ba'diyah) yg dikerjakan di malam hari bisa disebut dg qiyamullail. Shalat2 malam tsb yg kita kenal antara lain shalat Tarawih (kusus dalam bulan Ramadhan), shalat Witir dan shalat Tahajjud (keduanya bisa dikerjakan di dalam dan di luar Ramadhan).

    Jika shalat tarawih hanya bisa dikerjakan dalam bulan Ramadhan saja, berarti ia bukan shalat tahajjud, ia berbeda dengan shalat tahajjud, karena shalat tahajjud bisa dikerjakan setiap malam setiap hari sampai kapan pun juga.

    Sementara hadis shahih yg diriwayatkan 'Aisyah bahwa Rasul saw hanya shalat qiyamullail 11 rakaat dalam Ramadhan dan di luar Ramadhan, dipahami oleh ulama' bahwa itu hanya sebatas shalat malam (qiyamullail) yg pernah dilihat oleh 'Aisyah. Karena diriwayatkan dalam beberapa hadis bahwa berjamah dalam shalat tarawih dan witir di masjid selama bulan Ramadhan satu bulan penuh, mulai disyari'atkannya pada masa kepemimpinan Umar Ibn al Khaththab dengan jumlah 23 rakaat (20 rakaat tarawih dan 3 witir), seraya menyatakan: "inilah sebaik bid'ah".

    Dalam sejarah, penduduk Mekah dulu mengerjakan qiyamullail di bulan Ramadhan sebanyak 23 rakaat. Sementara penduduk Madinah (di masa kepemimpinan Umar Ibn Abd. Aziz) mengerjakannya sebanyak 36 rakaat.   

    Adapun shalat witir itu merupakan jenis ibadah qiyamullail yg tersendiri. Rasul saw pernah barsabda dalam hadis yg dihukumi shahih, yg artinya : " jangan kamu melakukan shalat witir tiga rakaat (saja), hingga menyerupai jumlah rakaat shalat maghrib, tapi kerjakanlah shalat witir sejumlah lima, tujuh, Sembilan, sebelas atau lebih banyak dari itu". (HR. Ibnu Hibban, Ibnu Elmundzir, al Hakim dan al Baihaqie).

    Di sisi lain diriwayatkan: "Sholat lail itu dua rakaat-dua raka'at, bila salah seorang di antara kalian merasa khawatir waktu subuhnya masuk, maka ia melaksanakan sholat witir satu raka'at, untuk menggenapkan sholat lail yang telah ia lakukan." [HR. Bukhari dan Muslim]

    Dari hadis tsb, ulama' menghukumi makruh jika witir hanya dikerjakan satu rakaat saja, sekalipun batas minimalnya satu rakaat. Sedangkan batas maksimalnya 11 rakaat atau lebih.
    Sedangkan shalat tahajjud bagi Rasul saw diposisikan seperti shalat fardhu lima waktu. Beliau tidak pernah meninggalkannya. Kalaupun terlewatkan karena ada udzur, beliau mengqodho'nya pada waktu siang harinya (biasanya di waktu dhuha; mulai dari seperempat jam setelah matahari terbit sampai 10 menit sebelum dhuhur).

    Rasul saw bersabda: " Puasa yang paling afdhal setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Muharam (Asyura) dan sholat yang paling afdhal setelah sholat fardhu adalah sholat lail ” [HR. Muslim]
    Dalam hadis lain disebutkan: “ Adalah Nabi melaksanakan sholat qiyamullail hingga kaki beliau bengkak. Aku bertanya kepadanya, mengapa engkau melakukan ini wahai Rasulullah, sedang dosa-dosamu yang lalu dan yang akan datang telah diampuni. Beliau menjawab: “Mengapa saya tidak menjadi hamba yang bersyukur (dengan sholat ini).” [HR. Bukhori dan Muslim]

    Dalam sikon lain beliau juga pernah berkata: " Allah turun ke langit dunia setiap malam, ketika masih tersisa sepertiga malam terakhir. Allah Azza wa Jalla berfirman, 'Siapa yang berdoa kepadaKu akan Aku kabulkan, siapa yang meminta kepadaKu akan Aku berikan dan siapa yang beristigfar kepadaku Aku akan mengampuninya." [Muttafaq alaihi]

    Jadi, istilah qiyamullail itu lebih umum, yakni mencakup semua ibadah-ibadah shalat sunnah yang dikerjakan di malam hari selain sunnah rowatib (qobliyah dan ba'diyah), seperti: shalat tarawih, witir, tahajjud dll.

    Di sana ada yang berpendapat bahwa shalat witir adalah shalat "penutup malam" dan shalat tahajjud adalah shalat "pembuka malam". Dg kata lain, shalat witir biasa dilakukan sebelum tidur malam (jika dikwatirkan telat bangun sampai waktu subuh tiba. Jika yakin bisa bangun sebelum waktu subuh, sebaiknya dikerjakan setelah tidur, tapi setelah shalat tahajjud). Dan shalat tahajjud biasanya dikerjakan setelah bangun tidur, karena secara bahasa, kata "tahajjud" berarti "bangun dari tidur".  

    Mengenahi jumlah atau bilangan rakaat dalam qiyam al lail, di sini tidak perlu dipertentangkan, karena semua periwayatannya bisa diterima kebenarannya oleh ahlil ilm. Yg paling urgen adalah bagaimana kita bisa beristiqomah dalam mengerjakan qiyamullail, sekalipun hanya dua atau tiga rakaat saja dan selalu berusaha meningkatkan keikhlasan kita dalam setiap beramal dan beribadah. Wallahu A'lam bishshowab.

    2.      Bgmn hukumnya memberi makan minum org tdk berpuasa dlm bln Ramadhan (pekerja jalan).
    Jawab. Puasa dalam bulan Ramadhan adalah wajib bagi setiap Muslim yg sudah baligh (usia di mana seorang anak sudah pernah "mimpi dewasa" atau jika belum pernah "mimpi dewasa", ia sudah mencapai usia 15 tahun menurut tahun hijriyah). Jika meninggalkan kewajiban puasa dalam usia tersebut dg tanpa ada udzur syar'I (sakit, haid, nifas, melahirkan, bepergian dst), maka ia berdosa dan punya kewajiban mengqodho'nya (membayar puasa) di luar Ramadhan. Maka jika kita menemukan orang yg tidak berpuasa dg sifat2 seperti tsb di atas karena pekerjaannya, kita tidak boleh memberi makanan pada mereka waktu orang2 berpuasa. Karena itu secara tidak langsung –kuatir- akan dipahami oleh yang bersangkutan kalau tidak puasa karena pekerjaan itu diperbolehkan dalam agama. Padahal tidak demikian, kecuali dalam kondisi darurat (jika ia tdk bekerja, tdk ada nafkah buat menghidupi dirinya, anak dan isteri selama bulan Ramadhan) seseorang diperbolehkan tidak berpuasa karena pekerjaannya. Namun, soal memberi makanan pada mereka di siang hari, tetap tdk diperbolehkan, kecuali jika pekerja tersebut non muslim yg memang tampak sangat membutuhkan santunan, maka boleh memberikan makanan di siang hari pada mereka. Tp, dianjurkan utk mengkonsumsi makanannya secara sembunyi demi menghormati orang2 yg sedang berpuasa. Demikian itu karena Islam, mengajarkan utk menghormati dan menjaga jiwa setiap insan (baik muslim atau non muslim)  dari bahaya yg akan menimpanya. Wallahu A'lam bishshowab.

    3.      Bagaimana hukumnya jika imam tidak melakukan doa qunut akan tetapi makmum melakukannya atas kehendak sendiri. Apakah ini diizinkan?
    Jawab: Imam dalam shalat disebut matbu' (orang yg diikuti) dan makmum disebut tabi' (orang yg mengikuti). Makmum disebut " tabi' " karena ia berkewajiban mengikuti setiap gerak-gerik imam dalam shalatnya, kecuali jika imam salah atau lupa mengerjakan rukun shalat, maka makmum dianjurkan mengingatkan imam dg bacaan "subhanallah". Sedangkan imam disebut " matbu' " karena ia selalu menjadi panutan para makmum dalam setiap gerak-geriknya dalam shalat. Oleh karenanya dianjurkan mengangkat imam shalat dari orang yang paling paham agama di antara masyarakat yang ada di sekitarnya. Maka, jika makmum melakukan hal-hal dalam shalat dengan sendirinya, tanpa mengikuti gerakan imam (spt baca qunut sendiri di waktu imam tidak baca), bisa dihukumi batal shalatnya. Kecuali jika makmum niat mufaroqoh (niat putus berjamaah dg imam) atau mengerjakan rukun yg imam lupa mengerjakannya setelah diingatkan dg baca "subhanaallah" (seperti sudah tahiyyat/tasyahhud ahir, tp imam tetap berdiri lagi, sementara makmum menunggunya dg posisi tetap duduk tahiyyat ahir), maka shalatnya tetap sah. Wallahu A'lam bishshowab.   

    more