• Puasa Dalam Fikroh Cak Nurcholis

    Memahami Makna Puasa
    oleh Nurcholish Madjid
    Dari berbagai ibadah dalam Islam, puasa di bulan Ramadhanbarangkali merupakan ibadat wajib yang paling mendalambekasnya pada jiwa seorang Muslim. Pengalaman selama sebulandengan berbagai kegiatan yang menyertainya seperti berbuka,tarawih dan makan sahur senantiasa membentuk unsur kenanganyang mendalam akan masa kanak-kanak di hati seorang Muslim.Maka ibadah puasa merupakan bagian dari pembentuk jiwakeagamaan seorang Muslim, dan menjadi sarana pendidikannya diwaktu kecil dan seumur hidup. Semua bangsa Muslim menampilkancorak keruhanian yang sama selama berlangsungnya puasa, denganbeberapa variasi tertentu dari satu ke lainnya. Maka kekhasanbangsa kita dalam menyambut dan menjalani ibadah puasaRamadhan telah pula menjadi perhatian orang Muslim Arab diakhir abad yang lalu. Seorang sarjana bernama Riyadlmenyebutkan bahwa di Jawa (yang dicampuradukkan olehnyasebagai bagian dari India) para pemeluk Islam mempunyai carayang khas dalam menyambut dan menjalani ibadah puasa. Merekaitu, kata Prof. Riyadl. pergi ke masjid beramai-ramai di saat tenggelam matahari untuk shalat Maghrib dan berbuka puasa, kemudian melakukan shalat 'isya dan tarawih diteruskan dengan membaca al-Qur'an (tadarrus) setiap malam satu juz' sehingga mereka dapat menghatamkan Kitab Suci itu pada suatu malam di bulan suci. Dan dalam berbuka puasa mereka makan bersama suatu jenis makanan nasional yang menyerupai tha'miyyah (sejenis kue) pada kita, tetapi terbuat dari kacang polong dan bukannya dari kacang buncis. [1] Dari penuturan sederhana itu maka tidak terlalu salah jikakita kaum Muslim Indonesia mempunyai kesan yang amat khastentang bulan Ramadhan, agaknya lebih dari kaum Muslim dinegeri-negeri lain. Bulan Ramadhan merupakan bulan keagamaandengan intensitas yang tinggi, yang bakal meninggalkan kesanmendalam pada mereka yang terlibat. Kekhasan suasana Ramadhanpada bangsa kita tercermin juga dalam suasana Hari RayaLebaran atau 'Idul-Fitri yang khas Indonesia. Maka sudah tentuakan baik sekali jika kita memahami berbagai hikmah ibadahpuasa yang kita jalankan selama bulan itu. PUASA DI ANTARA BERBAGAI UMAT Sebelum kita membicarakan hikmah ibadah yang khas ini, adabaiknya kita menyempatkan diri menengok sejenak ke masa lalu,guna memperoleh sedikit bahan perbandingan tentang bagaimanapuasa itu dijalankan oleh berbagai golongan manusia. Firman Allah berkenaan dengan kewajiban kaum berimanmenjalankan ibadah puasa menyebutkan adanya kewajiban serupaatas manusia sebelum mereka: "Wahai sekalian orang yangberiman! Diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa sebagaimanatelah diwajibkan atas mereka sebelum kami, agar kamubertaqwa." [2] Ini menunjukkan adanya ibadat puasa padaumat-umat sebelum Nabi Muhammad s.a.w. Menurut para ahli, puasa merupakan salah satu bentuk ibadatyang paling mula-mula serta yang paling luas tersebar dikalangan umat manusia. Bagaimana puasa itu dilakukan, dapatberbeda-beda dari satu umat ke umat yang lain, serta dari satutempat ke tempat yang lain. Bentuk puasa yang umum selaluberupa sikap menahan diri dari makan dan minum serta daripemenuhan kebutuhan biologis. Juga ada puasa berupa penahanandiri dari bekerja, malah dari berbicara. Puasa berupapenahanan diri dari berbicara dituturkan dalam al-Qur'anpernah dijalankan oleh Maryam, ibunda Nabi Isa al-Masih.Karena terancam akan diejek oleh masyarakatnya bahwa ia telahmelakukan suatu perbuatan keji (sebab ia telah melahirkanseorang putera tanpa ayah), maka Allah memerintahkannya untukmelakukan puasa (shawm) dengan tidak berbicara kepada siapapunjuga. Firman Allah berkenaan dengan hal ini: ... Lantaran itu, makanlah dan minumlah (wahai Maryam), serta tenangkanlah dirimu; Dan jika terjadi engkau melihat seseorang, maka katakan kepadanya, 'Sesungguhnya aku berjanji (nadzar) untuk melakukan puasa (shawm) kepada Yang Maha Pengasih. Karena itu hari ini aku tidak akan berbicara kepada siapapun jua. [3] Jadi pokok amalan (lahiriah) puasa ialah pengingkaran jasmanidan ruhani secara sukarela dari sebagian kebutuhannya,khususnya dari kebutuhan yang menyenangkan. Pengingkaranjasmani dari kebutuhannya, yaitu makan dan minum, dapatberaneka ragam. Kaum Muslim berpuasa dengan menahan diri darimakan dan minum itu secara mutlak (artinya, semua bentukmakanan dan minuman dihindari, tanpa kecuali), sejak darifajar sampai terbenam matahari. Tetapi ada umat lain yangberpuasa dengan menghindari beberapa jenis makanan atauminuman tertentu saja. Konon kaum Sabean (al-Shabi'un) danpara pengikut Manu (al-Manuwiyyun), yaitu kelompok-kelompokkeagamaan di Timur Tengah kuna, khususnya di Mesopotamia danPersia, adalah umat-umat yang menjalankan puasa denganmenghindari jenis tertentu makanan dan minuman itu. Demikianpula halnya dengan kaum Kristen, khususnya kaum Kristen Timurdi Asia Barat dan Mesir. Dari segi waktu pun terdapat keanekaragaman dalam amalanberpuasa. Ada umat yang menjalankan puasa hanya untuk sebagiansiang, atau seluruh siang, atau siang dan malam sekaligus.Bahkan juga ada yang menjalankannya hanya untuk malam hari.Karena itu sebagian dari para ahli tafsir dalam Islam merasaperlu meneranghan hikmah puasa siang hari saja seperti yangdijalankan oleh kaum Muslim. Maka al-Jurjawi, misalnya,memandang bahwa puasa di siang hari adalah yang lebih utamadaripada di malam hari, karena lebih berat. Ini dikaitkandengan ketentuan, menurut sebuah Hadist Nabi, bahwa "Ibadatyang paling utama ialah yang paling mengigit (ahmaz yakni,paling berat)", dan bahwa "Sebaik-baik amalan ialah yangpaling menggigit." [4] Nampak bahwa ibadah puasa memang sangatberkaitan dengan ide latihan atau riyadlah (exercise), yaitulatihan keruhanian, sehingga semakin berat semakin baik danutama, karena semakin kuat membekas pada jiwa dan raga orangyang melakukannya. Berkenaan dengan puasa di bulan Ramadhan, disebutkan olehal-Jurjawi bahwa sebagian ahli tafsir Yahudi dan Kristen,namun kemudian mereka tinggalkan. Tidak ada bukti yang cukupkuat untuk mendukung pandangan serupa itu, kecuali barangkaliuntuk orang-orang Yahudi dan Kristen Arab di Jazirah Arabiakarena terpengaruh atau meneruskan adat kebiasaan setempat.Sebab ada petunjuk bahwa berpuasa di bulan Ramadhan itu banyakdilakukan oleh berbagai suku Arab di zaman Jahiliah, khususnyasuku Quraisy. Dan memang banyak amalan yang disyari'atkandalam Islam telah pula disyari'atkan kepada umat-umatsebelumnya, sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allahtersebut di atas, sebagaimana juga jelas bahwa Islammengukuhkan sebagian ibadat sebelum Islam, seperti beberapaamalan tertentu dalam haji, setelah semuanya itu dibersihkandari unsur-unsur yang tidak sejalan dengan Tawhid. [5] Berdasarkan itu semua dapat dikatakan bahwa puasa merupakansalah satu mata rantai yang menunjukkan segi kesinambunganatau kontinuitas agama-agama. Dalam hal Islam, puasa menjadisalah satu bukti bahwa agama itu merupakan kelanjutan danpenyempurnaan dari agama-agama Allah yang telah diturunkankepada umat-umat sebelumnya. Segi kesinambungan ataukontinuitas Islam dengan agama-agama sebelumnya itu merupakanhal yang dengan sangat kukuh dijelaskan dalam Kitab Suci,yaitu dalam perspektif bahwa peran Nabi Muhammad saw ialahtidak lain meneruskan dan menggenapkan misi suci para Nabi danRasul sebelumnya sepanjang sejarah: Sesungguhnya Kami (Allah) telah mewahyukan (ajarkan) kepada engkau (Muhammad) sebagaimana telah Kami wahyukan kepada Nuh dan kepada para Nabi sesudahnya, dan yang telah Kami wahyukan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya'qub serta anak cucunya, dan kepada 'Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman; sedangkan kepada Dawud telah Kami berikan Kitab Zabur. Juga kepada para Rasul yang telah Kami kisahkan mereka itu kepada engkau sebelum ini, serta kepada para Rasul yang tidak Kami kisahkan mereka itu kepada Engkau. Dan sungguh Allah telah berbicara (langsung) dengan Musa. Yaitu para Rasul yang membawa kegembiraan dan ancaman, agar tidak lagi ada alasan bagi manusia atas Allah sesudah para Rasul itu. Allah itu Maha Mulia dan Maha Bijaksana. Namun Allah bersaksi bahwa apa yang diturunkan kepada engkau itu ia turunkan dengan pengetahuanNya, begitu pula para malaikat pun semuanya bersaksi. Dan (sebenarnya) cukuplah Allah sebaga saksi. [6] PUASA, KESUCIAN DAN TANGGUNG JAWAB PRIBADI Sebuah Hadits menuturkan tentang adanya firman Tuhan (dalambentuk Hadits Qudsi): "Semua amal seorang anak Adam (manusia)adalah untuk dirinya kecuali puasa, sebab puasa itu adalahuntuk-Ku, dan Aku-lah yang akan memberinya pahala." [7]Berkaitan dengan ini Ibn al-Qayyim al-Jawzi memberi penjelasanbahwa puasa itu ... adalah untuk Tuhan seru sekalian Alam, berbeda dari amal-amal yang lain. Sebab seseorang yang berpuasa tidak melakukan sesuatu apa pun melainkan meninggalkan syahwatnya, makanannya dan minumannya demi Sesembahannya (Ma'bududu, yakni,Tuhan-NM). Orang itu meninggalkan segala kesenangan dan kenikmatan dirinya karena lebih mengutamakan cinta Allah dan ridla-Nya. Puasa itu rahasia antara seorang hamba dan Tuhannya, yang orang lain tidak mampu melongoknya. Sesama hamba mungkin dapat melihat seseorang yang berpuasa meninggalkan segala sesuatu yang membatalkan makan, minum, dan syahwatnya demi Sesembahannya, maka hal itu merupakan perkara yang tidak dapat diketahui sesama manusia. Itulah hakikat puasa.[8] Jadi salah satu hakikat ibadah puasa ialah sifatnya yangpribadi atau personal, bahkan merupakan rahasia antara seorangmanusia dengan Tuhannya. Dan segi kerahasiaan itu merupakanletak seorang manusia dengan Tuhannya. Dan segi kerahasiaanitu merupakan letak dan sumber hikmahnya, yang kerahasiaan itusendiri terkait erat dengan makna keikhlasan dan ketulusan.Antara puasa yang sejati dan puasa yang palsu hanyalahdibedakan oleh, misalnya, seteguk air yang dicuri minum olehseseorang ketika ia berada sendirian. Puasa benar-benar merupakan latihan dan ujian kesadaran akanadanya Tuhan yang Maha Hadir (Ompnipresent), dan yang mutlaktidak pernah lengah sedikitpun dalam pengawasan-Nya terhadapsegala tingkah laku hamba-hamba-Nya. Puasa adalah penghayatannyata akan makna firman bahwa "Dia (Allah) itu bersama kamudimana pun kamu berada, dan Allah itu Maha Periksa akan segalasesuatu yang kamu perbuat." [9] "Kepunyaan Allah-lah timur danbarat; maka ke mana pun kamu menghadap, di sanalah WajahAllah." [10] "Sungguh Kami (Allah) telah menciptakan manusia,dan Kami mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya Kamilebih dekat kepadanya daripada urat lehernya sendiri." [11]"Ketahuilah olehmu sekalian bahwa Allah menyekat antaraseseorang dan hatinya sendiri..." [12] Di atas telah dikutip penjelasan seorang pemikir klasik Islam(Salaf) yang hidup sekitar tujuh abad yang lalu, yaitu IbnQayyim al-Jawzi (wafat pada tahun 751 H). Penjelasan serupajuga dikemukakan oleh 'Ali Ahmad al-Jurjawi, seorang tokohpemikir Islam di Zaman Modern dari Mesir. Dalam uraiannyatentang hikmah puasa, antara lain ia katakan: Puasa adalah sebagian dari sepenting-penting syar'i (manifestasi religiositas) dan seagung-agung qurbat (amalan mendekatkan diri kepada Tuhan). Bagaimana tidak, padahal puasa itu adalah rahasia antara seorang hamba dan Tuhannya, yang tidak termasuki oleh sikap pamrih. Seseorang (yang berpuasa) menahan dirinya dari syahwatnya dan kesenangannya sebulan penuh, yang dibalik itu ia tidak mengharapkan apa apa kecuali Wajah Allah Ta' ala. Tidak ada pengawas atas dirinya selain Dia. Maka hamba itu mengetahui bahwa Allah mengawasinya dalam kerahasiaan (privacy)-nya dan dalam keterbukaan - (publicity)-nya. Maka ia pun merasa malu kepada Tuhan Yang Maha Agung itu untuk melanggar larangan-larangan-Nya, dengan mengakui dosa, kezaliman, dan pelanggaran larangan (yang pernah ia lakukan). Ia merasa malu kepada Allah jika nampak oleh-Nya, bahwa ia mengenakan baju kecurangan, penipuan dan kebohongan. Karena itu ia tidak berpura-pura, tidak mencari muka, dan tidak pula bersikap mendua (munafik). Ia tidak menyembunyikan persaksian kebenaran karena takut kekuasaan seorang pemimpin atau pembesar.
    Dari penjelasan itu tampak bahwa sesungguhnya inti pendidikanIlahi melalui ibadah puasa ialah penanaman dan pengukuhankesadaran yang sedalam-dalamnya akan ke-MahaHadir-an(omnipresence) Tuhan. Adalah kesadaran ini yang melandasiketaqwaan atau merupakan hakikat ketaqwaan itu, dan yangmembimbing seseorang ke arah tingkah laku yang baik danterpuji. Dengan begitu dapat diharapkan ia akan tampil sebagaiseorang yang berbudi pekerti luhur, ber-akhlaq karimah.Kesadaran akan hakikat Allah yang Maha Hadir itu dankonsekuensinya yang diharapkan dalam tingkah laku manusia,digambarkan dengan kuat sekali dalam Kitab Suci: "Tidak tahukah engkau bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di seluruh langit dan segala sesuatu yang ada di bumi?! Sama sekali tidak ada suatu bisikan dari tiga orang, melainkan Dia adalah Yang Keempat; dan tidak dari empat orang, melainkan Dia adalah Yang Kelima; dan tidak dari lima orang, melainkan Dia adalah Yang Keenam; dan tidak lebih sedikit daripada itu ataupun lebih banyak, melainkan Dia beserta mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan membeberkan apa yang telah mereka perbuat itu di Hari Kiamat. Sesungguhnya Allah Maha Tahu akan segala sesuatu." [14] Sekali lagi, dari keterangan di atas itu tampak bahwa puasaadalah suatu ibadat yang berdimensi kerahasiaan ataukeprivatan (privacy) yang amat kuat. Dari situ juga dapatditarik pengertian bahwa puasa adalah yang pertama dan utamamerupakan sarana pendidikan tanggungjawab pribadi. Iabertujuan mendidik agar kita mendalami keinsyafan akan Allahyang selalu menyertai dan mengawal kita dalam setiap saat dantempat. Atas dasar keinsyafan itu hendaknya kita tidak menjalani hidupini dengan santai, enteng dan remeh, melainkan dengan penuhkesungguhan dan keprihatinan. Sebab apapun yang kita perbuatakan kita pertanggungjawabkan kepada Khaliq kita secarapribadi. Tentang betapa dimensi pribadi (personal)tanggungjawab kita dalam Pengadilan Tuhan di Hari Akhirat itu,Kitab Suci al-Qur'an memberi gambaran amat kuat sebagaiberikut: Wahai sekalian umat manusia! Bertaqwalah kamu sekalian kepada Tuhanmu, dan waspadalah terhadap hari ketika seorang orang tua tidak dapat menolong anaknya, dan tidak pula seorang anak dapat menolong orang tuanya sedikitpun jua. Sesungguhnya janji Allah itu benar (pasti terjadi), maka janganlah sampai kehidupan duniawi (kehidupan rendah) memperdayamu sekalian, dan jangan pula tentang (wajib patuh kepada) Allah itu kamu sekalian sampai terpedaya oleh apapun yang dapat memperdaya. [15] Waspadalah kamu sekalian terhadap hari ketika tidak seorang pun dapat membantu orang lain, dan ketika perantaraan tidak dapat diterima, dan tidak pula tebusan bakal diambil, dan mereka semuanya tidak akan dibela. [l6] Ini semuanya sudah tentu sejajar dengan berbagai penegasandalam Islam bahwa manusia dihargai dalam pandangan Allahmenurut amal perbuatannya berdasarkan taqwanya, suatu ajarantentang orientasi prestasi yang tegas, dalam pengertianpandangan bahwa penghargaan kepada seseorang didasarkan kepadaapa yang dapat diperbuat dan dicapai oleh seseorang.Sebaliknya Islam melawan orientasi prestise, yaitu pandanganyang mendasarkan penghargaan kepada seseorang ataspertimbangan segi-segi askriptif seperti faktor keturunan,daerah, warna kulit, bahasa dll. Orientasi seperti faktorketurunan, daerah, warna kulit, bahasa, dll. Orientasiprestasi berdasarkan kerja ini kemudian dikukuhkan denganajaran tentang tanggung jawab yang bersifat mutlak pribadi diAkhirat kelak. PUASA DAN TANGGUNGJAWAB KEMASYARAKATAN Sebegitu jauh kita telah mencoga melihat hikmah ibadah puasasebagai sarana pendidikan Ilahi untak menanamkan tanggungjawabpribadi. Tetapi justru pengertian "tanggungjawab" itu sendirimengisyaratkan adanya aspek sosial dalam perwujudan padakehidupan nyata di dunia ini. Dan sesungguhnya tanggungjawabsosial adalah sisi lain dari mata uang logam yang sama, yangsisi pertamanya ialah tanggungjawab pribadi. Ini berarti bahwadalam kenyataannya kedua jenis tanggungjawab itu tidak bisadipisahkan, sehingga tiadanya salah satu dari keduanya akanmengakibatkan peniadaan yang lain. Oleh karena itu para ulama senantiasa menekankan bahwa salahsatu hikmah ibadah puasa ialah penanaman rasa solidaritassosial. Dengan mudah hal itu dibuktikan dalam kenyataan bahwaibadah puasa selalu disertai dengan anjuran untuk berbuat baiksebanyak-banyaknya, terutama perbuatan baik dalam bentuktindakan menolong meringankan beban kaum fakir miskin, yaituzakat, sedekah, infaq, dll. Dari sudut pandangan itulah kita harus melihat kewajibanmembayar zakat fitrah pada bulan Ramadhan, terutama menjelangakhir bulan suci itu. Seperti diketahui, fithrah merupakankonsep kesucian asal pribadi manusia, yang memandang bahwasetiap individu dilahirkan dalam keadaan suci bersih. Karenaitu zakat fitrah merupakan kewajiban pribadi berdasarkankesucian asalnya, namun memiliki konsekuensi sosial yangsangat langsung dan jelas. Sebab, seperti halnya dengan setiapzakat atau "sedekah" (shadagah, secara etimologis berarti"tindakan kebenaran") pertama-tama dan terutama diperuntukkanbagi golongan fakir-miskin serta mereka yang berada dalamkesulitan hidup seperti al-riqab (mereka yang terbelenggu,yakni, para budak; dalam istilah modern dapat berarti merekayang terkungkung oleh "kemiskinan struktural") dan al-gharimun(mereka yang terbeban berat hutang), serta ibn al-sabil (orangyang terlantar dalam perjalanan), demi usaha ikut meringankanbeban hidup mereka. Sasaran zakat yang lain pun masihberkaitan dengan kriteria bahwa zakat adalah untuk kepentinganumum atau sosial, seperti sasaran amil atau panitia zakatsendiri, kaum mu'allaf, dan sabil-Allah ("sabilillah", jalanAllah), kepentingan masyarakat dalam artian yangseluas-luasnya. Sebenarnya dimensi sosial dari hikmah puasa ini sudah dapatditarik dan difahami dari tujuannya sendiri dalam Kitab Suci,yaitu taqwa. Dalam memberi penjelasan tentang taqwa sebagaitujuan puasa itu, Syeikh Muhammad 'Abduh menunjuk adanyakenyataan bahwa orang-orang kafir penyembah berhala melakukanpuasa (menurut cara mereka masing-masing) dengan tujuan utama"membujuk" dewa-dewa agar jangan marah kepada mereka atau agarsenang kepada mereka dan "memihak" mereka dalam urusan hidupmereka di dunia ini. Ini sejalan dengan kepercayaan merekabahwa dewa-dewa itu akan mudah dibujuk dengan jalan penyiksaandiri sendiri dan tindakan mematikan hasrat jasmani. Cara pandang kaum musyrik itu merupakan konseknensi fahammereka tentang Tuhan sebagai yang harus didekati dengansesajen, berupa makanan atau lainnya (termasuk manusiasendiri) yang "disajikan" kepada Tuhan. Altar di kuil-knilbangsa Inka di banyak bagian Amerika Selatan, umpamanya,menunjukkan adanya praktek "ibadat" mendekati Tuhan dengansesajen berupa korban manusia. Demikian pula padabangsa-bangsa lain, praktek serupa juga tercatat dalamsejarah, seperti pada bangsa-bangsa Mesir kuna, Romawi,Yunani, India, dll. Hal itu tentu berbeda dengan ajaran agama Tawhid yangmengajarkan manusia untuk tunduk-patuh dan pasrah sepenuhnya(Islam kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam agama ini diajarkanbahwa Tuhan tidaklah didekati dengan sesajen seperti pada kaumpagan atau musyrik, melainkan dengan amal perbuatan yang baik,yang membawa manfaat dan faedah kepada diri sendiri dan kepadasesama manusia dalam masyarakat: "Maka barangsiapa inginberjumpa dengan Tuhannya, hendaknyalah ia berbuat baik, danjanganlah dalam berbakti kepada Tuhannya itu iamemperserikatkan-Nya dengan seseorang siapapun juga." [17] Berkaitan dengan ini, Islam memang mengenal ajaran tentangibadah korban. Tetapi, sesuai dengan nama ibadah itu, korban(qurban) adalah tindakan mendekatkan diri kepada Tuhan. Namunpendekatan itu terjadi bukan karena materi korban itu dalamarti sebagai sesajen, melainkan karena taqwa yang ada dalamjiwa pelakunya. Dan taqwa dalam ibadah korban itu tercermindalam kegunaan nyata yang ada di belakangnya, yaitu tindakanmeringankan beban anggota masyarakat yang kurang beruntung:"Tidaklah bakal sampai kepada Allah daging korban itu, dantidak pula darahnya! Tetapi yang bakal sampai kepada-Nya ialahtaqwa dari kamu." [18] Maka begitu pula dengan puasa. Yang mempunyai nilai pendekatankepada Allah bukanlah penderitaan lapar dan dahaga itu ansich, melainkan rasa taqwa yang tertanam melalui hidup penuhprihatin itu. Dengan perkatauan lain, Tuhan tidaklahmemerlukan puasa kita seperti keyakinan mereka yang memandangTuhan sebagai obyek sesajen atau sakramen. Puasa adalah untukkebaikan diri kita sendiri baik sebagai individu dan sebagaianggota masyarakat yang lebih luas. Sekarang, seperti halnya iman yang tidak dapat dipisahkan dariamal saleh, tali hubungan dengan Allah (habl min Allah -"hablum minallah") yang tidak dapat dipisahkan dari hubungandengan sesama manusia (habl min al-nas -"hablum minannas"),taqwa pun tidak dapat dipisahkan dari budi pekerti luhur (husnal-khuluq atau al-akhlaq al karimah). Ini antara lainditegaskan Rasulullah dalam sebuah Hadits: "Yang paling banyakmemasukkan manusia ke dalam surga ialah taqwa kepada Allah danbudi pekerti luhur." [19] Ibadah puasa selama sebulan itu diakhiri dengan Hari RayaLebaran atau Idul Fitri (Id-al-fithr, "Siklus Fitrah"), yangmenggambarkan tentang saat kembalinya fitrah atau kesucianasal manusia setelah hilang karena dosa selama setahun, dansetelah pensucian diri dosa itu melalui puasa. Dalam praktekyang melembaga dan mapan sebagai adat kita semua, manifestasidari Lebaran itu ialah sikap-sikap dan perilaku kemanusiaanyang setulus-tulusnya dan setinggi-tingginya. Dimulai denganpembayaran zakat fitrah yang dibagikan kepada fakir miskin,diteruskan dengan bertemu sesama anggota umat dalam perjumpaanbesar pada shalat Id, kemudian dikembangkan dalam kebiasaanterpuji bersilaturahmi kepada sanak kerabat dan teman sejawat,keseluruhan manifestasi Lebaran itu menggambarkan dengan jelasaspek sosial dari hasil ibadah puasa. Adalah bersyukur atasnikmat-karunia yang merupakan hidayah Allah kepada kita itumaka pada hari Lebaran kita dianjurkan untuk memperlihatkankebahagiaan dan kegembiraan kita. Petunjuk Nabi dalam berbagaiHadits mengarahkan agar pada hari Lebaran tidak seorang puntertinggal dalam bergembira dan berbahagia, tanpa berlebihandan melewati batas. Karena itu zakat fitrah sebenarnya lebih banyak merupakanperingatan simbolik tentang kewajiban atas anggota masyarakatuntuk berbagi kebahagiaan dengan kaum yang kurang beruntung,yang terdiri dari para fakir miskin. Dari segi jumlah danjenis materialnya sendiri, zakat fitrah mungkin tidaklahbegitu berarti. Tetapi, sama dengan ibadah korban yang telahdisinggung di atas, yang lebih asasi dalam zakat fitrah ialahmaknanya sebagai lambang solidaritas sosial dan rasaperikemanusiaan. Dengan perkataan lain, zakat fitrah adalahlambang tanggung-jawab kemasyarakatan kita yang merupakansalah satu hasil pendidikan ibadah puasa, dan yang kitamenifestasikan secara spontan. Tetapi, sebagai simbol dan lambang, zakat fitrah harus diberisubstansi lebih lanjut dan lebih besar dalam seluruh aspekhidup kita sepanjang tahun, berupa komitmen batin serta usahamewujudkan masyarakat yang sebaik-baiknya, yang berintikannilai Keadilan Sosial. Inilah antara lain makna firman Allahberkenaan dengan Hari Raya Lebaran: Hendaknya kamu sekalian sempurnakan hitungan (hari berpuasa sebulan) itu, dan hendaknya pula kamu bertakbir mengagungkan Allah atas karunia hidayah dan diberikan oleh-Nya kepadamu sekalian, dan agar supaya kamu sekalian bersyukur. [20] "Min-al-'Aidin wa-'l-Fa'izin" (semoga kita semua tergolongmereka yang kembali ke fitrah kita --dan yang menang-- atasnafsu-egoisme kita). CATATAN KAKI 1. Syeikh 'Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmat al-Tasyri' wa Falsafatuhu, 2 jilid (Beirut: Dar al-Fikr, tanpa tahun), Jil. 1, hh. 233-4. 2. QS. al-Baqarah/2:183 3. QS. Maryam/19:26. 4. al-Jurjawi, h 227 5. Lihat, Ibid, h.h. 232-3 6. QS. al-Nisa'/4:163-6. 7. Lihat al-Jurjawi, h. 228. Hadits dengan makna yang sama juga dikutip oleh al-Sayyid Muhammad Husayn al-Thaba'thabati dalam Al Mizan fi Tafsir al-Qur'an, 21 jilid (Beirut: Mu'assat al-A'lami, 1403/1983), jil. 2, h 25. Al- Thaba'thabati juga memberikan uraian dengan nada dan makna yang sama dengan al-Jawzi dan al-Jurjawi. 8. Abu 'Abd-Allah ibn al-Qayyim al-Jawzi, Zad al-Ma'ad fi Huda Khayr al-Ibad, 4 jilid (Beirut: Dar al-Fikr, 1392/1973), Jil. I, h 154. 9. QS. al-Hadid/57:4. 10. QS. al-Baqarah/2 :183. 11. QS. Qaf/50:16. 12. QS. al-Anfal/8:24. 13. al-Jurjawi, h 212. 14. QS. al-Mujadalah/58:7 15. QS. Luqman/31:33. 16. QS. al-Baqarah/2:48 dan 123). 17. QS. al-Kahf718:110. 18. QS. al-Hajj/22:37. 19. Hadits shahih, riwayat al-Tarmidzi dan al-Hakim (Lihat Bulugh al-maram, Hadits No. 1561) 20. QS. al-Baqarah/2:185

0 comments:

Leave a Reply

Monggo dikomentari ...