• Puasa Dalam Fikroh Dr. Quraisy Sihab

    MARHABAN YA RAMADHAN
    Dr. Quraisy Sihab
    Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "marhaban" diartikansebagai "kata seru untuk menyambut atau menghormati tamu (yangberarti selamat datang)." Ia sama dengan ahlan wa sahlan yangjuga dalam kamus tersebut diartikan "selamat datang." Walaupun keduanya berarti "selamat datang" tetapipenggunaannya berbeda. Para ulama tidak menggunakan ahlan wasahlan untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan, melainkan"marhaban ya Ramadhan". Ahlan terambil dari kata ahl yang berarti "keluarga",sedangkan sahlan berasal dari kata sahl yang berarti mudah.Juga berarti "dataran rendah" karena mudah dilalui, tidakseperti "jalan mendaki". Ahlan wa sahlan, adalah ungkapanselamat datang, yang dicelahnya terdapat kalimat tersiratyaitu, "(Anda berada di tengah) keluarga dan (melangkaLkar1kaki di) dataran rendah yang mudah." Marhaban terambil dari kata rahb yang berarti "luas" atau"lapang", sehingga marhaban menggambarkan bahwa tamu disambutdan diterima dengan dada lapang, penuh kegembiraan sertadipersiapkan baginya ruang yang luas untuk melakukan apa sajayang diinginkannya. Dari akar kata yang sama dengan"marhaban", terbentuk kata rahbat yang antara lain berarti"ruangan luas untuk kendaraan, untuk memperoleh perbaikan ataukebutuhan pengendara guna melanjutkan perjalanan." Marhaban yaRamadhan berarti "Selamat datang Ramadhan" mengandung artibahwa kita menyambutnya dengan lapang dada, penuh kegembiraan;tidak dengan menggerutu dan menganggap kehadirannya"mengganggu ketenangan" atau suasana nyaman kita. Marhaban ya Ramadhan, kita ucapkan untuk bulan suci itu,karena kita mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuhguna melanjutkan perjalanan menuju Allah Swt. Ada gunung yang tinggi yang harus ditelusuri guna menemui-Nya,itulah nafsu. Di gunung itu ada lereng yang curam, belukaryang lebat, bahkan banyak perampok yang mengancam, serta iblisyang merayu, agar perjalanan tidak melanjutkan. Bertambahtinggi gunung didaki, bertambah hebat ancaman dan rayuan,semakin curam dan ganas pula perjalanan. Tetapi, bila tekadtetap membaja, sebentar lagi akan tampak cahaya benderang, dansaat itu, akan tampak dengan jelas rambu-rambu jalan, tampaktempat-tempat indah untuk berteduh, serta telaga-telaga jernihuntuk melepaskan dahaga. Dan bila perjalanan dilanjutkan akanditemukan kendaraan Ar-Rahman untuk mengantar sang musafirbertemu dengan kekasihnya, Allah Swt. Demikian kurang lebihperjalanan itu dilukiskan dalam buku Madarij As-Salikin. Tentu kita perlu mempersiapkan bekal guna menelusuri jalanitu. Tahukah Anda apakah bekal itu? Benih-benih kebajikan yangharus kita tabur di lahan jiwa kita. Tekad yang membaja untukmemerangi nafsu, agar kita mampu menghidupkan malam Ramadhandengan shalat dan tadarus, serta siangnya dengan ibadah kepadaAllah melalui pengabdian untuk agama, bangsa dan negara.Semoga kita berhasil, dan untuk itu mari kita buka lembaranAl-Quran mempelajari bagaimana tuntunannya. PUASA MENURUT AL-QURAN Al-Quran menggunakan kata shiyam sebanyak delapan kali,kesemuanya dalam arti puasa menurut pengertian hukum syariat.Sekali Al-Quran juga menggunakan kata shaum, tetapi maknanyaadalah menahan diri untuk tidak bebicara: Sesungguhnya Aku bernazar puasa (shauman), maka hari ini aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun (QS Maryam [19]: 26). Demikian ucapan Maryam a.s. yang diajarkan oleh malaikatJibril ketika ada yang mempertanyakan tentang kelahirananaknya (Isa a.s.). Kata ini juga terdapat masing-masingsekali dalam bentuk perintah berpuasa di bulan Ramadhan,sekali dalam bentuk kata kerja yang menyatakan bahwa "berpuasaadalah baik untuk kamu", dan sekali menunjuk kepadapelaku-pelaku puasa pria dan wanita, yaitu ash-shaiminwash-shaimat. Kata-kata yang beraneka bentuk itu, kesemuanya terambil dariakar kata yang sama yakni sha-wa-ma yang dari segi bahasamaknanya berkisar pada "menahan" dan "berhenti atau "tidakbergerak". Kuda yang berhenti berjalan dinamai faras shaim.Manusia yang berupaya menahan diri dari satu aktivitas --apapun aktivitas itu-- dinamai shaim (berpuasa). Pengertiankebahasaan ini, dipersempit maknanya oleh hukum syariat,sehingga shiyam hanya digunakan untuk "menahan diri dar makan,minum, dan upaya mengeluarkan sperma dari terbitnya fajarhingga terbenamnya matahari". Kaum sufi, merujuk ke hakikat dan tujuan puasa, menambahkankegiatan yang harus dibatasi selama melakukan puasa. Inimencakup pembatasan atas seluruh anggota tubuh bahkan hati danpikiran dari melakukan segala macam dosa. Betapa pun, shiyam atau shaum --bagi manusia-- pada hakikatnyaadalah menahan atau mengendalikan diri. Karena itu pula puasadipersamakan dengan sikap sabar, baik dari segi pengertianbahasa (keduanya berarti menahan diri) maupun esensi kesabarandan puasa. Hadis qudsi yang menyatakan antara lain bahwa, "Puasauntuk-Ku, dan Aku yang memberinya ganjaran" dipersamakan olehbanyak ulama dengan firman-Nya dalam surat Az-Zumar (39): 10. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas. Orang sabar yang dimaksud di sini adalah orang yang berpuasa. Ada beberapa macam puasa dalam pengertian syariat/hukumsebagaimana disinggung di atas. 1. Puasa wajib sebutan Ramadhan. 2. Puasa kaffarat, akibat pelanggaran, atau semacamnya. 3. Puasa sunnah. Tulisan ini akan membatasi uraian pada hal-hal yang berkisarpada puasa bulan Ramadhan. PUASA RAMADHAN Uraian Al-Quran tentang puasa Ramadhan, ditemukan dalam suratAl-Baqarah (2): 183, 184, 185, dan 187. Ini berarti bahwapuasa Ramadhan baru diwajibkan setelah Nabi Saw. tiba diMadinah, karena ulama Al-Quran sepakat bahwa surat A1-Baqarahturun di Madinah. Para sejarawan menyatakan bahwa kewajibanmelaksanakan puasa Ramadhan ditetapkan Allah pada 10 Sya'bantahun kedua Hijrah. Apakah kewajiban itu langsung ditetapkan oleh Al-Quran selamasebutan penuh, ataukah bertahap? Kalau melihat sikap Al-Quranyang seringkali melakukan penahapan dalam perintah-perintahnya, maka agaknya kewajiban berpuasa pun dapatdikatakan demikian. Ayat 184 yang menyatakan ayyaman ma'dudat(beberapa hari tertentu) dipahami oleh sementara ulama sebagaitiga hari dalam sebutan yang merupakan tahap awal darikewajiban berpuasa. Hari-hari tersebut kemudian diperpanjangdengan turunnya ayat 185: Barangsiapa di antara kamu yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) pada bulan itu (Ramadhan), maka hendaklah ia berpuasa (selama bulan itu), dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan, maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya. Pemahaman semacam ini menjadikan ayat-ayat puasa Ramadhanterputus-putus tidak menjadi satu kesatuan. Merujuk kepadaketiga ayat puasa Ramadhan sebagai satu kesatuan, penulislebih cenderung mendukung pendapat ulama yang menyatakan bahwaAl-Quran mewajibkannya tanpa penahapan. Memang, tidak mustahilbahwa Nabi dan sahabatnya telah melakukan puasa sunnahsebelumnya. Namun itu bukan kewajiban dari Al-Quran, apalagitidak ditemukan satu ayat pun yang berbicara tentang puasasunnah tertentu. Uraian Al-Quran tentang kewajiban puasa di bulan Ramadhan,dimulai dengan satu pendahuluan yang mendorong umat islamuntuk melaksanakannya dengan baik, tanpa sedikit kekesalanpun. Perhatikan surat Al-Baqarah (2): 185. ia dimulai denganpanggilan mesra, "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkankepada kamu berpuasa." Di sini tidak dijelaskan siapa yangmewajibkan, belum juga dijelaskan berapa kewajiban puasa itu,tetapi terlebih dahulu dikemukakan bahwa, "sebagaimanadiwajibkan terhadap umat-umat sebelum kamu." Jika demikian,maka wajar pula jika umat Islam melaksanakannya, apalagitujuan puasa tersebut adalah untuk kepentingan yang berpuasasendiri yakni "agar kamu bertakwa (terhindar dari siksa)." Kemudian Al-Quran dalam surat A1-Baqarah (2): 186 menjelaskanbahwa kewajiban itu bukannya sepanjang tahun, tetapi hanya"beberapa hari tertentu," itu pun hanya diwajibkan bagi yangberada di kampung halaman tempat tinggalnya, dan dalam keadaansehat, sehingga "barangsiapa sakit atau dalam perjalanan,"maka dia (boleh) tidak berpuasa dan menghitung berapa hari iatidak berpuasa untuk digantikannya pada hari-hari yang lain."Sedang yang merasa sangat berat berpuasa, maka (sebagaigantinya) dia harus membayar fidyah, yaitu memberi makanseorang miskin." Penjelasan di atas ditutup dengan pernyataanbahwa "berpuasa adalah baik." Setelah itu disusul dengan penjelasan tentang keistimewaanbulan Ramadhan, dan dari sini datang perintah-Nya untukberpuasa pada bulan tersebut, tetapi kembali diingatkan bahwaorang yang sakit dan dalam perjalanan (boleh) tidak berpuasadengan memberikan penegasan mengenai peraturan berpuasasebagaimana disebut sebelumnya. Ayat tentang kewajiban puasaRamadhan ditutup dengan "Allah menghendaki kemudahdn untukkamu bukan kesulitan," lalu diakhiri dengan perintah bertakbirdan bersyukur. Ayat 186 tidak berbicara tentang puasa, tetapitentang doa. Penempatan uraian tentang doa atau penyisipannyadalam uraian Al-Quran tentang puasa tentu mempunyai rahasiatersendiri. Agaknya ia mengisyaratkan bahwa berdoa di bu1anRamadhan merupakan ibadah yang sangat dianjurkan, dan karenaitu ayat tersebut menegaskan bahwa "Allah dekat kepadahamba-hamba-Nya dan menerima doa siapa yang berdoa." Selanjutnya ayat 187 antara lain menyangkut izin melakukanhubungan seks di malam Ramadhan, di samping penjelasan tentanglamanya puasa yang harus dikerjakan, yakni dari terbitnyafajar sampai terbenamnya matahari. Banyak informasi dan tuntunan yang dapat ditarik dariayat-ayat di atas berkaitan dengan hukum maupun tujuan puasa.Berikut akan dikemukan sekelumit baik yang berkaitan denganhukum maupun hikmahnya, dengan menggarisbawahi kata ataukalimat dari ayat-ayat puasa di atas. BEBERAPA ASPEK HUKUM BERKAITAN DENGAN PUASA a. Faman kana minkum maridha (Siapa di antara kamu yang menderita sakit) Maridh berarti sakit. Penyakit dalam kaitannya dengan berpuasasecara garis besar dapat dibagi dua: 1. Penderita tidak dapaat berpuasa; dalam hal ini ia wajib berbuka; dan 2. Penderita dapat berpuasa, tetapi dengan mendapat kesulitan atau keterlambatan penyembuhan, maka ia dianjurkan tidak berpuasa. Sebagian ulama menyatakan bahwa penyakit apa pun yang dideritaoleh seseorang, membolehkannya untuk berbuka. Ulama besar ibnuSirin, pernah ditemui makan di siang hari bukan Ramadhan,dengan alasan jari telunjuknya sakit. Betapa pun, harusdicatat, bahwa Al-Quran tidak merinci persolan ini. Teks ayatmencakup pemahaman ibnu Sirin tersebut. Namun demikian agaknyakita dapat berkata bahwa Allah Swt. sengaja memilih redaksidemikian, guna menyerahkan kepada nurani manusia masing-masinguntuk menentukan sendiri apakah ia berpuasa atau tidak. Disisi lain harus diingat bahwa orang yang tidak berpuasa denganalasan sakit atau dalam perjalanan tetap harus menggantikanhari-hari ketika ia tidak berpuasa dalam kesempatan yang lain. b. Aw'ala safarin (atau dalam perjalanan) Ulama-ulama berbeda pendapat tentang bolehnya berbuka puasabagi orang yang sedang musafir. Perbedaan tersebut berkaitandengan jarak perjalanan. Secara umum dapat dikatakan bahwajarak perjalanan tersebut sekitar 90 kilometer, tetapi adajuga yang tidak menetapkan jarak tertentu, sehingga seberapapun jarak yang ditempuh selama dinamai safar atau perjalanan,maka hal itu merupakan izin untuk memperoleh kemudahan(rukhshah). Perbedaan lain berkaitan dengan 'illat (sebab) izin ini.Apakah karena adanya unsur safar (perjalanan) atau unsurkeletihan akibat perjalanan. Di sini, dipermasalahkan misalnyajarak antara Jakarta-Yogya yang ditempuh dengan pesawat kurangdari satu jam, serta tidak meletihkan, apakah ini dapatdijadikan alasan untuk berbuka atau meng-qashar shalat atautidak. Ini antara lain berpulang kepada tinjauan sebab izinini. Selanjutnya mereka juga memperselisihkan tujuan perjalananyang membolehkan berbuka (demikian juga qashar dan menjamakshalat). Apakah perjalanan tersebut harus bertujuan dalamkerangka ketaatan kepada Allah, misalnya perjalanan haji,silaturahmi, belajar, atau termasuk juga perjalanan bisnis danmubah (yang dibolehkan) seperti wisata dan sebagainya? Agaknyaalasan yang memasukkan hal-hal di atas sebagai membolehkanberbuka, lebih kuat, kecuali jika perjalanan tersebut untukperbuatan maksiat, maka tentu yang bersangkutan tidakmemperoleh izin untuk berbuka dan atau menjamak shalatnya.Bagaimana mungkin orang yang durhaka memperoleh rahmatkemudahan dari Allah Swt.? Juga diperselisihkan apakah yang lebih utama bagi seorangmusafir, berpuasa atau berbuka? Imam Malik dan imam Syafi'imenilai bahwa berpuasa lebih utama dan lebih baik bagi yangmampu, tetapi sebagian besar ulama bermazhab Maliki danSyafi'i menilai bahwa hal ini sebaiknya diserahkan kepadamasing-masing pribadi, dalam arti apa pun pilihannya, makaitulah yang lebih baik dan utama. Pendapat ini dikuatkan olehsebuah riwayat dari imam Bukhari dan Muslim melalui Anas binMalik yang menyatakan bahwa, "Kami berada dalam perjalanan dibulan Ramadhan, ada yang berpuasa dan adapula yang tidakberpuasa. Nabi tidak mencela yang berpuasa, dan tidak juga(mereka) yang tidak berpuasa." Memang ada juga ulama yang beranggapan bahwa berpuasa lebihbaik bagi orang yang mampu. Tetapi, sebaliknya, ada pula yangmenilai bahwa berbuka lebih baik dengan alasan, ini adalahizin Allah. Tidak baik menolak izin dan seperti penegasanAl-Quran sendiri dalam konteks puasa, "Allah menghendakikemudahan untuk kamu dan tidak menghendaki kesulitan." Bahkan ulama-ulama Zhahiriyah dan Syi'ah mewajibkan berbuka,antara lain berdasar firman-Nya dalam lanjutan ayat di atas,yaitu: c. Fa 'iddatun min ayyamin ukhar (sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari lain). Ulama keempat mazhab Sunnah menyisipkan kalimat untukmeluruskan redaksi di atas, sehingga terjemahannya lebihkurang berbunyi, "Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan(dan ia tidak berpuasa), maka (wajib baginya berpuasa)sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yanglain." Kalimat "lalu ia tidak berpuasa" adalah sisipan yang olehulama perlu adanya, karena terdapat sekian banyak hadis yangmembolehkan berpuasa dalam perjalanan, sehingga kewajibanmengganti itu, hanya ditujukan kepada para musafir dan orangyang sakit tetapi tidak berpuasa. Sisipan semacam ini ditolak oleh ulama Syi'ah dan Zhahiriyah,sehingga dengan demikian --buat mereka-- menjadi wajib bagiorang yang sakit dan dalam perjalanan untuk tidak berpuasa,dan wajib pula menggantinya pada hari-hari yang lain sepertibunyi harfiah ayat di atas. Apakah membayar puasa yang ditinggalkan itu harusberturut-turut? Ada sebuah hadis --tetapi dinilai lemah-- yangmenyatakan demikian. Tetapi ada riwayat lain melalui Aisyahr.a. yang menginformasikan bahwa memang awalnya ada kata padaayat puasa yang berbunyi mutatabi'at, yang maksudnyamemerintahkan penggantian (qadha') itu harus dilakukanbersinambung tanpa sehari pun berbuka sampai selesainya jumlahyang diwajibkan. Tetapi kata mutatabi'at dalam fa 'iddatun minayyamin ukhar mutatabi'at yang berarti berurut ataubersinambung itu, kemudian dihapus oleh Allah Swt. Sehinggaakhirnya ayat tersebut tanpa kata ini, sebagaimana yangtercantum dalam Mushaf sekarang. Meng-qadha' (mengganti) puasa, apakah harus segera, dalam artiharus dilakukannya pada awal Syawal, ataukah dapatditangguhkan sampai sebelum datangnya Ramadhan berikut? Hanyasegelintir kecil ulama yang mengharuskan sesegera mungkin,namun umumnya tidak mengharuskan ketergesaan itu, walaupundiakui bahwa semakin cepat semakin baik. Nah, bagaimana kalauRamadhan berikutnya sudah berlalu, kemudian kita tidak sempatmenggantinya, apakah ada kaffarat akibat keterlambatan itu?Imam Malik, Syafi'i, dan Ahmad, berpendapat bahwa di sampingberpuasa, ia harus membayar kaffarat berupa memberi makanseorang miskin; sedangkan imam Abu Hanifah tidak mewajibkankaffarat dengan alasan tidak dicakup oleh redaksi ayat diatas.
    d. Wa 'alal ladzina yuthiqunahu fidyatun tha'amu miskin (Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin) (QS Al-Baqarah [2]: 184). Penggalan ayat ini diperselisihkan maknanya oleh banyak ulamatafsir. Ada yang berpendapat bahwa pada mulanya Allah Swt.memberi alternatif bagi orang yang wajib puasa, yakni berpuasaatau berbuka dengan membayar fidyah. Ada juga yang be~pendapatbahwa ayat ini berbicara tentang para musafir dan orang sakit,yakni bagi kedua kelompok ini terdapat dua kemungkinan:musafir dan orang yang merasa berat untuk berpuasa, makaketika itu dia harus berbuka; dan ada juga di antara mereka,yang pada hakikatnya mampu berpuasa, tetapi enggan karenakurang sehat dan atau dalam perjalanan, maka bagi merekadiperbolehkan untuk berbuka dengan syarat membayar fidyah. Pendapat-pendapat di atas tidak populer di kalangan mayoritasulama. Mayoritas memahami penggalan ini berbicara tentangorang-orang tua atau orang yang mempunyai pekerjaan yangsangat berat, sehingga puasa sangat memberatkannya, sedang iatidak mempunyai sumber rezeki lain kecuali pekerjaan itu. Makadalam kondisi semacam ini. mereka diperbolehkan untuk tidakberpuasa dengan syarat membayar fidyah. Demikian juga halnyaterhadap orang yang sakit sehingga tidak dapat berpuasa, dandiduga tidak akan sembuh dari penyakitnya. Termasuk juga dalampesan penggalan ayat di atas adalah wanita-wanita hamil danatau menyusui. Dalam hal ini terdapat rincian sebagai berikut: Wanita yang hamil dan menyusui wajib membayar fidyah danmengganti puasanya di hari lain, seandainya yang merekakhawatirkan adalah janin atau anaknya yang sedang menyusui.Tetapi bila yang mereka khawatirkan diri mereka, maka merekaberbuka dan hanya wajib menggantinya di hari lain, tanpa harusmembayar fidyah. Fidyah dimaksud adalah memberi makan fakir/miskin setiap hariselama ia tidak berpuasa. Ada yang berpendapat sebanyaksetengah sha' (gantang) atau kurang lebih 3,125 gram gandumatau kurma (makanan pokok). Ada juga yang menyatakan satu mudyakni sekitar lima perenam liter, dan ada lagi yangmengembalikan penentuan jumlahnya pada kebiasaan yang berlakupada setiap masyarakat. e. Uhilla lakum lailatash-shiyamir-rafatsu ila nisa'ikum (Dihalalkan kepada kamu pada malam Ramadhan bersebadan dengan istri-istrimu) (QS Al-Baqarah [2]: 187) Ayat ini membolehkan hubungan seks (bersebadan) di malam haribulan Ramadhan, dan ini berarti bahwa di siang hari Ramadhan,hubungan seks tidak dibenarkan. Termasuk dalam pengertianhubungan seks adalah "mengeluarkan sperma" dengan cara apapun. Karena itu walaupun ayat ini tak melarang ciuman, ataupelukan antar suami-istri, namun para ulama mengingatkan bahwahal tersebut bersifat makruh, khususnya bagi yang tidak dapatmenahan diri, karena dapat mengakibatkan keluarnya sperma.Menurut istri Nabi, Aisyah r.a., Nabi Saw. pernah menciumistrinya saat berpuasa. Nah, bagi yang mencium atau apa punselain berhubungan seks, kemudian ternyata "basah", makapuasanya batal; ia harus menggantinya pada hari 1ain. Tetapimayoritas ulama tidak mewajibkan yang bersangkutan membayarkaffarat, kecuali jika ia melakukan hubungan seks (di sianghari), dan kaffaratnya dalam hal ini berdasarkan hadis Nabiadalah berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu,maka ia harus memerdekakan hamba. Jika tidak mampu juga, makaia harus memberi makan enam puluh orang miskin. Bagi yang melakukan hubungan seks di malam hari, tidak harusmandi sebelum terbitnya fajar. Ia hanya berkewajiban mandisebelum terbitnya matahari --paling tidak dalam batas waktuyang memungkinkan ia shalat subuh dalam keadaan suci padawaktunya. Demikian pendapat mayoritas ulama. f. Wakulu wasyrabu hatta yatabayyana lakumul khaith al-abyadhu minal khaithil aswadi minal fajr (Makan dan minumlah sampai terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar). Ayat ini membolehkan seseorang untuk makan dan minum (jugamelakukan hubungan seks) sampai terbitnya fajar. Pada zaman Nabi, beberapa saat sebelum fajar, Bilalmengumandangkan azan, namun beliau mengingatkan bahwa bukanitu yang dimaksud dengan fajar yang mengakibatkan larangan diatas. Imsak yang diadakan hanya sebagai peringatan danpersiapan untuk tidak lagi melakukan aktivitas yang terlarang.Namun bila dilakukan, maka dari segi hukum masih dapatdipertanggungjawabkan selama fajar (waktu subuh belum masuk).Perlu dingatkan, bahwa hendaknya kita jangan terlalumengandalkan azan, karena boleh jadi muazin mengumandangkanazannya setelah berlalu beberapa saat dari waktu subuh. Karenaitu sangat beralasan untuk menghentikan aktivitas tersebutsaat imsak. g. Tsumma atimmush shiyama ilal lail (Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam). Penggalan ayat ini datang setelah ada izin untuk makan danminum sampai dengan datangnya fajar. Puasa dimulai dengan terbitnya fajar, dan berakhir dengandatangnya malam. Persoalan yang juga diperbincangkan oleh paraulama adalah pengertian malam. Ada yang memahami kata malamdengan tenggelamnya matahari walaupun masih ada mega merah,dan ada juga yang memahami malam dengan hilangnya mega merahdan menyebarnya kegelapan. Pendapat pertama didukung olehbanyak hadis Nabi Saw., sedang pendapat kedua dikuatkan olehpengertian kebahasaan dari lail yang diterjemahkan "malam".Kata lail berarti "sesuatu yang gelap" karenanya rambut yangberwarna hitam pun dinamai lail. Pendapat pertama sejalan juga dengan anjuran Nabi Saw. untukmempercepat berbuka puasa, dan memperlambat sahur pendapatkedua sejalan dengan sikap kehatian-hatian karena khawatirmagrib sebenarnya belum masuk. Demikian sedikit dari banyak aspek hukum yang dicakup olehayat-ayat yang berbicara tentang puasa Ramadhan. TUJUAN BERPUASA Secara jelas Al-Quran menyatakan bahwa tujuan puasa yanghendaknya diperjuangkan adalah untuk mencapai ketakwaan ataula'allakum tattaqun. Dalam rangka memahami tujuan tersebutagaknya perlu digarisbawahi beberapa penjelasan dari Nabi Saw.misalnya, "Banyak di antara orang yang berpuasa tidakmemperoleh sesuatu daripuasanya, kecuali rasa lapar dandahaga." Ini berarti bahwa menahan diri dari lapar dan dahaga bukantujuan utama dari puasa. Ini dikuatkan pula dengan firman-Nyabahwa "Allah menghendaki untuk kamu kemudahan bukankesulitan." Di sisi lain, dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman,"Semua amal putra-putri Adam untuk dirinya, kecuali puasa.Puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang memberi ganjaran atasnya." Ini berarti pula bahwa puasa merupakan satu ibadah yang unik.Tentu saja banyak segi keunikan puasa yang dapat dikemukakan,misalnya bahwa puasa merupakan rahasia antara Allah danpelakunya sendiri. Bukankah manusia yang berpuasa dapatbersembunyi untuk minum dan makan? Bukankah sebagai insan,siapa pun yang berpuasa, memiliki keinginan untuk makan atauminum pada saat-saat tertentu dari siang hari puasa? Nah,kalau demikian, apa motivasinya menahan diri dan keinginanitu? Tentu bukan karena takut atau segan dari manusia, sebabjika demikian, dia dapat saja bersembunyi dari pandanganmereka. Di sini disimpulkan bahwa orang yang berpuasa,melakukannya demi karena Allah Swt. Demikian antara lainpenjelasan sementara ulama tentang keunikan puasa dan maknahadis qudsi di atas. Sementara pakar ada yang menegaskan bahwa puasa dilakukanmanusia dengan berbagai motif, misalnya, protes, turutbelasungkawa, penyucian diri, kesehatan, dan sebagai-nya.Tetapi seorang yang berpuasa Ramadhan dengan benar, sesuaidengan cara yang dituntut oleh Al-Quran, maka pastilah ia akanmelakukannya karena Allah semata. Di sini Anda boleh bertanya, "Bagaimana puasa yang demikiandapat mengantarkan manusia kepada takwa?" Untuk menjawabnyaterlebih dahulu harus diketahui apa yang dimaksud dengantakwa. PUASA DAN TAKWA Takwa terambil dari akar kata yang bermakna menghindar,menjauhi, atau menjaga diri. Kalimat perintah ittaqullahsecara harfiah berarti, "Hindarilah, jauhilah, atau jagalahdirimu dari Allah" Makna ini tidak lurus bahkan mustahil dapat dilakukan makhluk.Bagaimana mungkin makhluk menghindarkan diri dari Allah ataumenjauhi-Nya, sedangkan "Dia (Allah) bersama kamu di mana punkamu berada." Karena itu perlu disisipkan kata atau kalimatuntuk meluruskan maknanya. Misalnya kata siksa atau yangsemakna dengannya, sehingga perintah bertakwa mengandung artiperintah untuk menghindarkan diri dari siksa Allah. Sebagaimana kita ketahui, siksa Allah ada dua macam. a. Siksa di dunia akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum Tuhan yang ditetapkan-Nya berlaku di alam raya ini, seperti misalnya, "Makan berlebihan dapat menimbulkan penyakit," "Tidak mengendalikan diri dapat menjerumuskan kepada bencana", atau "Api panas, dan membakar", dan hukum-hukum alam dan masyarakat lainnya. b. Siksa di akhirat, akibat pelanggaran terhadap hukum syariat, seperti tidak shalat, puasa, mencuri, melanggar hak-hak manusia, dan 1ain-lain yang dapat mengakibatkan siksa neraka. Syaikh Muhammad Abduh menulis, "Menghindari siksa atau hukumanAllah, diperoleh dengan jalan menghindarkan diri dari segalayang dilarangnya serta mengikuti apa yang diperintahkan-Nya.Hal ini dapat terwujud dengan rasa takut dari siksaan dan atautakut dari yang menyiksa (Allah Swt ). Rasa takut ini, padamulanya timbul karena adanya siksaan, tetapi seharusnya iatimbul karena adanya Allah Swt. (yang menyiksa)." Dengan demikian yang bertakwa adalah orang yang merasakankehadiran Allah Swt. setiap saat, "bagaikan melihat-Nya ataukalau yang demikian tidak mampu dicapainya, maka paling tidak,menyadari bahwa Allah melihatnya," sebagaimana bunyi sebuahhadis. Tentu banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencapai haltersebut, antara 1ain dengan jalan berpuasa. Puasa sepertiyang dikemukakan di atas adalah satu ibadah yang unik.Keunikannya antara lain karena ia merupakan upaya manusiameneladani Allah Swt. PUASA MENELADANI SIFAT-SIFAT ALLAH Beragama menurut sementara pakar adalah upaya manusiameneladani sifat-sifat Allah, sesuai dengan kedudukan manusiasebagai makhluk. Nabi Saw. memerintahkan, "Takhallaqu biakhlaq Allah" (Berakhlaklah (teladanilah) sifat-sifat Allah). Di sisi lain, manusia mempunyai kebutuhan beraneka ragam, danyang terpenting adalah kebutuhan fa'ali, yaitu makan, minum,dan hubungan seks. Allah Swt. memperkenalkan diri-Nya antaralain sebagai tidak mempunyai anak atau istri: Bagaimana Dia memiliki anak, padahal Dia tidak memiliki istri? (QS Al-An'am [6]: 101) Dan sesungguhnya Mahatinggi kebesaran Tuhan kami. Dia tidak beristri dan tidak pula beranak (QS Al-Jin [72]: 3). Al-Quran juga memerintahkan Nabi Saw. untuk menyampaikan, Apakah aku jadikan pelindung selain Allah yang menjadikan langit dan bumi padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan...? (QS Al-An'am [6]: 14). Dengan berpuasa, manusia berupaya dalam tahap awal dan minimalmencontohi sifat-sifat tersebut. Tidak makan dan tidak minum,bahkan memberi makan orang lain (ketika berbuka puasa), dantidak pula berhubungan seks, walaupun pasangan ada. Tentu saja sifat-sifat Allah tidak terbatas pada ketiga halitu, tetapi mencakup paling tidak sembilan puluh sembilansifat yang kesemuanya harus diupayakan untuk diteladani sesuaidengan kemampuan dan kedudukan manusia sebagai makhluk ilahi.Misalnya Maha Pengasih dan Penyayang, Mahadamai, Mahakuat,Maha Mengetahui, dan lain-lain. Upaya peneladanan ini dapatmengantarkan manusia menghadirkan Tuhan dalam kesadarannya,dan bila hal itu berhasil dilakukan, maka takwa dalampengertian di atas dapat pula dicapai. Karena itu, nilai puasa ditentukan oleh kadar pencapaiankesadaran tersebut --bukan pada sisi lapar dan dahaga--sehingga dari sini dapat dimengerti mengapa Nabi Saw.menyatakan bahwa, "Banyak orang yang berpuasa, tetapi tidakmemperoleh dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga." PUASA UMAT TERDAHULU Puasa telah dilakukan oleh umat-umat terdahulu. Kama kutiba'alal ladzina min qablikum (Sebagaimana diwajibkan atas(umat-umat) yang sebelum kamu). Dari segi ajaran agama, paraulama menyatakan bahwa semua agama samawi, sama dalamprinsip-prinsip pokok akidah, syariat, serta akhlaknya. Iniberarti bahwa semua agama samawi mengajarkan keesaan Allah,kenabian, dan keniscayaan hari kemudian. Shalat, puasa, zakat,dan berkunjung ke tempat tertentu sebagai pendekatan kepadaAllah adalah prinsip-prinsip syariat yang dikenal dalamagama-agama samawi. Tentu saja cara dan kaifiatnya dapatberbeda, namun esensi dan tujuannya sama. Kita dapat mempertanyakan mengapa puasa menjadi kewajiban bagiumat islam dan umat-umat terdahulu? Manusia memiliki kebebasan bertindak memilih dan memilahaktivitasnya, termasuk dalam hal ini, makan, minum, danberhubungan seks. Binatang --khususnya binatang-binatangtertentu-- tidak demikian. Nalurinya telah mengatur ketigakebutuhan pokok itu, sehingga --misalnya-- ada waktu ataumusim berhubungan seks bagi mereka. Itulah hikmah Ilahi demimemelihara kelangsungan hidup binatang yang bersangkutan, danatau menghindarkannya dari kebinasaan. Manusia sekali lagi tidak demikian. Kebebasan yang dimilikinyabila tidak terkendalikan dapat menghambat pelaksanaan fungsidan peranan yang harus diembannya. Kenyataan menunjukkan bahwaorang-orang yang memenuhi syahwat perutnya melebihi kadar yangdiperlukan, bukan saja menjadikannya tidak lagi menikmatimakanan atau minuman itu, tetapi juga menyita aktivitaslainnya kalau enggan berkata menjadikannya lesu sepanjanghari. Syahwat seksual juga demikian. Semakin dipenuhi semakin hausbagaikan penyakit eksim semakin digaruk semakin nyaman danmenuntut, tetapi tanpa disadari menimbulkan borok. Potensi dan daya manusia --betapa pun besarnya-- memilikiketerbatasan, sehingga apabila aktivitasnya telah digunakansecara berlebihan ke arah tertentu --arah pemenuhan kebutuhanfaali misalnya-- maka arah yang lain, --mental spiritual--akan terabaikan. Nah, di sinilah diperlukannya pengendalian. Sebagaimana disinggung di atas, esensi puasa adalah menahanatau mengendalikan diri. Pengendalian ini diperlukan olehmanusia, baik secara individu maupun kelompok. Latihan danpengendalian diri itulah esensi puasa. Puasa dengan demikian dibutuhkan oleh semua manusia, kaya ataumiskin, pandai atau bodoh, untuk kepentingan pribadi ataumasyarakat. Tidak heran jika puasa telah dikenal olehumat-umat sebelum umat Islam, sebagaimana diinformasikan olehAl-Quran. Dari penjelasan ini, kita dapat melangkah untuk menemukansalah satu jawaban tentang rahasia pemilihan bentuk redaksipasif dalam menetapkan kewajiban puasa. Kutiba 'alaikumushshiyama (diwajibkan atas kamu puasa), tidak menyebut siapayang mewajibkannya? Bisa saja dikatakan bahwa pemilihan bentuk redaksi tersebutdisebabkan karena yang mewajibkannya sedemikian jelas dalamhal ini adalah Allah Swt. Tetapi boleh jadi juga untukmengisyaratkan bahwa seandainya pun bukan Allah yangmewajibkan puasa, maka manusia yang menyadari manfaat puasa,dan akan mewajibkannya atas dirinya sendiri. Terbukti motivasiberpuasa (tidak makan atau mengendalikan diri) yang selama inidilakukan manusia, bukan semata-mata atas dorongan ajaranagama. Misalnya demi kesehatan, atau kecantikan tubuh, danbukankah pula kepentingan pengendalian diri disadari olehsetiap makhluk yang berakal? Di sisi lain bukankah Nabi Saw. bersabda, "Seandainya umatkumengetahui (semua keistimewaan) yang dikandung oleh Ramadhan,niscaya mereka mengharap seluruh bulan menjadi Ramadhan." KEISTIMEWAAN BULAN RAMADHAN Dalam rangkaian ayat-ayat yang berbicara tentang puasa, Allahmenjelaskan bahwa Al-Quran diturunkan pada bulan Ramadhan. Danpada ayat lain dinyatakannya bahwa Al-Quran turun pada malamQadar, Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada Lailat Al-Qadr. Ini berarti bahwa di bulan Ramadhan terdapat malam Qadar itu,yang menurut Al-Quran lebih baik dari seribu bulan. Paramalaikat dan Ruh (Jibril) silih berganti turun seizin Tuhan,dan kedamaian akan terasa hingga terbitnya fajar. Di sisi lain --sebagaimana disinggung pada awal uraian-- bahwadalam rangkaian ayat-ayat puasa Ramadhan, disisipkan ayat yangmengandung pesan tentang kedekatan Allah Swt. kepadahamba-hamba-Nya serta janji-Nya untuk mengabulkan doa --siapapun yang dengan tulus berdoa. Dari hadis-hadis Nabi diperoleh pula penjelasan tentangkeistimewaan bulan suci ini. Namun seandainya tidak adakeistimewaan bagi Ramadhan kecuali Lailat Al-Qadr, maka halitu pada hakikatnya telah cukup untuk membahagiakan manusia

0 comments:

Leave a Reply

Monggo dikomentari ...