• Shalat Dalam Fikroh Cak Nurcholis

    SHALAT
    Oleh Nurcholish Madjid


    Berdasarkan berbagai keterangan dalam Kitab Suci dan HaditsNabi, dapatlah dikatakan bahwa shalat adalah kewajibanperibadatan (formal) yang paling penting dalam sistemkeagamaan Islam. Kitab Suci banyak memuat perintah agar kitamenegakkan shalat (iqamat al-shalah, yakni menjalankannyadengan penuh kesungguhan), dan menggambarkan bahwa kebahagiaankaum beriman adalah pertama-tama karena shalatnya yangdilakukan dengan penuh kekhusyukan. [1]). Sebuah hadits Nabisaw. menegaskan, "Yang pertama kali akan diperhitungkantentang seorang hamba pada hari Kiamat ialah shalat: jikabaik, maka baik pulalah seluruh amalnya; dan jika rusak, makarusak pulalah seluruh amalnya." [2] Dan sabda beliau lagi,"Pangkal segala perkara ialah al-Islam (sikap pasrah kepadaAllah), tiang penyangganya shalat, dan puncak tertingginyaialah perjuangan di jalan Allah." [3] Karena demikian banyaknya penegasan-penegasan tentangpentingnya shalat yang kita dapatkan dalam sumber-sumberagama, tentu sepatutnya kita memahami makna shalat itu sebaikmungkin. Berdasarkan berbagai penegasan itu, dapat ditarikkesimpulan bahwa agaknya shalat merupakan "kapsul" keseluruhanajaran dan tujuan agama, yang di dalamnya termuat ekstrak atausari pati semua bahan ajaran dan tujuan keagamaan. Dalamshalat itu kita mendapatkan keinsyafan akan tujuan akhir hidupkita, yaitu penghambaan diri ('ibadah) kepada Allah, TuhanYang Maha Esa, dan melalui shalat itu kita memperolehpendidikan pengikatan pribadi atau komitmen kepada nilai-nilaihidup yang luhur. Dalam perkataan lain, nampak pada kita bahwashalat mempunyai dua makna sekaligus: makna intrinsik, sebagaitujuan pada dirinya sendiri dan makna instrumental, sebagaisarana pendidikan ke arah nilai-nilai luhur. Makna Intrinsik Shalat (Arti Simbolik Takbirat al-Ihram) Kedua makna itu, baik yang intrinsik maupun yang instrumental,dilambangkan dalam keseluruhan shalat, baik dalam unsurbacaannya maupun tingkah lakunya. Secara Ilmu Fiqih, shalatdirumuskan sebagai "Ibadah kepada Allah dan pengagungan-Nyadengan bacaan-bacaan dan tindakan-tindakan tertentu yangdibuka dengan takbir (Allahu Akbar) dan ditutup dengan taslim(al-salam-u 'alaykam wa rahmatu-'l-Lah-i wa barakatah), denganruntutan dan tertib tertentu yang diterapkan oleh agamaIslam." [4] Takbir pembukaan shalat itu dinamakan "takbir ihram" (takbiratal-ihram), yang mengandung arti "takbir yang mengharamkan",yakni, mengharamkan segala tindakan dan tingkah laku yangtidak ada kaitannya dengan shalat sebagai peristiwa menghadapTuhan. Takbir pembukaan itu seakan suatu pernyataan formalseseorang membuka hubungan diri dengan Tuhan (habl-un min-a'l-Lah), dan mengharamkan atau memutuskan diri dari semuabentuk hubungan dengan sesama manusia (habl-un min al-nas -"hablum minannas"). Maka makna intrinsik shalat diisyaratkandalam arti simbolik takbir pembukaan itu, yang melambangkanhubungan dengan Allah dan menghambakan diri kepada-Nya. Jikadisebutkan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia oleh Allahagar mereka menghamba kepada-Nya, maka wujud simbolikterpenting penghambaan itu ialah shalat yang dibuka dengantakbir tersebut, sebagai ucapan pernyataan dimulainya sikapmenghadap Allah. Sikap menghadap Allah itu kemudian dianjurkan untuk dikukuhkandengan membaca doa pembukaan (du'a al-iftitah), yaitu bacaanyang artinya, "Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepadaDia yang telah menciptakan seluruh langit dan bumi, secarahanif (kecenderungan suci kepada kebaikan dan kebenaran) lagimuslim (pasrah kepada Allah, Yang Maha Baik dan Benar itu),dan aku tidaklah termasuk mereka yang melakukan syirik." [5]Lalu dilanjutkan dengan seruan, "Sesungguhnya shalatku, darmabaktiku, hidupku dan matiku untuk Allah Penjaga seluruh alamraya; tiada sekutu bagi-Nya. Begitulah aku diperintahkan, danaku termasuk mereka yang pasrah (muslim)." [6] Jadi, dalam shalat itu seseorang diharapkan hanya melakukanhubungan vertikal dengan Allah, dan tidak diperkenankanmelakukan hubungan horizontal dengan sesama makhluk (kecualidalam keadaan terpaksa). Inilah ide dasar dalam takbirpembukaan sebagai takbirat al-ihram. Karena itu, dalamliteratur kesufian berbahasa Jawa, shalat atau sembahyangdipandang sebagai "mati sajeroning hurip" (mati dalam hidup),karena memang kematian adalah panutan hubungan horizontalsesama manusia guna memasuki alam akhirat yang merupakan "haripembalasan" tanpa hubungan horizotal seperti pembelaan,perantaraan, ataupun tolong-menolong. [7] Selanjutnya dia yang sedang melakukan shalat hendaknyamenyadari sedalam-dalamnya akan posisinya sebagai seorangmakhluk yang sedang menghadap Khaliknya, dengan penuhkeharuan, kesyahduan dan kekhusyukan. Sedapat mungkin iamenghayati kehadirannya di hadapan Sang Maha Pencipta itusedemikian rupa sehingga ia "seolah-olah melihat Khaliknya";dan kalau pun ia tidak dapat melihat-Nya, ia harus menginsyafisedalam-dalamnya bahwa "Khaliknya melihat dia", sesuai denganmakna ihsan seperti dijelaskan Nabi saw dalam sebuah hadits.[8] Karena merupakan peristiwa menghadap Tuhan, shalat jugasering dilukiskan sebagai mi'raj seorang mukmin, dalam analogidengan mi'raj Nabi saw yang menghadap Allah secara langsung diSidrat al-Muntaha. Dengan ihsan itu orang yang melakukan shalat menemukan salahsatu makna yang amat penting ibaratnya, yaitu penginsyafandiri akan adanya Tuhan Yang Maha Hadir (omnipresent), sejalandengan berbagai penegasan dalam Kitab Suci, seperti, misalnya:"Dia (Allah) itu beserta kamu di manapun kamu berada, danAllah Maha teliti akan segala sesuatu yang kamu kerjakan." [9] Bahwa shalat disyariatkan agar manusia senantiasa memeliharahubungan dengan Allah dalam wujud keinsyafan sedalam-dalamnyaakan ke-Maha-Hadiran-Nya, ditegaskan, misalnya, dalam perintahkepada Nabi Musa as. saat ia berjumpa dengan Allah di Sinai:"Sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku. Makasembahlah olehmu akan Daku, dan tegakkanlah shalat untukmengingat-Ku!" [10] Dan ingat kepada Allah yang dapat berartikelestarian hubungan yang dekat dengan Allah adalah jugaberarti menginsyafkan diri sendiri akan makna terakhir hidupdi dunia ini, yaitu bahwa "Sesungguhnya kita berasal dariAllah, dan kita akan kembali kepada-Nya". [11] Maka dalamliteratur kesufian berbahasa Jawa, Tuhan Yang Maha Esa adalah"Sangkan-Paraning hurip" (Asal dan Tujuan hidup), bahkan"Sangkan-Paraning dumadi" (Asal dan Tujuan semua makhluk). Keinsyafan terhadap Allah sebagai tujuan akhir hidup tentuakan mendorong seseorang untuk bertindak dan berpekertisedemikian rupa sehingga ia kelak akan kembali kepada Allahdengan penuh perkenan dan diperkenankan (radliyah mardliyyah).Oleh karena manusia mengetahui, baik secara naluri maupunlogika, bahwa Allah tidak akan memberi perkenan kepada sesuatuyang tidak benar dan tidak baik, maka tindakan dan pekertiyang harus ditempuhnya dalam rangka hidup menuju Allah ialahyang benar dan baik pula. Inilah jalan hidup yang lurus, yangasal-muasalnya ditunjukkan dan diterangi hati nurani (nurani,bersifat cahaya, yakni, terang dan menerangi), yang merupakanpusat rasa kesucian (fithrah) dan sumber dorongan suci manusiamenuju kebenaran (hanif). Tetapi manusia adalah makhluk yang sekalipun pada dasarnyabaik namun juga lemah. Kelemahan ini membuatnya tidak selalumampu menangkap kebaikan dan kebenaran dalam kaitan nyatanyadengan hidup sehari-hari. Sering kebenaran itu tak nampakpadanya karena terhalang oleh hawa nafsu (hawa al-nafs,kecenderungan diri sendiri) yang subyektif dan egois sebagaiakibat dikte dan penguasaan oleh vested interest-nya. Karenaitu dalam usaha mencari dan menemukan kebenaran tersebutmutlak diperlukan ketulusan hati dan keikhlasannya, yaitusikap batin yang murni, yang sanggup melepaskan diri daridikte kecenderungan diri sendiri atau hawa nafsu itu.Begitulah, maka ketika dalam shalat seseorang membaca suratal-Fatihah --yang merupakan bacaan terpenting dalam ibadatitu-- kandungan makna surat itu yang terutama harus dihayatibenar-benar ialah permohonan kepada Allah agar ditunjukkanjalan yang lurus (al-shirath al-mustaqim). Permohonan itusetelah didahului dengan pernyataan bahwa seluruh perbuatandirinya akan dipertanggungjawabkan kepada Allah (basmalah),diteruskan dengan pengakuan dan panjatan pujian kepada-Nyasebagai pemelihara seluruh alam raya (hamdalah), Yang MahaPengasih (tanpa pilih kasih di dunia ini -al-Rahman) dan MahaPenyayang (kepada kaum beriman di akhirat kelak -al-Rahim).Lalu dilanjutkan dengan pengakuan terhadap Allah sebagaiPenguasa Hari Pembalasan, di mana setiap orang akan berdirimutlak sebagai pribadi di hadapan-Nya selaku Maha Hakim,dikukuhkan dengan pernyataan bahwa kita tidak akan menghambakecuali kepada-Nya saja semurni-murninya, dan juga hanyakepada-Nya saja kita memohon pertolongan karena menyadaribahwa kita sendiri tidak memiliki kemampuan intrinsik untukmenemukan kebenaran. Dalam peneguhan hati bahwa kita tidak menghambakan dirikecuali kepada-Nya serta dalam penegasan bahwa hanyakepada-Nya kita mohon pertolongan tersebut, seperti dikatakanoleh Ibn 'Atha' Allah al-Sakandari, kita berusahamengungkapkan ketulusan kita dalam memohon bimbingan ke arahjalan yang benar. Yaitu ketulusan berbentuk pengakuan bahwakita tidak dibenarkan mengarahkan hidup ini kepada sesuatuapapun selain Tuhan, dan ketulusan berbentuk pelepasanpretensi-pretensi akan kemampuan diri menemukan kebenaran.Dengan kata lain, dalam memohon petunjuk ke jalan yang benaritu, dalam ketulusan, kita harapkan senantiasa kepada Allahbahwa Dia akan mengabulkan permohonan.kita, namun pada saatyang sama juga ada kecemasan bahwa kebenaran tidak dapat kitatangkap dengan tepat karena kesucian fitrah kita terkalahkanoleh kelemahan kita yang tidak dapat melepaskan diri darikungkungan kecenderungan diri sendiri."Harap-harap cemas" itumerupakan indikasi kerendahan hati dan tawadlu', dan sikap itumerupakan pintu bagi masuknya karunia rahmat llahi: "Berdoalahkamu kepada-Nya dengan kecemasan dan harapan! Sesungguhnyarahmat Allah itu dekat kepada mereka yang berbuat baik." [12].Jadi, di hadapan Allah "nothing is taken for granted,"termasuk perasaan kita tentang kebaikan dan kebenaran dalamhidup nyata sehari-hari. Artinya, apapun perasaan, mungkinmalah keyakinan kita tentang kebaikan dan kebenaran yang kitamiliki harus senantiasa terbuka untuk dipertanyakan kembali.Salah satu konsekuensi itu adalah "kecemasan." Jika tidakbegitu maka berarti hanya ada harapan saja. Sedangkan harapanyang tanpa kecemasan samasekali adalah sikap kepastian diriyan mengarah pada kesombongan. Seseorang disebut sesat padawaktu ia yakin berada di jalan yang benar padahal sesungguhnyaia menempuh jalan yang keliru. Keadaan orang yang demikian itu, lepas dari "iktikad baiknya"tidak akan sampai kepada tujuan, meskipun, menurut IbnTaymiyyah, masih sedikit lebih baik daripada orang yang memangtidak peduli pada masalah moral dan etika; orang inilah yangmendapatkan murka dari Allah. Maka diajarkan kepada kita bahwa yang kita mohon kepada Allahialah jalan hidup mereka terdahulu yang telah mendapat karuniakebahagiaan dari Dia, bukan jalan mereka yang terkena murka,dan bukan pula jalan mereka yang sesat. Ini berarti adanyaisyarat pada pengalaman berbagai umat masa lalu. Maka ia jugamengisyaratkan adanya kewajiban mempelajari dan belajar darisejarah, guna menemukan jalan hidup yang benar. [13] Disebutkan dalam Kitab Suci bahwa shalat merupakan kewajiban"berwaktu" atas kaum beriman. [14] Yaitu, diwajibkan padawaktu-waktu tertentu, dimulai dari dini hari (Subuh),diteruskan ke siang hari (Dhuhur), kemudian sore hari (Ashar),lalu sesaat setelah terbenam matahari (Maghrib) dan akhirnyadi malam hari ('Isya). Hikmah di balik penentuan waktu ituialah agar kita jangan sampai lengah dari ingat di waktu pagi,kemudian saat kita istirahat sejenak dari kerja (Dhuhur) dan,lebih-lebih lagi, saat kita "santai" sesudah bekerja (dariAshar sampai 'Isya). Sebab, justru saat santai itulah biasanyadorongan dalam diri kita untuk mencari kebenaran menjadilemah, mungkin malah kita tergelincir pada gelimang kesenangandan kealpaan. Karena itulah ada pesan Ilahi agar kitamenegakkan semua shalat, terutama shalat tengah, yaitu Ashar,[15] dan agar kita mengisi waktu luang untuk bekerja kerasmendekati Tuhan.[16]
    Sebagai kewajiban pada hampir setiap saat, shalat jugamengisyaratkan bahwa usaha menemukan jalan hidup yang benarjuga harus dilakukan setiap saat, dan harus dipandang sebagaiproses tanpa berhenti. Oleh karena itu memang digunakanmetafor "jalan," [17] dan pengertian "jalan" itu dengansendirinya terkait erat dengan gerak dan dinamika. Maka dalamsistem ajaran agama, manusia didorong untuk selalu bergeraksecara dinamis, sedemikian rupa sehingga seseorang tidakditerima untuk menjadikan keadaannya tertindas di suatu negeriatau tempat sehingga ia tidak mampu berbuat baik, karena iatoh sebenarnya dapat pergi, pindah atau bergerak meninggalkannegeri atau tempat itu ke tempat lain di bumi Tuhan yang luasini. [18] Dengan kata lain, dari shalat yang harus kitakerjakan setiap saat sepanjang hayat itu kita diajari untuktidak berhenti mencari kebenaran, dan tidak kalah oleh situasiyang kebetulan tidak mendukung. Sekali kita berhenti karenamerasa telah "sampai" pada suatu kebenaran, maka ia mengandungmakna kita telah menemukan kebenaran terakhir atau final, danitu berarti menemukan kebenaran mutlak. Ini adalah suatukesombongan, seperti telah kita singgung di atas, dan akanmenyangkut suatu kontradiksi dalam terminologi, yaitu adanyakita yang nisbi dapat mencapai kebenaran final yang mutlak.Dan hal itu pada urutannya sendiri, akan berarti salah satudari dua kemungkinan: apakah kita yang menjadi mutlak,sehingga "bertemu" dengan yang final itu, ataukah yang finalitu telah menjadi nisbi, sehingga terjangkau oleh kita! Danmanapun dari kedua kemungkinan itu jelas menyalahi jiwa pahamTauhid yang mengajarkan tentang Tuhan, Kebenaran Final(al-Haqq), sebagai Wujud yang "tidak sebanding dengan sesuatuapa pun juga" [19] dan "tidak ada sesuatu apapun juga yangsemisal dengan Dia" [20]. Jadi, Tuhan tidak analog dengansesuatu apa pun juga. Karena itu Tuhan juga tidak mungkinterjangkau oleh akal manusia yang nisbi. Ini dilukiskan dalamKitab Suci, "Itulah Allah, Tuhanmu sekalian, tiada Tuhanselain Dia, Pencipta segala sesuatu. Maka sembahlah akan Dia;Dia adalah Pelindung atas segala sesuatu. Pandangan tidakmenangkap-Nya, dan Dia menangkap semua pandangan. Dia adalahMaha Lembut, Maha Teliti." [21] Begitulah, kurang lebih, sebagian dari makna surat al-Fatihah,yang sebagai bacaan inti dalam shalat dengan sendirinyamenjiwai makna shalat itu. Adalah untuk doa kita yang kitapanjatkan dengan harap-harap cemas agar ditunjukkan ke jalanyang lurus itu maka pada akhir al-Fatihah kita ucapkan dengansyahdu lafal Amin, yang artinya, "Semoga Allah mengabulkanpermohonan ini." Dan sikap kita yang penuh keinsyafan sebagaikondisi yang sedang menghadap atau tawajjuh ("berhadap wajah")kepada Tuhan itulah yang menjadi inti makna intrinsik shalatkita. MAKNA INSTRUMENTAL SHALAT (ARTI SIMBOLIK UCAPAN SALAM) Shalat disebut bermakna intrinsik (makna dalam dirinyasendiri), karena ia merupakan tujuan pada dirinya sendiri,khususnya shalat sebagai peristiwa menghadap Allah danberkomunikasi dengan Dia, baik melalui bacaan, maupun melaluitingkah laku (khususnya ruku' dan sujud). Dan shalat disebutbermakna instrumental, karena ia dapat dipandang sebagaisarana untuk mencapai sesuatu di luar dirinya sendiri. Sesungguhnya adanya makna instrumental shalat itu sangatlogis, justru sebagai konsekuensi makna intrinsiknya juga.Yaitu, jika seseorang dengan penuh kesungguhan dan keinsyafanmenghayati kehadiran Tuhan dalam hidup kesehariannya, makatentu dapat diharap bahwa keinsyafan itu akan mempunyai dampakpada tingkah laku dan pekertinya, yang tidak lain daripadadampak kebaikan. Meskipun pengalaman akan kehadiran Tuhan itumerupakan kebahagiaan tersendiri yang tak terlukiskan dalamkata-kata, namun tidak kurang pentingnya ialah perwujudankeluarnya dalam tindakan sehari-hari berupa perilaku berbudipekerti luhur, sejiwa dalam perkenan atau ridla Tuhan. Inilahmakna instrumental shalat, yang jika shalat itu tidakmenghasilkan budi pekerti luhur maka ia sebagai "instrumen"akan sia-sia belaka. Berkenaan dengan ini, salah satu firman Allah yang banyakdikutip ialah, "Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadaengkau (hai Muhammad), yaitu Kitab Suci, dan tegakkanlahshalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari yang kotor dankeji, dan sungguh ingat kepada Allah adalah sangat agung(pahalanya). Allah mengetahui apa yang kamu sekaliankerjakan." [22] Dengan jelas firman itu menunjukkan bahwasalah satu yang dituju oleh adanya kewajiban shalat ialahbahwa pelakunya menjadi tercegah dari kemungkinan berbuatjahat dan keji. Maka pencegahan diri dan perlindungannya darikejahatan dan kekejian itu merupakan hasil pendidikan melaluishalat. Karena itu jika shalat seseorang tidak mencapai halyang demikian maka ia merupakan suatu kegagalan dan kemuspraanyang justru terkutuk dalam pandangan Allah. Inilah pengertianyang kita dapatkan dari firman Allah, (terjemahnya, kuranglebih) "Sudahkah engkau lihat orang yang mendustakan agama?Yaitu dia yang menghardik anak yatim, dan tidak dengan tegasmenganjurkan pemberian makan kepada orang miskin! Makacelakalah untuk mereka yang shalat, yang lupa akan shalatmereka sendiri. Yaitu mereka yang suka pamrih, lagi engganmemberi pertolongan." [23] Jadi, ditegaskan bahwa shalatseharusnya menghasilkan rasa kemanusiaan dan kesetiakawanansosial, yang dalam firman itu dicontohkan dalam sikap penuhsantun kepada anak yatim dan kesungguhan dalam memperjuangkannasib orang miskin. Adalah hasil dan tujuan shalat sebagai sarana pendidikan budiluhur dan perikemanusiaan itu yang dilambangkan dalam ucapansalam sebagai penutupnya. Ucapan salam tidak lain adalah doauntuk keselamatan, kesejahteraan dan kesentosaan orang banyak,baik yang ada di depan kita maupun yang tidak, dan diucapkansebagai pernyataan kemanusiaan dan solidaritas sosial. Denganbegitu maka shalat dimulai dengan pernyataan hubungan denganAllah (takbir) dan diakhiri dengan pernyataan hubungan dengansesama manusia (taslim, ucapan salam). Dan jika shalat tidakmenghasilkan ini, maka ia menjadi muspra, tanpa guna, bahkanmenjadi alasan adanya kutukan Allah, karena dapat bersifatpalsu dan menipu. Dari situ kita dapat memahami kerasnyaperingatan dalam firman itu. Dalam kaitannya dengan firman itu Muhammad Mahmud al-Shawwafmenguraikan makna ibadat demikian: Terdapat berbagai bentukibadat pada setiap agama, yang diberlakukan untuk mengingatkanmanusia akan keinsyafan tentang kekuasaan Ilahi yang MahaAgung, yang merupakan sukma ibadat itu dan menjadi hikmahrahasianya sehingga seorang manusia tidak mengangkangi manusiayang lain, tidak berlaku sewenang-wenang dan tidak yang satumenyerang yang lain. Sebab semuanya adalah hamba Allah.Betapapun hebat dan mulianya seseorang namun Allah lebihhebat, lebih mulia, lebih agung dan lebih tinggi. Jadi, karenamanusia lalai terhadap makna-makna yang luhur ini makadiadakanlah ibadat untuk mengingatkan mereka. Oleh karenaitulah setiap ibadat yang benar tentu mempunyai dampak dalampembentukan akhlak pelakunya dan dalam pendidikan jiwanya. Dampak itu terjadi hanyalah dari ruh ibadat tersebut dankeinsyafan yang pangkalnya ialah pengagungan dan kesyahduan.Jika ibadat tidak mengandung hal ini maka tidaklah disebutibadat, melainkan sekedar adat dan pamrih, sama dengan bentukmanusia dan patungnya yang tidak disebut manusia, melainkansekedar khayal, bahan tanah atau perunggu semata. Shalat adalah ibadat yang paling agung, dan suatu kewajibanyang ditetapkan atas setiap orang muslim. Dan Allahmemerintahkan untuk menegakkannya, tidak sekedar menjalaninyasaja. Dan menegakkan sesuatu berarti menjalaninya dengan tegakdan sempurna karena kesadaran akan tujuannya, denganmenghasilkan berbagai dampak nyata. Dampak shalat dan hasiltujuannya ialah sesuatu yang diberitakan Allah kepada kitadengan firman-Nya, "Sesungguhnya shalat mencegah dari yangkotor dan keji", [24] dan firman-Nya lagi, "Sesungguhnyamanusia diciptakan gelisah: jika keburukan menimpanya, iabanyak keluh kesah; dan jika kebaikan menimpanya, ia banyakmencegah (dari sedekah). Kecuali mereka yang shalat..." [25]Allah memberi peringatan keras kepada mereka yang menjalanishalat hanya dalam bentuknya saja seperti gerakan dan bacaantertentu namun melupakan makna ibadat itu dan hikmahrahasianya, yang semestinya menghantarkannya pada tujuan muliaberupa gladi kepribadian, pendidikan kejiwaan dan peningkatanbudi. Allah berfirman, "Maka celakalah untuk mereka yangshalat, yang lupa akan shalat mereka sendiri. Yaitu merekayang suka pamrih, lagi enggan memberi pertolongan." [26]Mereka itu dinamakan "orang yang shalat" karena merekamengerjakan bentuk lahir shalat itu, dan digambarkan sebagailupa akan shalat yang hakiki, karena jauh dari pemusatan jiwayang jernih dan bersih kepada Allah Yang Maha Tinggi dan MahaAgung, yang seharusnya mengingatkannya untuk takut kepada-Nya,dan menginsyafkan hati akan kebesaran kekuasaan-Nya dankeluhuran kebaikan-Nya. Para ulama membagi riya atau pamrih menjadi dua. Pertama,pamrih kemunafikan, yaitu jika perbuatan ditujukan untuk dapatdilihat orang lain guna mendapatkan pujian, penghargaan ataupersetujuan mereka. Kedua pamrih adat kebiasaan, yaituperbuatan dengan mengikuti ketentuan-ketentuannya namun tanpamemperhatikan makna perbuatan itu dan hikmah rahasianya sertafaedahnya, dan tanpa perhatian kepada Siapa (Tuhan) yangsebenarnya ia berbuat untuk-Nya dan guna mendekat kepada-Nya.Inilah yang paling banyak dikerjakan orang sekarang. Sungguhamat disayangkan! [27] Demikian penjelasan yang diberikan oleh seorang ahli agamadari Arab, al-Shawwaf, tentang makna instrumental shalat.Dalam Kitab Suci juga dapat kita temukan ilustrasi yang tajamtentang keterkaitan antara shalat dan perilaku kemanusiaan: Setiap pribadi tergadai oleh apa yang telah dikerjakannyaKecuali golongan yang beruntung (kanan)Mereka dalam surga, dan bertanya-tanya,tentang nasib orang-orang yang berdosa:"Apa yang membawa kamu ke neraka?"Sahut mereka, "Dahulu kami tidak termasukorang-orang yang shalat,Dan tidak pula kami pernahmemberi makan orang-orang melaratLagi pula kami dahulu terlena bersama mereka yang terlenaDan kami dustakan adanya hari pembalasanSampai datang kepada kami saat keyakinan (mati)." [28] Maka, secara tegas, yang membuat orang-orang itu "masukneraka" ialah karena mereka tidak pernah shalat yangmenanamkan dalam diri mereka kesadaran akan makna akhir hidupini dan yang mendidik mereka untuk menginsyafi tanggung jawabsosial mereka. Maka mereka pun tidak pernah menunaikantanggung jawab sosial itu. Sebaliknya, mereka menempuh hidupegois, tidak pernah mengucapkan salam dan menghayati maknanya,juga tidak pernah menengok ke kanan dan ke kiri. Mereka punlupa, malah tidak percaya, akan datangnya saat mereka harusmempertanggungjawabkan seluruh perbuatan mereka pada haripembalasan (akhirat). Jika kita kemukakan dalam bahasa kontemporer, shalat --selainmenanamkan kesadaran akan makna dan tujuan akhir hidup kita--ia juga mendidik dan mendorong kita untuk mewujudkan sebuahide atau cita-cita yang ideal dan luhur, yaitu terbentuknyamasyarakat yang penuh kedamaian, keadilan dan perkenan Tuhanmelalui usaha pemerataan sumber daya kehidupan untuk seluruhwarga masyarakat itu. Jika kita paham ini, maka kita pun pahammengapa banyak terdapat penegasan tentang pentingnya shalat,sekaligus kita juga paham mengapa kutukan Tuhan begitu keraskepada orang yang melakukan shalat hanya sebagai ritus yangkosong, yang tidak menghasilkan keinsyafan yang mendalam dankomitmen sosial yang meluas. CATATAN 1. "Sungguh berbahagialah mereka yang beriman, yaitu mereka yang khusyuk dalam shalat mereka..." (QS. al-Mu'minun 23:1-2). 2. Hadits, dikutip a.l. oleh Muhammad Mahmud al-Shawwaf, Kitab Ta'lim al-Shalah (Jeddah: al-Dar al-Su'udiyyah li al-Nasyr, 1387 H/1967 M), hal. 9. 3. Ibid.,hal. 13 4. Ibid., hal. 24 5. Doa pembukaan shalat ini sesungguhnya kita warisi dari kalimat Nabi Ibrahim a.s. dengan sedikit perubahan (yaitu tambahan kata-kata musliman), yang dia ucapkan sebagai kesimpulan proses pencariannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sekaligus pernyataan pembebasan diri dari praktek syirik kaumnya di Babilonia. (Lihat QS. al-An'am/6:79 dan penuturan di situ tentang bagaimana pengalaman pencarian Nabi Ibrahim sehingga ia "menemukan" Tuhan Yang Maha Esa, ayat 74-83). 6. Seruan ini pun berasal dari Kitab Suci, berupa perintah Allah kepada Nabi kita agar mengucapkan seruan serupa itu, sebagai kelanjutan semangat agama Nabi Ibrahim. Diadopsi dengan sedikit perubahan, yaitu dari "wa ana awwal al-muslimin" (dan aku adalah yang pertama dari mereka yang pasrah) menjadi "wa ana min al-muslimin" (dan aku termasuk mereka yang pasrah). (Lihat QS. al-An'am/6:161-162). 7. Lihat, a.l., QS. al-Baqarah 2:48, 123 dan 254. 8. Ada sebuah hadits yang amat terkenal, yang banyak dikutip para ulama kita, berkenaan dengan penjelasan Nabi saw tentang arti Iman, Islam dan Ihsan. Ketika Nabi saw ditanya tentang Ihsan (al-ihsan), beliau menjawab, "Al-ihsan ialah bahwa engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihatNya; dan kalau pun engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat engkau." 9. QS. al-Hadid 57:4 10. QS. Thaha 20:14. 11. QS. al-Baqarah/2:156. 12. QS. al-A'raf/7:65. 13. Dalam Kitab Suci banyak kita temukan perintah Allah agar kita mempelajari sejarah dan mengambil pelajaran daripada Kitab Suci itu. Lihat, a.l. QS. Ali 'Imran/3:137. 14. QS. al-Nisa'/4:103. 15. QS. al-Baqarah/2:238. 16. QS. al-Insyirah/94:7-8. 17. Selain "shirath," metafor jalan juga dinyatakan dalam beberapa kata baku lain dalam nomenklatur Islam, yaitu syari'ah, thariqah, sabil, minhaj dan mansak, yang kesemuanya bermakna dasar "jalan" atau "cara" (metode). 18. Lihat QS. al-Nisa'/4:97. 19. QS. al-Ikhlash/112:4. 20. QS. al-Syura/42:11. 21. QS. al-An'am/6: 102-3. 22. QS. al-Ankabut/29:45. 23. QS. al-Ma'un/107:1-~. 24. QS. al-Ankabut/29:45. 25. QS. al-Ma'arij/70:19-22. 26. QS. al-Ma'un/107: 27. Muhammad Mahmud al-Shawwaf, 'Uddat al-Muslimin (Jeddah: al-Dar al-Su'udiyyah li al-Nasyr, 1388 H/1968 M). h. 55-57. 28. QS. al-Muddatstsir/74:38-47.

0 comments:

Leave a Reply

Monggo dikomentari ...