• Pakaian Dalam Kaca Mata Islam

    PAKAIAN
    Dr. Quraisy Syihab

    Al-Quran paling tidak menggunakan tiga istilah untuk pakaian
    yaitu, libas, tsiyab, dan sarabil. Kata libas ditemukan
    sebanyak sepuluh kali, tsiyab ditemukan sebanyak delapan kali,
    sedangkan sarabil ditemukan sebanyak tiga kali dalam dua ayat.

    Libas pada mulanya berarti penutup --apa pun yang ditutup.
    Fungsi pakaian sebagai penutup amat jelas. Tetapi, perlu
    dicatat bahwa ini tidak harus berarti "menutup aurat", karena
    cincin yang menutup sebagian jari juga disebut libas, dan
    pemakainya ditunjuk dengan menggunakan akar katanya.

    Ketika berbicara tentang laut, Al-Quran surat Al-Nahl (16): 14
    menyatakan bahwa,

    Dan kamu mengeluarkan dan laut itu perhiasan (antara
    lain mutiara) yang kamu pakai.

    Kata libas digunakan oleh Al-Quran untuk menunjukkan pakaian
    lahir maupun batin, sedangkan kata tsiyab digunakan untuk
    menunjukkan pakaian lahir. Kata ini terambil dari kata tsaub
    yang berarti kembali, yakni kembalinya sesuatu pada keadaan
    semula, atau pada keadaan yang seharusnya sesuai dengan ide
    pertamanya.

    Ungkapan yang menyatakan, bahwa "awalnya adalah ide dan
    akhirnya adalah kenyataan", mungkin dapat membantu memahami
    pengertian kebahasaan tersebut. Ungkapan ini berarti kenyataan
    harus dikembalikan kepada ide asal, karena kenyataan adalah
    cerminan dari ide asal.

    Apakah ide dasar tentang pakaian?

    Ar-Raghib Al-Isfahani --seorang pakar bahasa Al-Quran--
    menyatakan bahwa pakaian dinamai tsiyab atau tsaub, karena ide
    dasar adanya bahan-bahan pakaian adalah agar dipakai. Jika
    bahan-bahan tersebut setelah dipintal kemudian menjadi
    pakaian, maka pada hakikatnya ia telah kembali pada ide dasar
    keberadaannya. Hemat penulis, ide dasar juga dapat
    dikembalikan pada apa yang terdapat dalam benak manusia
    pertama tentang dirinya.

    Al-Quran surat Al-'Araf (7): 20 menjelaskan peristiwa ketika
    Adam dan Hawa berada di surga:

    Setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk
    menampakkan pada keduanya apa yang tertutup dari
    mereka, yaitu auratnya, dan setan berkata, "Tuhan kamu
    melarang kamu mendekati pohon ini, supaya kamu berdua
    tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang
    yang kekal (di surga)."

    Selanjutnya dijelaskan dalam ayat 22 bahwa:

    ...setelah mereka merasakan (buah) pohon (terlarang)
    itu tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan
    mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga...

    Terlihat jelas bahwa ide dasar yang terdapat dalam diri
    manusia adalah "tertutupnya aurat", namun karena godaan setan,
    aurat manusia terbuka. Dengan demikian, aurat yang ditutup
    dengan pakaian akan dikembalikan pada ide dasarnya. Wajarlah
    jika pakaian dinamai tsaub/tsiyab yang berarti "sesuatu yang
    mengembalikan aurat kepada ide dasarnya", yaitu tertutup.

    Dan ayat di atas juga tampak bahwa ide "membuka aurat" adalah
    ide setan, dan karenanya "tanda-tanda kehadiran setan adalah
    "keterbukaan aurat". Sebuah riwayat yang dikemukakan oleh
    Al-Biqa'i dalam bukunya Shubhat Waraqah menyatakan bahwa
    ketika Nabi Saw. belum memperoleh keyakinan tentang apa yang
    dialaminya di Gua Hira --apakah dari malaikat atau dari
    setan-- beliau menyampaikan hal tersebut kepada istrinya
    Khadijah. Khadijah berkata, "Jika engkau melihatnya lagi,
    beritahulah aku". Ketika di saat lain Nabi Saw. melihat
    (malaikat) yang dilihatnya di Gua Hira, Khadijah membuka
    pakaiannya sambi1 bertanya, "Sekarang, apakah engkau masih
    melihatnya?" Nabi Saw. menjawab, "Tidak, ... dia pergi."
    Khadijah dengan penuh keyakinan berkata, "Yakinlah yang datang
    bukan setan, ... (karena hanya setan yang senang melihat
    aurat)".

    Dalam hal ini Al-Quran mengingatkan:

    Wahai putra-putra Adam, janganlah sekali-kali kamu
    dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia (telah menipu
    orang tuamu Adam dan Hawa) sehingga ia telah
    mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga. Ia
    menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan
    kepada keduanya aurat mereka berdua (QS Al-A'raf [7]:
    27).

    Kata ketiga yang digunakan Al-Quran untuk menjelaskan perihal
    pakaian adalah sarabil. Kamus-kamus bahasa mengartikan kata
    ini sebagai pakaian, apa pun jenis bahannya. Hanya dua ayat
    yang menggunakan kata tersebut. Satu di antaranya diartikan
    sebagai pakaian yang berfungsi menangkal sengatan panas,
    dingin, dan bahaya dalam peperangan (QS Al-Nahl [16]: 81).
    Satu lagi dalam surat Ibrahim (14): 50 tentang siksa yang akan
    dialami oleh orang-orang berdosa kelak di hari kemudian:
    pakaian mereka dari pelangkin. Dari sini terpahami bahwa
    pakaian ada yang menjadi alat penyiksa. Tentu saja siksaan
    tersebut karena yang bersangkutan tidak menyesuaikan diri
    dengan nilai-nilai yang diamanatkan oleh Allah Swt.

    PAKAIAN DAN FITRAH

    Dari ayat yang menguraikan peristiwa terbukanya aurat Adam,
    dan ayat-ayat sesudahnya, para ulama menyimpulkan bahwa pada
    hakikatnya menutup aurat adalah fitrah manusia jrang
    diaktualkan pada saat ia memiliki kesadaran.

    Seperti dikemukakan ketika menjelaskan arti tsaub, manusia
    pada mulanya tertutup auratnya. Ayat yang menguraikan hal ini
    menggunakan istilah li yubdiya lahuma ma~ wuriya 'anhuma min
    sauatihima (untuk menampakkan kepada keduanya apa yang
    tertutup dari mereka, yaitu auratnya) (QS Al-A'raf [7]: 20).

    Penggalan ayat itu bukan saja mengisyaratkan bahwa sejak
    semula Adam dan Hawa tidak dapat saling melihat aurat mereka,
    melainkan juga berarti bahwa aurat masing-masing tertutup
    sehingga mereka sendiri pun tidak dapat melihatnya.

    Kemudian setan merayu mereka agar memakan pohon terlarang, dan
    akibatnya adalah aurat yang tadinya tertutup menjadi terbuka,
    dan mereka menyadari keterbukaannya, sehingga mereka berusaha
    menutupinya dengan daun-daun surga. Usaha tersebut menunjukkan
    adanya naluri pada diri manusia sejak awal kejadiannya bahwa
    aurat harus ditutup dengan cara berpakaian.

    Perlu diperhatikan pula kalimat yang dipergunakan Al-Quran
    untuk menyatakan usaha kedua orang tua kita, "Wa thafiqa
    yakhshifan 'alaihima min waraq al-jannah."

    Kata yakhshifan terambil dari kata khashf yang berarti
    menempelkan sesuatu pada sesuatu yang lain agar menjadi lebih
    kokoh. Contoh yang dikemukakan oleh pakar-pakar bahasa adalah
    menempelkkan lapisan baru pada lapisan yang ada dari alas
    kaki, agar lebih kuat dan kokoh.

    Adam dan Hawa bukan sekadar mengambil satu lembar daun untuk
    menutup auratnya (karena jika demikian pakaiannya adalah
    mini), melainkan sekian banyak lembar agar melebar, dengan
    cara menempelkan selembar daun di atas lembar lain, sebagai
    tanda bahwa pakaian tersebut sedemikian tebal, sehingga tidak
    transparan atau tembus pandang.

    Hal lain yang mengisyaratkan bahwa berpakaian atau menutup
    aurat merupakan fitrah manusia adalah penggunaan istilah "Ya
    Bani Adam" (Wahai putra-putri Adam) dalam ayat-ayat yang
    berbicara tentang berpakaian.

    Panggilan semacam ini hanya terulang empat kali dalam
    Al-Quran. Kesan dan makna yang disampaikannya berbeda dengan
    panggilan ya ayyuhal ladzina amanu yang hanya khusus kepada
    orang-orang mukmin, atau ya ayyuhan nas yang boleh jadi hanya
    ditujukan kepada seluruh manusia sejak masa Nabi Saw. hingga
    akhir zaman. Panggilan ya Bani Adam jelas tertuju kepada
    seluruh manusia. Bukankah Adam adalah ayah seluruh manusia?

    Hanya empat kali panggilan ya Bani Adam dalam Al-Quran, dan
    semuanya terdapat dalam surat Al-'Araf, yaitu:

    1. Ayat 26 berbicara tentang macam-macam pakaian yang
    dianugerahkan Allah.

    2. Ayat 27 berbicara tentang larangan mengikuti setan
    yang menyebabkan terbukanya aurat orang tua manusia
    (Adam dan Hawa).

    3. Ayat 31 memerintahkan memakai pakaian indah pada
    saat memasuki masjid.

    4. Ayat 35 adalah kewajiban taat kepada tuntunan Allah
    yang disampaikan oleh para rasul-Nya (tentu termasuk
    tuntunan berpakaian).

    Ini menunjukkan bahwa sejak dini Allah Swt. telah mengilhami
    manusia sehingga timbul dalam dirinya dorongan untuk
    berpakaian, bahkan kebutuhan untuk berpakaian, sebagaimana
    diisyaratkan oleh surat Thaha (20): 117-118, yang mengingatkan
    Adam bahwa jika ia terusir dari surga karena setan, tentu ia
    akan bersusah payah di dunia untuk mencari sandang, pangan,
    dan papan. Dorongan tersebut diciptakan Allah dalam naluri
    manusia yang memiliki kesadaran kemanusiaan. Itu sebabnya
    terlihat bahwa manusia primitif pun selalu menutupi apa yang
    dinilainya sebagai aurat.

    Dari ayat yang berbicara tentang ketertutupan aurat, ditemukan
    isyarat bahwa untuk merealisasikan hal tersebut, manusia tidak
    membutuhkan upaya dan tenaga yang berat. Hal ini diisyaratkan
    oleh bentuk pasif yang dipilih Al-Quran untuk menyebut
    tertutupnya aurat Adam dan Hawa, yakni ayat 22 surat Al-A'raf
    yang dikutip pada awal uraian ini: "yang tertutup dan mereka
    yaitu aurat mereka."

    Menutup aurat tidak sulit, karena dapat dilakukan dengan bahan
    apa pun yang tersedia, sekalipun selembar daun (asalkan dapat
    menutupinya).

    FUNGSI PAKAIAN

    Dari sekian banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang
    pakaian, dapat ditemukan paling tidak ada empat fungsi
    pakaian.

    Al-Quran surat Al-A'raf (7): 26 menjelaskan dua fungsi
    pakaian:

    Wahai putra putri Adam, sesungguhnya Kami telah
    menurunkan kepada kamu pakaian yang menutup auratmu dan
    juga (pakaian) bulu (untuk menjadi perhiasan), dan
    pakaian takwa itulah yang paling baik.

    Ayat ini setidaknya menjelaskan dua fungsi pakaian, yaitu
    penutup aurat dan perhiasan.

    Sebagian ulama bahkan menyatakan bahwa ayat di atas berbicara
    tentang fungsi ketiga pakaian, yaitu fungsi takwa, dalam arti
    pakaian dapat menghindarkan seseorang terjerumus ke dalam
    bencana dan kesulitan, baik bencana duniawi maupun ukhrawi.

    Syaikh Muhammad Thahir bin 'Asyur menjelaskan jalan pikiran
    ulama yang berpendapat demikian. Ia menulis dalam tafsirnya
    tentang ayat tersebut:

    Libasut taqwa dibaca oleh Imam Nafi' ibnu Amir,
    Al-Kisa'i, dan Abu Ja'far dengan nashab (dibaca libasa
    sehingga kedudukannya sebagai objek penderita). Ini
    berarti sama dengan pakaian-pakaian lain yang
    diciptakan, dan tentunya pakaian ini tidak berbentuk
    abstrak, melainkan nyata. Takwa yang dimaksud di sini
    adalah pemeliharaan, sehingga yang dimaksud dengannya
    adalah pakaian berupa perisai yang digunakan dalam
    peperangan untuk memelihara dan menghindarkan
    pemakainya dari luka dan bencana lain.

    Ada juga yang membaca libasu at-taqwa, sehingga kata tersebut
    tidak berkedudukan sebagai objek penderita. Ketika itu, salah
    satu makna yang dikandungnya adalah adanya pakaian batin yang
    dapat menghindarkan seseorang dari bencana duniawi dan
    ukhrawi.

    Betapapun, ditemukan ayat lain yang menjelaskan fungsi ketiga
    pakaian, yakni fungsi pemeliharaan terhadap bencana, dan dari
    sengatan panas dan dingin,

    Dia (Allah) menjadikan untuk kamu pakaian yang
    memelihara kamu dari sengatan panas (dan dingin), serta
    pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam
    peperangan... (QS Al-Nahl [16]: 81).
    Fungsi pakaian selanjutnya disyaratkan oleh Al-Quran surat
    Al-Ahzab (33): 59 yang menugaskan Nabi Saw. agar menyampaikan
    kepada istri-istrinya, anak-anak perempuannya, serta
    wanita-wanita Mukmin agar mereka mengulurkan jilbab mereka:

    Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
    perempuanmu, dan istri-istri orang Mukmin, "Hendaklah
    mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh
    mereka." Yang demikian itu agar mereka lebih mudah
    untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu (oleh
    lidah/tangan usil).

    Terlihat fungsi pakaian sebagai penunjuk identitas pembeda
    antara seseorang dengan yang lain.

    1. Penutup Sau-at (Aurat)

    Sau-at terambil dari kata sa-a -yasu-u yang berarti buruk,
    tidak menyenangkan. Kata ini sama maknanya dengan 'aurat, yang
    terambil dari kata 'ar yang berarti onar, aib, tercela.
    Keburukan yang dimaksud tidak harus dalam arti sesuatu yang
    pada dirinya buruk, tetapi bisa juga karena adanya faktor lain
    yang mengakibatkannya buruk. Tidak satu pun dari bagian tubuh
    yang buruk karena semuanya baik dan bermanfaat --termasuk
    aurat. Tetapi bila dilihat orang, maka "keterlihatan" itulah
    yang buruk.

    Tentu saja banyak hal yang sifatnya buruk, masing-masing orang
    dapat menilai. Agama pun memberi petunjuk tentang apa yang
    dianggapnya 'aurat atau sau-at. Dalam fungsinya sebagai
    penutup, tentunya pakaian dapat menutupi segala yang enggan
    diperlihatkan oleh pemakai, sekalipun seluruh badannya. Tetapi
    dalam konteks pembicaraan tuntunan atau hukum agama, aurat
    dipahami sebagai anggota badan tertentu yang tidak boleh
    dilihat kecuali oleh orang-orang tertentu.

    Bahkan bukan hanya kepada orang tertentu selain pemiliknya,
    Islam tidak "senang" bila aurat --khususnya aurat besar
    (kemaluan)-- dilihat oleh siapa pun. Bukankah seperti yang
    dikemukakan terdahulu, bahwa ide dasar aurat adalah "tertutup
    atau tidak dilihat walau oleh yang bersangkutan sendiri?"

    Beberapa hadis menerangkan hal tersebut secara rinci:

    Hindarilah telanjang, karena ada (malaikat) yang selalu
    bersama kamu, yang tidak pernah berpisah denganmu
    kecuali ketika ke kamar belakang (wc) dan ketika
    seseorang berhubungan seks dengan istrinya. Maka
    malulah kepada mereka dan hormatilah mereka (HR
    At-Tirmidzi).

    Apabila salah seorang dari kamu berhubungan seks dengan
    pasangaunnya, jangan sekali-kali keduannya telanjang
    bagaikan telanjangnya binatang (HR Ibnu Majah).

    Yang dikemukakan di atas adalah tuntunan moral. Sedangkan
    tuntunan hukumnya tentunya lebih longgar. Dari segi hukum,
    tidak terlarang bagi seseorang --bila sendirian atau bersama
    istrinya-- untuk tidak berpakaian. Tetapi, ia berkewajiban
    menutup auratnya, baik aurat besar (kemaluan) maupun aurat
    kecil, selama diduga akan ada seseorang --selain pasangannya--
    yang mungkin melihat. Ulama bersepakat menyangkut kewajiban
    berpakaian sehingga aurat tertutup, hanya saja mereka berbeda
    pendapat tentang batas aurat itu. Bagian mana dari tubuh
    manusia yang harus selalu ditutup.

    Imam Malik, Syafi'i, dan Abu Hanifah berpendapat bahwa lelaki
    wajib menutup seluruh badannya dari pusar hingga lututnya,
    meskipun ada juga yang berpendapat bahwa yang wajib ditutup
    dari anggota tubuh lelaki hanya yang terdapat antara pusat dan
    lutut yaitu alat kelamin dan pantat.

    Wanita, menurut sebagian besar ulama berkewajiban menutup
    seluruh angggota tubuhnya kecuali muka dan telapak tangannya,
    sedangkan Abu Hanifah sedikit lebih longgar, karena
    menambahkan bahwa selain muka dan telapak tangan, kaki wanita
    juga boleh terbuka. Tetapi Abu Bakar bin Abdurrahman dan Imam
    Ahmad berpendapat bahwa seluruh anggota badan perempuan harus
    ditutup.

    Salah satu sebab perbedaan ini adalah perbedaan penafsiran
    mereka tentang maksud firman Allah dalam surat Al-Nur (24):
    31:

    Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali
    yang tampak darinya.

    2. Perhiasan

    Di bagian terdahulu telah dikemukakan ayat Al-Quran yang
    memerintahkan umat Islam agar memakai perhiasannya
    --lebih-lebih ketika berkunjung ke masjid (QS Al-A'raf [7]:
    31).

    Perhiasan adalah sesuatu yang dipakai untuk memperelok.
    Tentunya pemakainya sendiri harus lebih dahulu menganggap
    bahwa perhiasan tersebut indah, kendati orang lain tidak
    menilai indah atau pada hakikatnya memang tidak indah.

    Al-Quran tidak menjelaskan --apalagi merinci-- apa yang
    disebut perhiasan, atau sesuatu yang "elok". Sebagian pakar
    menjelaskan bahwa sesuatu yang elok adalah yang menghasilkan
    kebebasan dan keserasian.

    Bentuk tubuh yang elok adalah yang ramping, karena kegemukan
    membatasi kebebasan bergerak. Sentuhan yang indah adalah
    sentuhan yang memberi kebebasan memegang sehingga tidak ada
    duri atau kekasaran yang mengganggu tangan. Suara yang elok
    adalah suara yang keluar dari tenggorokan tanpa paksaan atau
    dihadang oleh serak dan semacamnya. Ide yang indah adalah ide
    yang tidak dipaksa atau dihambat oleh ketidaktahuan, takhayul,
    dan semacamnya. Sedangkan pakaian yang elok adalah yang
    memberi kebebasan kepada pemakainya untuk bergerak. Demikian
    kurang lebih yang ditulis Abbas A1-Aqqad dalam bukunya
    Muthal'at fi Al-Kutub wa Al-Hayat.

    Harus diingat pula bahwa kebebasan mesti disertai tanggung
    jawab, karenanya keindahan harus menghasilkan kebebasan yang
    bertanggung jawab.

    Tentu saja kita dapat menerima atau menolak pendapat tersebut,
    sekalipun sepakat bahwa keindahan adalah dambaan manusia.
    Namun harus disepakati pula bahwa keindahan sangat relatif;
    tergantung dari sudut pandang masing-masing penilai. Hakikat
    ini merupakan salah satu sebab mengapa Al-Quran tidak
    menjelaskan secara rinci apa yang dinilainya indah atau elok.

    Wahyu kedua (atau ketiga) yang dinilai oleh ulama sebagai
    ayat-ayat yang mengandung informasi pengangkatan Nabi Muhammad
    Saw. sebagai Rasul antara lain menuntun beliau agar menjaga
    dan terus-menerus meningkatkan kebersihan pakaiannya (QS
    Al-Muddatstsir [74]: 4).

    Memang salah satu unsur mutlak keindahan adalah kebersihan.
    Itulah sebabnya mengapa Nabi Saw. senang memakai pakaian
    putih, bukan saja karena warna ini lebih sesuai dengan iklim
    Jazirah Arabia yang panas, melainkan juga karena warna putih
    segera menampakkan kotoran, sehingga pemakainya akan segera
    terdorong untuk mengenakan pakaian lain (yang bersih).

    Al-Quran setelah memerintahkan agar memakai pakaian-pakaian
    indah ketika berkunjung ke masjid, mengecam mereka yang
    mengharamkan perhiasan yang telah diciptakan Allah untuk
    manusia.

    Katakanlah! "Siapakah yang mengharamkan perhiasan yang
    telah Allah keluarkan untuk hamba-hamba-Nya...?" (QS
    Al-A'raf [7]: 32)

    Berhias adalah naluri manusia. Seorang sahabat Nabi pernah
    bertanya kepada Nabi Saw.,

    "Seseorang yang senang pakaiannya indah dan alas
    kakinya indah (Apakah termasuk keangkuhan?)" Nabi
    menjawab, "Sesungguhnya Allah indah, senang kepada
    keindahan, keangkuhan adalah menolak kebenaran dan
    menghina orang lain."

    Terdapat sekian banyak riwayat yang menginformasikan bahwa
    Rasullah Saw. menganjurkan agar kuku pun harus dipelihara, dan
    diperindah. Istri Nabi, Aisyah, meriwayatkan bahwa:

    Seorang wanita menyodorkan --dengan tangannya-- sepucuk
    surat kepada Nabi dari belakang tirai, Nabi berhenti
    sejenak sebelum menerimanya, dan bersabda, "Saya tidak
    tahu, apakah yang (menyodorkan surat) ini tangan lelaki
    atau perempuan." Aisyah berkata, "Tangan perempuan,"
    Nabi kemudian berkata kepada wanita itu, "Seandainya
    Anda wanita, niscaya Anda memelihara kuku Anda
    (mewarnainya dengan pacar)."

    Demikian Nabi Saw. menganjurkan agar wanita berhias. Al-Quran
    memang tidak merinci jenis-jenis perhiasan, apalagi bahan
    pakaian yang baik digunakan. Meskipun ada sekian ayat yang
    berbicara tentang penghuni surga dan pakaian mereka. misalnya:

    Bagi mereka surga 'Adn, mereka masuk ke dalamnya, di
    sana mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari
    emas dan mutiara, dan pakaian mereka di sana adalah
    sutera (QS Fathir [35]: 33).

    ...Dalam surga mereka dihiasi dengan gelang emas dan
    mereka memakai pakaian hijau dan sutera halus dan
    sutera tebal, dalam keadaan mereka duduk sambil
    bersandar di atas dipan-dipan yang indah... (QS Al-Kahf
    [18]: 31).

    Perlu dicatat, bahwa yang disebutkan di atas tidak dapat
    dianalogikan dengan nama bahan yang sama di dunia ini. Ketika
    penghuni surga diberi rezeki berupa buah-buahan, orang menduga
    bahwa suguhan tersebut sama dengan yang pernah mereka peroleh
    di dunia. Dugaan ini dibantah oleh Al-Quran surat Al-Baqarah
    (2): 25 dengan menyatakan, "Mereka diberi yang serupa (tetapi
    tak sama)." Demikian juga halnya dengan jenis-jenis perhiasan
    yang telah disebutkan.

    Berbicara tentang perhiasan, salah satu yang diperselisihkan
    para ulama adalah emas dan sutera sebagai pakaian atau
    perhiasan lelaki.

    Dalam Al-Quran, persoalan ini tidak disinggung, tetapi sekian
    banyak hadis Nabi Saw. menegaskan bahwa keduanya haram dipakai
    oleh kaum lelaki.

    Ali bin Abi Thalib berkata, "Saya melihat Rasullullah
    Saw, mengambil sutera lalu beliau meletakkan di sebelah
    kanannya, dan emas diletakkannya di sebelah kirinya,
    kemunduran beliau bersabda, 'Kedua hal ini haram bagi
    lelaki umatku" (HR Abu Dawud dan Nasa'i).

    Pendapat ulama berbeda-beda tentang sebab-sebab diharamkannya
    kedua hal tersebut bagi kaum lelaki. Antara lain bahwa
    keduanya menjadi simbol kemewahan dan perhiasan yang
    berlebihan, sehingga menimbulkan ketidakwajaran kecuali bagi
    kaum wanita. Selain itu ia dapat mengundang sikap angkuh, atau
    karena menyerupai pakaian kaum musyrik.

    Muhammad bin 'Asyur, seorang ulama besar kontemporer serta
    Mufti Tunisia yang telah diakui otoritasnya oleh dunia Islam,
    menulis dalam bukunya Maqashid Asy-Syari'ah Al-Islamiyyah,
    bahwa ucapan dan sikap Rasulullah Saw. tidak selalu harus
    dipahami sebagai ketetapan hukum. Ada dua belas macam tujuan
    ucapan dan sikap beliau, walaupun diakuinya bahwa yang
    terpenting dan terbanyak adalah dalam bidang syariat atau
    hukum.

    Salah satu dari kedua belas tujuan tersebut adalah al-hadyu wa
    al-irsyad (tuntunan dan petunjuk). Ini berbeda dengan
    ketetapan hukum, karena --tulisnya:

    Boleh jadi Nabi Saw. memerintah atau melarang, tetapi
    tujuannya bukan harus melaksanakan itu, melainkan
    tujuannya adalah tuntunan ke jalan-jalan yang baik
    (hlm. 32).

    Dalam rinciannya, ulama besar itu menulis bahwa sebagian
    tuntunan tersebut berupa nasihat-nasihat. Dalam bidang pakaian
    dikemukakannya hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang
    disampaikan oleh sahabat Nabi Al-Bara' bin 'Azib:

    Rasulullah Saw. memerintahkan kami tujuh hal dan
    melarang tujuh hal; memerintahkan kami mengunjungi
    orang sakit, mengantar jenazah, mendoakan yang bersin
    (mengucapkan "yarhamukallah" bila orang yang bersin
    mengucapkan alhamdulillah), mengabulkan permintaan
    (yang meminta dengan menyebut nama Allah), membantu
    yang teraniaya, menyebarluaskan salam, serta menghadiri
    undangan. Beliau melarang kami memakai cincin emas,
    perabot perak, pelana dari kapas, aqsiyah (bentuk jamak
    dari "qisiy", yaitu sejenis pakaian yang dibuat di
    Mesir berbahan sutera), istabraq (sutera tebal), dan
    dibaj (sutera halus).

    Di sini, tulis Muhammad bin 'Asyur, terdapat perintah yang
    jelas-jelas wajib, seperti membantu yang teraniaya (kalau
    mampu). Ada juga larangan yang jelas haram, seperti minum dari
    gelas perak. Ada juga yang jelas tidak wajib, seperti
    mendoakan orang yang bersin, dan mengabulkan permintaan
    (walau) dengan cara yang disebut di atas, dan terdapat juga
    yang jelas tidak haram seperti mengenakan pelana dari kapas
    atau jenis pakaian buatan Mesir. Larangan-larangan semacam itu
    tidak lain kecuali bertujuan menghindarkan sahabat-sahabat
    beliau (dan tentu termasuk umatnya) dari penampilan
    berlebih-lebihan, berfoya-foya, dan berhias dengan warna-warna
    menyolok seperti warna merah. Pemahaman ini diperkuat oleh
    hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ali bin Abi Thalib
    yang menyatakan bahwa,

    Rasul Saw. melarang memakai aqsiyah, bercincin emas,
    membaca ayat Al-Quran ketika sedang rukuk dan sujud
    dalam shalat. (Ali berkata), "Aku tidak berkata bahwa
    kamu sekalian dilarang."

    Maksudnya bahwa sebagian larangan itu tidak ditujukan kepada
    seluruh umat, tetapi hanya kepada Ali bin Abi Thalib.
    Demikian Muhammad Thahir bin 'Asyur, dalam Magashid
    Asy-Syariah Al-Islamiyyah' hlm. 36.

    Sebelum mengakhiri uraian tentang fungsi pakaian sebagai
    perhiasan, perlu digarisbawahi bahwa salah satu yang harus
    dihindari dalam berhias adalah timbulnya rangsangan berahi
    dari yang melihatnya (kecuali suami atau istri) dan atau sikap
    tidak sopan dari siapa pun.
    Hal-hal tersebut dapat muncul dari cara berpakaian, berhias,
    berjalan, berucap, dan sebagainya.

    Berhias tidak dilarang dalam ajaran Islam, karena ia adalah
    naluri manusiawi. Yang dilarang adalah tabarruj al-jahiliyah,
    satu istilah yang digunakan Al-Quran (QS Al-Ahzab [33]: 33)
    mencakup segala macam cara yang dapat menimbulkan rangsangan
    berahi kepada selain suami istri. Termasuk dalam cakupan
    maksud kata tabarruj menggunakan wangi-wangian (yang menusuk
    hidung). Rasul Saw. bersabda:

    Wanita yang memakai parfum (yang merangsang) dan lewat
    di satu majelis (kelompok pria), maka sesungguhnya dia
    "begini" (yakni berzina) (HR At-Tirmidzi).

    Al-Quran mempersilakan perempuan berjalan di hadapan lelaki,
    tetapi diingatkannya agar cara berjalannya jangan sampai
    mengundang perhatian. Dalam bahasa Al-Quran disebutkan:

    ...dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar
    diketahui perhiasan yang mereka "sembunyikan" (QS
    Al-Nur [24]: 31).

    Al-Quran tidak melarang seseorang berbicara atau bertemu
    dengan lawan jenisnya, tetapi jangan sampai sikap dan isi
    pembicaraan mengundang rangsangan dan godaan,... demikian
    maksud firman Allah dalam sural Al-Ahzab (33): 32:

    ...maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
    berkeinginan orang yang ada penyakit dalam jiwanya...
    (QS Al-Ahzab [33]: 32).

    Demikian, sebagian tuntunan Al-Quran tentang perhiasan.

    PERLINDUNGAN (TAKWA)

    Di atas telah dikemukakan bahwa salah satu fungsi pakaian
    adalah "perlindungan". Bahwa pakaian tebal dapat melindungi
    seseorang dari sengatan dingin, dan pakaian yang tipis dari
    sengatan panas, bukanlah hal yang perlu dibuktikan. Yang
    demikian ini adalah perlindungan secara fisik.

    Di sisi lain, pakaian memberi pengaruh psikologis bagi
    pemakainya. Itu sebabnya sekian banyak negara mengubah pakaian
    militernya, setelah mengalami kekalahan militer. Bahkan Kemal
    Ataturk di Turki, melarang pemakaian tarbusy (sejenis tutup
    kepala bagi pria), dan memerintahkan untuk menggantinya dengan
    topi ala Barat, karena tarbusy dianggapnya mempengaruhi sikap
    bangsanya serta merupakan lambang keterbelakangan.

    Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat merasakan pengaruh
    psikologis dari pakaian jika kita ke pesta. Apabila mengenakan
    pakaian buruk, atau tidak sesuai dengan situasi, maka
    pemakainya akan merasa rikuh, atau bahkan kehilangan
    kepercayaan diri, sebaliknya pun demikian.

    Kaum sufi, sengaja memakai shuf (kain wol) yang kasar agar
    dapat menghasilkan pengaruh positif dalam jiwa mereka.

    Memang, harus diakui bahwa pakaian tidak menciptakan santri,
    tetapi dia dapat mendorong pemakainya untuk berperilaku
    seperti santri atau sebaliknya menjadi setan, tergantung dari
    cara dan model pakaiannya. Pakaian terhormat, mengundang
    seseorang untuk berperilaku serta mendatangi tempattempat
    terhormat, sekaligus mencegahnya ke tempat-tempat yang tidak
    senonoh. Ini salah satu yang dimaksud Al-Quran dengan
    memerintahkan wanita-wanita memakai jilbab.

    Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenal
    (sebagai Muslimah/wanita terhormat) sehingga mereka
    tidak diganggu.

    Fungsi perlindungan bagi pakaian dapat juga diangkat untuk
    pakaian ruhani, libas at-tagwa. Setiap orang dituntut untuk
    merajut sendiri pakaian ini. Benang atau serat-seratnya adalah
    tobat, sabar, syukur, qana'ah, ridha, dan sebagainya.

    Iman itu telanjang, pakaiannya adalah takwa.

    Demikian sabda Nabi Muhammad Saw.

    Al-Quran mengingatkan kepada mereka yang telah berhasil
    merajut pakaian takwa:

    Janganlah kamu menjadi seperti seorang perempuan (gila
    dalam cerita lama) mengurai kembali tenunannya sehelai
    benang demi sehelai, setelah ditenunnya dengan kuat (QS
    Al-Nahl [l6]: 92).

    PENUNJUK IDENTITAS

    Yang demikian itu lebih mudah bagi mereka untuk dikenal (QS
    Al-Ahzab [33]: 59)

    Demikian terjemahan ayat yang menggambarkan fungsi pakaian.

    Identitas/kepribadian sesuatu adalah yang menggambarkan
    eksistensinya sekaligus membedakannya dari yang lain.
    Eksistensi atau keberadaan seseorang ada yang bersifat
    material dan ada juga yang imaterial (ruhani). Hal-hal yang
    bersifat material antara lain tergambar dalam pakaian yang
    dikenakannya.

    Anda dapat mengetahui sekaligus membedakan murid SD dan SMP,
    atau Angkatan Laut dan Angkatan Darat, atau Kopral dan
    Jenderal dengan melihat apa yang dipakainya. Tidak dapat
    disangkal lagi bahwa pakaian antara lain berfungsi menunjukkan
    identitas serta membedakan seseorang dari lainnya. Bahkan
    tidak jarang ia membedakan status sosial seseorang.

    Rasul Saw. amat menekankan pentingnya penampilan identitas
    Muslim, antara lain melalui pakaian. Karena itu:

    Rasulullah Saw. melarang lelaki yang memakai pakaian
    perempuan dan perempuan yang memakai pakaian lelaki (HR
    Abu Daud).

    Kepribadian umat juga harus ada. Ketika Rasul membicarakan
    bagaimana cara yang paling tepat untuk menyampaikan/mengundang
    kaum Muslim melaksanakan shalat, maka ada di antara sahabatnya
    yang mengusulkan menancapkan tanda, sehingga yang melihatnya
    segera datang. Beliau tidak setuju. Ada lagi yang mengusulkan
    untuk menggunakan terompet, dan komentar beliau: "Itu cara
    Yahudi." Ada juga yang mengusulkan membunyikan lonceng. "Itu
    cara Nasrani," sabda beliau. Akhirnya yang disetujui beliau
    adalah adzan yang kita kenal sekarang, setelah Abdullah bin
    Zaid Al-Anshari dan juga Umar ra. Bermimpi tentang cara
    tersebut. Demikian diriwayatkan oleh Abu Daud. Yang penting
    untuk digarisbawahi adalah bahwa Rasul menekankan pentingnya
    menampilkan kepribadian tersendiri, yang berbeda dengan yang
    lain. Dari sini dapat dimengerti mengapa Rasul Saw. bersabda:

    Siapa yang meniru satu kaum, maka ia termasuk kelompok
    kaum itu.

    Kepribadian imaterial (ruhani) bahkan ditekankan oleh
    Al-Quran, antara lain melalui surat Al-Hadid (57): 16:

    Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman,
    untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada
    kebenaran yang telah turun, dan janganlah mereka
    seperti orang-orang sebelumnya yang telah diberikan
    Al-Kitab (orang Yabudi dan Nasrani). Berlalulah masa
    yang panjang bagi mereka sehingga hati mereka menjadi
    keras. Kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang
    fasik.

    Seorang Muslim diharapkan mengenakan pakaian ruhani dan
    jasmani yang menggambarkan identitasnya.

    Disadari sepenuhnya bahwa Islam tidak datang menentukan mode
    pakaian tertentu, sehingga setiap masyarakat dan periode, bisa
    saja menentukan mode yang sesuai dengan seleranya. Namun
    demikian agaknya tidak berlebihan jika diharapkan agar dalam
    berpakaian tercermin pula identitas itu.

    Tidak diragukan lagi bahwa jilbab bagi wanita adalah gambaran
    identitas seorang Muslimah, sebagaimana yang disebut Al-Quran.
    Tetapi apa hukumnya? Baiklah kita membahasnya dalam bagian
    berikut ini.

    SEPUTAR AYAT AL-NUR DAN AL-AHZAB

    Wanita-wanita Muslim, pada awal Islam di Madinah, memakai
    pakaian yang sama dalam garis besar bentuknya dengan
    pakaian-pakaian yang dipakai oleh wanita-wanita pada umumnya.
    Ini termasuk wanita-wanita tuna susila atau hamba sahaya.
    Mereka secara umum memakai baju dan kerudung bahkan jilbab
    tetapi leher dan dada mereka mudah terlihat. Tidak jarang
    mereka memakai kerudung tetapi ujungnya dikebelakangkan
    sehingga telinga, leher dan sebagian dada mereka terbuka.
    Keadaan semacam itu digunakan oleh orang-orang munafik untuk
    menggoda dan mengganggu wanita-wanita termasuk wanita
    Mukminah. Dan ketika mereka ditegur menyangkut gangguannya
    terhadap Mukminah, mereka berkata: "Kami kira mereka hamba
    sahaya." Ini tentu disebabkan karena ketika itu identitas
    mereka sebagai wanita Muslimah tidak terlihat dengan jelas.
    Nah, dalam situasi yang demikian turunlah petunjuk Allah
    kepada Nabi yang menyatakan:

    Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
    perempuan dan istri-istri orang Mukmin agar mengulurkan
    atas diri mereka jilbab-jilbab mereka. Yang demikian
    itu menjadikan mereka. Lebih mudah untuk dikenal
    (sebagai wanita Muslimah/wanita merdeka/orang
    baik-baik) sehingga mereka tidak diganggu. Allah Maha
    Pengampun lagi Maha Penyayang (QS A1-Ahzab [33]: 59).

    Jilbab adalah baju kurung yang longgar dilengkapi dengan
    kerudung penutup kepala.

    Ayat ini secara jelas menuntun/menuntut kaum Muslimah agar
    memakai pakaian yang membedakan mereka dengan yang bukan
    Muslimah yang memakai pakaian tidak terhormat lagi mengundang
    gangguan tangan atau lidah yang usil. Ayat ini memerintahkan
    agar jilbab yang mereka pakai hendaknya diulurkan ke badan
    mereka.

    Seperti tergambar di atas, wanita-wanita Muslimah sejak semula
    telah memakai jilbab, tetapi cara pemakaiannya belum
    menghalangi gangguan serta belum menampakkan identitas
    Muslimah.

    Nah, di sinilah Al-Quran memberi tuntunan itu.

    Penjelasan serupa tentang pakaian ditemukan pada surat Al-Nur
    (24): 31,

    Katakanlah, kepada wanita yang beriman, hendaklah
    mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya
    dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali
    yang tampak darinya. Hendaklah mereka
    mengulurkan/menutupkan kain kudung kedadanya dan
    janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada
    suami mereka, atau ayah mereka, atau mertua mereka,
    atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka,
    atau saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara
    lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan
    mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang
    mereka miliki, atau pelayan-pelayan lelaki yang tidak
    mempunyai keinginan terhadap wanita, atau anak-anak
    yang belum mengerti tentang aurat wanita. Janganlah
    mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang
    mereka sembunyikan dan bertobatlah kamu sekalian kepada
    Allah, hai orang yang beriman, supaya kamu beruntung.

    Surat Al-Nur (24): 31 di atas, kalimat-kalimatnya cukup jelas.
    Tetapi yang paling banyak menyita perhatian ulama tafsir
    adalah larangan menampakkan zinah (hiasan) yang dikecualikan
    oleh ayat di atas dengan menggunakan redaksi illa ma zhahara
    minha [kecuali (tetapi) apa yang tampak darinya].

    Mereka sepakat menyatakan bahwa zinah berarti hiasan (bukan
    zina yang artinya hubungan seks yang tidak sah); sedangkan
    hiasan adalah segala sesuatu yang digunakan untuk memperelok,
    baik pakaian penutup badan, emas dan semacamnya maupun
    bahan-bahan make up.

    Tetapi apa yang dimaksud dengan pengecualian itu? Inilah yang
    mereka bahas secara panjang lebar sekaligus merupakan salah
    satu kunci pemahaman ayat tersebut.

    Ada yang berpendapat bahwa kata illa adalah istisna' muttashil
    (satu istilah -- dalam ilmu bahasa Arab yang berarti "yang
    dikecualikan merupakan bagian/jenis dari apa yang disebut
    sebelumnya"), dan dalam penggalan ayat ini adalah zinah atau
    hiasan.

    Ini berarti ayat tersebut berpesan: "Hendaknya janganlah
    wanita-wanita menampakkan hiasan (anggota tubuh) mereka
    kecuali apa yang tampak."

    Redaksi ini, jelas tidak lurus, karena apa yang tampak tentu
    sudah kelihatan. Jadi, apalagi gunanya dilarang? Karena itu,
    lahir paling tidak tiga pendapat lain guna lurusnya pemahamam
    redaksi tersebut.

    Pertama, memahami illa dalam arti tetapi atau dalam istilah
    ilmu bahasa Arab istisna' munqathi' dalam arti yang
    dikecualikan bukan bagian/jenis yang disebut sebelumnya. Ini
    bermakna: "Janganlah mereka menampakkan hiasan mereka sama
    sekali; tetapi apa yang tampak (secara terpaksa/bukan sengaja
    seperti ditiup angin dan lain-lain), maka itu dapat dimaafkan.

    Kedua, menyisipkan kalimat dalam penggalan ayat itu. Kalimat
    dimaksud menjadikan penggalan ayat itu mengandung pesan lebih
    kurang: "Janganlah mereka (wanita-wanita) menampakkan hiasan
    (badan mereka). Mereka berdosa jika demikian. Tetapi jika
    tampak tanpa disengaja, maka mereka tidak berdosa."

    Penggalan ayat --jika dipahami dengan kedua pendapat di atas--
    tidak menentukan batas bagi hiasan yang boleh ditampakkan,
    sehingga berarti seluruh anggota badan tidak boleh tampak
    kecuali dalam keadaan terpaksa.

    Tentu saja pemahaman ini, mereka kuatkan pula dengan sekian
    banyak hadis, seperti sabda Nabi Saw. kepada Ali bin Abi
    Thalib yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan At-Tirmidzi melalui
    Buraidah:

    Wahai Ali, jangan ikutkan pandangan pertama dengan pandangan
    kedua. Yang pertama Anda ditolerir, dan yang kedua anda
    berdosa.
    Riwayat berikut juga dijadikan alasan,

    Pemuda, Al-Fadhl bin Abbas, ketika haji Wada'
    menunggang unta bersama Nabi Saw., dan ketika itu ada
    seorang wanita cantik, yang ditatap terus-menerus oleh
    Al-Fadhl. Maka Nabi Saw. memegang dagu Al-Fadhl dan
    mengalihkan wajahnya agar ia tidak melihat wanita
    tersebut secara terus-menerus.

    Demikian diriwayatkan oleh Bukhari dari saudara Al-Fadhl
    sendiri, yaitu Ibnu Abbas.

    Bahkan penganut pendapat ini merujuk kepada ayat A1-Quran,

    Dan apabila kamu meminta sesuatu dan mereka, maka
    mintalah dari belakang tabir (QS Al-Ahzab 133]: 53).

    Ayat ini walaupun berkaitan dengan permintaan sesuatu dari
    istri Nabi, namun dijadikan oleh ulama penganut kedua pendapat
    di atas, sebagai dalil pendapat mereka.

    Ketõga, memahami "kecuali apa yang tampak" dalam arti yang
    yang biasa dan atau dibutuhkan keterbukaannya sehingga harus
    tampak." Kebutuhan disini dalam arti menimbulkan kesulitan
    bila bagian badan tersebut ditutup. Mayoritas ulama memahami
    penggalan ayat tersebut dalam arti ketiga ini. Cukup banyak
    hadis yang mendukung pendapat ini. Misalnya:

    Tidak dibenarkan bagi seorang wanita yang percaya
    kepada Allah dan hari kemudian untuk menampakkan kedua
    tangannya, kecuali sampai di sini (Nabi kemudran
    memegang setengah tangan belõau) (HR Ath-Thabari).

    Apabila wanita telah haid, tidak wajar terlihat darinya
    kecuali wajah dan tangannya sampai ke pergelangan (HR
    Abu Daud).

    Pakar tafsir Al-Qurthubi, dalam tafsirnya mengemukakan bahwa
    ulama besar Said bin Jubair, Atha dan Al-Auzaiy berpendapat
    bahwa yang boleh dilihat hanya wajah wanita, kedua telapak
    tangan dan busana yang dipakainya. Sedang sahabat Nabi Ibnu
    Abbas, Qatadah, dan Miswar bin Makhzamah, berpendapat bahwa
    yang boleh termasuk juga celak mata, gelang, setengah dari
    tangan yang dalam kebiasaan wanita Arab dihiasi/diwarnai
    dengan pacar (yaitu semacam zat klorofil yang terdapat pada
    tumbuhan yang hijau), anting, cincin, dan semacamnya.
    Al-Qurthubi juga mengemukakan hadis yang menguraikan kewajiban
    menutup setengah tangan.

    Syaikh Muhammad Ali As-Sais, Guru Besar Universitas Al-Azhar
    Mesir, mengemukakan dalam tafsirnya-yang menjadi buku wajib
    pada Fakultas Syariah Al-Azhar bahwa Abu Hanifah berpendapat
    kedua kaki, juga bukan aurat. Abu Hanifah mengajukan alasan
    bahwa ini lebih menyulitkan dibanding dengan tangan, khususnya
    bagi wanita-wanita miskin di pedesaan yang (ketika itu)
    seringkali berjalan (tanpa alas kaki) untuk memenuhi kebutuhan
    mereka. Pakar hukum Abu Yusuf bahkan berpendapat bahwa kedua
    tangan wanita bukan aurat, karena dia menilai bahwa mewajibkan
    untuk menutupnya menyulitkan wanita.

    Dalam ajaran Al-Quran memang kesulitan merupakan faktor yang
    menghasilkan kemudahan. Secara tegas Al-Quran menyatakan bahwa
    Allah tidak berkehendak menjadikan bagi kamu sedikit kesulitan
    pun (QS Al-Ma-idah [5]: 6) dan bahwa Allah menghendaki buat
    kamu kemudahan bukan kesulitan (QS Al-Baqarah [2): 185).

    Pakar tafsir Ibnu Athiyah sebagaimana dikutip oleh Al-Qurthubi
    berpendapat:

    Menurut hemat saya, berdasarkan redaksi ayat, wanita
    diperintahkan untuk tidak menampakkan dan berusaha
    menutup segala sesuatu yang berupa hiasan.
    Pengecualian, menurut hemat saya, berdasarkan keharusan
    gerak menyangkut (hal-hal) yang mesti, atau untuk
    perbaikan sesuatu dan semacamnya.

    Kalau rumusan Ibnu Athiyah diterima, maka tentunya yang
    dikecualikan itu dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan
    mendesak yang dialami seseorang.

    Al-Qurthubi berkomentar:

    Pendapat (Ibnu Athiyah) ini baik. Hanya saja karena
    wajah dan kedua telapak tangan seringkali (biasa)
    tampak --baik sehari-hari maupun dalam ibadah seperti
    ketika shalat dan haji-- maka sebaiknya redaksi
    pengecualian "kecuali yang tampak darinya" dipahami
    sebagai kecuali wajah dan kedua telapak tangan yang
    biasa tampak itu.

    Demikian terlihat pakar hukum ini mengembalikan pengecualian
    tersebut kepada kebiasaan yang berlaku. Dari sini, dalam
    Al-Quran dari Terjemah-nya susunan Tim Departemen Agama,
    pengecualian itu diterjemahkan sebagai kecuali yang (biasa)
    tampak darinya.

    Nah, Anda boleh bertanya, apakah "kebiasaan" yang dimaksud
    berkaitan dengan kebiasaan wanita pada masa turunnya ayat ini,
    atau kebiasaan wanita di setiap masyarakat Muslim dalam masa
    yang berbeda-beda? Ulama tafsir memahami kebiasaan dimaksud
    adalah kebiasaan pada masa turunnya Al-Quran, seperti yang
    dikemukakan Al-Qurthubi di atas.

    Sebelum menengok kepada pendapat beberapa ulama kontemporer,
    ada baiknya kita melanjutkan sedikit lagi uraian ayat di atas,
    menyangkut kerudung.

    Hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke atas
    juyubi-hinna (dada mereka).

    Juyub adalah jamak jaib yaitu lubang yang terletak di bagian
    atas pakaian yang biasanya menampakkan (sebagian) dada.

    Kandungan ayat ini berpesan agar dada ditutup dengan kerudung
    (penutup kepala). Apakah ini berarti bahwa kepala (rambut)
    juga harus ditutup? Jawabannya, "ya". Demikian pendapat yang
    logis, apalagi jika disadari bahwa "rambut adalah
    hiasan/mahkota wanita". bahwa ayat ini tidak menyebut secara
    tegas perlunya rambut ditutup, hal ini agaknya tidak perlu
    disebut. Bukankah mereka telah memakai kudung yang tujuannya
    adalah menutup rambut?

    PENDAPAT BEBERAPA ULAMA KONTEMPORER TENTANG JILBAB

    Di atas --semoga telah tergambar-- tafsir serta pandangan
    ulama-ulama mutaqaddimin (terdahulu) tentang persoalan jilbab
    dan batas aurat wanita. Tidak dapat disangkal bahwa pendapat
    tersebut didukung oleh banyak ulama kontemporer. Namun amanah
    ilmiah mengundang penulis untuk mengemukakan pendapat yang
    berbeda --dan yang boleh jadi dapat dijadikan bahan
    pertimbangan dalam menghadapi kenyataan yang ditampilkan oleh
    mayoritas wanita Muslim dewasa ini.

    Muhammad Thahir bin Asyur seorang ulama besar dari Tunis, yang
    diakui juga otoritasnya dalam bidang ilmu agama, menulis dalam
    Maqashid Al-Syari'ah sebagal berikut:

    Kami percaya bahwa adat kebiasaan satu kaum tidak boleh
    --dalam kedudukannya sebagai adat-- untuk dipaksakan
    terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat
    dipaksakan pula terhadap kaum itu.

    Bin Asyur kemudian memberikan beberapa contoh dari Al-Quran
    dan Sunnah Nabi. Contoh yang diangkatnya dari Al-Quran adalah
    surat Al-Ahzab (33): 59, yang memerintahkan kaum Mukminah agar
    mengulurkan jilbabnya. Tulisnya:

    Di dalam Al-Quran dinyatakan, Wahai Nabi, katakan
    kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan
    wanita-wanita Mukmin; hendak1ah mereka mengulurkan
    jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, yang demikian itu
    supaya mereka lebih mudah dikenal sehingga tidak
    diganggu. Ini adalah ajaran yang mempertimbangkan adat
    orang-orang Arab, sehingga bangsa-bangsa lain yang
    tidak menggunakan jilbab, tidak memperoleh bagian
    (tidak berlaku bagi mereka) ketentuan ini.

    Dalam kitab tafsirnya ia menulis bahwa:

    Cara memakai jilbab berbeda-beda sesuai dengan
    perbedaan keadaan wanita dan adat mereka. Tetapi tujuan
    perintah ini adalah seperti bunyi ayat itu yakni "agar
    mereka dapat dikenal (sebagai wanita Muslim yang baik)
    sehingga tidak digangu" (Tafsir At-Tahrir, jilid XXII,
    hlm. lO).

    Tetapi bagaimana dengan ayat-ayat ini, yang menggunakan
    redaksi perintah?

    Jawabannya --yang sering terdengar dalam diskusi-- adalah:
    Bukankah tidak semua perintah yang tercantum dalam Al-Quran
    merupakan perintah wajib? Pernyataan itu, memang benar.
    Perintah menulis hutang-piutang (QS Al-Baqarah [2]: 282)
    adalah salah satu contohnya.

    Tetapi bagaimana dengan hadis-hadis yang demikian banyak?
    Jawabannya pun sama. Bukankah seperti yang dikemukakan oleh
    Bin Asyur di atas bahwa ada hadis-hadis Nabi yang merupakan
    perintah, tetapi perintah dalam arti "sebaiknya" bukan
    seharusnya. (Lihat kembali uraian tentang memakai pakaian
    sutera, cincin, emas pada buku ini).

    Memang, kita boleh berkata bahwa yang menutup seluruh badannya
    kecuali wajah dan (telapak) tangannya, menjalankan bunyi teks
    ayat itu, bahkan mungkin berlebih. Namun dalam saat yang sama
    kita tidak wajar menyatakan terhadap mereka yang tidak memakai
    kerudung, atau yang menampakkan tangannya, bahwa mereka
    "secara pasti telah melanggar petunjuk agama". Bukankah
    Al-Quran tidak menyebut batas aurat? Para ulama pun ketika
    membahasnya berbeda pendapat.

    Namun demikian, kehati-hatian amat dibutuhkan, karena pakaian
    lahir dapat menyiksa pemakainya sendiri apabila ia tidak
    sesuai dengan bentuk badan si pemakai. Demikian pun pakaian
    batin. Apabila tidak sesuai dengan jati diri manusia, sebagai
    hamba Allah, yang paling mengetahui ukuran dan patron terbaik
    buat manusia.

    ***

    Sebagai akhir dari uraian tentang wawasan Islam menyangkut
    pakaian, ada baiknya digarisbawahi dua hal.

    Pertama: Al-Quran dan Sunnah secara pasti melarang segala
    aktivitas --pasif atau aktif-- yang dilakukan seseorang bila
    diduga dapat menimbulkan rangsangan berahi kepada 1awan
    jenisnya. Di sini tidak ada tawar-menawar.

    Kedua, Tuntunan Al-Quran menyangkut berpakaian --sebagaimana
    terlihat dalam surat Al-Ahzab dan Al-Nur-- yang dikutip di
    atas, ditutup dengan ajakan bertobat (QS Al-Nur [24]: 31) dan
    pernyataan bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang pada
    surat Al-Ahzab (33): 59.

    Ajakan bertobat agaknya merupakan isyarat bahwa pelanggaran
    kecil atau besar terhadap tuntunan memelihara pandangan kepada
    lawan jenis, tidak mudah dihindari oleh seseorang. Maka setiap
    orang dituntut untuk berusaha sebaik-baiknya dan sesuai
    kemampuannya. Sedangkan kekurangannya, hendaknya dia mohonkan
    ampun dari Allah, karena Dia Maha Pengampun lagi Maha
    Penyayang.

    Pernyataan bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
    --semoga-- mengandung arti bahwa Allah mengampuni kesalahan
    mereka yang lalu dalam hal berpakaian. Karena Dia Maha
    Penyayang dan mengampuni pula mereka yang tidak sepenuhnya
    melaksanakan tuntunan-Nya dan tuntunan Nabi-Nya, selama mereka
    sadar akan kesalahan dan kekurangannya serta berusaha untuk
    menyesuaikan diri dengan petunjuk-petunjuk-Nya.

    Wa Allahu A'lam

0 comments:

Leave a Reply

Monggo dikomentari ...