• من يخاف السّقوط لن يقوم أبدا

    (Siapa Yang Takut Jatuh, Tidak Akan Pernah Berdiri Selamanya)
    by: Anas Mas’udy El Malawy El Pasuruani




    Hari Selasa tgl 1 Januari 2008M merupakan hari yang sangat bersejarah bagi hidupku. Hari di mana pertama kali aku menguji mentalku untuk berbicara di depan para Mahasiswa kelas Internasional di Kuliah Dakwah Islamiah (KDI) Triply- Libya dengan berbahasa Arab. Hari pertama aku menjadi Penyaji makalah dalam sebuah seminar yang diadakan oleh para Mahasiswa tingkat ahir KDI dari empat jurusan yang ada (Al Quran wa Ulumihi-Bahasa & Sastranya- Budaya & Peradaban-Ekonomy & Komputer). Hari yang pernah aku bayangkan saat menghadiri acara “muhadharah” (hampir sejenis seminar) yang disampaikan oleh Prof. Dr. Abu Zaid al Muqry al Idrisy al Maghribi dengan tema “Al Madkhal Ila Mauqif al Quran al Karim Min al Akhar” (Sebuah Pendahuluan Tentang Posisi Al Qur’an Dari Persepsi Orang non Muslim). Di mana saat itu aku berkata dalam hati “mudah-mudahan suatu hari nanti aku bisa duduk di depan seperti beliau saat ini”. Ternyata suara hati tersebut terjawab pada hari Selasa kemarin bertepatan dengan awal tahun baru. Betapa awal tahun yang sangat cerah dan cemerlang serta bersejarah bagiku.



    Pada hari itu hujan turun dari sebelum Subuh sampai pagi, siang, sore tak kunjung reda. Panitia sempat dibikin panik dengan suasana dan cuaca yang kurang mendukung untuk diadakan sebuah acara. Angin dan udara dingin menghebus begitu kuat hingga menembus pori-pori paling dalam. Cuaca saat itu memang sangat pas dipakai untuk istirahat di dalam kamar sambil tidur-tiduran dengerin musik atau baca novel cintanya kang Abiek (Habiburrahman) “Ketika Cinta Bertasbih I”.



    Namun panitia acara telah menyepakati dan memutuskan untuk menempatkan acara seminar tadi di hari Selasa itu, pun karena pengumuman dah terlanjur menyebar dan menempel di beberapa tempat, ditambah lagi sulitnya administrasi KDI, dengan harap-cemas panitia acara tetap menunggu para hadirin yang mau datang.


    Acara seminar tersebut dalam agendanya akan dimulai setelah Isya’. Biasanya para Mahasiswa yang ikut berjamaah shalat di Masjid, jika ada acara-acara semacam ini, langsung menuju ke Mudarraj Dr Ahmad Khalify (aula buat acara-acara seminar dan semisalnya). Namun malam itu, tidak ada satupun mahasiswa yang datang dari arah masjid menuju aula. Padahal sudah jam sembilan (3/4 jam setelah isya’). Yang datang selain panitia hanya dua gelintir manusia yang tampak kedinginan, karena memang malam itu langit masih senang meneteskan tangis berkahnya ke bumi walaupun hanya rintik-rintik. Selain dua orang tadi, telah datang pula Ust. Muhamamd Imam, salah seorang dosen KDI yang membawahi acara-acara kemahsiswaan di kampus bersama kru TV Tawassul punya Jam’iyyah Dakwah Islamiah (JDI).


    Saat aku datang, nampak ustadz Imam lagi ngobrol dengan seorang mahasiswa dari Nigeria yang kebetulan ia yang bertanggung jawab keberlangsungan acara seminar ini. Rupanya mereka berdua lagi memperbincangkan acara seminar. Kemudian aku datang menyalami bereka berdua. Assalamu’alaikum Ustadz! Waalaikumussalam, jawab ustadz sambil mengambil payung yang barusan aku pake dengan bercanda mau memukulkan payung itu ke aku. Lantas Ibrahim, mahasiwa Nigeria itu memperkenalkan aku pada ustadz (sebenarnya sudah kenal) sebagai salah satu pemegang makalah seminar. Ini ustadz Anas yang mewakili syu’bah al Qur’an, katanya. Kamu …! Tegas ustadz, seolah-olah rada tidak percaya kalau aku yang akan menyampekan makalah dalam seminar. Pasalnya beliau sudah tahu kalau aku di kelas jarang tanya atau komentar saat ustadz Imam menerangkan materi “Din Muqarin” (perbandingan agama).


    Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan lebih seper empat, namun mahasiswa yang datang masih sangat sedikit sekali. Aku kan tadi sore sudah bilang kalau acaranya ditunda di lain hari saja, tapi ketua lajnah kalian tidak mau. Lihat sekarang kenyataannya. Mana yang hadir? Kata Ustadz pada kami yang masih bermaksud untuk memending acara di lain hari. Ustadz minimal tahun empat banyak yang hadir cukup, ustadz. Soalnya tidak waktu lagi, jawab Ibrahim berusaha memantapkan ustadz kalau mahasiswa akan hadir walaupun beberapa orang saja.


    Muhammad….(panggilan akrab ustdz Moch. Imam oleh temannya) taah hene (sini kamu)… panggil salah satu kru Tawassul kepada ustadz. Ahirnya ustadz menghampirinya. Tidak lama kemudian ustadz datang lagi ke kami. Sudah lah ayo semuanya masuk! Kita mulai saja…! Pintanya pada kami. Ahirnya kami masuk, dan di dalam sudah ada beberapa masiswa (mungkin sekitar 50-60 orang) saja. Pun tampak beberapa (sekitar 10 orang) mahasiswi turut hadir. Namun, ternyata mahsisiwi tersebut semuanya dari indonesia, sedangkan mahasiswi lainnya tidak ada yang hadir.


    Setelah masuk, ustadz berembuk acara dengan Ibrahim dan Syekh kabir (ketua lajnah th empat). Dan tidak lama kemudian ustadz meminta para Muhadir (pemakalah) dari masing-masing syu’bah untuk naik ke panggung acara. Mereka bertiga adalah Muhammad Sangkary dari Burkinafaso, delegasi dari jurusan Bahasa Arab & Sastra, Musa Koroma dari Ghnia Kunakri, delegasi dari jurusan Budaya & Peradaban. Sedangkan dari jurusan Al Quran adalah Anas Mas’udi (aku sendiri) dari Indonesia.


    Muhammad Sangkar mengangkat tema yang berjudul “Bahaya Media Informatika Terhadap Pemuda Muslim”. Musa koroma memlih judul “Perang Pemikiran & Dampaknya Terhadap Pemuda Islam. Nah, aku sendiri mengambil tema yang ringan-ringan saja, berjudul “Pemuda Adalah Anak Zaman, Bagaimana Menurut Anda?”.


    Acara pun dimulai oleh ustadz Imam. Baru kemudian masing-masing Muhadhir diberi waktu kurang lebih 20 menit untuk menyajikan makalahnya. Kebetulan bagian pertama adalah aku. Dengan rada grogi plus sedikit gemetaran, aku mulai menyampaikan makalahku dengan nada tinggi bak dai kondang lagi ceramah. Aku sengaja pake gaya ceramah dan nada tinggi karena untuk menghilangkan grogiku tadi. Dan alhamdulillah, kurang lebih 25 menit makalah baru selesai aku sajikan yang disambut dengan tepuk tangan hadirin.


    Persiapan Seminar

    Kurang lebih tiga minggu sebelum acara, Ibrahim Nigeria bilang padaku bahwa aku diminta lajnah untuk mengisi muhadharah. Namun, saat itu aku sempat menolak. Kenapa harus aku? Tanyaku pada Ibrahim. Apa alasan kalian milih aku? Dalam kelas kita masih banyak yang lebih mampu dari aku, jelasku pada Ibrahim untuk menolak permintaannya. Seperti Moh. Jamil Kakandi (mahasiswa dari Uganda), Moch. Syu’aib Samy (mahasiswa dari Tanzania), Husain (dari Nigeria) atau kamu sendiri, paksaku pada Ibrahim agar mencara orang lain untuk mengisi acara muhadharah tahun empat. Ini sudah lajnah nas, pinta Ibrahim. Kemarin kita rapat dan memutuskan untuk memilih kamu sebagai delegasi dari jurusan Al Qur’an.


    Aku diam sejenak sambil mikir-mikir rada takut dan grogi membayangkan jika berbicara di depan orang banyak. Mau ya Nas? Pinta Ibrahim membubarkan bayangan pikiranku. Cobalah cari yang dulu, ntar kalau tidak ada, insyaallah aku usahakan siap. Sejak itu aku mulai berpikir, kira-kira apa judul yang tepat dengan topik yang diangkat, yakni “Pamuda Islam & Tantangan Zaman Modern”.


    Setiap kali aku pergi ngenet, hampir bisa dipastikan aku googling “kenakalan remaja”, “anak zaman”, “kekerasan zaman” dll. Semua artikel tentang pemuda dan zaman yang aku temui di internet aku copy. Dari penelusuran tersebut, ahirnya terlintas dalam benak sebuah judul yang rencananya aku pilih nantinya jika Ibrahim benar-benar menemukan penggantiku atau bahkan sengaja tidak mencari orang lain. Adalah tema yang berjudul “Pemuda Adalah Anak Zaman, Bagaimana Pendapat Anda?”.


    Seminggu kemudian (dari penawaran). Gimana syekh? Dah nemu belum penggantiku nanti? Tanyaku pada Ibrahim. Belum ada Nas, jawabnya. Dari sini, lantas aku mulai menulis judul pilihanku tadi. Baca sini, baca sana. Buka artikel ini dan itu. Ahirnya, seminggunya lagi tulisanku selesai, tapi masih berantakan belum terkoreksi.


    Sejak ada penawaran untuk mengisi muhadharah tadi, hatiku selalu bertanya-tanya “mampukah aku nanti untuk tampil, jika Ibrahim tidak menemukan gantiku”. Aku sangat pesimis sekali pada hari-hari tersebut. Aku merasa belum begitu cakap berbahasa Arab. Aku suka grogi saat bicara di depan umum. Perihal perasaan seperti aku ceritakan ke teman-teman dekatku dengan maksud mencari solusi.


    Dari satu teman ke lainnya, aku berusaha mencari kepercayaan diriku melalui nasehat dan petunjuk mereka. Ahir, aku menemukan teori yang sangat jitu bagiku dan benar-benar membuat aku bisa jadi PD (percaya diri) saat berbicara di depan umum. Adalah sebuah perinsip yang aku dapat dari teman sekamarku sendiri, Said Ulalikan Isma’il, salah seorang penyair KDI dari Nigeria. Yaitu “Man Yakhoofu al Suquuth Lan Yaquuma Abadan” (Siapa yang takut jatuh, tidak akan pernah bisa berdiri selamanya).


    Dari perinsip itulah, aku tanam dan aku pupuk rasa percaya diri dalam jiwaku. Manusia, jika ingin maju harus berani mencoba sesuatu yang baru yang bermanafaat. Jangan ragu dan malu selama apa yang dikerjakan benar dan bermanfaat. Sebagaimana pepatah berkata “Cobalah apa yang ada di depanmu! Niscaya anda akan tahu apa itu sebenarnya”.

0 comments:

Leave a Reply

Monggo dikomentari ...