• MENELAAH SEJARAH DALAM BULAN MUHARRAM

    MENELAAH SEJARAH BULAN MUHARRAM
    BY: Anas El Malawy


    “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (Maksudnya ialah: bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri (Maksudnya janganlah kamu menganiaya dirimu dengan mengerjakan perbuatan yang dilarang, seperti melanggar kehormatan bulan itu dengan mengadakan peperangan) kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al Taubah: 36)


    Muharram, merupakan bulan yang sangat berpengaruh pada sejarah kehidupan umat Islam. Suatu bulan yang menjadi pembuka tahun dalam kalender Islam, Hijriah. Suatu bulan yang penuh berkat dan rahmat karena bermula dari bulan inilah –menurut dunia Islam- berlakunya segala kejadian alam ini. Bulan Muharam juga merupakan bulan yang penuh sejarah, di mana banyak peristiwa yang terjadi sebagai bukti kekuasaan dan kasih sayang Allah kepada makhluk-nya. Ia termasuk salah satu dari empat bulan yang dimuliakan Allah dalam al Qur’an (dalam surat al Taubah: 36). Ia meninggalkan banyak kenangan dan sejarah bagi umat manusia, kususnya bagi umat Islam untuk bisa ditelaah dan dipelajari dengan seksama.

    Meskipun demikian, di sana kadang timbul pertanyaan dalam benak kita, kenapa penetapan tahun dalam Islam berdasarkan hijrah Rasul Muhammad saw? Apakah karena dalam hijrah tadi terdapat sesuatu yang sangat urgen untuk dikenang? Bukankah selain hijrah masih ada beberapa peristiwa yang tidak kalah pentingnya dengan hijrah tadi? Seperti kelahiran atau wafat Rasul saw, peristiwa awal penerimaan wahyu, peristiwa Isra’ & Mi’raj yang mendatangkan perintah shalat wajib lima waktu dan itu merupakan tonggak atau tiang agama. Pun tah kalah pentingnya penaklukan kota Mekah yang sekarang menjadi pusat persatuan dan kesatuan umat Islam, kususnya di bidang ibadah, sebagaimana tercover dalam pelaksanaan ibadah haji dan masih banyak lagi beberapa peristiwa lainnya yang berpengaruh pada eksistensi Islam di muka bumi ini. Namun, kenapa harus bersandar pada hijrah Rasul Muhammad saw kalender Islam itu ditetapkan?


    Bulan Muharram Dalam Sejarah

    Tradisi penanggalan Hijriyah dirintis pada masa kekhalifahan Umar Bin Khattab RA. Untuk berbagai urusan kenegaraan dan kemasyarakatan, perlu disusun penanggalan yang seragam. Berbagai usulan muncul. Pada akhirnya disepakati, peristiwa hijrah Nabi dari Makkah menuju Madinah dijadikan tonggak perhitungan awal tahun kelender Islam.

    Dalam sejarahnya, Khalifah Umar bin Khattab (13-23 H/634-644 M) pernah menerima surat dari Gubernurnya di Bashra Abu Musa Al Asy’ari yang menyebutkan pada awal suratnya berbunyi: “……menjawab surat Tuan yang tidak tertanggal…..”. Perkataan pendek yang tampaknya tidak begitu penting telah menarik perhatian Khalifah Umar, yaitu perlunya umat Islam mempunyai penanggalan yang pasti. Maka lalu diadakan musyawarah khusus untuk menentukan kapan awal tahun baru Islam.

    Dalam musyawarah yang dihadiri oleh para ahli dari sahabat itu, timbulah beberapa macam usulan untuk menentukan kapan dimulainya tahun baru Islam. Di antara usulan tersebut terdapat: Pertama, dihitung dari peristiwa penyerangan Abrahah terhadap Ka’bah yang dikenal dengan sebutan “Amul Fiil” (tahun Gajah) dan sudah sering dipakai. Kedua, dihitung mulai turunnya wahyu pertama kepada Rasulullah SAW dalam usianya yang ke 40 tahun, beliau diangkat oleh Allah SWT sebagai Nabi dan Rasul. Ketiga, dihitung sejak wafatnya Rasululah saw, karena pada waktu itu diturunkan wahyu terakhir yang menegaskan bahwa Islam sebagai agama yang sempurna. Dan keempat, dihitung sejak hijrahnya Rasullah saw dari Makkah ke Madinah, karena Rasullah meninggalkan negeri syirik (dikuasai kafir Quraisy) menuju negeri mukmin.

    Setelah dirundingkan dengan argumentasi masing-masing, akhirnya disepakati bahwa usulan terakhir itu yang diterima, dan diumumkan oleh khalifah bahwa tahun baru Islam dimulai dari Hijrah Rasulullah Ssw dari Makkah ke Madinah.

    Menariknya, meskipun awal bulan Muharram merupakan permulaan tahun baru Hijriyah, ia bukan berarti permulaan hijrah Nabi SAW, karena hijrah beliau jatuh pada tanggal 2 Rabiul Awwal tahun ke-13 kenabian atau bertepatan dengan 14 September 622, bukan pada awal Muharram yang ketika itu jatuh pada tanggal 15 Juli 622. Antara permulaan hijrah Nabi Saw dan permulaan kalender Islam sesungguhnya terdapat jarak sekitar 62 atau 64 hari, dan antara keduanya terdapat bulan Shafar.

    Dalam kitab (buku) Tarikh Ibnu Hisyam dinyatakan bahwa keberangkatan hijrah Rasulullah dari Mekah ke Madinah pada akhir bulan Shafar, dan tiba di Madinah pada awal bulan Rabiul Awal. Jadi bukan pada tanggal 1 Muharram sebagaimana anggapan sebagian orang.

    Sedangkan penetapan Bulan Muharram sebagai awal tahun baru dalam kalender Hijriyah adalah hasil musyawarah pada zaman Khalifah Umar bin Khatthab ra tatkala mencanangkan penanggalan Islam. Pada saat itu ada yang mengusulkan Rabiul Awal sebagai awal tahun baru dan ada pula yang mengusulkan bulan Ramadhan. Namun kesepakatan yang muncul saat itu adalah bulan Muharram, dengan pertimbangan pada bulan itu telah bulat keputusan Rasulullah saw untuk hijrah pasca peristiwa Bai’atul Aqabah (ikrar Penduduk Madinah yang datang ke Mekah untuk masuk Islam), dimana terjadi bai’at 75 orang Madinah yang siap membela dan melindungi Rasulullah SAW, apabila beliau datang ke Madinah. Dengan adanya bai'at ini, Rasulullah pun melakukan persiapan untuk hijrah, dan baru dapat terealisasi pada bulan Shafar, meski ancaman maut dari orang-orang Qurais senantiasa mengintai beliau.

    Setiap datang tanggal 1 Muharram, ingatan kita terlukis kembali pada puncak perjuangan Rasululah SAW 14 abad silam. Suatu perjuangan untuk membebaskan kaum muslimin dari kezaliman dan tindakan sewenang-wenang yang menimpa mereka. Karena tindakan orang-orang kafir tersebut, semakin hari semakin meningkat ke taraf yang sangat membahayakan masa depan Islam dan kaum muslim. Dengan izin Allah SWT, Rasulullah SAW beserta para sahabatnya yang setia, meninggalkan tanah kelahirannya yang tercinta Makkah Al-Mukarramah, pindah ke negeri yang baru yaitu Yastrib.

    Kepindahan beliau dari Makkah ke Yastrib (Madinah) inilah yang disebut “hijrah”. Dan oleh Khalifah Umar bin Khattab, peristiwa besar tersebut dijadikan momentum dan starting point, pangkal tolok perjalanan sejarah Islam, dengan ucapannya: “Hijrah itu memisahkan antara yang hak dengan yang batil, karena itu jadikanlah catatan sejarah”.


    Hijrah Sebagai Penetapan Kalender Islam

    Peristiwa hijrah Rasul Muhammaha saw dan para kaum Muslimin tersebut, seyogyanya kita ambil sebagai suatu pelajaran berharga dalam kehidupan kita. Betapapun berat menegakkan agama Allah, tetapi seorang muslim tidak layak untuk mengundurkan diri untuk berperan di dalamnya.

    Dalam sejarahnya, malam itu Rasulullah SAW, akan keluar dari rumah dan sudah ditunggu orang-orang yang ingin membunuhnya. Begitu selesai melewati mereka dan beliau harus bersembunyi dahulu di sebuah goa, Tsur, masih juga dikejar oleh musuh. Namun mereka tidak berhasil dan beliau dapat meneruskan perjalanannya. Meskipun demikian pengejaran tetap dilakukan, tetapi Allah menyelamatkan beliau yang ditemani Abu Bakar hingga sampai di Madinah dengan selamat. “Allah senantiasa akan menolong hambaNya selama ia mau menolong agamaNya”.

    Perjalanan dari Mekah ke Madinah yang melewati padang pasir nan tandus dan gersang beliau lakukan demi sebuah perjuangan yang menuntut sebuah pengorbanan. Namun dibalik kesulitan ada kemudahan. Begitu tiba di Madinah, dimulailah babak baru perjuangan Islam. Perjuangan demi perjuangan beliau lakukan. Menyampaikan wahyu Allah, mendidik manusia agar menjadi masyarakat yang beradab dan terkadang harus menghadapi musuh yang tidak menginginkan akan hadirnya agama baru. Tidak jarang beliau turut serta ke medan perang untuk menyambung nyawa demi tegaknya agama Allah, hingga Islam tegak sebagai agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk dunia saat itu. Lalu sudahkah kita berbuat untuk agama kita?

    Jika dinalar dari sejarah hijrah tersebut, pemilihan hijrah sebagai titik perhitungan awal tahun jelas didasarkan pada esensi dari peristiwa hijrah itu sendiri. Yaitu, suatu gerakan umat secara kolektif untuk menuju kondisi yang lebih baik.

    Daya revolusi dengan hijrah sebagai inspirasinya, tidak mungkin terjadi jika umat tidak menyediakan ruang koreksi bagi diri sendiri. Kita bisa sepakat bahwa pertambahan usia manusia berbeda dengan usia mobil yang kian bertambah. Manusia tua tidak sama dengan mobil tua. Jika mesin secara perlahan mengalami kerusakan mekanistis, aus, berkarat, dan sebagainya, maka beda dengan manusia. Hakikat usia manusia terletak pada kesempatan untuk membentuk sikap dewasa dari masa ke masa.

    Jika asumsi tersebut bisa diterima secara kolektif, usia peradaban manusia yang kian menua harusnya menuju pada kematangan atau kedewasaan. Namun, tampaknya yang terjadi tak selalu demikian. Manusia kini memang banyak mengaku dirinya modern, namun sering alpa jika mereka adalah bagian —dan bukan penguasa— dari alam.

    Arti Muharram

    Kata Muharram, dari sisi etimologisnya diambil dari kata Arab “Harrama-Yuharrimu-Tahriiman-Muharrimun-wa-Muharramun”, yang berarti “diharamkan”. Yakni, Muharram adalah sesuatu yang dihormati / yang terhormat dan yang diharamkan (dari hal-hal yang tidak baik). Dalam sejarahnya, pada bulan Muharram ini umat Muslim diharamkan Allah untuk berperang.

    Bulan Muharram adalah salah satu dan yang pertama dari 12 bulan dalam kalender hijriah yang tercantum pada Kitabullah, sejak Allah SWT menjadikan alam semesta. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (Maksudnya ialah: bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri (Maksudnya janganlah kamu menganiaya dirimu dengan mengerjakan perbuatan yang dilarang, seperti melanggar kehormatan bulan itu dengan mengadakan peperangan) kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al Taubah: 36).

    Adapaun kata-kata hijrah (kata-kata pecahan dari kata hijrah) di dalam Al Qur`an ada lebih dari 30 tempat disebutkan. Kata-kata hijrah dirangkai dengan kata-kata “iman” dan “jihad”. Hal itu menunjukkan bahwa hijrah itu adalah suatu tingkat dalam perjuangan (jihad) yang berlandaskan kepada keimanan.

    Firman Allah SWT: “Orang-orang yang beriman, yang berhijrah dan berjihad pada jalan Allah dengan harta benda dan dirinya, lebih tinggi derajatnya pada sisi Allah, Mereka itulah orang-orang yang menang. Tuhan menyampaikan berita gembira kepada mereka dengan beroleh rahmat, ridhaNya dan surga yang di dalamnya mereka memperoleh nikmat yang abadi”. (QS. At-Taubah: 20-21).

    Derajat yang tinggi menurut Allah, merupakan penghargaan terhadap orang yang berjuang, berjihad dan berkurban. Perjuangan harus dilandasi dengan iman yang kuat dan mendalam. Jihad adalah upaya dengan sungguh-sungguh sehingga nampak jelas garis pemisah antara yang hak dan yang batil.

    Dalam mengatur siasat, bila perlu harus hijrah meninggalkan tempat sebagai pengorbanan. Dan berkurban dengan bondo bahu, pikir, lek perlu sa nyawane pisan (bil amwal wal anfus). Tiga unsur perjuangan ini tidak bisa dipisahkan. Satu dengan yang lain terjalin menjadi satu kekuatan, iman, jihad, dan hijrah.

    Tahun Baru dan Muharram
    Bagi orang yang tidak atau kurang mengerti tentang Islam, mereka juga mengadakan peringatan tahun baru dengan cara yang kurang tepat, karena bertitik tolak dari anggapan yang kurang tepat pula. Mereka yang demikian tersebut menganggap Muharram (syura) adalah bulan keramat, angker, atau naas berbahaya. Maka peringatan yang diadakan juga bermacam-macam, antara lain; begadang semalam suntuk, berjalan (pawai) semalam suntuk, mengadakan selamatan untuk “bersih desa”, mengadakan sesaji ke laut atau tempat-tempat yang dianggap keramat, mandi keramas (berendam) supaya awet muda, memandikan (marangi) pusaka seperti keris, tombak dan lain sebagainya. Demikian ini mereka lakukan karena menurut keyakinan, mereka takut celaka, takut kena musibah, dan sejenisnya. Padahal sebenarnya hal tersebut sama sekali tidak diajarkan oleh Islam, bahkan hal itu bisa mengantarkan pelakunya pada jurang kesyirikan (musyrik), na’udzu billah min dzaalik.
    Di sini, yang paling relevan untuk dilakukan adalah apa yang pernah diketengahkan oleh Amirul Mukminin, Umar Ibn Khaththab: “ Haasibuu anfusakum qabla an tuhasabuu ” (Koreksilah diri kalian, sebelum kalian semua dikoreksi (di akhirat) kelak). Dalam ungkapan itu yang dimaksud adalah seruan pada umat secara kolektif untuk introspeksi diri pada apa yang pernah dilakukan tahun-tahun sebelumnya, bukan malah berpoya-poya, berpesta-ria, ber-SEPHIA-mesra (Sabu-Ekstasi-Putaw-Heroin-Inex-Alkohol) dan ber-vulgaria bersama penjaja cinta sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang (sebagian) Barat..
    Betapa sangat terpuji dan mulia jika dana pesta, sarana dan prasana penyambutan tahun baru itu dialokasikan kepada mereka yang masih selalu menjerit kelaparan, merintih kehausan, menangis kehilangan papan (tempat tinggal), menggigil kedinginan dan yang mengerang kepanasan. Masih adakah empati kita pada mereka? Ataukah empati itu sudah tertutup dengan dinding tebal apatis dan egois kita?

    Sejarah Dalam Muharram

    Sementara dalam bulan Muharram, lebih-lebih tanggal 10 Muharram, yang disebut ‘Asyura, atau bulan Suro (sebutan Jawa) banyak menitiskan peristiwa bersejarah pada kita, kususnya apa yang pernah dialami oleh para Nabi dan Rasul Allah. Di mana pada hari itu merupakan “hari pertolongan” bagi para Nabi.

    Dalam sejarahnya, pada hari itu terdapat beberapa peristiwa besar yang sangat berpengaruh dalam sejarah eksistensi agama Tauhid (Islam), antaranya:

    Nabi Adam bertaubat kepada Allah dan dipertemukan dengan isterinya, Siti Hawa di Padang Arafah (Jabal Rahmah).

    Nabi Idris diangkat oleh Allah ke langit.

    Nabi Nuh diselamatkan Allah keluar dari perahunya sesudah bumi ditenggelamkan selama enam bulan.

    Nabi Ibrahim diselamatkan Allah dari pembakaran Raja Namrud.

    Nabi Yusuf dibebaskan dari penjara.

    Penglihatan Nabi Yaakub yang kabur dipulihkan Allah.

    Nabi Ayub dipulihkan Allah dari penyakit kulit yang dideritanya

    Nabi Yunus selamat keluar dari perut ikan paus setelah berada di dalamnya selama 40 hari 40 malam.

    Allah menurunkan kitab Taurat kepada Nabi Musa.

    Nabi Musa AS menyeberangi laut merah menyelamatkan diri dari kejaran Fir’aun.

    Nabi Sulaiman dikaruniai Allah kerajaan yang besar .

    Nabi Ayub sembuh dari sakit yang kronis.

    Nabi Muhammad SAW lepas dari racun orang-orang Yahudi.

    Terbunuh cucu Nabi Muhammad, Husain Ibn Aly ra. di bukit Karbala.


    Pada tanggal ini pula, ummat Islam dulu diwajibkan berpuasa sebelum adanya perintah wajib puasa Ramadhan. Tetapi setelah turunnya perintah puasa Ramadhan, maka puasa pada tanggal 10 Muharram menjadi sunnah. Sebagaimana dalam satu riwayat disebutkan bahwa: “Rasulullah menyuruh kita berpuasa Asyura pada tanggal 10 Muharram”. (HR Tirmidzi). Kemudian di hadits lain Rasulullah SAW meringankan puasa ‘Asyura menjadi sunnah dengan sabdanya: “Barangsiapa yang ingin puasa Asyura, maka berpuasalah dan barangsiapa yang ingin tidak berpuasa, silakan meninggalkannya”. (Al-Hadits). Karena peristiwa bersejarah yang cukup banyak terjadi pada 10 Muharram ini, maka tanggal ini dianggap sebagai tanggal yang penting. Hingga ditetapkan sebagai awal tahun dalam kelender hijriah, di samping bertendensi pada kematangan Rasulullah saw untuk bersiap-siap hijrah pada bulan itu.


    Anjuran Dalam Bulan Muharram

    Rasulullah SAW menganjurkan kepada ummatnya untuk memetik nilai-nilai rohaniah dari kejadian-kejadian tersebut dan menjadikannya hari peningkatan ibadah dan amal, yaitu dengan berpuasa pada bulan Muharram itu. Sebagaiamana dijelaskan dalam sabdanya: “Puasa pada hari Asyura menghapuskan dosa-dosa (kecil) pada setahun yang lampau”. (HR Muslim). Dalam hadis lain yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a berkata: Rasululullah saw. Bersabda: “Jika Aku masih hidup tahun depan, niscaya aku akan benar-benar berpuasa pada hari “tasua’ (9 Muharram). (HR. Muslim & Ibnu Majah), yakni demikian itu untuk membedakan kebiasaan kaum yahudi yang suka berpuasa pada tanggal 10 Muharram untuk mengenang sejarah keselamatan Nabi mereka, Musa as. Dan dijelaskan pula bahwa Rasul saw wafat terlebih dahulu sebelum menjalankan puasa di hari tasu’a (9 Muharram) tadi.

    Begitu juga dianjurkan pada hari tersebut melakukan perbuatan kebajikan, yang termasuk dalam kategori amal saleh seperti menyantuni fakir miskin, anak yatim, orang-orang lemah dan sengsara, kaum atau keluarga yang membutuhkan pertolongan dan lain-lain. Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang melapangkan (memberi) keluarganya dan ahlinya pada hari Asyura, maka Tuhan akan memberikan kelapangan padanya selama satu tahun”. (HR Baihaqi)

    Dengan memahami hadits-hadits tersebut, jelaslah bahwa hari Asyura itu adalah hari untuk beribadah dan beramal serta hari untuk merenungi sejarah. Juga sebagai hari ‘inayatullah (pertolongan Allah), bertaubat, dan minta pertolongan Allah, kususnya mulai tanggal 1 hingga 10 Muharram. Rasulullah SAW mulai mengerjakan puasa ‘Asyura sesudah hijrah ke kota Madinah dan sebelum turun ayat mewajibkan puasa Ramadhan.

    Dalam suatu riwayat, Said bin Jubair dari Abbas RA, ketika Nabi SAW baru hijrah ke Madinah mendapati kaum Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura. Maka beliau bertanya kepada mereka tentang hal itu, jawab mereka “Hari ini Allah memenangkan Musa dan Bani Israil terhadap Fir’aun dan kaumnya, maka kami puasa karena menganggungkan hari ini”. maka Nabi pun bersabda: “Kami lebih layak mengikuti jejak Nabi Musa dai pada kamu”.


    Penutup

    Setelah membaca sejarah Muharram yang penulis suguhkan di atas, setidaknya ada beberapa hikmah yang dapat dipetik untuk dijadikan cermin kehidupan kita sehari-hari. Hiruk-pikuk dan zig-zag yang beraneka macam sangat sulit kita lalui tanpa ada cermin yang menuntun.

    Di antaranya kita bisa mengatakan bahwa usaha dan tawakal merupakan kunci sukses dalam mengarungi hidup di dunia ini. Demikian digambarkan Rasul saw bersama Abu Bakar RA saat bersembunyi di Gua Tsur dan para pengejar mereka telah berdiri di mulut gua tersebut, Abu Bakar RA sangat gentar dan gusar. Rasulullah SAW menenangkannya sambil berkata: “jangan kuatir dan jangan bersedih. Sesungguhnya Allah bersama kita”. (Al Hadits). Usaha mereka berangkat di tengah malam dan selalu bertawakal kepada Allah akhirnya berhasil terhindar dari bahaya dari para pengejar yang hendak membunuhnya itu.

    Dalam melaksanakan hijrah sendiri, segala bentuk pengorbanan akan sia-sia dan tidak mendapat pahala di sisi Allah jika tidak dilandasi oleh perasaan ikhlas karena Allah (lillah). Hal ini sempat terekam ketika di antara para sahabat yang ikut berhijrah itu bukan karena Allah, tetapi karena hendak kawin dengan seorang wanita bernama ‘Ummu Qais di Madinah. Hal itu diketahui oleh sebagian sahabat. Sesudah sampai di Madinah, ada orang yang bertanya kepada Rasululah: “Dapatkah pahala orang yang hijrah karena hendak kawin?” Maka sabda Rasulullah: “Tidak diterima amal-amal, melainkan menurut niat. Dan seorang tidak akan dapat melainkan apa yang dia niatkan. Oleh sebab itu, barangsiapa hijrah karena Allah da RasulNya, maka ia akan dapat pahala hijrah karena Allah dan RasulNya, dan barangsiapa hijrahnya karena dunia, maka ia akan dapat keuntungan dunia itu atau hijrahnya karena wanita, maka ia akan berkawin dengan dia. Maka (pendeknya pahala) hijrahnya itu menurut niat, karena apa ia berhijrah”. (HR. Jama’ah)
    Hijrah Rasulullah SAW dan para sahabatnya juga membawa arti tersendiri dalam mempererat ukhuwah islamiyah antara orang-orang yang hijrah dari Makkah ke Madinah (muhajirin) dan orang-orang penduduk asli Madinah yang menolong perjuangan Islam (Anshar).

    Keharmonisan hubungan antara kedua kelompok tersebut begitu mesra terbina, seakan-akan semuanya saudara yang telah lama kenal. Kaum Anshar dengan segala keikhlasan memberikan segala macam bantuan bagi Muhajirin yang telah meninggalkan harta bendanya di Mekkah. Muhajirin pun ikut bersama membangun Madinah di bawah pimpinan Rasulullah Saw.

    Di sana ada juga Pengorbanan dan Keyakinan (dalam ibadah; hijrah) yang tergambar dalam jasa Ali bin Abi Thalib, yaitu ketika beliau tanpa ragu menyanggupi untuk menggantikan Nabi agar tetap berada didalam rumah, bahkan beliau kemudian tidur dan mengenakan sorban Nabi. Sungguh sebuah pengorbanan yang sangat heroik dimana Ali yang ketika itu masih seorang pemuda, rela untuk menjadi tameng bagi kelangsungan hidup Rasulnya, yang berarti pula kelangsungan dakwah Islam.

    Nilai ini juga ditunjukan oleh Abu Bakar as Shidiq, yakni ketika beliau berkata “ Biar saya yang masuk kedalam gua (Tsur) dulu, kalau ada binatang buas atau binatang berbisa di dalam sana, saya rela mati, biar anda meneruskan perjuangan dan dakwah anda”. Sebuah epik kepahlawanan dan pengorbanan yang luar biasa. Kemudian dalam sebuah cerita benar Abu Bakar digigit ular berbisa, namun atas kehendak Allah, beliau selamat dalam peristiwa itu.

    Adanya upaya bagaimana menciptakan kondisi yang kondusif dalam lingkingan, agar masyarakat bisa hidup dengn aman dan sentosa, damai dan sejahtera, beretika dan beradab. Demikian tergambar dalam waktu sampainya di tempat yang baru (Madinah). Di mana Nabi mengganti nama “Yatsrib” (Mengecam) menjadi “Madinah” (Kota Peradaban).

    Ini mencerminkan bahwa sebuah proses keberhasilan tidak akan dicapai ketika orang-orang yang berada di dalamnya saling mengecam satu sama lain, kritik yang tidak konstruktif, asal ganti dan lebih mementingkan kepentingan golongan dan pribadinya semata.

    Penggantian nama Yatsrib menjadi Madinah menyimbolkan bahwa keberhasilan hanya akan dicapai dalam tata kehidupan yang beradab, ada sopan santun dan etika ketika hendak menyampaikan pendapat, kritik dan masukan, ada tata aturan yang mesti dipenuhi oleh orang-orang beradab. Kemudian dibuktikan dalam sejarah masa kini, bahwa -di manapun- tidak akan pernah bisa mencapai keberhasilan, ketika individu-individu yang terlibat dalam proses itu saling mengecam, bahkan tak jarang menyebarkan fitnah-fitnah keji. Sebaliknya, sebuah kondisi yang “beradab”, yang berdasarkan tata aturan dan norma kesusilaan-lah yang mengantar sebuah bangsa, sebuah kelompok atau apapun untuk mencapai keberhasilannya.

    Jika dicermati dengan seksama, akan kita temui bahwa hijrah Rasul saw mempunyai banyak kelebihan dan pengaruh besar dalam eksisitensi agama Islam ini. Hingga pantas hijrah rasul dijadikan patokan penetapan kalender Islam. Sebab, peristiwa-peristiwa penting bersejarah yang lainnya, hampir semuanya terkandung dalam peristiwa hijrah Rasul saw. Misalkan peristiwa Isra’ & Mi’raj ysng mendapat perintah shalat wajib lima waktu, datang setelah + dua tahun dari hijrah, peristiwa penaklukan kota Mekah, terjadi setelah hijrah, pun wafatnya Rasul saw terjadi setelah hijrah.

    Sedangkan peristiwa kelahiran Nabi saw, di sana beliu belum bisa diketahui kalau kelak akan menjadi rasul, hingga kelahirannya pun tidak jauh beda dengan kelahiran bayi lainnya. Awal wahyu turun, jika dijadikan patokan kalender, sangat memungkinkan sekali akn menimbulkan banyak hal, karena peristiwa tersebut dimulai dengan cara “berkhulwah” (bertapa/ semedi). Di mana hal itu sering pula dilakukan kebanyakan orang Jahiliah, dan sebagainya.

    Masih ada beberapa nilai lain yang terkandung dalam peristiwa Hijrah yang tidak terekam oleh ingatan penulis, mungkin bisa ditambahkan dan diluruskan untuk yang tidak benar dalam tulisan ini. Semoga tahun baru Islam, Muharram 1429 ini, kita semua umat Islam dapat mengambil hikmah yang banyak terkandung dari sejarah hijrah tadi.




    Refrensi

    Al Quran al Karim.

    Fathul Qarib Ala Tahdzibit targhib wat Tarhib. Syekh sayyid Alwy iIn Abbas al Maliki al Husaini. Cet.5/2000 M. Makkah al Mukarramah.

    Al Kaamil fit Tarikh. Ibnu Atsir.

    Tahdzib Sirah Ibn Hisyam.

    Refleksi Muharram 1428H. Casnadi. 22 Januari 2007M.

    Muharram Dan Spirit Perubahan. Ahmad Musthofa Haroen. Peneliti pada Centre for Studies of Religion and Culture (CSRC).

    “Muharram” dalam (tri/www.republika.co.id). Jum’at 26 Januari 2007M.

    “Muharram untuk Perubahan”. Ahmad Musthofa Haroen. 09 Januari 2008M

    www.ensiklopedia.com.

0 comments:

Leave a Reply

Monggo dikomentari ...