• Sejarah Perkembangan Trinitas

    Sejarah Perkembangan Ajaran Trinitas
    oleh L. Berkhof
    Diterjemahkan oleh:Drs. H. Thoriq A. Hindun
    ASAL USUL DAN SEJARAH KRISTEN
    Pendiri agama Kristen adalah seorang Yahudi bernama Yesus, yang lahir di Betlehem, Palestina, antara tahun 8 hingga 4 SM. Tradisi biasanya menyebutkan bahwa dia lahir dalam bulan Desember tahun pertama era Kristen yaitu, tahun 1 M, akan tetapi telah diketahui sekarang bahwa hal ini salah. Dalam catatan-catatan yang menyangkut Yesus -yakni Injil, empat di antaranya terdapat dalam perjanjian baru yang ditulis Matius, Markus, Lukas, dan Yahya- kita diberi tahu bahwa dia lahir selama berkuasanya Raja Herodes dan pada saat Kerajaan Romawi melaksanakan sensus penduduk. Kerajaan Romawi melaksanakan sensus penduduk empat belas tahun sekali.Sensus pertama berlangsung tahun 6 M; ini berarti bahwa sensus sebelumnya dimulai tahun 8 SM, selama pemerintahan Kaisar Augustus dan tanah Judea diperõntah Kerenius yang dapat kita baca dalam Lukas 2:1-5. Kita juga diberi tahu tentang bintang yang menuntun orang Majus ke tempat Yesus berada, dan astronom Keppler, menghitung bahwa timbul konjungsi antara Saturnus, Jupiter, dan Mars kira-kira tahun 7 SM yang menampakkan kesan sebagai bintang baru yang terangbenderang. Semua data ini mendukung kesimpulan bahwa Yesus lahir antara tahun 8 hingga 4 SM. Kita juga dapat menentang pendapat bahwa Yesus lahir bulan Desembers karena dalam Injil Lukas terdapat gembala yang menggembalakan ternaknya pada malam hari (2:8). Namun di Palestina pun cuaca dingin dan turun sadju, jadi saat kelahiran itu pastilah di luar musim dingin karena para gembala tidak akan keluar pada saat tersebut. Musim yang lebih mungkin adalah musim semõ atau musim rontok. Penganut ajaran Kristen percaya bahwa ibu Yesus, yakni Maria, melahirkan Yesus dalam keadaan masih perawan dan belum bersetubuh dengan suaminya yaitu Yusuf. Anak tersebut lahir karena kekuasaan Tuhan melalui roh kudus. Kaum Katolik bahkan berkeyakinan bahwa Maria tetap perawan setelah kelahiran Yesus. Saudara laki-laki dan perempuan Yesus yang disebutkan dalam Markus 6:1-6 adalah anak-anak Yusuf dari perkawinannya yang terdahulu. Tidak banyak yang kita ketahui tentang Yesus di masa kanak-kanak; kisahnya mulai banyak diungkapkan untuk perjalanan hidupnya setelah berusia tigapuluhan, saat dibaptis oleh Yahya. Yahya membaptis manusia sebagai persiapan mereka untuk menerima kedatangan "juru selamat;" pada waktu Yesus datang, dia menolak membaptis Yesus dengan menyatakan bahwa Yahya tidak pantas membaptis Yesus, bahkan sebaliknya dialah yang pantas dibaptis. Namun Yesus tetap meminta Yahya membaptis dirinya; setelah dibaptis dia mengasingkan diri selama 40 hari dan memikirkan "juru selamat" yang bagaimanakah sebenarnya. Selama itu iblis menggoda dia, membujuk Yesus agar menjadi pahlawan bagi bangsa Yahudi, atau memenangkan dukungan bangsanya lewat perbuatan kegaiban atau dengan memenuhi kepuasan material bangsa Yahudi. Yesus menolak godaan ini, karena Dia sadarbahwa Dia haruslah "juru selamat" yang menderita, yang akan mati demi bangsanya. Setelah meninggalkan gurun, dia memilih dua belas orang sebagai teman dan muridnya. Murid-murid ini mempunyai latar belakang yang beragam: Petrus dan Andreas adalah bersaudara dan nelayan miskin; Yacob dan Yahya, juga bersaudara, adalah nelayan juga, namun lebih makmur; Matius (atau Levi) adalah pengumpul pajak yang bekerja bagi orang Romawi; ada anggota kelompok Zealot yang fanatik; dan Yudas Iskariot, orang yang pada akhirnya mengkhianati Yesus dan menyerahkannya kepada musuhnya. Dari kedua belas muridnya, Petrus, Yacob dan Yahya merupakan teman Yesus yang paling dekat. Dalam Markus 6:1-6 Yesus disebut "tukang kayu," dan dari sini diasumsikan bahwa sebelum terkenal, Yesus meneruskan profesi ayahnya sebagai tukang kayu. Kita tidak mengetahui latar belakang pendidikannya walaupun mungkin dia memperoleh pendidikan dari cendekiawan monastik Yahudi, yakni kaum Essenes, yang ajarannya banyak mirip dengan ajaran Kristen. Namun dari kitab-kitab Injil dapat kita lihat bahwa dia adalah manusia yang cerdas, arif dan penuh humor. Ajarannya dia sampaikan lewat perumpamaan, dongeng, kisah-kisah pendek yang mengandung makna mendalam. Teknik pengajaran seperti inilah yang ditempuh para rabbi karena lebih mudah menangkap makna lewat kisah-kisah pendek dibandingkan lewat kisah-kisah panjang, atau lewat diskusi formal yang panjang. Kisah-kisah atau perumpamaan Yesus adalah sederhana dan langsung kena, kisah yang mudah disimak oleh siapa pun. Akan tetapi, dia juga menggunakan kotbah, dan kotbah yang terkenal adalah kotbah bukit (kotbah ini bukanlah satukotbah panjang, melainkan adalah intisari yang diambil dari ucapan-ucapan Yesus dalam berbagai kejadian). Di samping memberikan ajaran, Yesus juga menyembuhkan banyak penyakit dan bahkan menghidupkan kembali orang mati. Perlahan-lahan namanya termasyhur ke seluruh negeri dan orang mulai berbisik-bisik mempersoalkan siapakah dia. Pertama kali Yesus mengaku sebagai "juru selamat" yang telah lama dinanti-nantikan di Caesarea Phillippi. Setelah dia menanyakan kepada murid-muridnya tentang siapakah dia disebut khalayak ramai, dia bertanya tentang siapakah dia di mata para muridnya? Petrus, yang merupakan orang pemberani, menjawab, "Engkau adalah juru selamat." Semenjak itu Yesus mulai memperkenalkan ajaran-ajaran dan perintah-perintahnya kepada kedua belas muridnya tentang tujuan kedatangannya. Lalu dia diberi nama Kristus yang berarti "orang yang diurapi." Segera setelah pengakuan oleh Petrus tentang dia (Yesus) sebagai "juru selamat," dia mengajak Petrus, Yahyadan Yacob ke suatu bukit, di mana pakaian dan wajah Yesus menjadi bercahaya putih mengkilap dan dia berkomune dengan Nabi Elisa dan Musa. Peristiwa ini disebut Transfigurasi (perubahan tubuh). amun selama tiga tahun misi Yesus, tantangan terhadap ajarannya meningkat terutama dari pihak Parisi dan Saduki. Kaum Saduki adalah kelompok kecil aristokrat yang sangat berpengaruh yang mengaku sebagai keturunan Sulaiman. Kelompok Parisi terbentuk pada saat Kekaisaran Yunani ingin menanamkan pengaruhnya di palestina, dan Kaum Parisilah yang sangat menentang pengaruh (Helenisasi) ini. Kedua kelompok ini, dengan alasan yang berbeda, memusuhi Yesus; kaum Parisi menolak karena ajaran-ajaran Yesus menentang sikap kaum Parisi. Kita tahu orang Yahudi sangat berpegang erat kepada 10 perintah Allah, sementara Yesus memperbaharui penafsiran tentang makna kesepuluh perintah tersebut. Selama bertahun-tahun hukum itu berubah menjadi doktrin yang mendasari ajaran Yudaisme, yang menjadi dasar bagi orang Yahudi untuk mengasihi Tuhan dan sesamanya. Bagi kebanyakan orang Parisi, tradisi lebih penting daripada hukum, dan Yesus sangat lantang menentang sikap orang Parisi ini. Kaum Saduki menentang Yesus karena mereka bekerja sama dengan bangsa Romawi, dan karena itu mereka sangat berpengaruh dan menikmati hak-hak istimewa. Mereka khawatir Yesus bisa menimbulkan kesulitan yang berakhir pada situasi yang mengancam pada prestise dan kekuasaan mereka. Setelah kira-kira tiga tahun, Yesus pergi ke Yerusalem menunggang keledai dan disambut sebagai pembebas dan "juru selamat," karena saat itu bertepatan dengan berlangsungnya pesta paskah dan Yerusalem dipadati oleh banyak manusia. Paskah adalah hari yang ditunggu-tunggu bagi kedatangan "juru selamat" bangsa Yahudi, sehingga suasana saat Yesus memasuki kota amatlah eksplosif. Lalu dia masuk ke Bait Allah dan mengusir semua pedagang, pembunga uang dan orang-orang lain yang dia anggap mengotori tempat suci tersebut. Penduduk menunggu tindakannya yang selanjutnya, yakni hal mengumumkan dirinya sebagai Raja yang akan mengusir penjajah Romawi; namun tindakan yang ditunggu-tunggu itu tidak pernah muncul. Sebaliknya Yesus mengadakan perjamuan dengan murid-muridnya, yang dinamakan perjamuan terakhir (sebagian cendekiawan menyebutnya perjamuan paskah), sesudah itu dia pergi ke Taman Getsemane. Di sana dia ditangkap serdadu yang dipimpin oleh Yudas Iskariot. Pertama kali setelah ditangkap, Yesus diajukan ke hadapan para imam dan dituduh menghujat Allah, suatu kejahatan besar dalam hukum Yahudi, namun karena mereka tidak dapat menjatuhkan hukuman mati, keputusan mereka harus disahkan oleh penguasa Romawi. Lalu Yesus dihadapkan kepada penguasa, Pontius Pilatus, dan dituduh melakukan pemberontakan subversi dan menghindari pajak; Pilatus tidak ingin menghukum orang yang tidak bersalah, namun disebabkan tekanan para imam dan amarah bangsa Yahudi -yang merasa tertipu kalau Yesus tidak memperlihatkan dirinya sebagai "juru selamat" dalam arti penuh kemenangan dalam peperangan- dia terpaksa membuat keputusan yang tidak menyenangkan dan Yesus dihukum dengan penyaliban. Putusan itu dilaksanakan, dan Yesus mati setelah penuh penderitaan selama tiga jam di kayu salib. Akan tetapi, bagi Gereja Kristen, itu bukanlah akhir, melainkan adalah awal. Tiga hari kemudian Yesus bangkit dari kematian (tiga hari berdasarkan perhitungan Yahudi –Yesus meninggal hari Jumat dan bangkit hari Minggu). Para wanita yang pergi ke makamnya pada Minggu pagi menemukan makamnya sudah kosong, namun pakaiannya masih terlipat di dalam kubur. Kemudian Yesus sendiri menampakkan dirinya kepada mereka; kemudian mereka berlari untuk memberitahukan hal itu kepada murid-murid Yesus yang sebelumnya meragukan kebangkitan Yesus; namun kemudian mempercayainya. Beberapa saat kemudian Yesus mengajak mereka ke suatu bukit, memberkati mereka lalu mereka terangkat ke surga. Semenjak itu Yesus tidak pernah menampakkan diri lagi di bumi ini. Sementara itu murid-murid Yesus tidak bisa menentukan langkah-langkah mereka seterusnya. Namun pada hari Pantekosta, pada saat mereka semua berkumpul di Yerusalem, Roh Kudus turun dari surga dan hinggap pada masing-masing mereka. Sejak itu mereka diubahkan, tidak lagi cemas dan takut, melainkan sudah menjadi rasul-rasul yang berani yang menjelajahi dunia ini untuk menyampaikan kabar gembira tentang Tuhan Yesus Kristus. Pada awalnya mereka berharap Yesus segera muncul kembali, namun hal itu tidak terjadi demikian. Iman baru ini segera menyebar di seluruh dunia lama. Hebatnya, misi penyebaran Injil yang paling spektakuler bukanlah oleh salah satu murid Yesus melainkan adalah oleh Saul (Paulus) dari Tarsus, yang mengalami pertobatan pada saat dia dalam perjalanan ke Damascus untuk menangkapi orang-orang Kristen; sebagai hasil pertobatan ini, dia banyak melakukan perjalanan untuk pekabaran Injil, mengalami penderitaan yang berat, bahkan mati martir demi imannya Dia menuliskan banyak surat nasihat dan penguatan iman kepada gereja-gereja baru yang dia dirikan, dan dokumen-dokumen ini, yang terdapat dalam PerjanJian Baru, sangat penting karena merupakan salah satu tulisan Kristen pertama yang kita miliki. Pada tahun-tahun awal tersebut, ajaran baru ini masih dianut orang Yahudi, namun ternyata agama baru ini segera menghilang dari antara orang-orang Yahudi dan dianut oleh orang-orang di luar Yahudi. Pemisahan a ntara ajaran Yahudi dan Kristen mulai nyata dan akhirnya tak dapat dihindarkan; para penganut Kristen tidak lagi merayakan hari-hari besar Yahudi serta tidak mempertahankan tradisi dan budaya Yahudi. Pemisahan ini diakui pada Dewan Yerusalem pada tahun 48 M, pada saat pembatasan-pembatasan Yudaistis terhadap orang-orang Kristen yang bukan Yahudi diberlakukan. Mula-mula dengan enggan diberi toleransi oleh Kerajaan Romawi, faham Kristen di bawah masa emerintahan Kaisar Nero yang sangat membenci ajaran Kristen. Nero berusaha memojokkan orang Kristen dengan menuduh bahwa kebakaran besar kota Roma disebabkan oleh orang Kristen (64 M), serta membunuh orang-orang Kristen, di antaranya Petrus dan Paulus. Banyak orang Kristen berkeyakinan bahwa dengan kematian rasul-rasul ini, dan kematian orang-orang yang secara pribadi mengenai Kristus, perlu dibuat rekaman tertulis tentang kehidupan Kristus. Selama empat puluh tahun berikutnya masih banyak tulisan tentang Yesus, namun hanya empat di antaranya diakui dalam Perjanjian Baru. Akan tetapi tindakan pembunuhan ini bukanlah yang terakhir, bahkan meningkat selama pemerintahan Kaisar Domitian (81-96 M). Selama dua ratus tahun ajaran Kristen merupakan doktrin yangilegal hingga akhirnya Kaisar Konstantin, setelah melihat cahaya terang di malam hari sebelum melakukan suatu pertempuran, yang meliputi salib dengan tulisan "dengan tanda ini kamu ditaklukkan," memberikan hak legal kepada orang-orang Kristen pada tahun 313 M dan menjadikan agama Kristen sebagai agama negara Kekaisaran Romawi. Apa yang terjadi kepada gereja muda ini selama masa yang penuh kesulitan tersebut? Tantangan muncul dari berbagai arah, namun penyebarannya makin pesat. Walaupun pada mulanya Yerusalem dianggap sebagai pusat suci, namun sikap permusuhan yang diperlihatkan orang-orang Yahudi yang menguasai Yerusalem mendorong pemindahan pusat Kristen; mula-mula ke Antiokia, bergeser ke Roma. Selama periode Konstantine, Agama Kristen makin kuat dan melembaga. Salah satu masalah pertama yang harus dipecahkan adalah masalah Trinitas, keyakinan umat Kristen akan Bapak, Anak, dan Roh Kudus, yang pada hakikatnya identik namun terpisah satu sama lain. Banyak pendapat yang berbeda diajukan untuk menjawab masalah Trinitas, dan tahun 325 Konstantin meminta Dewan Pertama Nicaea untuk membahas masalah ini dengan saksama, yakni 'Aryan Heresy' yang menyatakan bahwa Kristus diciptakan Tuhan untuk membantu dalam penciptaan dunia ini, dan menerima status ketuhanan dari Tuhan, jadi tidak sama esensinya dengan Tuhan. Status ketuhanannya dapat dicabut Tuhan. Dewan ini melahirkan Nicene Creed suatu bentuk yang digunakan hingga dewasa ini dan mencakup kata-kata: - Kami percaya akan satu Tuhan, Tuhan Yang Mahakuasa, pencipta langit dan bumi, yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. - Kami percaya akan Yesus Kristus, anak tunggal Allah, yang diturunkan oleh Allah Bapak, bukan diciptakan, yang satu dengan Allah Bapak. - Kami percaya akan Roh Kudus, Tuhan, pemberi kehidupan, yang diturunkan dari Allah Bapak dan anak. Lalu gereja dihadapkan dengan sekumpulan masalah, terutama masalah intern. Romawi Barat dan Timur mulai terpisah semakin jauh dan akhirnya benar-benar terpisah. Memang sebab pemisahan ini bukan hanya hal di atas, karena masih banyak titik-titik perpecahan antara Barat dan Timur. Dibandingkan dengan Kristen Barat, Kristen Timur lebih menekankan ikon-ikon. Ikon merupakan gambar flat pada kayu, gading atau bahan-bahan lain, yang memperlihatkan Yesus, Perawan Maria, atau orang suci yang lain dan melembaga dalam Gereja Yunani. Selama abad kedelapan, ikon-ikon dilarang oleh Kaisar Leo III, namun protes keras menyebabkan larangan ini dicabutpada Sidang Umum ketujuh yang berlangsung di Nicaea tahun 787. Ini tampaknya merupakan kemenangan Gereja Timur. Namun perpecahan di antara keduanya tidak akan diatasi oleh siding tersebut dan masalah ini mengemuka pada abad ke 11 pada waktu Roma menerima pemberian suatu tambahan ke dalam Nicene Creed, suatu hal yang tidak disetujui Gereja Timur. Tambahan itu adalah "dan anak" setelah frasa "kami percaya dalam Roh Kudus, Tuhan pemberi kehidupan, yang diturunkan dari Allah Bapak ..." Jadi, Gereja-gereja Timur tidak menerima bahwa Roh Kudus diturunkan dari Allah Bapak dan Anak, melainkan hanya dari Allah Bapak. Tentang masalah ini Timur dan Barat sama sekali tidak mempunyai titik temu dan menimbulkan pemisahan tahun 1054, karena wakil Paus menempatkan surat-surat ekskomunikasi pada altar St. Sophia di Konstantinopel. Sejak itulah muncul Gereja Katolik Roma dan Gereja Ortodoks Yunani. Unsur-unsur doktrinal membuat mereka tetap terpisah: Gereja Katolik dipimpin oleh satu tampukpimpinan yang disebut Paus, sementara Gereja Ortodoks menyerahkan kepemimpinan di tangan para bishop atau patriark; pandangan tentang Roh Kudus juga berbeda, Gereja Ortodoks tetap memberikan kedudukan penting bagi ikon-ikon dalam pemujaan, para pelayan gerejanya dibolehkan menikah, dan lain-lain. Segera kemudian, yakni tahun 1096, Paus Urbanus II mengorganisasi Gereja Katolik ke dalam satu pola seragam yang bertahan selama hampir 200 tahun -tentara salib. Mula-mula dibentuk untuk dua tujuan, yakni mengurangi tekanan Turki atas Kekaisaran Timur dan untuk menjamin keamanan para peziarah yang berkunjung ke Yerusalem, tentara salib segera mengalami degradasi cita-cita; mereka ingin membebaskan Yerusalem dari ekuasaan Muslim. Gereja Katolik tetap berperan penting hingga abad pertengahan. Berpusat di Roma, Paus memegang kekuasaan tertinggi, yang melampaui kekuasaan raja dan ratu. Namun sejak akhir abad keempat belas mulailah timbul tantangan terhadap kekuasaan Paus yang begitu besar. Timbullah gerakan reformasi yang dimulai Lollards dan Hussites; gerakan ini berubah menjadi ancaman serius terhadap supremasi Gereja Katolik ketika tahun 1617, seorang imam bernama Martin Luther menentang keras penjualan surat aflat oleh gereja. Dia lalu menolak supremasi Paus, menyangkal transubstantiation, serta mendorong para bangsawan Jerman untuk memberontak dan memisahkan kekuasaan mereka. Para bangsawan, yang sebelumnya terdisilusi dengan kontrol oleh Gereja dan Paus, membutuhkan sedikit dorongan dan banyak di antara mereka segera bergabung dengan Martin Luther. Tindakan Luther merupakan awal tumbuhnya berbagai sekte yang didasari kepada doktrin pokok Luther namun berkembang sesuai dengan jalan yang ditempuh masing-masing sekte. Pandangan Luther mendapat formalisasi dalam Gereja Lutheran yang tumbuh subur di Jerman, Skandinavia dan Amerika. Namun Luther pun bertentangan dengan bekas sekutunya menentang Paus. Salah satu bekas pendukungnya, Zwingli, mengembangkan pandangan Eukaristi yang menyebabkan Luther dan Zwingli berpisah. Pengaruh Reformasi menyebar ke seluruh Eropa. Pembaharu yang lain, John Calvin, memisahkan diri dari Gereja Katolik Roma tahun 1533. Pandangannya hampir sama dengan Luther, namun dia yakin akan adanya karunia tertentu untuk kelompok tertentu. Pengikut Calvin menyebar di Jerman, Negeri Belanda, Skotlandia, Swiss, Amerika Utara dan cukup berpengaruh di Inggris. Inggris juga mengikuti anjuran para pembaharu namun dengan motif yang agak berbeda. Tahun 1521 Raja Henry VIII telah mengeluarkan suatu traktat yang menyerang Luther yang menyebabkan dia mendapat titel 'Pembela Iman" dari Paus. Akan tetapi Raja Henry VIII sangat ingin menikahi putri Anne Boleyn namun sebelum bisa menikahi Anne, dia harus menceraikan Catherine of Aragon. Sayangnya Paus tidak merestui perceraian itu (Roma dipengaruhi oleh saudara-saudara Catherine yang ada di Spanyol, negeri asal Catherine) dan Henry terpaksa mengabaikan kekuasaan Paus pada tahun 1534. Lalu dia menyatakan dirinya sebagai kepala Gereja Inggris, dan dapat membatalkan perkawinannya dengan Catherine. Ajaran "Tiga puluh sembilan pasal," yang menyangkut hal-hal yang kontroversial serta mengungkapkan bagaimana kedudukan Gereja Inggris mengenai masalah perceraian tersebut, dikeluarkan tahun 1571 selama pemerintahan Ratu Elizabeth I, anak perempuan Henry. Gereja Inggris mengakui kerajaan sebagai kepala gereja, bukan Paus, juga menolak transubstantiation, meniadakan biara serta menggantikan bahasa Latin dengan bahasa Inggris untuk dipakai di Gereja. Tetapi reaksi terhadap Roma masih belum mencapai bentuknya yang paling ekstrim. Dalam abad ketujuh belas, George Fox, dari Leicestershire (Inggris), mulai menyebarkan ajaran bahwa manusia dapat berhubungan dengan Tuhan tanpa melakukan suatu 'hiasan' (upacara) ritualis yang ditetapkan oleh gereja-gereja Katolik, dan bahwa gereja-gereja yang telah diperbaharui belum cukup jauh melangkah dalam penolakan mereka terhadap upacara dan hierarki gerejawi. Seorang kristen, menurut George Fox tidak membutuhkan imam atau pendeta/pastor, dan juga tidak membutuhkan bait suci. Tidak ada gunanya ketujuh sakramen Gereja Katolik; tidak dibutuhkan suatu sakramen apa pun. Fox lalu mulaimenyebarkan ajarannya dan melakukan berbagai perjalanan ke daerah-daerah pedalaman. Pada umumnya, saat berdirinya gerakan Fox ini dianggap terjadi pada tahun 1652, yakni saat terjadinya kebaktiannya yang sangat berhasil untuk pertama kalinya. Pengikutnya disebut "Quakers," atau "Perkumpulan Sahabat-sahabat." Sampai sekarang juga mereka tidak mempunyai bait suci kecuali rumah-rumah kebaktian, dan dalam kebaktian mereka tidak ada liturgy, tetapi sebaliknya, setiap orang dapat berbicara bila mereka merasa bahwa mereka mempunyai sesuatu yang bermanfaat untuk diutarakan, tanpa memperhatikan atau mempedulikan berapa usia yang mau berbicara tersebut dan apa kedudukannya dalam masyarakat. Berbagai perkembangan baru telah terjadi di Inggris pada periode setelah Perang Saudara. Banyak orang merasa tidak senang dengan penyatuan gereja dan negara yang dilakukan oleh Henry VIII, tetapi selama periode persemakmuran (Commonwealth period) di Inggris, mereka menjadi lega melihat bahwa kedua hal tersebut (gereja dan negara) telah dipisahkan kembali. Akan tetapi, dengan naiknya Charles II menjadi pangeran, Undang-undang Uniformitas dikeluarkan pada tahun 1662 yang memulihkan status quo tersebut danmemerintahkan semua pastor untuk menerima "Buku Doa Bersama." Imam-imam yang menolak untuk menerima (oleh karena itu disebut Non-Conformis) ketentuan-ketentuan Undang-undang ini akan dikeluarkan dari Jemaah mereka dan dianiaya. Hal ini berlangsung sampai dengan keluarnya Undang-undang Toleransi pada tahun 1689 yang emberikan mereka beberapa hak hukum (legal). Akibatnya, perkembangan Gereja Baptis dan Gereja Reformasi bersatu mengalami perkembangan cepat. Gereja Baptis, yang didirikan oleh John Smith, menganggap bahwa pembaptisan bayi adalah melawan perintah Alkitab. Hanya orang dewasa yang telah mengerti makna sumpah yang diucapkannyalah yang dapat dibaptis. Mereka juga mencoba untuk meyakinkan bahwa jemaat ikut aktif dalam perjalanan Gereja, dan mencontoh Kisah rasul-rasul dengan mengangkat deakonis dari antara jemaatnya (lihat Kisah Rasul-Rasul 6: 1-6) untuk membantu mengarahkan dan menuntun gereja tersebut. Gereja Reformasi Bersama adalah suatu koalisi dari GereJa Presbiterian Inggris (yang dikembangkan dari ajaran Calvin) dan gereja-gereja Jemaat Inggris dan Wales yangdidasarkan pada ajaran-ajaran dari tokoh pembaharu lainnya yang telah menyebarkan ajarannya pada zaman Calvin, yakni Robert Browne (1550-1633). Terlepas dari pandangan-pandangan mereka yang sangat sama, tetapi usaha-usaha untuk menyatukan kelompok-kelompok ini barulah berhasil pada tahun 1972 dengan pembentukan Gereja Reformasi Bersatu. Gereja Metodis pada mulanya adalah merupakan suatu gerakan dalam Gereja Inggris. Pendirinya, John Wesley (1703-1791), tetap menolak untuk berpisah dari gereja induknya. Akan tetapi, setelah kematiannya, disadari bahwa Gereja Metodis tidak dapat lagi dimasukkan dalam Gereja Inggris, dan lalu memisahkan diri pada tahun 1795. John Wesley dan saudaranya Charles, melalui studi mereka yang ketat dan metodis terhadap InJil (sehingga mereka disebut dengan nama Metodis), merasa bahwa keselamatan diperoleh hanya karena kasih dan karunia Tuhan, bukan karena suatu perbuatan atau kebaikan manusia. Menjelang akhir abad kesembilan belas, ada gelombang atau kegairahan lain mengenai perhatian keagamaan. Hal ini sebagian disebabkan penemuan-penemuan ilmiah dalam abad tersebut yang mengancam berbagai keyakinan yang hingga waktu itu telah diterima sebagai kebenaran religius yang tidak dapat dibantah (misalnya, mengenai taman firdaus dan masalah penciptaan). Dalam hal ini, reaksi dari Pencerahan (Enlightement) dalam tahun-tahun sebelumnya turut berperan. Akibatnya adalah bermunculannya banyak sekte yang memisahkan diri dari gereja induk mereka, sebagaimana yang terjadi dalam Reformasi yang memunculkan gereja-gereja yang diperbaharui yang memisahkan diri dari iman Katolik. Di Inggris, Bala Keselamatan berkembang sebagai suatu kekuatan besar, bukan saja karena ketaatan beragamanya, tetapi juga karena reformasi dan bantuan sosialnya. Di bawahkepemimpinan William Booth (1829-1912), Bala Keselamatan tersebut memisahkan diri dari gereja Metodis dalam tahun 1865 dan membentuk sendiri suatu organisasi yang bergaya militer karena kelompok tersebut menganggap dirinya sebagai laskar perang Tuhan dan memerangi ketidakadilan sosial. Dibandingkan dengan kebanyakan sekte Gereja, mereka sangat sedikit memperhatikan sakramen, walaupun mereka menerima bahwa beberapa orang Kristen mungkin melihat sakramen itu merupakan pertolongan dan bantuan. Di Amerika juga terjadi suatu gejolak keagamaan yang demikian. Pada tahun 1830, Mormon, atau Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Hari Terakhir, dibentuk oleh Joseph Smith (1805-1844) yang mengklaim telah mengalami suatu wahyu Tuhan, menemukan tablet-tablet emas yang tertulis dalam Buku Mormon, yakni yang merupakan kitab suci penganut Mormon. Pada mulanya ajaran Mormon ini terlarang karena pandangan-pandangan mereka yang menyimpang dari ajaran Kristen dan praktek poligami mereka, tetapi Mormon ini merayap ke seluruh Amerika dan akhirnya menetap di Salt Lake City, tempat markas mereka terletak hingga kini. Aliran spiritual mulai ada tahun 1848 ketika dua orang perempuan, yakni saudara perempuan Fox yang berumur dua belas dan lima belas tahun, menyebabkan suatu kegemparan di antara, penduduk kota mereka, Arcadia, New York State, dengan mengklaim bahwa mereka telah dapat berkomunikasi dengan roh-roh. Walaupun ada yang menyatakan bahwa suara-suara gaduh tersebut adalah suara gabungan dari suara kedua anak perempuan tersebut, tetapi mereka (penduduk kota tersebut) berkumpul sedemikian banyak mendukung supaya Gereja Spiritual didirikan. Penganut aliran Spiritual yakin, selain pada pandangan-pandangan Kristen biasa, bahwa, melalui mereka, nasihat dan tuntunan dapat diperoleh. Advent Hari Ketujuh juga mulai ada di Amerika, yang membangun reputasinya dalam tahun 1860, dan setelah itu sekte ini cepat menyebar ke seluruh dunia. Berbeda dengan sekte-sekte Kristen lainnya, mereka membuat hari ketujuh sebagai Sabat (yaitu, mereka menjalankannya seperti yang dilakukan oleh orang Yahudi, dimulai dari saat matahari terbenam pada hari Jumat sampai matahari terbenam hari Sabtu). Sama seperti Gereja Baptis, mereka hanya membaptis orang-orang dewasa, dan juga membuat pembatasan-pembatasan mengenai apa yang dapat dimakan dan diminum oleh jemaatnya. Misalnya, mereka tidak boleh minum alkohol dan memakan makanan kerang-kerangan. Sebelum mengakhiri ulasan ini, tiga kelompok Kristen lainnya harus disebut yakni: Christian Science, Saksi Jehova, dan gerakan Pantekosta. Christian Science didirikan oleh Mrs. Mary Baker Eddy pada tahun 1879, yang mempertahankan bahwa satu-satunya realitas hanyalah pikiran dan semua yang lainnya adalah illusi. Oleh karena itu penyakit jangan dirawat dengan obat, tetapi harus disembuhkan dengan mempraktekkan pemikiran yang benar. Saksi Jehova, yang didirikan oleh C.T. Russell, yakin bahwa kedatangan kedua kalinya Yesus serta akhir dunia ini akan terjadi dalam waktu yang tidak lama lagi, dan bila hal itu terjadi maka hanya suatu kelompok elit saja yang selamat, yaitu kelompok Saksi Jehova itu sendiri. Mereka mempunyai Al-Kitab dengan terjemahan mereka sendiri dan mereka menyisihkan banyak waktu, usaha, dan uang untuk kegiatan-kegiatan missionaris. Yang terakhir, yakni gerakan Pantekosta, yang bermula dari suatu missi di Los Angeles dalam tahun 1906 yang dilakukanoleh W.J. Seymour, mengajarkan bahwa setiap orang Kristen dapat mengalami kehadiran Rohul Kudus dalam diri mereka sendiri dan menerima hadiah-hadiah roh. Oleh karena itu kebaktian Pantekosta adalah merupakan upacara yang sangat emosional, di mana jemaatnya menjadi dirasuki oleh Rohul Kudus dan tampak berbicara dalam lidah (berbahasa roh), sebagaimana yang dilakukan oleh murid-murid Yesus yang pertama. Walaupun gerakan Pantekosta telah mempunyai gereja sendiri, tetapi gerakan ini telah juga mempengaruhi aspek-aspek lain dari Gereja (Kristen), dan dalam GereJa Katolik gerakan tersebut juga berpengaruh dengan munculnya apa yang disebut gerakan Karismatik, orang-orang Katolik bermaksud menerima Rohul Kudus dalam diri mereka sendiri. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengulas secara mendalam sekte-sekte Kristen, bahkan tulisan ini tidak menyebut semua sekte yang ada, karena ada banyak gerakan-gerakan dan aliran-aliran pemikiran yang berbeda dalam Gereja Kristen.Penulis hanya mencoba untuk menempatkan dalam latar belakang historis dan teologis sekte yang paling menyebar.
    POKOK-POKOK AJARAN KRISTEN Kristen, putri Sion, banyak menyerap tradisi Yahudi dan menerõma sepenuhnya Kitab Perjanjian Lama. Pendiri Agama Kristen, Yesus Kristus, adalah seorang Yahudi dan tidak pernah mengingkari Iman dan ajaran Yahudinya, bahkan dia selalu mematuhi upacara-upacara keagamaan dan pesta-pesta Yahudi dengan tekun. Dia juga pergi ke Yerusalem untuk menghadiri. pesta-pesta besar sebagaimana yang disyaratkan sebagai seorang Yahudi Ortodoks. Tetapi orang-orang Yahudi dan orang Kristen berbeda pendapat mengenai sifat (hakikat) Yesus; orang-orang Yahudi yakin bahwa dia adalah seorang manusia yang baik, atau barangkali seorang nabi dengan suatu pesan dari Tuhan, tetapi tidak lebih dari itu; sebaliknya, orang Kristen menganggap bahwa Yesus adalan Kristus (orang yang diurapi), Mesias Tuhan sebagaimana dijanjikan dalam Kitab Perjanjian Lama. Bukan saja dia merupakan utusanTuhan, tetapi dia adalah anak Tuhan, dan oleh karena itu menempati suatu hubungan yang unik dengan Tuhan. Dia mempunyai hakikat yang sama dengan Tuhan, dari sejak permulaan waktu telah ada bersama-sama dengan Tuhan, dan diutus ke bumi oleh Tuhan; lihat Injil yang ditulis oleh Santo Yahya dalam Yahya 1:1-2, 14: "Pada mulanya, Firman itu (Kristus) telah ada. Firman itu bersama-sama dengan Tuhan, dan Tuhan itu sendirilah Firman itu. Maka Firman itu telah sejak semula bersama-sama dengan Tuhan ... Maka Firman itu telah menjadi daging (manusia); Dia datang untuk tinggal bersama-sama dengan kita, dan kita melihat kemuliaannya, seperti kemuliaan yang diperoleh sebagai anak tunggal bapak, penuh dengan anugerah dan kebenaran." Dia dianggap dikandung dari seorang dara (perawan), yakni Perawan Maria, melalui kekuasaan Tuhan, dan oleh karena itu Dia sekaligus sebagai manusia dan sebagai Tuhan, suatu keberadaan yang menurut keyakinan orang Kristen tidak dapat dipahami secara logika, tetapi merupakan sesuatu yang harus diterima dengan iman dan dengan menyadari bahwa bagi Tuhan segala sesuatunya adalah mungkin, walaupun di luar jangkauan pengertian manusia. Iman Kristen menerima bahwa melalui kematiannya di kayu salib, Yesus mati untuk semua orang, dan bahwa semua orang dapat mencapai keselamatan melalui dia, suatu doktrin yang dijelaskan untuk pertama kalinya dan selengkapnya oleh Santo Paulus. Bagaimana ini dapat dimengerti? Pertama-tama kita harus menelusuri kembali iman Yahudi, karena tanpa memahami pemikiran orang atau bangsa Yahudi, maka argumen Kristen tidak akan dapat dimengerti. Menurut ajaran Yahudi, jalan satu-satunya untuk berdamai dengan Tuhan dan untuk mencapai keselamatan dari Tuhan adalah dengan menaati semua aturan-aturan hukum (hukum Tuhan), selain juga mematuhi tafsiran dan penjelasan dari hukum tersebut yang telah dikembangkan secara lisan selama berabad-abad. Jikaseseorang tidak mematuhi semua ketentuan hukum (Taurat) tersebut, maka dia dihukum -lihat ulangan (Musa 5) 27:26- "Suatu kutukan bagi orang yang tidak memenuhi hukum dengan melakukan semua yang telah ditentukan dalam hukum itu." Tetapi Paulus menyadari bahwa hal tersebut tidaklah mungkin, karena tidaklah ada manusia yang mampu memelihara semua kaidah-kaidah dan peraturan-peraturan tersebut, dan akibatnya semua orang menjadi akan dihukum. Adakah jalan keluarnya? Ya. Yesus diutus oleh Tuhan, yang suci dan tidak berdosa, merupakan satu-satunya orang yang dapat bersatu dengan Tuhan melalui kesempurnaan hidupnya. Namun, walaupun tidak ada kesalahan dalam dirinya (ketidakbersalahan Yesus dinyatakan berulang-ulang oleh penulis-penulis Injil), tetapi dia disalibkan, yang berarti bahwa dia seperti semua orang, dihukum sesuai (menurut) hukum. Hal ini dijelaskan berdasarkan Kitab Ulangan 21:22-23: "Bila seseorang didakwa melakukan kejahatan besar dan dijatuhi hukuman mati, maka kamu harus menggantung dia pada sebuah kayu; tetapi tubuhnya jangan dibiarkan tergantung sampai bermalam; kamu harus menguburnya pada hari itu juga, karena seorang manusia yang digantung adalah terkutuk di hadapan Tuhan ..." Namun demikian, Yesus berdamai dengan Tuhan, dia telah mematahkan rintangan hukum melalui kebangkitannya. Jadi bila seorang manusia, walaupun dikutuk berdasarkan hukum, akan dapat didamaikan dengan Tuhan, maka semua orang melalui iman dan melalui pengidentifikasian (peniruan) orang yang satu tersebut (Yesus) dapat didamaikan dengan Tuhan sebagaimana Yesus adanya. Oleh karena itu apa yang penting bagi keselamatan bukanlah sepenuhnya terletak pada ketaatan pada hukum secara kaku dan mutlak (walaupun Paulus menegaskanbahwa hukum atau Taurat itu baik, yang telah diturunkan oleh Tuhan, dan harus ditaati sebisa mungkin -Roma 7:12) tetapi lebih dari itu adalah iman terhadap Kristus yang menjadi intinya, karena melalui iman dalam Yesus, orang Kristen akin bahwa mereka akan diarahkan pada Tuhan sebagaimana Yesus Kristus itu sendiri. Dengan demikian maka kiranya jelaslah apa yang menjadi perbedaan antara agama Yahudi dan agama Kristen. Agama Kristen, sebagaimana juga agama Yahudi, adalah merupakan suatu kepercayaan monoteis, yang menganggap bahwa Tuhanadalah Maha Pencipta dan Penopang dunia, yang memelihara, mencintai, dan melindungi umat manusia. Tetapi kepercayaan Kristen ini adalah suatu bentuk monoteisme yang berbeda: Kristen menerima suatu "Trinitas," di mana bersama Tuhan dan Yesus Kristus ada suatu pihak ketiga yang seperti Kristus yang inti (esensi)nya sama dengan Tuhan tetapi terpisah, yakni Rohul Kudus. Roh Kudus inilah yang bekerja, dan demi kebaikan manusia. Dalam kamus Kecil Oxford mengenai Gereja Kristen (ed. E.A. Livingstone) Rohul Kudus didefinisikan sebagai berikut: "Rohul Kudus. Dalam Teologi Kristen, pribadi ketiga dalam Trinitas, berbeda dari bapak dan anak, tetapi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan mempunyai sifat yang sama dan merupakan pelengkap dari sifat keilahian." Dengan demikian, maka Rohul Kudus itulah yang menuntun nabi-nabi, rasul, dan para penyebar ajaran Tuhan dalam melaksanakan missinya. Walaupun bukan termasuk bagian dari Trinitas, tetapi Perawan Maria menempati suatu kedudukan yang sangat penting dalam iman banyak orang Kristen, khususnya yang beragama Katolik. Dia dipandang sebagai seorang perantara antara umat dengan Kristus. Orang Kristen menganggap atau menerima Perjanjian Baru sebagai sumber pengetahuan mereka mengenai kehidupan dan pengajaran Kristus. Ada empat Injil. Masing-masing dari keempat Injil ini menyoroti kehidupan Yesus dari sudut pandang yang berbeda-beda. Hal inilah yang menjadi salah satu sebab kenapa sepertinya ada ketidakcocokan di antara keempat uraian Injil tersebut. Perjanjian Baru adalah merupakan bagian kedua dari Alkitab, dan bagian ini tidak diterima oleh agama Yahudi. Selain keempat Injil tersebut, Perjanjian Baru juga memuat Kitab Kisah Rasul-Rasul, Surat-surat Apostel Paulus, dll., serta diakhiri dengan wahyu, yakni suatu cerita yang bersifat visi mengenai Hari Penghakiman dan Kedatangan Kedua Kristus. Ide kedatangan kedua (Parousia) ini sangat penting dalam Gereja yang pertama, karena jemaat (pengikut Kristus) pada saat itu menganggap bahwa Kristus akan segera kembali lagi dalam bentuk jasmaniah dan waktunya tidak akan lama, yakni semasa pengikut-pengikut awalnya masih hidup. Ketika dia kembali lagi, pikir mereka, dia akan mengumandangkan akhir zaman dan Hari Kiamat, dimana semua akan mempertanggungjawabkan perbuatannya masing-masing. Yang baik ke surga, yang jahat ke neraka. The History of Christian DoctrineSejarah Perkembangan Ajaran TrinitasL. BerkhofPenerbit CV. Sinar BaruCetakan pertama: 1992Bandung

    Sekilas kita melihat bahwa musuh Islam bersatu padu, terorganisir dengan baik. Sebenarnya tidak demikian, Kristen terpecah belah menjadi berbagai aliran dalam jumlah yang sangat banyak. Dan antara satu aliran dengan aliran yang lain tak jarang mempunyai perselisihan yang sangat tajam. Berikut kita akan melihat bagaimana Kristen terpecah-pecah menjadi sekian banyak aliran. Menurut sumber mereka, Kristen mula-mula terbagi atas lima wilayah yang berbeda yakni komunitas kristen di Yerusalem, Antiokia, Aleksandria, Konstantinopel, dan Roma. Masing-masing komunitas ini mempunyai perbedaan signifikan dalam mendefinisikan siapa Allah, siapa Yesus, siapa Perawan Maria. Konsili Nicea adalah konsili besar pertama dalam sejarah kekristenan yang mengundang pendeta-pendeta kristen untuk bertemu dalam suatu forum besar yang disponsori oleh Kaisar Konstantin. Seperti yang pernah kami bahas di ARANA beberapa edisi sebelumnya, Konsili Nicea th.325 ini sarat dengan muatan politis dari kepentingan Konstantin yang saat itu imperium yang dipimpinnya sedang diambang kehancuran akibat konflik perbedaan aqidah. Keterlibatan Konstantin tidak sekedar mensponsori konsili tersebut, tapi juga ia yang menentukan siapa yang berhak diundang dan yang tidak. Dia juga memimpin jalannya sidang, memutuskan siapa yang harus keluar dari arena sidang ketika terjadi perdebatan sengit tentang status Yesus (sebagai manusia atau sebagai Tuhan) dan bahkan hingga memutuskan hasil sidang tersebut. Di forum inilah Yesus diresmikan menjadi Tuhan. Kemudian status gereja dilembagakan secara formal. Hierarki gereja disusun secara bertingkat-tingkat dipimpin langsung oleh Konstantin dan Paus pertama adalah Konstatin. Disinilah awal gereja Katholik yang sebenarnya. Kemudian terjadi perpecahan-perpecahan besar dalam struktur Gereja menurut sejarah yang tercatat sebagai berikut : Perpecahan terjadi pada saat Konsili Efesus (th.431), yang menyatakan status Perawan Maria sebagai Theotokos (Bunda Allah). Kebanyakan yang menolak hasil keputusan ini adalah Kristen Persia. Gereja ini sekarang dikenal sebagai Gereja Asiria Timur.
    Perpecahan berikut terjadi setelah Konsili Khalsedon (th.451). Konsili ini menolak monofisit. Kristen yang menolak ini dikenal sebagai Komuni Oriental Ortodoks. Kemudian perpecahan kembali terjadi dalam Gereja Katolik pada abad 11. Penyebabnya adalah perbedaan doktrin ketuhanan dalam rumusan Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel dan perebutan kekuasaan duniawi. Gereja Katolik pun terbagi menjadi dua, yaitu "Barat" dan "Timur". Inggris, Prancis, Roma dan negara-negara Skandinavia termasuk Gereja "Barat" (Gereja Katolik Roma). Sedangkan Yunani, Rusia, Suriah, Mesir termasuk dalam Gereja "Timur" (Gereja Ortodoks). Perpecahan ini dikenal sebagai Skisma Barat-Timur. Perpecahan terbesar yang terakhir dalam Gereja Katolik Roma terjadi pada abad ke-16 dengan adanya Reformasi Protestan yang melahirkan Gereja-Gereja Protestan. Gereja ini mempunyai sangat banyak aliran dan tidak mempunyai kepemimpinan yang terpusat seperti Katholik Roma. Perpecahan demi perpecahan terus berlangsung hingga saat ini. Perpecahan selanjutnya terjadi ketika Raja Henry VIII dari Inggris memisahkan seluruh gereja-gereja di kerajaannya dari persekutuan dengan Paus (Gereja Katholik Roma). Masalahnya, karena permintaannya untuk menikah kembali sementara istrinya masih hidup ditolak oleh Paus. Kelompok gereja inilah yang dikenal sebagai Gereja Anglikan. Grup terbesar yang menyebut diri mereka sebagai Katolik adalah Gereja Katolik Roma. Kata Roma dipakai karena Gereja Katolik ini menganggap Paus yang berkedudukan di Roma sebagai kepala gereja. Di Indonesia Karena latar belakang penjajahan Belanda, Gereja-gereja Protestan di Indonesia kebanyakan berlatar belakang Calvinis. Namun Gereja-gereja ini pada umumnya terbagi-bagi ke dalam kelompok-kelompok suku dan regional, misalnya GBKP, GKI, GKJW, GMIM. Ada pula Gereja-gereja Lutheran yang pada umumnya terkonsentrasi di Sumatera Utara, dan merupakan hasil misi dari Jerman, seperti Gereja HKBP, GKPS, BNKP, dll. Ada pula sekte besar lainnya yaitu Kristen Marten Luther. Aliran ini dicetuskan oleh Marten Luther dan Philip Milenstone pada tahun 1530 M, setelah memisahkan diri dari Roman Katolik. Pengikut aliran ini berpendapat mereka harus mempertanggungjawabkan semua amalan mereka di hadapan Allah. Karena pengaruh gerakan misi dari Amerika Serikat, sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, hadir pula di Indonesia Gereja-gereja yang berasal dari negara tersebut, seperti Gereja Adventist, Baptis, Pentakosta, Karismatik, Kristen Jesus Kristus, dll. Kristen Jesus Kristus didirikan oleh Thomas Kampel, Alexander (anak T. Kampel) dan Barthon Stone. Mereka mencetuskannya di Amerika pada abad ke-19 Masehi. Aliran ini menaruh perhatian besar terhadap usaha menghidupkan kembali tradisi kekristenan sesuai dengan yang dipesankan dalam Perjanjian Baru. Gereja Ortodoks. Gereja ini baru muncul di Indonesia sekitar akhir tahun 1960-an, meskipun di negara-negara Eropa Timur, Timur Tengah, dan India Gereja ini telah hadir selama berabad-abad, bahkan sebagian telah hadir sejak abad pertama ketika kali pertama Gereja Kristen terbentuk oleh para murid Yesus. Kini di Indonesia telah hadir Gereja Ortodoks Yunani, Gereja Ortodoks Syria, dan Gereja Ortodoks Rusia. Kristen Ortodoksmuncul setelah terjadinya perpecahan tahun 1054 M. Penganut aliran ini mengklaim bahwa merekalah penganut Kristen yang benar. Selain Gereja-gereja di atas, ada pula Gereja-gereja lain yang ajarannya sering dianggap terlalu jauh berbeda dengan Gereja-gereja yang disebutkan tadi, seperti Gereja Mormon, Saksi Yehuwa, dan Christian Science. Kristen MethodisAliran ini dicetuskan pada tahun 1729 di Inggris oleh John Wizli. Pengikutnya meyakini bahwa keselamatan seseorang harus langsung melalui Jesus. Kristen PresbyterianDicetuskan oleh John Calvin di Geneva pada tahun 30an abad ke-16 Masehi. Pengikut aliran ini berpendapat wajib beriman kepada kada dan kadar. Kristen Pantekosta Aliran ini dicetuskan di Amerika pada awal abad ke-20. Ajarannya diilhami oleh datangnya Roh Kudus kepada para pendeta di awal hari Limapuluh, sehingga mereka akan dapat berbicara dengan berbagai bahasa. Jesus dinyatakan akan muncul kembali dalam waktu yang tidak lama lagi. Kristen Uskup Agung ProtestanAliran ini muncul di James Town, Amerika Serikat pada tahun 1789 setelah terjadinya revolusi Amerika. Aliran ini dianggap sebagai pengganti Kristen Anglikan. Sebenarnya Allah SWT telah memperingatkan kita dalam Al-Quran bahwa seolah-olah mereka bersatu tetapi sesungguhnya mereka berpecah-belah, mereka saling bermusuhan antara satu dengan yang lain. Mereka tidak akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok. Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. Kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengerti. (Qs. Al Hasyr : 14).
    Kekuatan mereka ibarat jaring laba-laba, terlihat besar namun sangat rapuh. Maka sudah saatnya kini kita bersatu. Jangan mengkafirkan atau menyesatkan saudara sesama muslim hanya karena perbedaan furu’iyah. Mari rapatkan barisan bentengi akidah ummat !!! (Silmy Kaffah)

    Bibliografi
    Artikel ini diambil dari : Kruger, Dr. Th. Muller. 1966. Sejarah Gereja Di Indonesia. Badan Penerbitan Kristen-Djakarta. Halaman 38-46.
    Organisasi, Adjaran dan Kehidupan Geredja pada Zaman VOC
    Tidaklah perlu diuraikan lebih landjut, bahwa pada zaman ini VOC Geredja di Belandalah jang merupakan ibu-geredja bagi Geredja di Indonesia. Memang sebenarnja ia tak berkewibawaan apapun atas Geredja di Indonesia itu. Sudah kita lihat bahwa pemerintah VOC sama sekali tak meluaskannja dan hampir-hampir tak memberikan suatu kebebasan jang sesungguhnja kepada Geredja di Indonesia. Mereka djuga tidak banjak memperdulikan protes-protes serta peringatan-peringatan jang dikeluarkan oleh synode-synode propinsi di Belanda, jang sekali-sekali mengeluarkan suaranja jang tegas. Tambahan pula, VOC-lah jang menanggung segala ongkos pengeluaran Geredja dan djuga tak mengizinkan bahwa oleh pihak lain, misalnja oleh "ibu-geredja", disediakan wang bagi Geredja di Indonesia. Segala-galanja harus datang dari pihak pemerintah, ja sebenarnjalah ia ingin berkuasa atas segala hal. Namun demikian besar djuga pengaruh rohani dari Geredja di Belanda. Bentuk-bentuk organisasinja, dasar-dasar pengakuan imannja, ketentuan-ketentuan siasat geredjanja, tjorak-tjorak kehidupan geredjanja, dengan sendirinja mendjadi djuga tjontoh dan ukuran di Indonesia. Dan pengaruh ini berlaku seberapa hal itu sesuai dengan maksud-maksud pemerintah serta didalam keadaan-keadaan jang memungkinkannja di Indonesia. Orang tidak menghendaki apapun melainkan supaja Geredja di Indonesia ini dibangun "sesuai dengan aturan djemaat gereformeerd (menurut adjaran Calvin) ditanah air", sebagaimana dinjatakan oleh wakil pemerintah pada sidang am pertama di Djakarta tahun 1642. Dikatakan harus sesuai dengan bentuk Geredja-geredja kalvinis di Belanda, tetapi bagaimanakah harus melaksanakan suatu tata-geredja presbyterial di-daerah-daerah ini? Sebab, bukankah per-tama-tama harus ada djemaat jang berdiri sendiri lengkap dengan madjelis-madjelis geredjanja jang dipilih sendiri, berhak untuk memanggil serta meneguhkan pendeta-pendetanja sendiri, memiliki kebebasan serta kemerdekaan untuk memimpin djemaat-djemaat setempat. Dan selandjutnja, sama seperti ditanah tumpah darah, djemaat-djemaat ini akan digabungkan didalam klasis-klasis, dan klasis-klasis ini didalam suatu badan synodal. Akan tetapi sebenarnja maksud ini gagal di Indonesia. Memang ada terdapat beberapa djemaat, tetapi betapa berdjauhan satu daripada jang lain! Betapa lemahnja, betapa tergantung kepada pendudukan orang-orang Eropa, atas factor-factor di Banda, Kupang, Ternate ataupun Ambon dan tempat-tempat lain! Betapa sukarnja bagi djemaat-djemaat ini untuk membentuk suatu kelompok jang tetap didalam masjarakat jang selalu berubah itu. Dan betapa berdjauhan tinggalnja golongan-golongan, jang terhisab pada djemaat ini. Lagipula, tidaklah dibentuk djemaat Indonesia tersendiri disamping djemaat-djemaat Eropa, sungguhpun sudah barang tentu diadakan kebaktian-kebaktian tersendiri menurut golongan-golongan bahasa. (Di Djakarta misalnja terdapat satu bagian djemaat chusus untuk orang-orang "mardeika" jang berbahasa Portugis dan jang berbahasa Melaju. Di Ambon terdapat satu djemaat, jang didalamnja termasuk djuga djemaat-djemaat kampung dari seluruh pulau itu, ja bahkan dari Saparua dan Haruku). Dengan sendirinja terdapat lebih banjak penatua-penatua serta sjamas-sjamas bangsa Eropa. Bahkan di Djakarta hanja terdapat orang-orang Eropa didalam madjelis geredja. Akan tetapi djuga dimana ada orang-orang Indonesia mendjadi anggota, hampir-hampir mereka tiada bersuara apapun. Perbedaan tingkat dan perbawa demikian besar didalam masjarakat kolonial, sehingga sukar untuk bekerdja-sama setjara menguntungkan. Tambahan pula madjelis-madjelis geredja itu seluruhnja berbahasa Belanda. Orang-orang Kristen Indonesia jang ribuan banjaknja itu sebenarnja tiada bersuara didalamnja, bukannja pertama-tama oleh sebab mereka disendirikan, melainkan oleh sebab dasar-dasar tata-geredja presbyterial dari negeri Belanda tersebut kurang sesuai dalam masjarakat kolonial ini untuk suatu perkembangan jang subur bagi orang-orang Kristen Indonesia.
    Soal lain pula ialah hak untuk memanggil pendeta-pendeta. Bagaimanakah hal itu bisa dilaksanakan sedangkan djarak-djarak jang begitu djauh tidak memungkinkah untuk mengenal dan dapat memilih pendeta jang akan dipanggil itu. Dapatlah dikatakan, bahwa mengingat keadaan-keadaan geografi maka perlu diadakan sematjam pusat pimpinan Geredja. Artinja bahwa hak djemaat untuk memanggil se-tidak-tidaknja harus ditempatkan pada suatu instansi Geredja jang tertinggi. Sebenarnja pemerintah VOC telah merampas begitu sadja hak ini. Biarpun para pendeta dan djuga "ibu-geredja" di Belanda memadjukan keberatan-keberatannja dengan tegas, namun para penguasa di Indonesia tetap berpegang keras pada haknja untuk menempatkan serta memindahkan pendeta-pendeta menurut kebidjaksanaan mereka.
    Dan hanja dalam satu hal Geredja di Belanda dapat melaksanakan hak-geredjanja, jaitu bahwa synode-synode provinsi dari Noord-ataupun Zuid-Holland ataupun Zeeland - artinja provinsi-provinsi pantai jang banjak sangkut-pautnja dengan VOC - dapat memilih pedjabat-pedjabat Geredja sendiri, meneguhkannja serta mengutusnja, biarpun memang hal itu terdjadi dengan persetudjuan tuan-tuan XVII. Akan tetapi djelaslah, bahwa hal ini tidak mempunjai arti apapun bagi pertumbuhan, serta kemerdekaan Geredja-geredja di Indonesia. Ternjata bahwa suatu tata-geredja presbyterial tidak dapat didjalankan begitu sadja.
    Lebih-lebih djika mengingat organisasi Geredja maka hal tadi djelas pula. Bagaimanakah dapat membentuk klasis-klasis sedangkan djarak-djarak antara djemaat jang satu dengan lainnja itu sangat djauh sekali? Bahkan bagaimanakah dapat mengadakan suatu rapat synodal biarpun hanja sekali dalam tiga tahun, sedangkan perdjalanan pulang-pergi dari beberapa utusan se-kurang-kurangnja memakan waktu setengah tahun! Keadaan-keadaan geografis memang memaksa orang untuk mengurus segala sesuatu dari atas. Dan siapa lagi jang dapat memegang pimpinan selain daripada Djakarta, jaitu djemaat diibu-kota jang dekat pada pemerintah? Beralaskan dasar-dasar gereformeerd maka "ibu-geredja" telah melawan tindakan-tindakan itu se-keras-kerasnja. Akan tetapi orang-orang Kristen di Indonesia memang mengerti, bahwa mau tak mau hal itu harus terdjadi demikian. Djakarta ialah pusat segala sesuatu. Pemusatan kekuasaan diibu-kota mengakibatkan djuga suatu pemusatan organisasi Geredja. Djadi maksud untuk menjesuaikan organisasi Geredja di Indonesia dengan Geredja dinegeri Belanda boleh dikatakan hampir tidak terlaksana. Pada hakekatnja sia-sialah usaha Ds. Danckaerts jang mentjoba untuk menjusun tata-geredja baru jang sesuai dengan tata-geredja jang ditetapkan oleh synode Dordrecht.
    Lebih mudahlah persoalan mengenai pengakuan dan adjaran Geredja. Ketiga pasal keesaan, ialah pasal-pasal adjaran Synode Dordrecht, pengakuan iman Belanda, dan Katekismus Heidelberg merupakan dasar-dasar jang kuat bagi Geredja di Indonesia pada waktu itu. Tiap "agama" lain tidak diperbolehkan, termasuk tentunja Geredja RK, akan tetapi djuga konfesi-konfesi Reformasi jang lain, misalnja Remonstran, Lutheri dsb. Baru pada tahun 1745 Gubernur Djenderal Imhoff membolehkan didirikannja suatu djemaat Lutheri di Djakarta disebabkan adanja pasukan sewaan Djerman. Adjaran diawasi dengan tegas supaja tetap murni dan tidak boleh dinodai. Akan tetapi rupa-rupanja djaranag ada alasan untuk bertengkar tentang per-bedaan-bedaan adjaran ataupun untuk menjelidiki adjaran-adjaran sesat. Djadi dalam hal adjaran ada tertjapai persesuaian dengan "ibu-geredja". Makanja sedjak mulanja diusahakan untuk memperoleh terdjemahan-terdjemahan dari Katekismus Heidelberg, formulir-formulir tentang baptisan dan perdjamuan kudus dsb. Djuga terdjemahan buku pertanjaan karangan Marnix sedjak permulaan memainkan peranan jang penting. VOC telah menerbitkan dan menjiarkan be-ribu-ribu buku ketjil itu.
    Sudah barang tentu jang terutama diperlukan ialah terdjemahan Alkitab. Dengan kagumnja kita melihat terdjadinja terdjemahan-terdjemahan Alkitab dalam djumlah jang banjak. Pada tahun 1629 keluarlah terdjemahan Perdjandjian Baru, pada tahun 1648 keempat kitab Indjil, pada tahun 1668 seluruh Perdjandjian Baru dan kitab Kedjadian (Ds. Brouwerius). Pada achirnja seorang pendeta di Djakarta, jaitu Leydekker menjelesaikan seluruh terdjemahan Alkitab sesudah bekerdja ber-tahun-tahun dengan radjinnja. Untuk tugas jang besar dan berat itu ia telah dibebaskan dari pekerdjaannja sebagai pendeta. Tetapi pada tahun 1701 meninggallah ia sebelum tugasnya itu selesai. Mulai dari Epesus 6:6 terdjemahan itu diteruskan oleh penggantinja, jaitu Ds. P. van der Vorm. Lalu seluruh terdjemahan itu diperiksa sekali lagi oleh seorang pendeta Swis, namanja Werndly. Pada tahun 1723 siaplah Alkitab itu untuk ditjetak, akan tetapi barulah pada tahun 1733 keluar tjetakan jang pertama. Sebenarnya lebih dari dua puluh tahun lamanja naskah-naskah itu disimpan didalam lemari tuan-tuan XVII. Sebabnja ialah karena mereka menunggu berachirnja suatu pertikaian jang disebabkan oleh Ds. Valentijn. Pendeta ini - disamping pekerdjaannja sebagai pendeta dan penulis dari 5 djilid buku "Oud en Nieuw Oost Indië" - telah menterdjemahkan pula Alkitab ke dalam bahasa Melaju Ambon dan mentjoba supaja terdjemahannja itu jang ditjetak dan bukan terdjemahan Leydekker. Pendapatnja ialah bahwa bahasa tinggi dari Leydekker itu toh tidak akan dimengerti oleh orang-orang Kristen di Indonesia bagian timur. Achirnja VOC memberi putusan jang lain, dan djustru terdjemahan Leydekkerlah se-akan-akan memperoleh nilai pusaka di Timur Besar.
    Sebagaimana "ibu-geredja" hendak mendjadi suatu Geredja dibawah Alkitab, demikian djuga halnja dengan anaknja di Indonesia. Meskipun begitu agak mengherankan kita, bahwa sesudah seabad berselang barulah diberikannja kepadanja segenap Alkitab. Akan tetapi hal itu tentu disebabkan djuga oleh kenjataan, bahwa untuk kebaktian-kebaktian Belanda se-tidak-tidaknja orang memiliki Alkitab Belanda jang disebut "Statenvertaling". Dan selandjutnja untuk dipergunakan oleh "para guru" ternjata tjukuplah buku-buku katekisasi dan terdjemahan-terdjemahan kitab-kitab Indjil jang sudah disebut tadi itu. Dalam hubungan ini patut disebutkan bahwa djuga orang-orang Kristen berbahasa Portugis memperoleh Alkitabnja didalam bahasa Portugis. Malah terdapat tiga terdjemahan Perdjandjian Baru dalam bahasa Portugis. Tetapi jang diterima dan ditjetak di Belanda pada tahun 1681, ialah terdjemahan Ferreira (lih. hlm. 51), seorang keturunan Portugis. Terdjemahan Perdjandjian Lama jang pada tahun 1691 hampir selesai ketika Ferreira meninggal dunia, barulah ditjetak pada tahun 1753.
    Persesuaian itu tentunja meliputi djuga penggunaan njanjian-njanjian mazmur didalam kebaktian-kebaktian. Pada permulaan abad ke-17 kita djumpai sudah di Banda empat njanjian geredja jang pertama, jaitu "Kesepuluh firman", "doa Bapa Kami", "Mazmur 100" jang telah digubah dan sebuah "njanjian malam". Hingga 1652, terutama oleh Heurnius, selesailah dikarang 150 njanjian mazmur. Kira-kira seabad kemudian djaitu pada tahun 1735 terbitlah suatu terdjemahan serta gubahan baru oleh Ds. Werndly. Memang tidaklah mungkin untuk menjesuaikan djuga lagunja dengan "ibu-geredja". Sedjak tahun 1624 sudah sering diadakan surat-menjurat, bahwa hendaknja ditinggalkan sadja "tjara Inggris" dalam menjanjikan mazmur-mazmur itu. Sebenarnja "tjara Inggris" ini tak ada sangkut pautnja dengan tjara pembatjaan mazmur didalam doa pagi dan malam di Geredja Anglikan, dimana seorang djuru batja (liturg) dan djemaat ber-ganti-ganti dalam mengutjapkan ajat-ajat mazmur. Kesulitan terutama untuk mengutjapkan mazmur-mazmur itu sebaris demi sebaris sebelum djemaat menjanji ialah kurangnja buku-buku njanjian mazmur dan tidak pandainja kebanjakan orang-orang Kristen Indonesia membatjanja.
    Hal jang selandjutnja sesuai ialah bahwa chotbah itu dengan sendirinja merupakan hal jang utama didalam kebaktian. Memang hanja pendeta-pendeta sadja jang boleh mengadakan chotbah. Akan tetapi dalam hal kekurangan pedjabat-pedjabat jang berwenang maka orang membutuhkan djuga para penghibur-orang-sakit dan para guru Indonesia, tetapi jang tidak berhak untuk membuat chotbahnja sendiri. Mereka hanja boleh membatjakan chotbah-chotbah sadja. Terutama kumpulan-kumpulan chotbah dalam bahasa Melaju karangan Wiltens, Caron dan Molanus, jang beberapa kali ditjetak-ulang, jang dipergunakan untuk maksud itu. Malah doa-doa untuk kebaktian-kebaktian tidak diperbolehkan diutjapkan setjara bebas. Oleh karena itulah maka diterbitkan dalam satu djilid buku katekismus, pasal-pasal keesaan dan doa-doa.
    Geredja di Belanda selalu mendesak, supaja "Geredja di Indonesia tidak menjimpang dari tjara-tjara jang berlaku didalam Geredja kalvinis dinegeri Belanda." Dan didalam tata-geredja 1643 dengan tegas dikatakan: "Perlulah djuga, bahwa pengawasan terhadap orang-orang Kristen Indonesia diperkeras, agar supaja merekapun didalam kebiasaan-kebiasaannja setjara lahir sesuai dengan tjara-tjara orang-orang Belanda." Hal ini dilaksanakan demikian keras sehingga djuga diharuskan memakai pakaian-geredja hitam jang diuntukkan bagi para penatua dan sjamas-sjamas. Bahkan sesuai dengan kebiasaan di Geredja Belanda maka Katekismus djuga dichotbahkan, dan malahan djam Kebaktian Katekismus disesuaikan dengan tjara Belanda jaitu djam 3 petang.
    Akan tetapi persesuaian itu tidak dapat ditjapai dalam beberapa hal. Terutama dalam soal-soal baptisan dan perdjamuan kudus. Dalam soal baptisan misalnja, orang segera menghadapi kesulitan-kesulitan jang tak dapat dipetjahkan oleh "ibu-geredja". Per-tama-tama orang menghadapi soal, apakah anak-anak boleh dipermandikan djika mereka itu lahir diluar perkawinan jang sah antara seorang Kristen Eropa dengan seorang wanita Indonesia, dan apakah "anak-anak kafir" boleh dipermandikan djika mereka itu mendjadi anak-anak angkat dari orang-orang Kristen. Mengenai soal pertama baptisan itu diperbolehkan, djika salah seorang dari orang tua adalah anggota djemaat. Soal kedua lebih sukar djawabannja. Jang disebut anak-anak angkat ialah sebenarnja anak-anak jang lahir dari perhubungan antara seorang Eropa dengan seorang budak perempuan Indonesia. Disebabkan oleh baptisan jang diterimanja maka mereka memperoleh djuga hak untuk mendjadi warga-negara Belanda. Mengenai soal ini Synode Dordrecht memberi nasehat, untuk membiarkan dulu anak-anak ini landjut dalam usianja dan mengadjar mereka se-baik-baiknja, sebelum mereka dibaptiskan. Akan tetapi kemudiannja mendjadi kebiasaan untuk toh membaptiskan anak-anak ini, djika dapat diundjukkan surat keterangan adopsi. Mengenai baptisan untuk anak-anak Indonesia jang ibu bapanja masih berada didalam kekafiran telah ditjarikan djalan sendiri oleh "synode am" pertama pada tahun 1620. Diusulkan supaja terhadap anak-anak sedemikian diadakan upatjara pemberkatan sadja. Kelak apabila mereka sudah dewasa mereka dapat meminta sendiri untuk dibaptiskan sesudah memperoleh didikan dalam kepertjajaan Kristen. Akan tetapi kebiasaan "penjerahan" dan "pentahbisan" ini tidak diperbolehkan oleh ibu-geredja Belanda.
    Pertanjaan-pertanjaan tadi itu pada hakekatnja sudah menundjukkan kearah suatu persoalan, jang mendjadi sangat penting bagi Geredja di Indonesia dan jang akibat-akibatnja masih nampak dibeberapa daerah. Persoalan itu ialah pemisahan sakramen-sakramen. Singkatnja soal itu ialah kalau-kalau mereka jang sudah dibaptisknan itu djuga langsung dapat diperbolehkan ikut serta dalam perdjamuan kudus ataukah sebelumnja itu mereka harus dahulu mendapat peladjaran jang lebih dalam tentang kepertjajaan Kristen. Dengan kata lain: dapatkah sakramen Perdjamuan Kudus dipisahkan daripada sakramen Baptisan dengan menjelipkan lagi suatu pengadjaran kateksasi diantara kedua sakramen itu? Djadi sebenarnja jang mendjadi persoalan ialah baptisan orang dewasa, sedangkan baptisan anak-anak dengan sendirinja diikuti kemudian oleh peladjaran katekisasi, sehingga mendjadi sidi dan diperbolehkan duduk pada medja perdjamuan Tuhan. Rupa-rupanja persoalah ini sudah terdapat pada zaman Portugis. Para padri memang merasakan betapa sukarnja untuk memperbolehkan begitu sadja be-ribu-ribu orang-orang Kristen, jang kadang-kadang dibaptiskan tanpa memperoleh suatu pengadjaran apapun, ikut serta dalam sakramen komuni. Ketjuali di Ambon sendiri, dimana oleh pemeliharaan rohani dapat diadakan pengadjaran seperlunja, maka pada umumnja seorang jang baru dibaptiskan hampir-hampir tak diperbolehkan mengikuti komuni. Kira-kira keadaan jang serupa itu kita dapati dimana sadja ada segolongan bangsa Indonesia mendjadi anggota Geredja oleh baptisan massa, tanpa persediaan jang mendalam.
    Peraturan Geredja sebelumnja itu djelas. Synode Dordrecht dengan tegas telah menetapkan, bahwa orang-orang dewasa jang telah mendjadi anggota Geredja oleh baptisan dewasa, pada kesempatan pertama harus djuga duduk pada medja perdjamuan. Akan tetapi bagaimanakah hal itu dapat dilaksanakan pada orang banjak, jang pada suatu perkundjungan singkat sering dibaptiskan tanpa diberi pengadjaran jang mendalam? Sering djuga dilakukan pembaptisan jang serba tjepat, sebab dengan demikian para pendeta menjangka dapat menghindarkan orang-orang kafir dari pengaruh Islam. Bahkan untuk mengadjak orang-orang lain supaja menganut agama Kristen. "Djuga untuk menjatakan betapa senangnja kita, bahwa penduduk-penduduk kita jang beragama kafir dan Islam itu boleh mentjari keselamatannja pada Djuru Selamat jang satu-satunja jaitu Tuhan Jesus Kristus", maka kepada "tiap-tiap orang bumiputera" jang minta dibaptiskan, diberikan suatu hadiah wang. Pendeta jang membaptiskannjapun menerima sematjam "wang murid" dan bahkan sang radja, jang membawa orang-orang kafir itu, mendapat upah. Bagaimanapun djuga, tjara pembaptisan serba tjepat ini terhadap "orang-orang Kristen nasi" itu akan hanja dapat dipertanggung-djawabkan, djika segera dapat didjamin suatu pengadjaran dan pemeliharaan rohani jang mentjukupi bagi orang-orang jang baru dibaptiskan itu. Tetapi hal ini tak pernah dilaksanakan. Satu-satunja hal jang dilihat oleh orang-orang Kristen ini ialah perkundjungan-perkundjungan jang hanja sekali-sekali diadakan oleh para pendeta dan para penghibur orang sakit, jang djumlahnja hanja sedikit, itupun djuga sering ber-tahun-tahun sesudah baptisan. Karena itu tidaklah mengherankan, bahwa misalnja Ds Brand pada tahun 1705 di Siau sama sekali tidak melajani perdjamuan kudus, malah merasa tidak perlu untuk berchotbah dihadapan sekian banjak orang jang sama sekali bodoh itu. "Diantara 3298 orang jang telah dibaptiskan agaknja tidak ada seorangpun anggota djemaat"! Inilah djuga salah satu akibat jang menjedihkan dari praktek baptisan ini bahwa hampir-hampir tidak ada seorangpun jang mendjadi anggota tetap didalam djemaat itu. Misalnja statistik jang berikut memperlihatkan kepada kita keadaan jang menjedihkan itu:
    Tahun
    Tempat
    Djumlah jang dibaptiskan
    Djumlah jang mendjadi anggota tetap
    1708
    di pulau Seram
    1132
    33
    1710
    Ternate
    432
    39
    1741
    Roti
    964
    4
    1754
    Kisar
    425
    0
    1754
    Banda
    1088
    72
    1762
    Ambon
    27311
    963
    1771
    Sangir dan Minahasa
    12396
    34
    Dan kehidupan rohani apakah jang dapat diharapkan dari suatu Geredja, djika rata-rata hanja 3% dari orang-orang Kristen itu jang diperbolehkan turut serta dalam perdjamuan kudus?! Dalam hal ini timbul kesangsian kita bahwa mereka belum memutuskan keadaannja dahulu jang bersifat kekafiran. Djuga kita menaruh sangsi bahwa tidak terdjadi suatu perhubungan jang sesungguhnja dengan Tuhan Jesus Kristus, bahwa mereka tidak menjadari bahwa mereka merupakan GeredjaNja. Mereka hanjalah "orang-orang Kristen mulut", "orang-orang Kristen tanpa Kristus", orang-orang "Laodikea". Itulah sebutan-sebutan jang sering terbatja didalam laporan-laporan para pendeta. Akan tetapi apa boleh buat? "Didesak oleh ketakutan akan agama Islam, dan oleh pertimbangan bahwa suatu pengkristenan setjara tjepat dan sekali gus adalah tjara bekerdja jang tepat, baik ditindjau dari sudut pekabaran indjil maupun politik", maka praktek sematjam itu diteruskanlah. Dan itu terdjadi walaupun ada suara-suara jang memperingatkan agar supaja lebih ber-hati-hati, seperti jang dapat kita batja didalam tatageredja Ambon 1673 jang bunjinja sebagai berikut: "djuga orang-orang jang sudah dewasa baik jang merdeka maupun jang budak, tidak boleh semudahnja dibawa kepada baptisan......"
    Sebenarnja dengan tjara bekerdja seperti ini maka "pemisahan sakramen" sudah mendjadi kenjataan. Bagaimanapun aneh kedengarannja, tetapi didalam keadaan-keadaan ini maka hal itulah satu-satunja djalan untuk toh masih dapat mempertahankan sedikit taraf kerohanian Geredja. Sebab apakah jang akan terdjadi djika orang banjak jang baru dibaptiskan itu diperbolehkan duduk pada medja Tuhan, tanpa kesadaran sedikitpun pada mereka apakah sebenarnja ini kepertjajaan mereka dan chusus artinja perdjamuan kudus? Djika demikian halnja maka agaknja agama kafir ini begitu sadja memperboleh kelandjutannja didalam agama Kristen. Djadi setjara nama sadja mereka mendjadi Kristen.
    Penghormatan besar terhadap perdjamuan kudus, disebabkan baru sesudah persediaan dan penjelidikan jang lama seseorang diperbolehkan turut serta se-tidak-tidaknja telah membangunkan kesadaran, bahwa "agama Kristen" itu tidak begitu sadja melebur didalam agama-agama rakjat. Tak dapatlah disangkal, bahwa pandangan Alkitab tentang sakramen sudah ditinggalkan oleh mereka itu. Pemisahan sakramen-sakramen jang dilakukan itu tak sesuai dengan Alkitab. Akan tetapi selain daripada itu tampaklah akibat-akibat jang tidak dikehendaki ialah pandangan masjarakat terhadap sakramen-sakramen itu. Didalam masjarakat kafir terdapat suatu upatjara keagamaan, dimana para pemuda diterima didalam lingkungan orang dewasa. Bukankah baptisan itu direndahkan mendjadi upatjara sedemikian? Pada pihak lain perdjamuan kudus memperoleh suatu kedudukan istimewa. Karena itu amat bersifat magi (gaib), dan hanja ditjapai oleh mereka jang berhubungan dengan suatu pengadjaran jang lama dapat memenuhi tuntutan-tuntutannja setjara intelektuil dan jang lantaran itu se-olah-olah memperoleh bagian kebaktian jang lebih tinggi. Didalam suatu suasana, dimana pada hakekatnja magi itu mendjalar dan meresap didalam segala kebiasaan serta perbuatan-perbuatan agama, maka hal ini membawa akibat-akibat jang membahajakan.
    Djadi pada satu pihak kita melihat bahwa didalam banjak "djemaat" di Indonesia pemisahan sakramen-sakramen itu merupakan suatu hal jang tak dapat dielakkan disebabkan oleh praktek-praktek baptisan tersebut. Pada pihak lain didalam djemaat-djemaat Eropa hal itu disebabkan oleh kemerosotan susila, jang diderita oleh masjarakat Eropa. Sebenarnja banjak orang-orang Eropa hidup ber-sama-sama dengan budak-budak perempuan mereka ataupun dengan perempuan-perempuan pengasuh rumah mereka. Dari perhubungan-perhubungan inilah anak-anak dilahirkan. Anak-anak ini hanja dapat dibaptiskan, djika ibu-ibunja, kebanjakan masih kafir ataupun Islam, djuga dibaptiskan. Akan tetapi sebagai orang-orang dewasa mereka hanja dapat dibaptiskan, djika mereka serentak mendjadi anggota-anggota djemaat, djadi djuga diperbolehkan merajakan perdjamuan kudus. Tetapi hal ini tidak dapat pula dilaksanakan, oleh sebab perkawinan mereka jang tidak sah itu akan menempatkan mereka dibawah siasat Geredja. Djadi persoalannja ialah, kalau-kalau terhadap wanita-wanita ini boleh dilakukan pemisahan sakramen-sakramen dengan pengertian, bahwa wanita-wanita ini dapat mendjadi "anggota-anggota baptisan" akan tetapi tidak dapat mendjadi anggota-anggota djemaat. Hal itu telah mendjadi pokok perdebatan jang lama dan sengit. Terutama seorang pendeta Belanda, dahulunja seorang padri RK jang berpindah kedalam Geredja Belanda serta mendjadi VOC di Afrika Selatan, lalu dipetjat dari pekerdjaannja sebagai pendeta disana, telah memainkan peranannja jang kurang enak. Namanja ialah Le Boucq. Sajangnja bahwa synode-synode Belanda jang bersangkutan karena pengaruh Le Boucq ini tidak mempunjai pendapat jang sama. Malah sampai dimintakan suatu nasehat theologia dari fakultas theologia di Leiden, jang tentu sadja menegaskan bahwa pemisahan sakramen-sakramen setjara theologia tidak dapat dipertahankan. Akan tetapi dibawah tekanan keadaan-keadaan maka achirnja pada tahun 1743 disusunlah suatu resolusi, dimana dinjatakan bahwa terserahlah kepada "setahu hati pendeta" bagaimana ia harus bertindak. Djadi orang menghindarkan suatu utjapan tegas-djelas. Hal ini mengakibatkan bahwa pemisahan sakramen-sakramen masih terus mendjalar dibeberapa Geredja, berabad-abad lamanja.

0 comments:

Leave a Reply

Monggo dikomentari ...