• Kiri yg Islami

    KIRI YG "ISLAMI"
    Oleh : M. Ahsin Mahrus Ibrahim*
    Ada sejumlah hal yang patut dicatat dari gerakan fenomenal 30S/PKI. Namun diantara yang paling menggelitik adalah, lakunya ideologi Karl Mark yang dijual di Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari berbagai organisasi massa bentukan atau dibawah naungan PKI pada saat itu, seperti Gerwani, LEKRA, Barisan Tani Indonesia dan lainnya, yang tumbuh subur di sepanjang pantai utara pulau Jawa. Mulai dari yang atheis ansikh sampai yang berbau kesenian rakyat. Seperti kesaksian James L. Peacock saat menulis buku Rites of Modernization, Symbolic and Social Aspects of Indonesia di Kampung Gundih Surabaya.
    Terlepas dari tuduhan propaganda yang dilakukan PKI di sejumlah daerah dalam menjual ideologinya saat itu, juga konsep asal nunut dikalangan grasroot, kita tidak bisa menutup mata, bahwa ideologi yang sempat beberapa kali mengalami reinterpretasi dari sejumlah tokoh dunia itu benar-benar mempunyai pangsa pasar dan cukup laku dijual di Indonesia, terlebih di sepanjang pesisir pantai utara pulau Jawa yang merupakan titik tolak penyebaran Islam di Jawa pada khususnya.
    Lantas, apakah yang membuat ideologi tersebut “mudah” diterima di kalangan masyarakat muslim Indonesia? Dalam konteks ini, agaknya kita perlu memilah ideologi Marx yang sosialis dari ideologi Marx yang cenderung atheis. Atau dalam bahasa lain, memilah yang materiil dari yang transenden. Memang susah untuk memilah keduanya, apalagi jika berkaca pada biografi Marx. Keduanya bagai dua sisi mata uang. Walaupun begitu, kedua sisi tersebut tidaklah sama karena tidak mungkin dua term mempunyai satu interpretasi secara massif. Keduanya mempunyai garapan yang berbeda. Karena itu, ketika seseorang menjadi Marxis bukan serta merta menjadi atheis, karena hubungan keduanya bukanlah talazum tapi mumkin al tajammu’ atau tidak tadladud.
    Konsep yang diusung oleh seorang Marx adalah counter atas ketidakadilan yang dilakukan oleh kalangan borjuis, yang nota bene adalah pemilik modal (kapital) terhadap kaum buruh yang sungguh-sungguh termarjinalkan dan tidak pernah mendapatkan perlindungan. Dalam mata Marx, golongan pertama telah melakukan pemerasan sistemik dengan memanfaatkan kepapaan dan ketidakberdayaan golongan kedua. Kaum buruh yang merupakan pelaku langsung proses produksi hanya mendapatkan sepotong kue kecil yang tidak pernah mampu menjinakkan perutnya apalagi perut keluarganya. Sedang bagian yang sangat besar dinikmati oleh segelintir orang yang merupakan pemilik modal yang tidak pernah terlibat dalam proses produksi. Karena itu, seharusnya kaum buruhlah yang lebih berhak menikmati hasil produksi, bukan kaum borjuis yang hanya ongkang-ongkang kaki di rumah. Sosok Marx adalah simbol perlawanan atas keserakahan kapitalis yang menggurita pada saat itu.
    Ketika berpatok pada titik ini, apakah hal tersebut tidak islami? Tentu tidak serta merta kita mengeneralisir, tapi paling tidak, kita tahu, bahwa ada nilai-nilai dasar yang dapat menjadi titik temu. Bukankah zakat merupakan salah satu bentuk konkret “sosialisme” Islam dan realisasi kepedulian sosial yang bersifat sakral? Allah juga berfirman, li al rijali nashibun mimma kasabu wa li al nisa’i nasibun mimma iktasabn....... Qul i’malu fa sayarallah amalakum.. dan masih banyak lagi ayat yang mempunyai arti serupa yang mau tidak mau mempunyai titik temu dengan teori fungsi yang banyak mengilhami M. Syahrur dalam al Qur’an wa al Kitab, Qira’ah Mu’ashirah.
    Juga pelarangan keras Islam atas riba. Perilaku oportunis yang tidak mau terlibat dalam proses produksi atau masuk dalam ruang komoditi dan lebih memilih prosentase aman berdasarkan nominal kapital yang diinvestasikan. Tidak hanya itu, hadits Nabi Saw juga banyak mengecam perilaku semena-mena kapitalisme, seperti talaqqi al rukban, ihtikar dan lainnya. Bahkan Umar bin Khatab r.a, sempat mengeluarkan kebijakan standarisasi harga bahan-bahan kebutuhan pokok agar tidak dipermainkan para pemilik modal. (Al-Yasar Al-Islami, DR. Hassan Hanafi dan Manhaj Umar bin Al-Khattab fia Al-Tasyri’ Al-Islami, DR. Mahmud Baltaji ).
    Karena itu tidak heran, mengapa ormas-ormas PKI di sejumlah daerah berpenduduk muslim juga tumbuh subur. Mereka menjual isu sosialisme di kalangan masyarakat yang merindukan keadilan, proteksi, perbaikan ekonomi, pembenahan layanan publik, lepas dari cengkeraman tuan tanah (kapitalis) dan berbagai isu strategis lainnya. Disamping ke-“absen”-an para pemuka agama terhadap berbagai isu strategis di masyarakat dan lebih menganggapnya sebagai hal yang pribadi. (Iqbal, Al-Sya’ir wa Al-Tsa’ir, DR. M. Najeb Kailani). Lantas, mereka menjadi begitu sensitif ketika menyangkut hubungan manusia dengan tuhannya, padahal, justeru hal-hal itulah yang bersifat pribadi. Dus, menjadi Marxis bukan serta merta menjadi seorang atheis tapi menjadi Muslim Komunis. Eh, Muslim Sosialis.¦
    DIALOG PERADABAN DALAM PEMIKIRAN ISLAM




    Written by nusyria
    Saturday, 28 April 2007
    Oleh : Dr. Muhammad Abdul Razaq Aswad
    Segala puji bagi Allah yang mengatur alam semesta, shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada jungjungan kita Nabi Muhammad SAW serta kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya.
    Sesungguhnya al Qur'an adalah perintis pertama yang mengenalkan dialog, begitu juga ketika menghadapi masalah-masalah dalam menangani perbedaan dengan pembangkang, Ia menempuh dengan cara berdialog. Dan al Qur'an tidak menjadikan sedikitpun kekerasan sebagai solusi untuk berinteraksi dengan para pembangkang tersebut. Dalam al Qur'an terdapat dialog dari berbagai golongan mahluk, dari malaikat, para rasul, manusia dan iblis yang menentangnya.
    Para peneliti sunah nabawi menemukan bahwa dialog adalah salah satu tujuan dakwah kepada Allah Swt, dan untuk informasi agama, juga untuk kepuasan akal dan ketentraman batin.
    Kaum muslimin sendiri telah memiliki sejarah dan peradaban tanpa melibatkan pihak lain. Dalam mengerjakan apa yang dikenal hari ini sebagai "Study banding", baik perbandingan dalam kancah agama, madzhab dan aliran atau dalam tataran study banding peradaban yang selalu berubah dari waktu ke waktu.
    Barangkali sesuatu yang dapat mendekatkan kepada pemikiran kita dari nama-nama cendikiawan muslim yang berkonsentrasi pada dua bidang ini; Ibnu Hazm dalam karyanya "Al Fashl fi Al Milal wa Al Nihal" (pemisah antara aliran dan madzhab) dan Ibnu Khaldun dalam "Muqaddimah" dan karya sejarahnya. Dalam sepanjang sejarah pemikiran manusia tidak ada seorang pun yang membahas topik tersebut, baik dari kalangan sejarawan, pengarang, kecuali kaum muslimin. Bahkan sebuah penelitian dalam kitab-kitab refleksi utama dan berbagai ensiklopedia dan seminar-seminar ilmiah, mengarah kepada satu kesimpulan berikut yaitu; bahwa pemikiran dunia Eropa, tidak mementingkan permasalahan-permasalahan komunikasi, pertukaran dan dialog. Bahkan mereka sendiri tidak mengetahui permasalahan-permasalahan tersebut. Dan itu disebabkan oleh hegemoni Eropa yang sibuk dalm membangun peradaban. Dan ini dianggap sebagai salah satu kendala serius. Karena merubah tanpa memberikan ajakan melalui komunikasi wawasan dan dialog peradaban yang saling pengertian dan menusiawi.
    Tetapi perhatian Barat terhadap Islam dan ajakan untuk berdialog dewasa ini mengalami peningkatan, disebabkan beberapa hal; Dalam tataran benua Eropa misalnya, pertambahan jumlah kaum muslimin adalah sebuah indikasi dari perhatian Barat terhadap Islam, juga tata cara hidup dan interasksi keberagamaan kaum muslimin Eropa, serta… keterkaitan mereka dengan negara asal dan juga gelombang migrasi yang mencakup kaum muslim Eropa.Sedangkan dalam tataran hegemoni kekuatan di sana secara umum adalah prihal kebangkitan Islam dan munculnya semangat perlawanan atas apa yang menimpa kaum muslimin di Palistina, Iraq dan Afganistan serta di tempat-tempat lain di dunia Islam.
    Dalam lembaran ini, penulis hendak memaparkan empat kerangka dialog yaitu; Pertama, Bentuk dialog, syarat-syarat serta kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi. Kedua, sikap Islam terhadap non-Islam dalam konteks hak dan hubungan internasional. Ketiga, Islam dan Barat, sebuah dialog atau konfrontasi? Keempat, dialog sebagai metode koeksistensi peradaban. Kelima, usulan-usulan dalam usaha mendekatkan dialog antara kaum muslimin dan golongan lainnya.
    Bentuk dialog, syarat-syrat serta kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi
    Dialog bagi kita kaum muslim adalah sebuah kewajiban syar'i, karena kita adalah pengemban dakwah dan pesan universal, tidak khusus untuk etnis dan golongan, juga tidak untuk negara tertentu, tetapi pesan al Quran dalam banyak ayatnya senantiasa ditujukan untuk manusia secara keseluruhan.
    Islam telah membuat sebuah pondasi, metode yang integral dalam interaksi antara bangsa dan peradaban yang berbeda, dan mengakui perbedaan antara manusia yang sarat dengan etnis. Kemudian membatasi perbedaan ini dengan mengikat kaum muslimin dan etnis non-muslim dalam sebuah afiliasi peradaban dengan sebuah ikatan persaudaraan sesama manusia.Dunia saat ini sedang mengalami transisi peradaban dengan berbagai macam kekuatan reformasi dan interaksi budaya. Dan pada tahap ini tampaklah urgenitas dari sebuah dialog sebagai sebuah pengantar menuju komunikasi, dan juga sebagai metode pendekatan dan simbiosis antar peradaban.
    Merupakan keharusan bagi kita untuk memahami tipe manusia yang hendak kita ajak dialog, dan memahami sudut pandangnya. Karena hal itu dapat membantu kita untuk mempelajari cara berfikirnya, dan untuk selanjutnya kita dapat mengcounter dengan logika yang sejalan dengannya.
    Adapun di antara faktor yang dapat mewujudkan untuk diadakanya dialog peradaban adalah bahwasanya ada sebagaian aliran yang berfikir dengan metode melawan arus dan pemikiran ini mencuat semenjak runtuhnya komunisme, maka sejak saat itulah Islam diproyeksikan sebagai musuh Barat.
    Dan kita mesti mengakui bahwa neraca kekuatan saat ini ada di pihak Barat yang sedang berusaha menyebarkan budayanya dengan menggunakan cara hegemoni bidang ekonomi dan politik. Hal ini dapat kita lihat dalam even-even sekala internasional seperti konfrensi kependududkan di Kairo tahun 1994 dan konfrensi wanita di Peking tahun 1995.Esensi dialog hendaklah mencakup poin-poin beriku t ini:
    1. Menghormati semua pihak, lantaran peradaban yang berbeda.2. Mengemukakan titik temu antar peradaban yang sedang menguasai dunia.3. Saling melengkapi di antara daya yang tersimpan dari peradaban-perdaban yang berbeda.4. Adanya program untuk melaksanakan dialog peradaban dalam skala internasional.
    Dalam dialog peradaban, hendaknya dibuat syarat-syarat yang bisa menjamin keseriusan dialog tersebut dan juga bisa menjamin subjektivitasnya sehingga tidak terkesan menyia-nyiakan waktu atau distorsi pemikiran. Syarat-syrat tersebut adalah:
    1. Hendaknya kesetaraan senantiasa dijunjung oleh para peserta dialog, sehingga dalam dialog tidak terdapat kesan hegemoni ataupun keistimewaan.2. Orang-orang yang fanatik dalam pendapat pribadi secara berlebihan sebisa mungkin untuk tidak diikut sertakan dalam proses dialog.3. Dialog dilaksanakan di tempat yang netral sehingga para peserta tidak ditunggangi oleh orang-orang yang punya maksud terselubung.4. Fokus terhadap inti permaslahan dialog dan sejauh mungkin menghindar pembahasan-pembahasan masalah parsial.5. Kontinuitas dialog hingga mencapai apa yang dimaksud tanpa terhenti oleh suatu sebab.
    Untuk mensuksekan syarat-syarat dialog tersebut hendaknya kita memenuhi kewajiban-kewajiban berikut ini:
    1. Penyiapan retorika berfikir dalam menghadapi tantangan dialog. Hal ini menuntut kita untuk berangkat dari ke-eksklusive-an peradaban Islam dan bersikap terbuka terhadap peradaban-peradaban yang lain serta menunjukan watak kemanusiaan dalam pemikiran Islam dan penekanan pesan esensi budaya.2. Korelasi dialog Islam dalam berdialog dengan lainnya; karena dialog adalah sarana peradaban dalam bertukar pendapat dan mendiskusikan pemikiran serta sarana untuk mengenal sikap-sikap yang bersebrangan.3. Menciptakan instrumen islami dalam dialog serta mengusulkan pembentukan instansi yang mengelola masalah-masalah dialog semacam kantor tetap bagi organisasi konfrensi Islam.4. Menentang segala permaslahan dialog yang merupakan warisan sejarah yang terimplementasi dalam imperalisme Barat atas negara-negara Islam dalam usaha-usaha untuk hegemoni atas mereka.5. Membentuk lajnah Islam untuk persiapan dialog yang terdiri dari para ulama pilihan dan para cendikiawan baik dari Arab maupun dunia Islam.
    Sikap Islam terhadap "non-Islam" dalam konteks hak dan hubungan internasional.
    Ketika kita hendak membahas sikap Islam terhadap "non-Islam", maka pertama kali kita harus menjelaskan konotasi "non-Islam" karena istilah tersebut adalah sebuah konotasi universal yang secara epistemologi luas cakupannya, karena dia merujuk kepada segala sesuatu selain dzat.
    Dari nashnash agama kita dapat mengambil kesimpulan akan sebuah korelasi, bahwa Allah SWT semenjak awal hendak menjadikan manusia sebagai khalifahnya di bumi (Qs. Al-Baqarah /30).
    Dan Allah telah memberikan setiap manusia, apakah ia Islam atau "non-Islam" hak untuk menjadi pemimpin di bumi. Sedangkan hak "non-Islam" dalam kepemim-pinannya di muka bumi juga terkait dengan sekumpulan hak-hak parsial yang dijamin secara syar'i bagi setiap "non-muslim". Mungkin kami di sini dapat memberikan gambaran sebagai berikut:
    1. Bahwa non-Islam mempunyai hak memanfatakan apa yang ada di bumi dengan segala apa yang telah diberikan oleh Tuhan untuknya.2. Bahwa non-Islam juga mempunyai hak untuk mengelola bumi.3. Bahwa non-Islam mempunyai hak berdiam dan berpindah secara bebas di muka bumi.4. Bahwa non-Islam mempunyai hak untuk menjaga kepemilikannya.
    Allah telah menciptakan setiap manusia untuk menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri dengan jalan memenuhi apa yang menjadi konsekwensi dari kepemimpinan tersebut sebagai kebebasan untuk mengatur dan memilih. Dalam rangka menangkal hegemoni orang lain atas dirinya, syari'at telah menekankan beberapa hal:
    1. Melarang tindakan ofensif atas kedaulatan orang lain dan juga melarang pemaksaan kehendak.2. Mencegah saran yang mengarah kepada tindakan ofensif dan pemaksaan kehendak.3. Mengharuskan usaha penyelamatan bagi korban-korban pemaksaan atau orang-orang yang kedaulatannya dipangkas oleh pihak lain.4. Melarang pelepasan hak kepemimpinan atas diri sendiri atau menerima pemangkasan atasnya sebagaimana syari'at juga melarang penyerahan diri kepada perbudakan atau kehinaan.
    Allah SWT memberi hak kepada setiap orang dalam suatu lingkup khusus, yaitu kekhususan dalam bertindak terkait dengan urusan sebagian anggota masyarakat, seorang bapak misalnya mempunyai hak atas anak-anaknya dalam bidang wawasan budaya, agama dan sebagainya. Dan Allah juga memberikan kepada mereka dalam lingkup umum di sela-sela usaha penyucian masyarakat lewat sarana amar ma'ruf nahi mungkar.
    Islam juga menekankan akan hak setiap orang atas keamanan dan kedamaian pribadinya dan melarang tindakan ofensif atas orang lain.
    Islam telah menggariskan beberapa aturan interaksi dalam skala internasional yang kesemuanya bermuara pada prinsip 'menepati janji' dan 'kesepakatan', baik dalam suasana perang maupun suasana damai. Dan juga melarang tindakan berkhianat, sebagaimana juga hubungan negara Islam dengan negara-negara damai ditegakkan atas dasar saling menghormati serta menepati apa yang telah menjadi kesepakatan bersama. Islam menjunjung tinggi hubungan yang terbentuk atas dasar kesepakatan ini, bahkan melarang segala usaha untuk menolong golongan minoritas yang hidup di negara yang mempunyai ikatan damai denga Islam walaupun hal tesebut bertendensikan agama sebab Allah berfirman (QS. Al-Anfal /72).
    Islam dan Barat sebuah dialog dan konfrontasi? Menolak ungkapan konflik peradaban.
    Banyak orang Barat berkeyakinan bahwa Islam berjiwa teroris, Islam menolak peradaban, dan Islam merintangi kemajuan manusia. Semua ini, menunjukan kepada pemahaman bahwa Barat masih belum mamahami Islam. Atau mungkin disebabkan kedengkian Barat, atau mungkin juga kolaborasi antara ketidakpahaman dan kedengkian.
    Dan sebuah paradok yang mengherankan ketika Islam dan Barat yang sama-sama mempunyai peradaban yang besar tetapi antara yang satu dengan yang lain tidak saling mengenal, lebih-lebih ketika Barat melihat Islam dalam stigma fundamentalis dan Islam memposisikan Barat dalam bingkai imperalis.
    Seorang filusuf sejarah berkebangsaan Amerika, Samuel Huntington mengeluarkan statement kepada khalayak ramai tentang konflik antar peradaban, pada saat dunia hendak mengikis faktor-faktor penyebab konflik dan pertetentangan. Dan walaupun realita menggambarkan beberapa bentuk konflik antar kelompok manusia, tetapi tidak sepatutnya kemudian ditafsirkan sebagai konflik antar peradaban dan budaya. Tetapi hendaknya ditafsirkan sebagai konflik kemaslahatan.
    Pemikiran Huntington telah dikuasai oleh anggapan bahwa Amerika adalah satu-satunya imperior yang menguasai dunia. Oleh karena itu dia hendak menyelami dasar sejarah unutk menemukan imperor semacam ini, sebuah imperior yang dapat mengusai dunia pada zamannya. Sehingga pada akhirnya dia terjebak dalam kesalahan-kesalahan sejarah di antaranya:
    1. Pernyataan bahwa imperior Roma adalah satu-satunya imperior yang bisa mengusai dunia di zaman kuno. Statement ini terbantahkan oleh realita sejarah yang menyaksikan akan adanya imperior Persia.2. Ketidaksadaran Huntington akan imperior Mesir kuno ketika menawarkan peradaban-peradaban kuno.
    Istilah alternative dari konflik peradaban mungkin dapat diganti dengan istilah tadafu' al-umam (saling menolak antara bangsa). Dan itu adalah merupakan hukum Tuhan di atas bumi. Sesungguhnya umat manusia mempunyai kekuasaan untuk mengelola bumi tetapi juga mereka menyalahgunakannya dengan membuat kerusakan atau kezaliman, maka Tuhan akan menimpakan kezaliman kepada mereka umat yang lain untuk menggeser posisi mereka dan mengahapuskan kerusakan dan kezaliman yang mereka buat. Al Quran telah mensinyalir hal ini dalam sebuah ayat (QS. Al-Baqaran/251).
    Dialog sebagai metode Koeksistensi peradaban.
    Kaum muslimin berkeyakinan bahwa sesungguhnya Islam mampu hidup berdampingan dengan berbagai macam bentuk budaya dan peradaban, dan hidup berdampingan cara peradapan kemanusiaan ini dasarnya adalah dialog; tetapi dialog tanpa prinsip dan norma tidak akan punya makna dan akses.
    Simbol muslim dalam berdialog yang serius adalah perkataan imam syafi'i ketika berkata, " Pendapat saya benar tetapi ada kemungkinan salah, sedangkan pendapat orang lain salah tetapi ada kemungkinan benar."
    Maka sebagai perumpamaan dari semua ini, Barat hendaknya mentuluskan niat untuk tunduk pada kebenaran, melepaskan diri dari belenggu merasa unggul dan kecondongan statistic, yang menjadikan dirinya berkeyakianan bahwa kebenaran mutlak hanya ada pada dirinya sedangkan apa yang ada pada orang lain adalah salah dan membahayakan.
    Usulan-usulan dalam usaha pendekatan dialog antar kaum muslim dan golongan lainnya.
    1. Memperbaiki citra Islam yang tercoreng di dunia Barat. Tugas ini secara prioritas berada di pundak minoritas kaum muslim yang bermigrasi. 2. Segala tanggungjawab ini, hendaknya dipikul oleh organisasi Islam yang besar seperti Al-Azhar Al-Syarif, Robithatul Alam Al-Islami di Saudi serta, Organisasi Konfrensi Islam.3. Membentuk lajnah ilmiah yang menangani perbaikan akan tuduhan-tuduhan yang termuat dalam buku-buku orientalis dan juga membekali perpustakaan-perpustakaan umum di negara-negara Barat untuk mengimbanginya, dalam berbagai bahasa yang berbeda.4. Membentuk majlis tetap yang bekerja sebagai konduktor dialog antar pakar hukum yang bermacam-macam.5. Meminta pemerintahan Barat untuk memperbaharui undang-undang pengawasan atas kalangan-kalangan yang berusah mencoreng agama, para Rasul dan para Nabi.6. Mencanangkan negara-negara Arab dan negara-negara Islam sebagai tempat-tempat wisata, dengan menempatkan dakwah sebagai salah satu programnya, yaitu dengan cara memberikan seminar tentang wawasan dakwah bagi para guide atau orang-orang yang berkecimpung dalam dunia pariwisata, di samping juga membekali mereka buku saku dengan beragam bahasa yang berisikan prinsip dan dasar serta pengertian tentang pemikiran Islam.7. Menyokong segala sarana komunikasi denga beragam bahasa untuk memperlihatkan prinsip-prinsip agung Islam.
    Target dari semua ini, diharapkan mampu menciptakan kekuatan yang bersendikan keadilan, kebebasan yang berlandaskan norma, hukum yang trasendental, dialog yang berhiaskan objektivitas dan toleransi, kemajuan yang disokong oleh norma keutamaan dan kemulyaan manusia, pengetahuan yang tidak tercoreng oleh tipu daya nurani dan tidak menodai kreasi Pencipta. Dengan kesadaran yang tinggi bahwa keterpurukan yang melanda dunia Islam adalah keterpurukan incidental. Dia adalah sebauh tahapan yang akan berlalu tanpa mampu bertahan lama dengan izin Allah Swt. Karena yang demikian sudah merupakan hukum alam dan watak peradaban, dan karena akar peradaban Islam masih utuh dan senantiasa menjaga elemen-elemennya yan tetap hidup. Dan kaum muslimin pada masa sekarang adalah yang bertanggung jawab atas kesegaran akar-akar tesebut dan juga bertangungjawab untuk menjaga agar tetap hidup.?

0 comments:

Leave a Reply

Monggo dikomentari ...