• EKSISTENSI FIKIH

    DALAM SEJARAH DAN TANTANGAN ZAMAN

    By: Anas Mas’udi

    Di berbagai pesantren salaf di Indonesia, khususnya di Jawa, fikih merupakan satu disiplin ilmu yang paling diminati dan sangat popular. Seorang santri rela mendekam bertahun tahun, bahkan puluhan tahun, di pesan­tren dengan konsekuensi jadi bujang lapuk untuk mendalami ilmu yang satu ini. Ia tidak akan berani pulang kampung sebelum tuntas mengkaji secara men­­da­lam kitab-kitab fiqh standar madzhab Syafi'i.

    Secara implisit bisa di­pahami, bahwa disiplin ilmu yang paling dituntut untuk dikaji dan didalami oleh seorang kyai adalah ilmu fiqh. Dengan gelar (K.H.) bukan berarti ia bebas ongkang-ongkang kaki saja. Ia harus terus belajar. Hal ini terjadi karena, ia kuatir ilmu fiqh-nya kalah canggih sama santri-santrinya yang makin lama tambah kritis.

    Dengan adanya era globalisasi dan hi-tech permasalahan di seputar fiqh-pun semakin berkembang dan bertambah ruwet. Masyarakat di pedesaan menjadi semakin maju dan kritis. Seiring dengan ini kyai-pun harus mengikuti mainstream informasi kontemporer serta mengaitkannya dengan metode fiqh (ushul fiqh) dalam upaya untuk memberikan atau menawarkan solusi fiqh yang memuaskan kepada masyarakat. Sebab kalau tidak responsif terhadap masalah-masalah fiqh yang berkembang, tentu hal ini akan mengurangi respek masyarakat.

    Fiqh begitu signifikan bagi kehidupan umat. Hal ini terjadi karena fiqh merupakan piranti pokok yang mengatur secara detil perilaku kehidupan umat selama setiap dua puluh empat jam secara continue. Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa fiqh adalah Islam kecil. Sedang Islam itu sendiri sebagai fiqh besar dalam konteks bahwa Islam sebagai the way of life para pemeluknya.



    Pengertian Fikih

    Fikih pada mulanya mempunyai arti lebih luas dari yang umumnya dipahami saat ini. Semula, sesuai dengan arti lughawi-nya, fikih bermakna al fahmu, paham atau mengetahui. Memahami atau mengetahui baik yang berkaitan dengan urusan tauhid / teologi, tasawuf / akhlak, maupun hukum.

    Kata "fiqh" sebenarnya berasal dari kata bahasa Arab, yaitu bentuk masdar (verbal noun) dari akar kata bentuk madhi (past tense) faquha yang secara etimologis berarti mengerti, mengetahui, memahami dan menuntut ilmu. Kata fiqh juga dianggap sinonim dengan kata ilmu.
    Namun, kemudian akibat perkembangan ilmu dan pergumulan pemikiran, fikih menciut artinya dari yang semula mencakup aspek teologis, akhlak dan hukum, kepada perihal hukum saja. Akibatnya, fikih lebih bernuansa legal-formal, daripada etis atau sosial. Sebab, sifat hukum adalah mengikat/memaksa. Inilah kemudian yang menyebabkan fikih terkesan rigid, kaku, tidak fleksibel. Dalam arti fikih kehilangan wawasan etisnya.

    Dalam Al-Qur'an terdapat 20 ayat yang memakai kata ini dengan pengertian makna literal yang berbeda-beda tersebut. Namun ada satu ayat yang memiliki konotasi bahwa fiqh adalah ilmu agama yakni pada QS. 9: 122. Tetapi pengertian ilmu agama pada ayat ini masih sangat luas, meliputi berbagai ilmu agama secara umum. Ia bisa berarti ilmu tasawwuf atau sufisme (tariqat) sebagaimana yang dikatakan ahli sufi Farqad (wafat 131 hijriah) pada Hasan Al-Bashri (w. 110 h.). Fiqh dapat juga berarti ilmu kalam (tauhid atau teologi), dan sebagainya.

    Dari sini bisa dipahami bahwa pada awal perkembangan Islam, kata "fiqh" belum bermakna spesifik sebagai ilmu hukum Islam yang mengatur pelaksanaan ibada-ibadah ritual, yang menguraikan tentang detail perilaku Muslim dan kaitannya dengan lima prinsip pokok (wajib, sunnah, haram, makruh, mubah), serta yang membahas tentang hukum-hukum kemasyarakat (muamalat). Hal ini bisa dimaklumi mengingat pada waktu itu para Sahabat Nabi tidak atau belum membutuhkan suatu piranti ilmu tertentu untuk mengatur kehidupan mereka. Mereka tinggal melihat dan mencontoh perilaku sehari-hari kehidupan Nabi, sebab pada beliaulah terletak wujud paling ideal Islam. Para Sahabat Nabi dapat menikmati secara live implementasi paling pas dan utuh peri kehidupan Islami; dari cara berwudlu, shalat, puasa, haji, berinteraksi dengan tetangga, dengan sesama Muslim, sampai pada hal-hal yang bersifat bisnis dan politis.



    Sejarah Dan Perkembangan Fikih

    Pada awal perkembangan Islam, khususnya pada era Nabi, Islam belum menyebar secara luas dan cepat seperti pada dekade-dekade berikutnya. Sehingga persoalan-persoalan hukum baru, belum muncul dan dengan demikian perbedaan pendapat pun belum mencuat ke permukaan.

    Setelah Nabi wafat, para sahabat menyebar ke berbagai penjuru dunia Islam. Banyak dari mereka yang kemudian menempati posisi sebagai intelektual dan pemimpin agama. Di daerah-daerah baru Islam ini, persoalan-persoalan baru mulai bermunculan. Namun demikian, para Sahabat berusaha sebaik-baiknya (ijtihad) untuk memberi keputusan legal agama berdasarkan pada Al-Qur'an dan Sunnah atau Hadits Nabi.

    Di sini, perbedaan pendapat antara opini Sahabat di satu daerah dengan opini Sahabat di daerah lain mulai mencuat. Seperti perbedan yang terjadi antara Sahabat Ibnu Abbas dengan Ibnu Mas'ud tentang masalah riba. Juga antara Sahabat Umar Ibnu Khattab dengan Zayd Ibnu Tsabit tentang arti qur'u untuk masa menunggu (Arab, Iddah) bagi istri yang dicerai. Kendatipun begitu perbedaan-perbedaan tersebut tidak keluar dari spirit Al-Qur'an dan sunnah.

    Pada masa generasi sesudah Sahabat atau lebih populer dengan istilah Tabiin, timbullah tiga divisi besar secara geografis di dunia Islam, yaitu Irak, Hijaz dan Siria. Di mana masing-masing mempunyai aktivitas legal yang independen.

    Di Irak kemudian terdapat dua golongan fiqh, yaitu di Basrah dan Kufah. Di Syria aktivitas hukumnya tidak begitu dikenal kecuali lewat karya-karya Abu Yusuf. Sedangkan di Hijaz terdapat dua pusat aktivitas hukum yang sangat menonjol, yaitu di Makkah dan Madinah. Di antara keduanya, Madinah lebih terkenal dan menjadi pelopor dalam perkembangan hukum Islam di Hijaz.

    Malik bin Anas atau Imam Malik (w.179 h./795 m.) pendiri madzhab Maliki adalah eksponen terakhir dari ahli hukum Islam golongan Madinah. Sedangkan dari kalangan ahli fiqh Kufah terdapat nama Abu Hanifah.

    Beberapa tahun kemudian muncullah nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i (w.204 h/ 820 m.) atau Imam Syafi'i pendiri madzhab Syafi'iah yang merupakan salah satu murid Imam Malik.

    Kemudian muncullah nama Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal (w.241 h./ 855 m.), atau Imam Hambali, pendiri madzhab Hanabalah. Beliau adalah murid Imam Syafi'i.

    Pada saat munculnya empat pendiri madzhab fiqh dan kumpulan hasil-hasil karya mereka inilah, diperkirakan istilah fiqh dipakai secara spesifik sebagai satu disiplin ilmu hukum Islam sistematis, yang dipelajari secara khusus sebagaimana dibutuhkannya spesialisasi untuk mendalami disiplin-disiplin ilmu yang lain.

    Setelah tahun 241 hijriah atau 855 masehi, yaitu tahun wafatnya pendiri madzhab fiqh terakhir, Imam Hanbali, maka berakhir pulalah era para pakar hukum Islam yang independen (mujtahid mutlaq). Secara factual, para ahli fiqh setelah itu cukup berafiliasi pada salah satu metode pengambilan hukum (ushul fiqh) yang ditetapkan oleh Imam madzhab yang empat di atas.

    Pada saat yang sama kompilasi serta studi kritis terhadap hadits-hadits Nabi mulai mendapatkan momentum. Dari sini muncullah nama-nama perawi (pengumpul) Hadits terkenal seperti Abu Abdullah Muhammad Abu Ismail al-Bukhari atau Imam Bukhari (w.256 h.), Muslim Ibn al-Hajjaj atau Imam Muslim (w.261 h.), Tirmidzi (w.279 h.), Abu Dawud (w.279 h.), Ibnu Majah (w.273), Nasa'i (w.303 h.).

    Kumpulan Hadits-hadits mereka terkenal dengan sebutan al Kutub as-Sittah atau Enam Kitab Kumpulan Hadits-hadits Nabi. Enam kodifikasi Hadits ini oleh para pakar fiqh pasca Imam Madzhab yang empat diambil sebagai salah satu sumber rujukan utama di dalam membuat aktivitas hukum Islam.

    Pada prinsipnya keempat madzhab fikih (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali) secara substantif tidaklah berbeda, yang berbeda satu sama lain hanya menyangkut hal-hal detil (furu'). Kesamaan substan­tif ini terutama berkaitan dengan sumber-sumber hukum yang mereka pakai dalam melak­sanakan aktivitas hukum­nya, yaitu al-Qur'an, al-Hadits, Ijma' (konsensus ulama) dan Qiyas (analogi). Sumber hukum yang keempat ini akan diberlakukan apabila terjadi suatu kasus yang solusinya tidak ditemukan dalam sumber hukum yang tiga.

    Berdasarkan keempat sumber hukum inilah para pakar hukum Islam atau pakar ahli fikih menetapkan keputusan-keputusan hukum yang senantiasa berkembang selaras dengan perkembangan zaman. Dari sini, muncullah ratusan bahkan ribuan kitab-buku tentang hukum Islam atau fikih sebagai antisipasi serta respon ahli fikih terhadap persoalan-persoalan hukum pada masing-masing zamannya.

    Dari kalangan madzhab Syafi'i (madzhab yang dianut oleh mayoritas umat Islam Indonesia), terbit ratusan bahkan ribuan buku fikih, hasil karya ulama-ulama fikih terdahulu. Kitab-kitab ini yang di kalangan pesantren di sebut kitab kuning menjadi pokok kajian para santri di pesantren salaf, sebagaimana telah disinggung pada awal tulisan ini.

    Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan ilmu fikih terbagi dalam empat periode. Periode pertama dimulai dari hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah (622 m.) dan berakhir ketika beliau wafat (632/634 m.). Periode ini merupakan masa legislative Islam, di mana prinsip-prinsip hukum Islam telah ditanam oleh Tuhan melalui al-Qur'an dan hadits Nabi.

    Periode kedua sejak wafatnya Nabi (pada awal munculnya fikih empat madzhab), meliputi masa Sahabat dan Tabi'in. Periode ketiga, pada abad kedua dan ketiga hijrah, ditandai dengan munculnya studi-studi ilmu hukum Islam secara teoritis dan sistematis yang mengarah pada tegaknya empat madzhab Sunni yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Pada periode inilah istilah "fikih" menjadi spesifik untuk ilmu hukum Islam, dan pada era ini pula istilah Syariah mulai diidentikkan dengan fikih.

    Periode keempat bermula dari abad keempat hijrah sampai sekarang. Para ahli fikih mulai sibuk mengembangkan metode pengambilan hukum hasil karya para pendiri madzhab yang empat dan tidak lagi memakai metode-metode hukum yang independen dalam segala aktivitas hukumnya.



    Fikih Dalam Wacana Kontemporer

    Zaman terus berubah dan berkembang. Kini, eksistensi kitab kuning dalam sorotan. Di satu sisi, ia tetap menjadi materi wajib bagi umat Islam tradisional (baca: santri-pesantren) dalam menjawab berbagai macam problematika kehidupan umat Islam. Mereka (sepertinya) meyakini bahwa semua permasalahan umat masih bisa dijawab oleh khazanah-khazanah klasik itu.

    Di sisi lain, kelompok Islam modernis (liberalis) justeru setengah hati dengan kitab kuning. Bagi mereka, tidak semua permasalahan di zaman serba mesin ini mampu dijawab dan direspon oleh kitab yang dikarang pada ratusan tahun yang silam, ketika zaman masih sederhana. Oleh karenanya, kata kelompok terakhir, diperlukan kajian atau bahkan ijtihad baru, karena kitab kuning lahir dan tercipta untuk menjawab permasalahan di masanya, sedangkan al-hukmu yaduru ma'a illatihi: wujudan wa adaman.

    Kalangan pesantren seakan enggan bersinggungan dengan kitab-kitab fiqh kontemporer. Sebaliknya, kelompok modernis juga merasa gengsi mengkaji kitab klasik. Kesenjangan pun ahirnya lahir. Siapa yang benar dan siapa yang salah? Tak mudah mencari jawabnya. Masing-masing mereka tak sepenuhnya salah. Yang salah di sini adalah sifat ekstrem dalam keduanya. Yang salah adalah mereka yang menganggap kitab kuning adalah sabda agama yang sakralitasnya nyaris menyamai al-Qur'an, sehingga tidak perlu digugat dan diper­masalahkan keabsahannya. Maka, ketika kitab kuning sudah berbicara, ia seakan menjadi konsensus dari semua permasalahan. Kelompok ini cenderung berpikir hitam-putih serta halal-haram. Mereka seakan lupa (atau memang pura-pura lupa) bahwa kitab kuning yang menjadi simbol kebangggan mereka, dikarang sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi pada waktu itu.

    Di lain pihak, kalangan Islam liberal (mungkin) terlalu kebablasan dalam menolak karangan ulama salaf. Mereka beranggapan bahwa hukum adalah milik akal, sehingga setiap orang mampu membuat dan mencetak hukum asalkan masih berpijak pada maslahah-mafsadah (dalam persepsi otak mereka sendiri). Kelompok ini juga berpandangan bahwa ulama-ulama dulu juga manusia biasa yang karangannya masih perlu dikritisi dan dikaji ulang, sehingga diperlukan ijtihad baru yang lebih toleran dan elegan. Mereka menganggap bahwa semua orang berhak berijtihad sesuai dengan kehendaknya. Toh, kata mereka, jika ternyata ijtihadnya salah masih mendapat satu pahala.

    Pertanyaan selanjutnya adalah, Seberapa pantaskah mereka melakukan ijtihad? Sudah cukupkah kapasitas keilmuan mereka untuk mengkaji hukum agama dari sumber aslinya? Ijtihad bukan barang murahan yang bisa dilakukan oleh siapapun. Ada banyak kriteria yang harus dipenuhi oleh calon mujtahid.

    Di sana diperlukan kearifan untuk menjembatani kesenjangan yang terjadi, misalnya kalangan pesantren sudah mau membuka diri untuk mengenal dan mengkaji fiqih kontemporer serta melepas baju fanatisme yang berlebihan terhadap eksistensi kitab kuning, karena walau bagaimanapun kitab kuning tidak bisa dipaksa untuk menjawab semua permasalahan global.

    Dalam hal ini, langkah strategis telah ditempuh oleh pesantren dengan melakukan istinbat jama'i (sistem penggalian hukum secara kolektif). Kiranya, istinbat jama'i ini menjadi solusi alternatif untuk mensiasati dan menjembatani kesenjangan-dalam satu sisi dan membuka kran pemikiran kaum pesantren dalam menjawab problematiaka sosial -di sisi yang lain- walaupun harus tetap berpijak pada landasan "almuhafadlah ala al-qadim as-sholeh, wal akhdzu bi al-jadid al-ashlah".

    Sementara propagandis pembaruan menawarkan berbagai tingkat pembaruan yang berbeda-beda satu sama lainnya. Dr. Turobi dari kaum modernis dan sebagian kaum rasionalis baru di bidang pemikiran Islam misalnya, menghendaki reformasi total dalam metode penggalian hokum Islam (Usul al Fiqh).

    Ada juga kelompok yang mempropagandakan pembaruan hanya terhadap formatnya saja. Mereka adalah kelompok yang menyeru pada upaya penyederhanaan dan pengelepasan ilmu usul al fiqh dari ilmu-ilmu lain. Kelompok ini diwakili antara lain oleh Dr. al Bayanuni (Siria) dan Dr. ‘Ammar Thalabi (Aljazair).

    Selain itu ada kelompok lain yang menghendaki pembaruan usul al fiqh dari segi isinya, selain al Qur’an dan al Sunnah, serta hokum-hukum yang telah dinashkan oleh keduanya. Kelompok ini diwakili antara lain oleh Dr. Muhsin Abd. Hamid (Iraq) dan Dr. Thaha Jabir Fayyadh (Riyadh; Saudi).

    Dr. Abdullah Ibn Abd. Muhsin (Turki), Rector Universitas Islam Imam Ibn Sa’ud, Riyadh dan para pakar usul fikih berpendapat bahwa pembaruan usul ijtihadi, apapun bentuknya, pada ahirnya akan tetap kembali pada prinsip—prinsip usul fikih yang bersifat luas dan komprehensif, sehingga bisa menampung berbagai peristiwa atau kasus apapun yang bermunculan di era sekarang.

    Dr. M. At Thayyib al Najjar, Rektor Universitas Islam al Azhar, berpendapat bahwa betapun seriusnya upaya pembaruan usul fikih yang dilakukan, ia tidak akan mampu keluar dari prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh para ulma’ pada abad sebelumnya.

    Sementara Dr. Yusuf Qardhawi, Dekan Fakultas Syari’ah Universitas Qatar, berpendapat tentang kebolehan pembaruan, baik dalam persoalan-persolan yang kusus maupun umum; dalam penggunaan hadis ahad maupun hadis masyhur, maupun dalam bidang-bidang lainnya.

    Sedangkan Dr. Ma’ruf ad Duwalibi, Penasehat dalam jajaran cabinet kerajaan Arab Saudi dan salah seorang pakar ilmu usul fikih, berendapat bahwa pembaruan usul fikih dan tidak menjadi masalah.

    Dengan demikian jelaslah bahwa persoalan pembaruan usul fikih benar-benar terjadi pada decade ahir ini. Pada hakikatnya, seorang ulama’ apabila di dalam permasalahan tertentu mampu menggali hokum dari dalil-dalil yang terperinci, ia akan mampu pula menggali hokum pada seluruh permasalahan fikih.

    Di masa modern ini, di mana terdapat sumber-sumber hukum yang berbeda-beda serta banyak keinginan untuk mengkaji dan menyelesaikan persoalan-persoalan ilmu pengetahuan secara mendalam dan efektif.



    Contoh Kasus Fikih Kontemporer

    Maqashid syari'ah (menjaga agama, akal, harta, jiwa dan keturunan) telah dikenal luas dalam ushul al fiqh. Namun, pengembangan maqashid dalam bentuk contoh-contoh konkret dalam konteks kekinian masih sangat terbatas dan belum begitu luas.

    Misalnya dalam menanggapi masalah prostitusi. Bagaimana fikih melihat masalah ini dalam konteks negara. Dalam hal ini, bukan sekadar menelorkan keputusan hukum/fatwa haram, tapi bagaimana memandang masalah prostitusi berkaitan dengan masalah sosial dan ekonomi. Bila sekadar fatwa haram kemudian berujung pada pemberantasan dan pemusnahan prostitusi, tentu kurang etis. Tapi bagaimana meminimalisasi praktik prostitusi besar-besaran dengan bentuk penyediaan lapangan pekerjaan dan memberikan pelatihan kerja dengan intensif.

    Dengan melihat faktor di balik praktik prostitusi itu, kita akan melahirkan semisal bentuk lokalisasi dan pembinaan kerja pada para pelacur. Maslahat (keuntungan/kebaikan) yang tampak adalah tidak mematikan kerja mereka secara 'kejam', tapi meminimalisasi dan berusaha mengalihkan kepada bentuk kerja yang lebih bermartabat dan menjanjikan. Jadi, hukum fikih dalam kasus tersebut menjadi bisa bernuansa humanis, membebaskan, dan transenden / bermartabat.

    Satu contoh lagi misalnya, bagaimana fikih memandang masalah korupsi dan hukumannya. Jika mendasarkan pada wawasan etis, maka korupsi dihukumi sebagai kejahatan besar / dosa besar karena merugikan masyarakat dan bahkan negara. Hukumannya pun bisa melebihi pencurian. Bukan cuma dengan hukum menakutkan, tapi misalnya bila kelak mati, jasadnya -jika ia Muslim- tidak dishalati. Tapi bagaimana sebelum ajalnya, ia telah merasakan sanksi hukuman yang tegas. Di mana hal ini bisa menjadi pelajaran baginya agar tidak mengulangi dan bagi orang lain agar tidak mencontohnya. Ini bila dijalankan secara serius akan membawa ketenteraman dan bisa menciptakan good governance dan memberi secercah harapan akan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia.

    Dampak yang diakibatkan tindakan korupsi sangatlah luas. Jadi, memperhatikan hal tersebut berupa hal penting, yang perlu dilakukan adalah optimalisasi peran ushul al fiqh dengan mengembangkan metodologi yang dapat menangkap pesan-pesan etik dan moral, menuju pada keadilan, ketenteraman, dan kesejahteraan individu serta masyarakat.

    Masalah inilah yang seharusnya menjadi kata kunci dalam pengembangan metodologi Islam saat ini. Bagaimanapun, agama tidak seharusnya dipahami sebagai konsep hukum dalam arti legal, tetapi harus dipahami sebagai konsep moral atau etika.

    Faktor maslahat Dalam mengembangkan metode yang menekankan wawasan etis dengan harapan bisa memenuhi maksud di atas, mashlahah sebagai salah satu metode ushul al fiqh selama ini dengan rekonstruksi, perlu dinaikkan derajat dan posisinya menjadi metode sentral ushul al fiqh (Al Manhaj Al Asasiyyah li Ushul Al Fiqh). Sebab, ternyata semua bentuk pemahaman terhadap teks agama juga didasarkan pada dimensi maslahat, dalam arti untuk meraih kemanfaatan dan atau untuk menghindarkan kemafsadatan (jalb al mashalih wa dar’u al mafasid; mendatangkan kemaslahatan dan menghilangkan kerusakan/bahaya). Bahkan al kulliyyyat al khamsah dalam fikih, menurut satu pendapat dapat diringkas dalam jalb al mashalih (menggali kemaslahatan).

    Meskipun pemahaman atas kemaslahatan yang dimaksudkan oleh penafsir-penafsir maupun mazhab-mazhab, tidaklah seragam, ini menunjukkan betapa maslahat menjadi acuan setiap pemahaman keagamaan. Ia menempati posisi yang sangat penting. Oleh karena nilai maslahat menjadi acuan penting, maka pengembangan dan penempatan metode mashlahat pada posisi sentral metode ushul fikih sangat perlu dipertimbangkan.

    Dengan begitu, diharapkan fikih benar-benar lebih mampu memenuhi kebutuhan manusia. Dan kemashlahatan menempati posisi yang sangat penting agar fikih bisa benar-benar memenuhi kebutuhan manusia. Wallahu A’lam Bish Showab

    Refrensi.

    1. Al Qur’an al Karim.
    2. Tarikh al Tasyri’ al Islami. Syekh M. Al Khudhari Bik.
    3. Fikih Statis Dinamis. Dr. Abd. Halim Uwais.
    4. Artikel “Fikih Dalam Lintas Sejarah”. A. Fatih Syuhud.
    5. Artikel “Fikih Berwawasan Etika”. Prof. Dr Said Aqil Siraj

0 comments:

Leave a Reply

Monggo dikomentari ...